• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRODUKSI TINDAK TUTUR MEMOHON (REQUEST SPEECH ACTS) DALAM BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING OLEH MAHASISWA DARI JEPANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PRODUKSI TINDAK TUTUR MEMOHON (REQUEST SPEECH ACTS) DALAM BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING OLEH MAHASISWA DARI JEPANG"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

PRODUKSI TINDAK TUTUR MEMOHON (REQUEST SPEECH ACTS)

DALAM BAHASA INDONESIA SEBAGAI BAHASA ASING OLEH

MAHASISWA DARI JEPANG

Oleh: Diana Kartika

dianakartika_pdg@yahoo.co.id

Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Bung Hatta, Padang

.

1. Pengantar

Pada beberapa waktu lalu fokus penelitian pemerolehan bahasa atau pemelajaran bahasa kedua biasanya terletak pada cara pemelajar bahasa kedua memperoleh subsistem gramatikal. Penelitian cenderung mengabaikan tataran lain. Namun, akhir-akhir ini penelitian sudah berkecenderungan mengarah pada cara pemelajar memperoleh kemampuan berkomunikasi dan mulai meneliti cara pemelajar menggunakan pengetahuannya untuk mengomunikasikan ide dan maksud mereka (misalnya, kompetensi pragmatik/sosiolinguistik) dalam bahasa kedua/asing.

Peralihan kecenderungan itu berdasar asumsi bahwa menguasai bahasa berarti tidak hanya mampu memahami kata-kata dan kalimat, tetapi juga memahami maksud penutur dan juga mampu mengomunikasikan makna dan maksudnya sendiri. Mampu berbahasa berarti mampu menyampaikan maksudnya kepada petutur dan mengetahui apa yang dapat dan seharusnya dikatakan dalam situasi tertentu dan kepada siapa diujarkan. Karena itu, penelitian pemerolehan bahasa kedua berrkisar pada masalah performansi yang nampak pada ujaran aktual yang berterima.

Berbicara dalam cara yang berterima melibatkan pandangan percakapan pada tiga tingkat, yang oleh Hymes (1974: 51-52) dideskripsi sebagai situasi tutur, peristiwa tutur, dan tindak tutur. Dalam penelitian ini, interaksi di ruang kelas dapat dipandang sebagai sebuah peristiwa tutur. Semua faktor peristiwa tutur yang dikemukakan Hymes, yakni penutur, tujuan, petutur, isi, bentuk, medium, latar, dan kode ada dalam interaksi kelas. Semua faktor tersebut saling berhubungan. Perubahan pada satu faktor akan mengubah faktor lain.

Keberterimaan ujaran itu salah satunya berkaitan dengan kesantunan. Brown dan Levinson (1987) menjelaskan bagaimana percakapan melibatkan, baik penutur maupun petutur, untuk mempertahankan muka. Akar fenomena kesantunan mendasarkan diri pada gagasan bahwa penutur dan petutur harus secara konstan menyeimbangkan kebutuhan muka dari kedua belah pihak. Meskipun strategi itu universal pada prinsipnya, penerapannya berbeda-beda dari satu budaya ke budaya lain. Ini dapat dilihat ketika pola budaya bahasa asli ditransfer ke dalam budaya bahasa kedua secara tidak patut atau ketika pemelajar bahasa kedua/asing tidak akrab dengan pola budaya bahasa sasaran sehingga maksud yang disampaikan oleh pemelajar bahasa sasaran dapat tampak tidak santun bagi penutur jati dari budaya bahasa sasaran. Salah satu tindak tutur yang dapat mengancam muka ialah tindak tutur memohon. Tulisan ini membahas tindak tutur memohon yang dilakukan oleh pemelajar bahasa Indonesia sebagai bahasa asing berdasar pertanyaan sebagai berikut.

(1) Bagaimanakah penggunaan strategi tindak tutur memohon dalam bahasa Indonesia oleh mahasiswa dari Jepang pada kelas BIPA I, II, dan III, terutama berkaitan dengan ketidaklangsungan dan kelangsungan ujaran?

(2)

yang paling banyak digunakan dan paling sedikit digunakan, ditinjau dari segi pemerolehan bahasa?

2. Tindak Tutur Memohon (Request) sebagai Bagian dari Tindak Tutur Direktif

Menurut Searle (1969: 66), syarat utama yang menjadi ciri tindak memohon dalam situasi komunikasi ialah bahwa tuturan ditujukan kepada petutur “counts as an attempt to get H to do A.” Dalam klasifikasi Searle (1977: 35), tindak tutur memohon merupakan salah satu jenis tindak tutur direktif, yaitu tindak tutur yang titik ilokusinya “consists in the fact that they are attempts (of varying degrees, and hence,

more precisely, they are determinates of the determinable which includes attempting) by the speaker to get the hearer to do something”. Lebih lanjut, Searle (1977: 66) menyatakan bahwa verba performatif

permohonan dikaitkan dengan kaidah regulatif sebagai berikut. Pertama, kaidah isi proposisi (propositional content rule): tindakan petutur di masa depan. Kedua, kaidah persiapan (preparatory rule): (penutur yakin bahwa) petutur dapat melakukan tindakan yang diinginkan oleh penutur walaupun tidak jelas bagi kedua partisipan apakah petutur akan melakukan tindakan itu. Ketiga, kaidah ketulusan (sincerity rule): penutur menginginkan agar petutur melakukan tindakan. Keempat, kaidah esensial

(essential rule): upaya agar petutur melakukan suatu tindakan.

Trosborg (1995: 188--189) menyatakan bahwa tindak tutur memohon sebagai tindak impositif merupakan tindak tutur yang bertujuan memengaruhi perilaku petutur agar melakukan sesuatu sesudah dilakukannya tuturan, terutama untuk keuntungan penutur. Tindak tutur memohon juga merupakan Tindak Pengancam Muka karena penutur berusaha mengontrol perilaku petutur sehingga penutur mengancam muka negatif petutur. Penutur juga berusaha mengurangi risiko kehilangan muka dirinya sendiri untuk berjaga-jaga manakala petutur menolak melakukan tindak yang diinginkannya. Karena itu, ketika melakukan tindak tutur memohon, penutur memilih strategi untuk melindungi muka sendiri maupun muka petutur.

Jika penutur mempertimbangkan akan melakukan tindak tutur memohon, ada empat faktor yang memengaruhi tindak tutur memohon yang akan digunakannya, yaitu mendesaknya/pentingnya tindak tutur memohon, tingkat keterancaman muka, serta hubungan kekuasaan dan solidaritas antara penutur dan petutur.

3. Aspek Metodologis

Penelitian ini dilakukan di Program Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA), Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB), Universitas Indonesia. Pengamatan partisipatoris dilakukan selama satu catur wulan, sejak Agustus 2003 sampai dengan Desember 2003. Subjek penelitian ini adalah mahasiswa dari Jepang yang belajar pada Program BIPA, FIB-UI mulai dari tingkat I, II, dan III.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif naturalistik. Pengumpuan data dilakukan melalui pengamatan partisipatoris sehingga data yang terkumpul ialah data percakapan alamiah dengan segala faktor kontekstualnya. Penelitian ini bukanlah penelitian pragmatik lintas budaya (cross-cultural

pragmatics) dan juga bukan penelitian pragmatik kontrastif (contrastive pragmatics). Penelitian ini

adalah penelitian pragmatik antarbahasa (interlanguage pragmatics).

4. Temuan dan Bahasan

Ada perbedaan penggunaan strategi yang sangat mencolok oleh mahasiswa BIPA III dibanding mahasiswa BIPA I dan BIPA II. Mahasiswa BIPA III secara keseluruhan menggunakan strategi permohonan tidak langsung kepada dosen. Sementara itu, mahasiswa BIPA I dan II masih menggunakan permohonan langsung dengan berbagai strateginya ketika berinteraksi dengan dosen sebagai petutur.

(3)

Hal yang sebaliknya juga terjadi, yaitu peningkatan secara drastis (83,34%) penggunaan permohonan langsung dengan berbagai strateginya yang dilakukan mahasiswa kepada sesama mahasiswa sebagai petutur. Berdasar pengakuan mahasiswa, kebersamaan selama melakukan studi semakin mendekatkan mereka secara psikologis. Karena itu, jarak sosial di antara para mahasiswa semakin menyurut. Hal itu menyebabkan keberanian mereka menggunakan tindak tutur tidak langsung karena mereka beranggapan bahwa tindak tuturnya itu tidak akan menghilangkan muka temannya sebagai petutur.

Berkaitan dengan pemilihan tingkat kelangsungan tuturan, pilihan strategi pada ketiga tingkat mahasiswa menunjukkan perubahan dari tindak tutur langsung menuju ke tindak tutur tidak langsung ketika mereka berinteraksi dengan dosen sebagai petutur. Mahasiswa BIPA I cenderung menggunakan tindak tutur langsung meskipun itu dilakukan kepada dosen. Secara pasti terjadi perubahan pada mahasiswa BIPA II yang mulai menggunakan tuturan tidak langsung meskipun belum dominan dalam pilihan strategi. Perubahan drastis terjadi pada mahasiswa BIPA III yang dominan menggunakan tindak tutur tidak langsung, terutama kepada dosen sebagai petutur. Kurangnya strategi tidak langsung, terutama strategi isyarat, pada kelompok mahasiswa BIPA I dan II menunjukkan kurangnya penggunaan peranti pemerlunak, yang dipertegas dengan sangat minimnya penggunaan modifikasi dalam strategi tindak tutur memohon mereka.

Meskipun pada akhirnya mahasiswa menggunakan strategi tindak tutur tidak langsung kepada dosen, strategi tidak langsung yang mereka gunakan bukanlah strategi isyarat, melainkan strategi tindak tutur tidak langsung secara konvensional yang berorientasi petutur, yakni strategi menanyakan kemampuan/kemauan/keterbolehan. Strategi isyarat menjadi strategi permohonan tidak langsung yang paling sedikit dipilih. Hal itulah yang akan dijelaskan dari perspektif pemerolehan bahasa kedua dan teori kesantunan.

Strategi isyarat dipersoalkan pada bagian ini karena orang Indonesia dalam melakukan tindak tutur memohon banyak yang menggunakan strategi isyarat. Isyarat berkaitan dengan etos ketidaklangsungan dan banyak digunakan oleh penutur bahasa Indonesia yang berasal dari kelompok etnis Jawa. Menurut Geertz, etos ketidaklangsungan ada dalam budaya Jawa dan bahwa permohonan sering dibuat dengan cara isyarat oleh penutur dari Jawa. Hal itu dikuatkan oleh hasil pengamatan Tim Hassal (1999: 585-606), yang menyatakan bahwa masyarakat Indonesia dari kelompok etnis Jawa sering menggunakan strategi isyarat, baik ketika menggunakan bahasa Indonesia maupun dalam berbahasa Inggris. Dufon juga mengamati kecenderungan bagi orang Indonesia dari Jawa untuk menginterpretasikan ucapan “polos” yang dibuat dalam bahasa Indonesia sebagai permohonan. Semua itu menyatakan bahwa penutur asli bahasa Indonesia, khususnya yang berlatar belakang budaya Jawa, kemungkinan besar akan sangat sering menggunakan strategi isyarat ketika melakukan tindak tutur memohon. Oleh sebab itu, mahasiswa yang mempelajari bahasa Indonesia harus memahami hal itu karena sebagian besar penduduk Indonesia berasal dari kelompok etnis Jawa.

Data penelitian ini menunjukkan bahwa mahasiswa Jepang justru sangat sedikit menggunakan strategi isyarat ketika melakukan tindak tutur memohon. Selain itu, strategi isyarat menjadi semakin banyak dipakai ketika mahasiswa sudah berada pada Program BIPA III, yang berarti kemunculan penggunaan strategi isyarat dalam penelitian ini relatif paling akhir dibanding penggunaan strategi yang lain. Hal itu dapat dijelaskan berdasarkan beberapa temuan penelitian sebelumnya, baik yang berkaitan dengan pemerolehan dalam bahasa pertama maupun dalam bahasa kedua.

Strategi isyarat yang dibahas dalam kajian ini dapat dibandingkan dengan tuturan yang dibuat oleh anak-anak ketika memperoleh bahasa pertama. Hasil penelitian Garvey (1982: 41-64), Bock dan Hornsby (1981: 159), dan Trosborg (1995: 288), menunjukkan bahwa dalam pemerolehan bahasa pertama, strategi isyarat berkembang relatif belakangan dibanding strategi lain ketika anak-anak melakukan tindak tutur

(4)

langsung dan tidak langsung secara konvensional.

Temuan penelitian ini juga mendukung hasil penelitian Hill (dalam Kasper dan Rose 1999: 88). Dia meneliti strategi tindak tutur memohon yang digunakan oleh mahasiswa dari Jepang yang belajar bahasa Inggris sebagai bahasa asing pada tiga tingkat, yaitu pemula, menengah, dan lanjut. Dia menemukan bahwa semakin tinggi tingkat kemampuan mereka, mahasiswa semakin mengurangi strategi tindak tutur memohon secara langsung, terutama strategi imperatif dan performatif dan menunjukkan sedikit perubahan dalam strategi isyarat. Pada saat yang sama, mahasiswa meningkatkan penggunaan tindak tutur tidak langsung secara konvensional, yang hampir menyamai penutur jati bahasa Inggris.

Berkaitan dengan strategi ketidaklangsungan tuturan melalui pertanyaan, menurut Hassall (1999: 599), strategi itu adalah jenis strategi tindak tutur memohon yang paling umum digunakan oleh penutur jati bahasa Indonesia. Sebagian besar strategi yang digunakan ialah strategi modal persiapan pertanyaan/menyangsikan. Dengan strategi itu, penutur jati bahasa Indonesia menggunakan verba modal yang sesuai untuk memohon dengan menanyakan kemampuan petutur, misalnya verba modal bisa atau

boleh.

Mahasiswa Program BIPA I, II, dan III, dalam sebagian besar tindak tutur memohonnya juga menggunakan strategi ini, terutama ketika berinteraksi dengan dosen. Menurut Brown dan Levinson (1987: 135--139), pertanyaan lebih santun digunakan untuk melakukan tindak tutur memohon karena petutur memiliki pilihan untuk melakukan penolakan atas tindak yang diinginkan penutur melalui tindak tutur memohon. Sayangnya, tindak tutur mahasiswa dengan strategi ini belum sealamiah penutur jati bahasa Indonesia karena hampir semua trategi pertanyaan yang dibuat adalah pertanyaan positif. Padahal, penutur jati bahasa Indonesia seringkali juga membuat tindak tutur memohon dengan startegi pertanyaan negatif.

Tidak digunakannya strategi pertanyaan dengan negator oleh mahasiswa Jepang menimbulkan pertanyaan karena pada dasarnya dalam bahasa Jepang juga dikenal adanya pertanyaan positif dan negatif. Menurut Tsuzuki (1999: 109--110), berkaitan dengan kesantunannya, pertanyaan negatif dalam bahasa Jepang lebih santun daripada pertanyaan positif. Hal itu berbeda dengan yang berlaku dalam bahasa Inggris, misalnya, yang lebih menganggap pertanyaan positif lebih santun dibanding pertanyaan negatif. Dalam bahasa Indonesia pun sebagian informan menyatakan bahwa pertanyaan positif lebih santun digunakan dibanding pertanyaan negatif. Perbedaan persepsi itulah yang tampaknya membuat mahasiswa dari Jepang mengambil keputusan untuk lebih banyak menggunakan pertanyaan positif dalam bahasa Indonesia meskipun dalam keadaan tertentu penutur jati bahasa Indonesia juga menggunakan pertanyaan negatif ketika melakukan tindak tutur memohon.

5. Penutup

Semakin tinggi tingkat solidaritas di antara mahasiswa dari berbagai negara, semakin kecil jarak sosial di antara mereka. Hal itu ditunjukkan melalui dominannya pemilihan strategi berkategori permohonan langsung, terutama strategi imperatif dan menyatakan kewajiban (bentuk kategori permohonan paling langsung). Sementara itu, pemahaman perbedaan peran antara mahasiswa dan dosen serta meningkatnya kemampuan berbahasa, termasuk kompetensi pragmatik/sosiolinguistik mereka, menyebabkan dominannya penggunaan strategi berkategoti tidak langsung ketika mahasiwa berinteraksi dengan dosen sebagai petutur.

Strategi isyarat merupakan strategi ketidaklangsungan ujaran yang paling sedikit digunakan dan muncul belakangan. Hal itu mendukung berbagai temuan penelitian sebelumnya tentang pemerolehan bahasa pertama maupun kedua, yang secara ringkas dapat dinyatakan bahwa strategi isyarat memang menjadi

(5)

strategi yang paling sedikit digunakan pemelajar bahasa dalam upaya penguasaan bahasa kedua. Strategi itu juga merupakan strategi yang paling akhir dikuasai oleh pemelajar.

Strategi ketidaklangsungan tindak tutur memohon yang paling banyak digunakan ialah bentuk pertanyaan. Namun, ada perbedaan persepsi tentang kesantunan bentuk pertanyaan tersebut, yakni perihal penggunaan bentuk pertanyaan positif dan negatif, yang berbeda dalam bahasa Indonesia dan Jepang.

Temuan itu menunjukkan bahwa mahasiswa dari Jepang mengalami kesulitan dalam menguasai penggunaan ketidaklangsungan ujaran, terutama dalam penggunaan strategi isyarat dan bentuk pertanyaan. Namun, kesulitan itu tidak berbanding lurus dengan banyaknya penggunaan strategi tersebut karena strategi tidak langsung dengan menggunakan bentuk pertanyaan justru strategi yang paling banyak digunakan. Kesulitannya terletak pada pembedaan penggunaan bentuk pertanyaan positif dan negatif.

PUSTAKA ACUAN

Austin, J. L. How to Do Things with Words. New York: Oxford University Press, 1962.

Blum-Kulka, Shoshana. “Learning to Say What You Mean in a Second Language: A Study of the Speech Act Performance of Learners of Hebrew as a Second Language”. Applied Linguistics, Vol. III No. 1, Spring 1982, hlm. 29--59.

---.“Indirectness and Politeness in Requests: Same or Different?”. Journal of Pragmatics 11, 1987, hlm. 131--146.

Blum-Kulka, Shoshana dan Elite Olshtain. “Request and Apologies: A Cross-Cultural Study of Speech Act Realization Patterns (CCSARP)”. Applied Linguistics, Vol. 5 No. 3, 1984, hlm. 196--213. Bock, J. Kathryn dan Mary E. Hornsby. “The Development of Directives: How Children Ask and Tell,”

Journal of Child Language, Vol. 8 Number 2, June 1981, hlm. 151--163.

Brown, Penelope dan Stephen C. Levinson. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press, 1987.

Garvey, Catherine. “Request and Responses in Children’s Speech,” Journal of Child Language, Vol. 2, 1975, hlm. 41--64.

Geertz, Clifford. The Religion of Java. Chicago: The University of Chicago Press, 1976. Harada, Sen Ichi. Honorifics. California: Academic Press, 1981.

Hassall, Tim. “Request Strategies in Indonesian,” Pragmatics, Vol. 9 No. 4, 1999, hlm. 585--606. House, Juliane dan Gabriele Kasper. “Interlanguage Pragmatics: Requesting in a Foreign Language,”

Perspectives on Language in Performance, ed. Wolfgang Lorscher dan Rainer Schulze.

Tubingen: Narr, 1987. hlm. 1250--1288.

Hymes, Dell. “On Communicative Competence,” Sociolinguistics, ed. J.B. Pride dan Janet Holmes. Middlessex: Penguin Book, 1971, hlm. 269--293.

(6)

Ethnography of Communication, ed. J.J. Gumperz dan Dell Hymes. New York: Holt Rinehart

and Winston, 1972, hlm. 35--71.

Ide, Sachiko. “Japanese Sociolinguistics: Politeness and Women’s Language,” Lingua, Vol. 57, 1982, hlm. 357--385.

---. “Formal Form and Discerment: Two Neglected Aspects of Universals of Linguistics Politeness,” Multilingua, Vol. 8/2-3, 1989, hlm. 223--248.

Johnson, Donna M. Approaches to Research in Second Language Learning. New York: Longman, 1992. Kasper, Gabriele. “Theory and Research Methods in Cross-Cultural and Interlanguage Pragmatics”. 2001.

Http: //www.III. Hawai.Edu/nflrc/ Sociolinguistics.Html. 20 Agustus 2001.

Kasper, Gabriele dan Kenneth R. Rose. “Pragmatics and Second Language Acquisition,” Annual Review

of Applied Linguistics, Vol. 19, 1999, hlm. 81--104.

Kasper, Gabriele dan Shoshana Blum-Kulka. “Interlanguage Pragmatics: An Introduction,” Interlanguage

Pragmatics, ed. Gabriele Kasper dan Shoshana Blum-Kulka. New York: Oxford University

Press, 1993, hlm. 3--17.

Mizutani, Osamu dan Nobuko Mizutani. How to be Polite in Japanese. Tokyo: The Japan Times, 1987. Searle, John R. Speech Act: An Essay in the Philosophy. Cambridge: Cambridge University Press, 1969. ---. “A Classification of Illocutionary Acts,” Proceedings of the Texas Conference on

Performatives, Presuppositions, and Implicatures, ed. Andy Rogers, Bob Wall, dan John P.

Murphy. Arlington, Virginia: The Center for Applied Linguistics, 1977. Shigeo, Hinata. Keigo. Tokyo: Aratake Shuppan, 1988.

Trosborg, Anna. Interlanguage Pragmatics: Requests, Complaints and Apologies. New York: Mouton de Gruyter, 1995.

Tsuzuki, Masako. “Language Transfer in L2 Acquisition with Reference to the Politeness Degree of Request Expressions: A Case of Japanese Learners of English,” Sophia Linguistica 44/45 1999, hlm. 109--121.

Referensi

Dokumen terkait

Nama Lelang Belanja Jasa Konsultasi Dokumen Lingkungan Sirkuit Road Race Kec.Ma Sabak Barat Satuan Kerja DINAS PARIWISATA, KEBUDAYAAN, PEMUDA DAN OLAHRAGA. Kategori

2.2.5.2.2 Steel pipe may be used as tubular structural members provided it complies with ASTM A139, grade B; ASTM A53 type E or S, grade B; or API 5L, grade B; and provided the

Sehubungan dengan hasil evaluasi terhadap dokumen kualifikasi yang saudara ajukan pada paket pekerjaan Pengadaan Peralatan dan Fasilitas Kantor Pengadilan Tingi Jayapura

core group in OGC that deals with Geo Linked Data (this is the primary PoC working group from which the OGC SDWWG will be formed. This sub-group will have the same individuals as

Dalam undang-undang iini juga tidak dibedakann antara saksi dan korban, dan juga tidak mengatur perlindungan saksi pelapor ( Whistleblower ). 94 Undang- undnag

CHAPTER IV FINDINGS AND DISCUSSIONS 4.1 The Use of Bahasa Indonesia by the Teachers in the Classroom .... Nizar

Perlindungan dalam bentuk penghargaan Whistleblower sangat penting, keberadaannya bagi upaya menciptakan iklim kondusif bagi pengungkap kasus korupsi dalam konteks

[r]