• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelacuran berasal dari bahasa Latin pro-stituere, yang berarti membiarkan diri berbuat zina. Sedang prostitue adalah pelacur dikenal pula dengan istilah WTS atau wanita tunasusila. Maka pelacur itu adalah wanita yang tidak pantas kelakuannya dan bisa mendatangkan penyakit, baik kepada orang lain yang bergaul dengan dirinya, maupun kepada diri sendiri. Pelacur adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan tubuhnya . Dari kedua definisi ini dapat disimpulkan bahwa prostitusi merupakan perzinaan dengan menjual jasa untuk memuaskan kebutuhan seksual berupa menyewakan tubuh. Sehingga prostitusi bersifat negatif dan dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap masyarakat.1

Hampir di setiap kota di Indonesia bahkan dunia memiliki tempat prostitusi, adalah rumah bordil atau lebih dikenal dengan istilah lokalisasi. Dalam kamus besar bahasa Indonesia, istilah lokalisasi didefinisikan sebagai pembatasan pada suatu tempat atau lingkungan. Namun dalam penerapannya, kata ini lebih terkesan berkonotasi negatif. Biasanya lokalisasi selalu diidentikkan dengan tempat prostitusi atau komplek pelacuran. 2

Di Indonesia, lokalisasi telah ada sejak jaman kolonial, dengan dikeluarkannya peraturan pemerintah kolonial pada tahun 1852 yang menyetujui komersialisasi industri seks, tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi itu sendiri. Kerangka peraturan tersebut masih berlaku hingga sekarang, walaupun istilah-istilah yang digunakan berbeda. Apa yang kita kenal dengan PSK (pekerja seks komersial) sekarang ini, pada waktu itu disebut sebagai “Wanita Publik”. Dalam peraturan itu, semua wanita

(2)

2 publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit kelamin dan juga untuk mendeteksi HIV (human immunodeficiency virus) / AIDS (acquired immune deficiency syndrome). Selain itu, untuk memudahkan pemerintah dalam pengawasannya, para wanita publik dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil atau lokalisasi.2

Kasus pertama AIDS di Indonesia ditemukan 24 tahun yang lalu (1987). Antara tahun 1987 dan 1997, peningkatan infeksi tampak lambat, upaya penanggulangan pun sangat terbatas dan terutama terfokus di sektor kesehatan. Pada bulan Mei 1994, Komisi Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) yang pertama di Indonesia ditetapkan dengan Keputusan Presiden 36/19941, yang kemudian disusul dengan Strategi Nasional Penanggulangan AIDS yang pertama (bulan Juni 1994).4

Pada pertengahan tahun 1990an, tampak peningkatan yang tajam dalam penularan di kalangan pengguna napza suntik (penasun). Lingkungan sosial dan legal yang mengkriminalisasi penasun, menyebabkan sebagian besar menyuntik secara sembunyi-sembunyi dengan berbagi alat suntik. Hal ini berdampak negatif pada semua orang yang terlibat maupun pada penyebaran infeksi HIV. Pada tahun 1993, di kalangan penasun hanya 1 orang yang ditemukan HIV positif (di Jakarta), pada bulan Maret 2002 sudah dilaporkan 116 kasus AIDS karena penggunaan napza suntik di 6 provinsi. Pada akhir tahun 2004 dilaporkan 2.682 orang dengan AIDS dari 25 provinsi (kumulatif), diantaranya: 1844 adalah ODHA baru: 649 orang stadium HIV dan 1.195 AIDS baru. Sebanyak 824 orang (68,95% dari AIDS yang baru dilaporkan) adalah akibat penggunaan napza suntik. 4

Pada tahun yang sama, selain di kalangan penasun, data surveilans di kalangan orang yang berisiko terinfeksi HIV akibat gaya hidup atau pekerjaannya : pekerja seks perempuan, laki-laki dan waria, laki-laki yang seks dengan laki-laki (LSL), dan pasangan masing-masing – semua

(3)

3 juga menunjukkan peningkatan HIV secara signifikan. Antara tahun 2003 dan 2004 jumlah infeksi baru HIV dan kasus AIDS yang dilaporkan meningkat hampir 4 kali lipat (3,81 kali) antara lain karena meningkatnya sarana testing dan konseling, kemampuan mendiagnosa dan pelaporan yang lebih baik, terutama di Jawa, Bali dan beberapa provinsi lain di luar Jawa. 4

Komisi Penanggulangan AIDS dibentuk dalam rangka meningkatkan upaya pencegahan, pengendalian dan penanggulangan AIDS, dimana dianggap perlu dilakukan langkah-langkah strategis untuk menjaga kelangsungan penanggulangan AIDS dan menghindari dampak yang lebih besar di bidang kesehatan, sosial, politik dan ekonomi serta dalam rangka meningkatkan efektifitas koordinasi penanggulangan AIDS sehingga lebih intensif, menyeluruh dan terpadu. 4

Penyebaran HIV/AIDS dan infeksi menular seksual (IMS) lainnya di Indonesia akan semakin tidak terkendali karena semakin berkurangnya kesadaran laki-laki untuk menggunakan kondom. Kekhawatiran ini semakin diperkuat dengan fakta yang diungkap Menteri Kesehatan (Menkes) Nafsiah Mboi, ada enam sampai delapan juta pria di Indonesia yang rutin membeli seks dari pekerja seks komersial. Perkiraan lonjakan jumlah penderita HIV/AIDS di Indonesia juga diprediksi The Joint United Nations Programme on HIV and AIDS (UNAIDS). UNAIDS mencatat pada 2007 lalu total pengidap HIV/AIDS diprediksi sudah mencapai sekitar 270.000 orang. Angka ini melonjak tajam pada 2011, yang diprediksi UNAIDS sudah mencapai 500.000. Mereka menyatakan jika tidak ada terobosan baru maka diperkirakan akan ada 76.000 infeksi HIV baru di Indonesia setiap tahunnya.3

Nafsiah memaparkan dalam empat tahun terakhir ini jumlah penggunaan kondom menunjukkan penurunan. Pada pria berisiko tinggi, yaitu pria heteroseksual yang sering melakukan hubungan seks tidak aman dan mengunjungi lokalisasi, hanya tiga persen yang mengaku menggunakan kondom secara teratur setiap berhubungan.

(4)

4 Data menunjukkan sampai dengan September 2012 hanya 12 persen infeksi HIV baru yang disebabkan pemakaian jarum suntik, 81,2 persen di antaranya disebabkan hubungan seks heteroseksual yang tidak aman, bayangkan betapa berbahayanya bagi Indonesia. Ditambahkan Menkes, akibat prilaku seksual tidak aman yang dilakukan kaum lelaki itu semakin banyak ibu rumah tangga yang tertular HIV dari suaminya. Ibu-ibu yang tertular HIV ini, lanjut dia, juga berpotensi menurunkan penyakit tersebut kepada anaknya. Faktanya, sampai dengan bulan September lalu, Kemenkes sudah menerima 1.103 kasus AIDS pada wanita dan 150 kasus AIDS pada anak pada tahun ini saja.3

Menkes mengungkapkan beberapa negara seperti Thailand, India, dan Kamboja, sukses menekan infeksi baru HIV/AIDS karena keterbukaan dalam kampanye penggunaan kondom bagi kelompok berisiko tinggi. Menurut Nafsiah, saat ini Indonesia telah menghabiskan US$65 juta per tahun untuk pengobatan pasien HIV/AIDS, namun para ahli memerkirakan di tahun 2020 Indonesia akan menghabiskan US$220 juta untuk pengobatan HIV/AIDS. Dengan kondisi sekarang, sangat tidak mungkin Indonesia bisa mencapai target Millennium Development Goal di bidang penurunan infeksi baru HIV.3

Hadirnya colitis atau non-ulseratif yang tidak diobati (mereka IMS yang menyebabkan luka atau mereka yang tidak) meningkatkan risiko infeksi kedua akuisisi dan transmisi HIV dengan faktor hingga 10. Jadi, pengobatan prompt untuk IMS adalah penting untuk mengurangi risiko infeksi HIV. Mengontrol PMS sangat penting untuk mencegah HIV pada orang berisiko tinggi, serta masyarakat umum. 3

Kasus kumulatif HIV/AIDS secara nasional priode 1987 sd. 30 Juni 2012 dilaporkan 118.865 yang terdiri atas 86.762 HIV dan 32.103 AIDS dengan 5.623 kematian.5

(5)

5 Periode April - Juni 2012 kasus baru HIV dilaporkan sebanyak 3.892. Persentase kasus HIV baru yang dilaporkan terdeteksi pada kelompok umur 25 - 49 tahun 72%, kelompok umur 20 - 24 tahun 12%, dan kelompok umur ≤4 tahun 7%. Perbandingan antara laki-laki dan perempuan adalah 1:1.

Sedangkan persentase kasus baru HIV berdasarkan faktor risiko adalah hubungan seksual tidak aman pada heteroseksual 50%, penggunaan jarum suntik berganti-ganti pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) 14%, dan LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) 7%.5

Pada periode April sampai Juni 2012 jumlah kasus baru AIDS yang dilaporkan sebanyak 1.673. Berdasarkan persentase kasus AIDS terdeteksi pada kelompok umur 30-39 tahun 36,2%, kelompok umur 20-29 tahun 32,2%, dan kelompok umur 40-49 tahun 15,9%.5

(6)

6 Perbandingan kasus AIDS antara laki-laki dan perempuan adalah 2:1. Jumlah kasus AIDS terbanyak dilaporkan dari Provinsi Papua (396), Jawa Tengah (318), DI Yogyakarta (176), Bali (173), dan Kalimantan Barat (89). Persentase kasus baru AIDS berdasarkan faktor risiko adalah hubungan seksual tidak aman pada heteroseksual 84,5%, penggunaan jarum suntik berganti-ganti pada penyalahguna narkoba (narkotik dan bahan-bahan berbahaya) 6%, dari ibu (positif HIV) ke anak 3,9% dan LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki) 3,9%. Jumlah Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang mendapatkan pengobatan obat antiretroviral (ARV) sampai dengan bulan Juni 2012 sebanyak 27.175, yang terdiri atas 96% (26.004) dewasa dan 4% (1.171) anak-anak.Kasus baru HIV dan AIDS terus terdeteksi. Ini merupakan langkah penanggulangan di hilir. Artinya, yang ditangani adalah orang-orang yang sudah tertular atau mengidap HIV/AIDS.

Persoalan utama adalah tidak ada langkah konkret yang dijalankan pemerintah untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa melalui hubungan seksual dengan pekerja seks komersial (PSK). 5

(7)

7 Banyak daerah yang „menepuk dada‟ dengan mengatakan di daerah nya tidak ada pelacuran hanya karena tidak ada lokalisasi pelacuran yang ditangani oleh dinas sosial setempat.

(8)

8 Maka, dengan kondisi tanpa program penanggulangan yang konkret di hulu, maka insiden infeksi HIV baru HIV akan terus terjadi. Yang terjadi kemudian adalah penyebaran HIV di masyarakat.

(9)

9 Walaupun langkah konkret dilakukan di hilir, tapi karena tidak ada langkah konkret di hulu maka penyebaran HIV/AIDS akan bermuara pada „ledakan AIDS‟.

Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah menunjukkan sejak Januari hingga September 2012, 110 kasus HIV/AIDS tercatat di Semarang dan menjadikannya sebagai kota tertinggi jumlah penderita HIV/AIDS di Jawa Tengah. Di lingkungan provinsi Jawa Tengah sendiri

(10)

10 dari Januari hingga September 2012 tercatat 108 penderita meninggal dunia. Jumlah kasus HIV/AIDS di Jawa Terngah mencapai 946 orang dan 580 di antaranya sudah positif AIDS.6

Anung Sugihantono selaku Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah mengatakan bahwa jumlah itu barulah yang terdata. Diperkirakan masih banyak penderita lainnya yang belum terdata. Dari data tersebut ditemukan penderita HIV lebih banyak didominasi wanita, sedangkan AIDS dominan diderita kaum pria. Berdasarkan kelompok umur, penyakit ini lebih banyak menyerang kelompok produktif antara usia 25-34 tahun. Perilaku heteroseksual masih menjadi penyebab utama penularan HIV/AIDS di Jawa Tengah. 6

Tingginya penderita yang berstatus ibu rumah tangga hingga mencapai 25 persen dari jumlah penderita membuat Dinas Kesehatan Jawa Tengah menggencarkan Voluntary Conselling Test (VCT) yang dilakukan di 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Kemudian akan dikembangkan layanan komprehensif berkesinambungan di beberapa wilayah yang rentan penularan. Selain itu diadakan juga pelatihan dan regulasi serta strategi rencana aksi daerah HIV/AIDS tahun 2013-2018. Dukungan pemerintah dan masyarakat dalam menanggulangi HIV/AIDS beberapa tahun terakhir semakin meningkat dan bagus. Hal ini ungkapnya membuat orang dengan HIV/AIDS (ODHA) dapat mulai terbuka di komunitasnya dan masyarakat. 6

Untuk mengurangi angka kesakitan IMS dan HIV AIDS di Jawa Tengah, PKBI Jawa Tengah dan Dinas Kesehatan membentuk Griya ASA pada tanggal 10 Januari 2002. PKBI Semarang mendapat kepercayaan dari PKBI Jawa Tengah untuk melaksanakan program ASA-FHI di lokalisasi Sunan Kuning Kota Semarang. Program ini bertujuan untuk memberikan informasi tentang IMS, HIV/ AIDS kepada PSK (Pekerja Seks Komersial) dan pelanggannya, serta cara pencegahannya melalui pendekatan pendampingan (outreach).7

(11)

11 Outreach merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menjangkau orang-orang yang berisiko tinggi, seperti : para WPS, homoseks, IDU dan waria dengan cara melakukan kontak langsung dan tatap muka secara intensif kepada orang yang berperilaku berisiko tinggi di lingkungan mereka. Kegiatan tersebut meliputi pemberian informasi materi pencegahan penyakit yang termasuk infeksi menular seksual dan HIV/AIDS. Faktor risiko penularan tersebut yang menjadikan permasalahan HIV dan AIDS berkaitan dengan sosio-ekonomi-pertahanan-keamanan-budaya, di samping permasalahan jumlah yang semakin membesar sehingga permasalahan menjadi kompleks. 7

Pencegahan penyakit infeksi menular di wilayah Sunan Kuning ditujukan kepada para WPS dan mucikari. Kepada para WPS, yaitu dengan memberikan informasi seputar infeksi menular seksual dan HIV/AIDS, khususnya bagaimana cara penularan dan pencegahan penyakit-penyakit tersebut. Selanjutnya adalah mengajak WPS agar rutin melakukan skrining-VCT dan para pelanggan agar selalu menggunakan kondom. Kepada para mucikari agar mengingatkan anak asuhnya (WPS) untuk selalu rutin melakukan skrining-VCT dan menganjurkan penggunaan kondom kepada para tamunya. 7

Salah satu kelompok berisiko adalah WPS di Resosialisasi Sunan Kuning Semarang. Lokalisasi Sunan Kuning merupakan lokalisasi yang paling besar di kota Semarang dengan hampir 719 populasi WPS (berdasarkan data PKBI kota Semarang tahun 2012) dengan jangkauan tersebar di Gang 1 sampai dengan Gang 6. 7

Pada pemetaan resosialisasi WPS Sunan Kuning WPS tercatat pada tahun 2012, jumlah populasi anak asuh Sunan Kuning ada 719 orang, jumlah wisma 162, jumlah pengasuh ada 158 orang, jumlah operator 250 orang, jumlah PE ada 30 orang.8

(12)

12 Gambar 1. Denah Resosialisasi Argorejo Semarang

B. Tujuan

1. Tujuan umum :

Menurunkan laju penularan HIV di kelompok risiko tinggi. 2. Tujuan khusus:

a. Meningkatkan pengetahuan dan pemahaman kelompok berisiko tinggi (719 WPS di Sunan Kuning) mengenai kesehatan reproduksi dan penyakit-penyakit yang dalam ditularkan melalui hubungan seksual.

b. Meningkatkan pengetahuan terkait HIV/AIDS pada kelompok risiko tinggi (719 WPS di Sunan Kuning).

c. Meningkatkan kesadaran dalam pemakaian kondom pada setiap transaksi seksual.

d. Merubah perilaku berisiko sehingga dapat mencegah penularan HIV/AIDS.

e. Meningkatkan partisipasi komunitas dalam kegiatan program yang telah dilaksanakan oleh griya ASA, misalnya dari WPS mau

(13)

13 melakukan skrining tiap 2 minggu, mengikuti saran dokter atau petugas kesehatan untuk melakukan VCT setiap 3 bulan sekali. f. Meningkatkan kemandirian WPS dalam mengakses layanan

kesehatan.

g. Menjamin tersedianya kondom sebanyak 20/minggu/WPS.

C. Sasaran

Sasaran dari kegiatan outreach ini adalah wanita pekerja seks (WPS) dan mucikari yang berada di daerah lokalisasi Sunan Kuning Semarang.

D. Target

Target yang ingin dicapai dalam outreach ini adalah mampu menekan jumlah penderita IMS dan HIV-AIDS dengan merubah perilaku menjadi lebih aman, diantaranya :

a. Seluruh WPS yaitu 719 WPS menggunakan kondom 100% b. Menurunnya angka IMS di Sunan Kuning menjadi 10%.

c. Seluruh WPS (719 WPS) melakukan VCT rutin setiap 3 bulan sekali dan skrining setiap 2 minggu sekali.

(14)

14 BAB II

STRATEGI OUTREACH

A. Definisi Outreach (Pendampingan)

Pendampingan adalah suatu metode komunikasi yang bertujuan mengubah perilaku klien menjadi perilaku yang diharapkan. Baik perilaku individual ataupun kelompok.

1. Tahapan perubahan perilaku : a. Awareness (sadar)

b. Pemahaman / pengertian c. Menentukan sikap d. Mencoba dan

e. Mengadopsi dimana diperlukan suasana penuh empati selama komunikasi berlangsung

2. Metode komunikasi :

a. Face to face, kelompok, massal

b. Pemahaman kapan, bagaimana, dimana, kepada siapa menentukan saluran / metode komunikasi

c. Alat bantu komunikasi / penggunaan alat bantu KIE, ditentukan

 Target perubahan perilaku

 Target waktu yang direncanakan

 Homogenitas sasaran

(15)

15 B. Kerangka Pendekatan Sistem

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pendekatan Sistem C. Input

1. Man : mahasiswa, ketua Griya ASA, koordinator lapangan outreach, pekerja lapangan (PL), WPS di Sunan Kuning, PE, ketua Resosialisasi Argorejo dan anggota resosialisasi.

2. Money : swadana mahasiswa

3. Material : laporan naratif kegiatan outreach, konsep dasar outreach

4. Method : pengamatan dan wawancara langsung 5. Machine : komputer, alat tulis, printer

D. Proses

1. Perencanaan (P1) :

a. Pertemuan dengan Kordinator Lapangan b. Pertemuan dengan pengurus resosialisasi c. Pertemuan dengan PL

d. Melakukan kontak dengan KD (kelompok diskusi) INPUT Man Money Method Material Machine PROSES P1 P2 P3 OUTPUT Cakupan program

(16)

16 2. Pelaksanaan (P2) :

a. Koordinasi dengan PL

b. Koordinasi dengan pengurus resosialisasi c. Mendatangi wisma tempat WPS

d. Mengamati dan mewawancarai WPS dan pengasuh e. Memberikan informasi tentang IMS, HIV dan AIDS f. Memberikan informasi mengenai pemakaian kondom g. Membantu KD menilai risiko mereka

h. Mendekatkan KD pada kegiatan sesuai kebutuhan mereka

3. Pengawasan, Pengendalian, Penilaian (P3) :

a. Mengawasi pelaksaanan sesuai dengan rencana yang dibuat, baik sasaran, waktu dan hasil yang dicapai.

b. Mengendalikan pelaksaanan kegiatan apabila didapatkan hal-hal yang tidak sesuai dengan perencanaan.

c. Menilai pelaksanaan kegiatan penjangkauan.

E. Output

1. Seluruh WPS yaitu 719 WPS menggunakan kondom 100% 2. Menurunnya angka IMS di Sunan Kuning menjadi 10%.

3. Seluruh WPS (719 WPS) melakukan VCT rutin setiap 3 bulan sekali dan skrining setiap 2 minggu sekali.

F. Indikator Keberhasilan

Indikator adalah alat untuk mengukur aktivitas yang kita kerjakan berhasil atau tidak dalam waktu yang telah ditetapkan. Indikator keberhasilan pada kegiatan outreach dilihat dari :

Diketahuinya jumlah WPS yang ada di lokasi dan kegiatan outreach dapat menjangkau seluruh WPS yang ada, melalui KIE dan distribusi kondom

(17)

17 yang merata untuk para WPS. Selain itu, outreach dapat mengidentifikasi seluruh PRK.

G. Prinsip Pelaksanaan

Prinsip pelaksanaan outreach melalui komunikasi yang empati, berkesinambungan dan KD sebagai objek.

H. Strategi

1. Petugas lapangan yang baik adalah sebagai berikut : a. Menguasai komunikasi empati

Strategi PL dan KL dalam mengembangkan komunikasi empati adalah dengan membangun kepercayaan saat pendampingan rutin dengan komunitas dengan cara selalu mendengarkan dan menghargai pendapat serta memberikan dorongan mental.

b. Menguasai teknik/ metode komunikasi c. Menguasai indikator.

2. Tugas petugas lapangan : a. Memberikan informasi

b. Mendistribusikan materi pencegahan dan media KIE c. Mempromosikan perilaku lebih aman

d. Merujuk KD

e. Memantau skrining dan VCT pada WPS

f. Melakukan penjangkauan kepada WPS baru dan pendampingan kepada WPS lama, terutama pada WPS yang masih menderita IMS positif selama 3 kali pemeriksaan

3. Kode etik petugas lapangan : a. Tidak memaksakan kehendak b. Menghormati privasi

c. Menjaga kerahasiaan KD

d. Tidak mengambil keuntungan pribadi e. Menjaga nama baik lembaga

(18)

18 f. Netral

g. Tidak berhubungan intim dengan KD h. Mengutamakan kepentingan lembaga i. Tidak mencampuri urusan pribadi KD j. Empati, non judmental dan sensitif gender k. Tidak mendiskriminasi atas dasar apapun 4. Tahap melakukan program outreach yaitu :

a. Penilaian kebutuhan segera

 Identifikasi masalah dan menentukan perilaku yang diharapkan

 Identifikasi KD dan memahami jaringan sosial, budaya dan lingkungan

 Pemahaman produk dan layanan yang tersedia di masyarakat

 Identifikasi pembuat keputusan kunci dan pemangku kepentingan di masyarakat

b. Perencanaan

Kegiatan ini terbagi menjadi 3 yaitu pemetaan, penjadwalan dan penempatan PL. Sebelum dilakukan pemetaan, dilakukan identifikasi kebutuhan kelompok dukungan, menentukan aktivitas dan struktur yang diperlukan untuk mengubah perilaku, membuat suatu rencana kerja baru setelah itu dilakukan kegiatan pemetaan.

Pemetaan adalah kegiatan rutin tentang situasi dan kondisi di lokalisasi. Mapping ini terkait dengan lingkungan sekitar lokalisasi yaitu tentang jumlah dan karakteristik (PRI/PRK) WPS (turn over), jumlah wisma / karaoke, jumlah outlet, jumlah dan karakteristik stakeholder non-pemerintah yang mendukung objek, warung, pengamen, operator karaoke, mucikari dan pengurus resosialisasi, pelayanan kesehatan yang ada di puskesmas, griya ASA, praktik swasta.

Untuk melaksanakan rencana, diperlukan penjadwalan. Prinsip penjadwalan adalah sesuai karakteristik, aspirasi dan kebutuhan KD, sesuai situasi lapangan dan sesuai jumlah target.

(19)

19 Sedangkan penempatan PL disesuaikan dengan pengalaman, spesialiasi dan jumlah PL , disesuaikan dengan tipe lokasi dan tipe KD dan kadang-kadang perlu disesuaikan juga dengan kesamaan jenis kelamin atau orientasi seks PL dengan KD.

c. Pelaksanaan

Pelaksanaan mencakup penjangkauan, pendampingan dan pengakhiran. Penjangkauan mencakup membuka akses dan meraih kepercayaan, mendistribusikan materi pencegahan & media KIE, memberikan informasi program dan isunya. Pendampingan meliputi mempromosikan perilaku lebih aman dan merujuk KD ke layanan terkait. Sedangkan pengakhiran meliputi pelaporan outreach. Kesemua hal tersebut dilakukan dengan pendekatan pada tingkat individu dan tingkat kelompok.

 Tingkat individu :

 Memberikan informasi tentang IMS, HIV dan AIDS  Membantu KD menilai risiko mereka

 Mendekatkan KD pada kegiatan sesuai yang mereka butuhkan

 Mendampingi KD untuk melakukan perubahan perilaku

 Tingkat kelompok :

 Membentuk Kelompok Dukungan Sebaya (KDS) dan memfasilitasi penilaian risiko kelompok

 Mendekatkan KD pada kegiatan yang seusai dengan kebutuhan mereka

 Melakukan Program Pendidikan Teman Sebaya

Informasi yang diberikan kepada KD adalah materi berupa IMS & HIV/AIDS meliputi cara penularan dan cara pencegahan yakni layanan skrining, klinik IMS, VCT, MK, CST, dan PMTCT agar KD mengetahui manfaat, tempat, waktu dan cara mengakses, informasi dan diskusi materi KIE dan pencegahan penularan IMS (melalui kondom dan pelicin).

(20)

20 d. Monitoring dan Evaluasi

Monitoring adalah suatu proses untuk melihat apakah kegiatan yang dilakukan sesuai dengan rencana atau tidak. Aspek yang dimonitor adalah pelaksanaan atau cara outreach, pencapaian target outreach dan kinerja serta kualitas petugas lapangan. Monitoring dilakukan dengan diadakannya pertemuan rutin antara petugas lapangan, field visit, wawancara dengan informan kunci, wawancara dengan pemegang kekuasaan dan wawancara dengan klien yang dipilih secara acak dan identitas dirahasiakan. Monitoring ini dilakukan sepanjang tahun.

Aspek yang dievaluasi meliputi angka kejadian IMS, perilaku penyediaan kondom, perilaku menawarkan kondom dalam minggu terakhir, penggunaan kondom pada hubungan seks terakhir, penggunaan kondom secara konsisten dalam seminggu terakhir dan perilaku pencarian kesehatan yang benar. Evaluasi ini dilakukan pada akhir tahun.

I. Kegiatan

Telah banyak kegiatan yang dilakukan Griya ASA untuk menahan epidemi IMS dan HIV-AIDS, antara lain :

a. Mapping rutin

Mapping adalah kegiatan rutin tentang situasi dan kondisi di lokalisasi. Mapping ini terkait dengan lingkungan sekitar lokalisasi yaitu, tentang jumlah dan karakteristik WPS (turn over), jumlah wisma/ karaoke, jumlah outlet kondom, jumlah dan karakteristik stakeholder non-pemerintah yang mendukung (ojek, warung, pengamen, operator karaoke, mucikari dan pengurus resosialisasi, pelayanan kesehatan yang ada puskesmas, Griya Asa, praktik swasta.) b. Pembentukan Peer Educator

Peer educator memegang peran penting dalam pelaksanaan outreach. Peer educator adalah pendidik sebaya yang berperan sebagai

(21)

21 penghubung antara petugas lapangan dengan KD dan sebagai sumber informasi terdekat bagi KD. Peer educator (PE) berasal dari KD, karena diharapkan proses penerimaan informasi akan berjalan dengan lebih mudah karena adanya profesi yang sama antara PE dengan KD. PE direkrut dari orang-orang yang memiliki kemampuan membaca dan menulis, berkemauan kuat serta merupakan orang yang cukup berpengaruh di lingkungan KD. PE yang ada sekarang ini sudah sebanyak 30 PE.

c. Pelatihan-pelatihan khususnya yang mendukung program

Pelatihan-pelatihan yang diadakan di lokalisasi bertujuan untuk memberikan tambahan informasi dan skill peserta. Misalnya pelatihan untuk PE yang berkaitan dengan informasi kesehatan, sadar gender dan HAM, pelatihan skill usaha (salon, membuat roti, berdagang baju, dll.) d. Advokasi pada pengurus resosialisasi dan tokoh masyarakat (birokrat

struktural kemasyarakatan, misalnya ketua RT, RW, kelurahan, dsb). Advokasi yang dilakukan untuk membentuk kerjasama yang saling menguntungkan antara Griya ASA dan pengurus resosialisasi serta tokoh masyarakat. Misalnya, adanya pendataan bagi WPS lokalisasi sebagai pekerja oleh pengurus resosialisasi dan Griya ASA, serta sebagai penduduk sementara oleh birokrat struktural kemasyarakatan. Dengan adanya data yang jelas, diharapkan dapat meminimalisir jika terdapat suatu kejadian yang tidak diinginkan.

J. Kegiatan-kegiatan outreach

Kegiatan outreach ini bermaksud untuk mencapai sasaran dan target terhadap indikator program kerja. Kegiatan lebih banyak ditekankan kepada penyuluhan rutin di Sunan Kuning. Untuk lebih memudahkan kegiatan ini, tim dibagi berdasarkan gang yang ada di Sunan Kuning, dimana di Sunan Kuning terdapat 6 gang. Hal ini dibuat untuk

(22)

22 memudahkan penyampaian materi kepada sasaran. Kegiatan-kegiatan yang dimaksud adalah :

1. PRK (penilaian risiko kelompok) 2. Penyuluhan stakeholder

PRK adalah salah satu bagian strategi outreach yang efektif, namun angka keberhasilan pencapaian tujuan lebih rendah dibandingkan PRI, namun PRI sudah tidak digunakan dengan alasan SDM yang kurang.

Dari keseluruhan pelaksanaan outreach, dengan ini diharapkan seluruh sasaran dapat mencapai tujuan – tujuan dengan indikator perubahan perilaku. Hal ini dapat dicapai dengan dilakukannya pemetaan, analisa situasi, penjadwalan, penempatan PL, penjangkauan dan pendampingan. Selain itu, secara rutin dilakukannya monitoring tiap bulan dan evaluasi setiap akhir tahun. Maka dari itu, akan dicapai target serta diharapkannya tercapai pengakhiran, salah satunya yaitu prosentasi kasus IMS dapat dicapai 0 %.

(23)

23 BAB III

LAPORAN

A. Identitas Pasien

Total responden yang diwawancara berkaitan dengan perubahan perilaku sebanyak 5 responden, antara lain 1 orang pengurus resosialisasi, 2 orang WPS, 1 orang mucikari (pengasuh) dan 1 orang PE (Peer Educator). Pemilihan responden WPS dan mucikari berdasarkan data dari klinik IMS Griya ASA yaitu 1 wisma yang anak asuhnya bersih dari IMS, 1 wisma yang anak asuhnya positif IMS.

 WPS di Wisma Sahara : Ny. I

 WPS di Wisma Sahara : Ny. M

 Mucikari di Wisma Sahara : Tn. B

Peer Educator : Ny. E

 Pengurus resosialisasi : Tn. S

B. Hasil Wawancara

1. Hasil wawancara dengan Pengurus Resosialisasi

Wawancara dilakukan di Gedung Pertemuan Sunan Kuning saat pembinaan berlangsung, hari Sabtu tanggal 6 April 2013, pukul 16.00 dengan narasumber Bapak Suwandi selaku ketua pengurus resosialisasi Sunan Kuning.

Wawancara ini dilakukan untuk mengetahui tujuan diwujudkan resosialisasi di Sunan Kuning, tenaga penggerak resosialisasi, serta program-program yang diwujudkan oleh pihak resosialisasi di Sunan Kuning serta permasalahan yang timbul dan cara menanganinya.

(24)

24 Tujuan diwujudkan resosialisasi di Sunan Kuning adalah untuk membantu pemerintah dalam mengurangi penyebaran IMS dan HIV, memastikan para WPS berada dalam keadaan sentiasa sehat, dan terhindar dari penyakit terutama penyakit menular seksual, HIV dan AIDS. Selain itu, resosialisasi ini adalah bertujuan untuk menjaga keamanan para WPS. Adapun konsep resosialisasi ini terdiri dari 3 indikator utama yaitu kesehatan, keamanan dan penentasan.

Walaupun resosialisasi yang diwujudkan ini terdiri dari berbagai tujuan, namun perkara yang paling ditekankan dalam resosialiasi ini adalah kesehatan, sehingga program-program yang dijalankan oleh pihak resosialisasi lebih terfokus ke arah masalah kesehatan para WPS di Sunan Kuning. Program-program yang dijalankan adalah berupa skrining terhadap Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Hasil dari skrining IMS dan HIV/AIDS ini dapat memberikan informasi mengenai status kesehatan penderita, sehingga dapat dilakukan penanggulangan terhadap IMS ataupun HIV/AIDS. Program skrining IMS dilakukan setiap 2 minggu pada WPS yang tidak menderita IMS dan 1 minggu sekali pada WPS yang menderita IMS. Sedangkan untuk program skrining HIV/AIDS diwujudkan program khusus yaitu VCT yang dianjurkan setiap 3 bulan. Selain itu, resosialisasi menjalankan beberapa kegiatan untuk meningkatkan kesadaran para WPS dalam bidang kesehatan antaranya seperti program pembinaan. Pembinaan ini dilaksanakan pada setiap hari Senin untuk gang 1 dan 2, hari Selasa gang 3 dan 4, hari Rabu untuk WPS yang tinggal di kos dan hari Kamis untuk gang 5 dan 6. Selain itu, terdapat juga kegiatan senam buat WPS yang dilaksanakan pada hari Sabtu.

Pihak resosialisasi juga bertanggungjawab dalam pendistribusian kondom ke WPS di Sunan Kuning yang menggunaan Peer Educator (PE) sebagai perantaranya. Pihak resosialisasi telah menetapkan bahwa

(25)

25 setiap WPS harus mempunyai minimal 20 kondom setiap minggu dalam program pencegahan IMS dan HIV/AIDS ini. Jika kondom sudah habis ataupun berkurang, WPS boleh membeli kondom tersebut di PE. Sedangkan PE yang bertanggungjawab di masing-masing gang harus memastikan setiap WPS di gang mereka mempunyai minimal 20 kondom setiap minggu.

Untuk memastikan tahap kesehatan WPS berada dalam keadaan yang baik, maka WPS diharapkan dapat mengikuti setiap program yang telah dianjurkan oleh pihak resosialisasi. Oleh karena itu, pihak resosialisasi menggunakan sistem absensi untuk memastikan setiap WPS mengikuti semua program tersebut, Namun, apabila WPS tidak mengikuti program-program dari resosialisasi, maka WPS harus memberikan alasan untuk tidak menghadiri program-program ini. Jika WPS gagal memberikan alasan untuk tidak menghadiri program maka akan diberikan sanksi oleh pihak resosialisasi sendiri. Sanksi yang diberikan kepada para WPS adalah bila tidak mengikuti senam pagi berupa denda uang sebesar Rp 50.000 atau satu sack semen dan bila tidak mengikuti program ini untuk yang kedua kalinya, WPS diwajibkan untuk mengikuti kelas malam, dan bila WPS tidak mengikuti program ini untuk yang ketiga kalinya, maka WPS akan dipulangkan ke daerah asal selama 3 bulan.

Untuk WPS yang diketahui memiliki penyakit IMS berulang sebanyak 3 kali, dikenakan sanksi yaitu dipulangkan ke daerah asal, dan pengobatan diserahkan pada unit kesehatan di daerah asal WPS tersebut.

Untuk pendaftaran WPS sendiri, ada beberapa syarat yang harus di penuhi, yaitu :

 Perempuan belum menikah / janda  Usia diatas 18 tahun

(26)

26  Fotokopi KTP atau identitas diri asli 1 lembar

 Pas foto ukran 3x4 4 lembar

 Wajib melampirkan bukti telah screening dan VCT  Wajib melampirkan surat pengantar RT pengasuh  Tidak mempunyai catatan criminal kepolisia

 Bersedia tinggal di dalam lingkungan resos Argorejo  Tidak sebagai pengguna narkoba dan psikotropika  Bersedia untuk tidak ber-tatoo

 Selalu menyetok, menawarkan, dan memakai kondom saat melakukan seks berisiko dengan tamu atau klien

 Bersedia mentaati peraturan lain yang dikeluarkan oleh resos Argorejo

Sanksi dan peraturan yang diwujudkan di Sunan Kuning ini adalah bertujuan untuk memastikan WPS yang berkerja di Sunan Kuning berdisiplin dan untuk mengurangi jumlah WPS yang menderita IMS dan HIV/AIDS. Namun, masih terdapat beberapa kendala dalam memastikan para WPS ini terhindar dari IMS ataupun HIV/AIDS, antara lain karena tidak semua pelanggan mau menggunakan kondom pada saat berhubungan. Selain itu, penularan IMS yang datang dari pasangan WPS, karena apabila melakukan hubungan seks dengan pasangan sendiri, WPS tidak pernah menggunakan kondom. Selain itu, banyak WPS yang diketahui kos di luar wismanya, sehingga para pengasuh tidak dapat maksimal mengawasi anak asuhnya. Hal ini masih menjadi masalah yang cukup serius.

2. Hasil wawancara dengan WPS non IMS

Wawancara dilakukan di Wisma gg. 4, pada hari Kamis, tanggal 4 April 2013, pukul 18.00 dengan narasumber I.

Seorang wanita dengan inisial NA, adalah seorang WPS berumur 34 tahun yang berasal dari Pekalongan . Pendidikan terakhir

(27)

27 NA adalah SD. I telah menjalani profesi sebagai pekerja seks komersil selama kurang lebih 3 tahun. NA berstatus janda, tidak punya anak kandung, tetapi memiliki 1 orang anak angkat. NA masih memiliki orang tua. Sebelum bekerja sebagai seorang pekerja seks komersial NA adalah seorang ibu rumah tangga, kemudian bercerai dengan suaminya karena tindak kekerasan dalam rumah tangga kurang lebih 4 tahun yang lalu.

Setiap hari rata-rata I mendapatkan tamu 2-5 orang, minimal 1 orang tamu. Dengan pendapatan per tamu sekitar Rp 150.000 atau lebih. Per bulan, I bisa mendapatkan penghasilan kira-kira sebesar Rp 5.000.000, yang sebagian I sisihkan untuk menghidupi kedua orang tuanya dan modal untuk menikah dan modal usaha toko sembako. I melakukan hubungan seks dengan pelanggannya melalui vagina dan oral. I sudah mempunyai keinginan untuk berhenti bekerja.

I rutin mengikuti skrining (setiap 2 minggu sekali) dan VCT teratur 4x/tahun serta belum pernah terdeteksi IMS maupun HIV. Terakhir skrining 2 minggu, VCT terakhir bulan Februari. NA rajin mengikuti sekolah setiap hari selasa (gang 3 dan 4). NA mengaku mengerti materi yang ia dapatkan di sekolah terutama tentang IMS dan HIV. NA selalu menggunakan kondom bila sedang bekerja dan setelah dipakai kondom diikat lalu dibuang ke tempat sampah. Bila ada pelanggan yang keberatan menggunakan kondom, I membujuk kliennya untuk mengenakan kondom, dan jika tetap menolak, maka X akan memilih tidak melayani. I selalu mempersiapkan kebutuhan kondom setiap harinya sebelum mulai bekerja dan tidak pernah kehabisan persediaan kondom.

Mucikari di wisma tempat NA bekerja selalu memberikan dukungan dengan cara mengingatkan kapan jadwal VCT dan skrining akan dilakukan..

(28)

28 3. Hasil wawancara WPS dengan IMS

Wawancara dilakukan di gg.V, Wisma B, Sunan Kuning pada hari Kamis, tanggal 4 April 2013, pukul 17.30 dengan narasumber D.

D adalah seorang WPS berusia 20 tahun, belum menikah dan merupakan seorang lulusan SD. D telah menjalani profesi sebagai WPS sejak 2 tahun yang lalu. Sebelum bekerja sebagai seorang WPS, D pernah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Semarang, namun D merasa tidak puas dengan pendapatan yang dihasilkan. D kemudiannya diajak oleh temannya untuk bekerja di Semarang dengan menjanjikan pendapatan yang lumayan. D setuju untuk bekerja di Sunan Kuning karena mendapat uang yang lumayan.

Rata-rata, D akan mendapat 2-4 orang tamu setiap hari dengan pendapatan sekitar Rp 150.000 atau lebih per tamu. Per bulan, M bisa mendapatkan penghasilan kira-kira Rp 5.000.000. Menurut M, sebagian dari uang nya akan dikirim ke keluarga dan yang lainnya dipakai buat kebutuhan sehariannya. D tidak memiliki pacar.

Dalam berhubungan seks dengan kliennya, selalu menggunakan kondom, namun untuk klien yang menolak menggunakan kondom dan memberikan tarif lbih, D bersedia melayaninya. D hanya membersihkan vagina bagian luarnya setelah berhubungan dengan kliennya.

Selama di Sunan Kuning, D mengaku tetap mengikuti peraturan yang telah ditetapkan oleh pihak Sunan Kuning. D rutin mengikuti skrining ( setiap 2 minggu sekali ) dan VCT teratur 4x/tahun serta. D rajin mengikuti pembinaan setiap hari kamis (gang 5-6). D mengaku mengerti materi yang ia dapatkan di sekolah terutama tentang IMS dan HIV.

3 bulan yang lalu, setelah diskrining, didapatkan bahwa D menderita IMS. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh perilaku D yang tidak menggunakan kondom saat melakukan hubungan seks dengan beberapa kliennya dan kebersihan vaginanya kurang baik. D sudah

(29)

29 diberikan obat oleh klinik Griya Asa, obat tersebut diminum satu kali sebanyak 4 tablet

4. Hasil wawancara dengan Mucikari Wisma Sahara

Wawancara dilakukan di rumah Tn. B di Wisma S, Sunan Kuning pada hari Kamis, tanggal 6 April 2013, pukul 18.00 dengan narasumber D.

Tn. B merupakan „GM‟ (General Manager) Wisma Sahara. Tn. B menjadi GM Wisma S baru sekitar 1 tahun. Wisma Sahara mempunyai 1 tempat karaoke, 4 kamar dan 1 dapur. Masing-masing kamar dilengkapi kamar mandi, AC, lemari, dan tv. Tn B dibantu oleh seorang kasir untuk mengurus Wisma S. Jumlah WPS di Wisma S adalah 4 orang, 3 orang tinggal di Wisama S dan 1 orang merupakan anak kos. Setiap menerima tamu, WPS harus menyetorkan Rp 15.000 ke kasir. Penghasilan rata-rata sekitar 5 juta per bulan.

Tn.B mengakui cukup memperhatikan anak-anak asuhnya, dengan mewajibkan pemakaian kondom pada anak asuhnya sehingga anak asuhnya dapat terhindar dari IMS. Pengasuh pun mengistirahatkan anak asuhnya dan tidak boleh menerima tamu jika anak asuhnya sedang sakit dan menyuruh memeriksakan diri ke klinik Griya Asa atau ke klinik 24 jam. Pengasuh mengharuskan anak asuhnya untuk membeli kondom ke PE lagi jika stok kurang dari 20 buah kondom per 1 minggu.

Pengasuh juga mendorong anak asuhnya untuk selalu mengikuti kegiatan wajib di SK seperti pembinaan, skrining, VCT, dan senam. Skrining dilakukan 2 minggu 1 kali bagi yang tidak menderitai IMS sedangkan pada WPS yang menderitai IMS dilakukan pemeriksaan 1 kali seminggu dan VCT tiap 3 bulan sekali. Apabila anak asuhnya melanggar kegiatan wajib di SK, pengasuh akan memberikan sanksi berupa teguran dan apabila tidak mengikuti pembinaan maka WPS harus menyumbangkan 50,000 rupiah atai 1 sack semen untuk

(30)

30 pembangunan gedung pembinaan di Sunan Kuning. Pengasuh mengerti tentang HIV serta IMS dan penularannya, juga mematuhi aturan yang ada di SK agar anak asuhnya tetap sehat dan tetap dapat bekerja.

5. Hasil wawancara dengan PE

Wawancara dilakukan di Wisma Hijau di Sunan Kuning, tanggal 4 Maret 2013 pukul 16.00 dengan narasumber E.

E merupakan seorang WPS berumur 40 tahun yang bekerja di salah satu wisma di Sunan Kuning. E sudah bekerja di Sunan Kuning kurang lebih 8 tahun. E mengaku bekerja di Sunan Kuning atas kemauan sendiri karena faktor ekonomi. Sebelum menjadi PE, E bekerja sebagai WPS selama 5 bulan di Sunan Kuning. E telah direkrut menjadi peer educator selama kurang lebih 8 tahun. E mengaku banyak mendapatkan pengalaman selama menjadi PE. E dipilih menjadi PE karena dianggap pengurus, E adalah orang yang berkemauan, mampu bersosialisasi dan berpengaruh di lingkungan. E merupakan salah satu seorang PE aktif di SK.

Banyak kegiatan yang diikuti E sebagai PE baik kegiatan di lingkungan Sunan Kuning maupun di luar Sunan Kuning. Diantaranya penyuluhan atau pelatihan mengenai kesehatan dari dinas kesehatan maupun lembaga lainnya serta saat pembinaan berlangsung. Setelah mendapatkan penyuluhan dan pelatihan, E bertugas menyampaikan atau memberikan informasi kepada teman lainnya baik secara formal dalam kegiatan maupun secara individu. Selain itu, pekerjaan E sebagai PE juga mendistribusikan kondom kepada teman-teman WPS lain di gang 1. E bertanggung jawab atas ketersediaan 24 dus kondom untuk setiap WPS per bulannya. E mengaku sangat senang menjadi PE, selain mendapat pengetahuan, E juga melakukan tugasnya secara

(31)

31 sukarela dan E sangat menyukai kegiatan kemanusiaan, kendala yang dihadapi E sebagai seorang PE sampai saat ini tidak ada.

Berikut adalah daftar pengurus Resosialisasi Sunan Kuning : Terdiri dari 15 Pengurus Aktif :

WPS dinyatakan tidak memerlukan pendampingan lagi apabila WPS sudah menggunakan kondom 100% dan hasil screening IMS negatif 3 kali berturut-turut. Selain itu, wisma dikatakan tidak memerlukan pendampingan lagi bila seluruh WPS nya memiliki hasil skrining yang selalu negatif, semua WPS menggunakan kondom 100%, seluruh WPS tinggal di wisma dan mucikari yang aktif selalu

Ketua I Suwandi Sie. Pembinaan & Kesenian M. Taufik Sekertaris I Suwarno Sekertaris II Slamet H. Bendahara I Iswanto Bendahara II Priharanto, SE Sie. Keamanan Sukron, Trimulyo, Sutrisno Sie. Motivasi Ani Veronica Sie. Humas M. Fauzi, Sunarto Ketua II Slamet S. Sie. Olahraga Jumirah

(32)

32 menanyakan jumlah dan pemakaian kondom kepada anak asuhnya serta selalu mengingatkan dan menegur apabila terdapat kesalahan.

C. Laporan Kegiatan 1. Senam

Hari, tanggal : Jumat, 1 Maret 2013. Jam : 06.00 - 07.30 WIB Lokasi : Sunan Kuning

Pelaksana : Pengurus Resosialisasi, instruktur senam Peserta : Seluruh WPS gang 1, 2, 3

Laporan : Telah dilaksanakan kegiatan jasmani berupa senam yang diikuti oleh seluruh peserta yang tegabung dari gang 1, 2, dan 3. Kegiatan ini dimaksudkan untuk menjaga kesehatan jasmani dari masing-masing peserta sehingga mereka tetap bugar.

2. Pembinaan

Hari, tanggal : Kamis, 28 Februari 2013 Jam : 09.00-12.00 WIB

Lokasi : Sunan Kuning

Pelaksana : Pengurus Resosialisasi, PKBI, Kepolisian Sektor Semarang Barat

Peserta : Seluruh WPS gang 5 dan 6 Laporan :

Telah dilaksanakan kegiatan pembinaan yang meliputi penyuluhan tentang kesehatan, skrining pada seluruh WPS gang 5 dan 6. Kegiatan ini bertujuan untuk membina kesehatan masing-masing peserta, memberikan kesadaran serta pemahaman akan pentingnya mencegah terinfeksi penyakit IMS. Selain itu, diharapkan baik WPS maupun pengasuh menjadi lebih disiplin untuk menjaga tingkah laku di luar area Resosialisasi.

(33)

33

BAB IV

KESIMPULAN & SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan terhadap WPS, mucikari, PE, PL dan pengurus resosialisasi, didapatkan hasil bahwa penularan IMS dan HIV masih belum dapat terkontrol dengan baik. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal yaitu:

 Cara memakai kondom yang tidak benar sehingga fungsi dari pemaikan kondom tidak dapat dicapai.

 Sulitnya mengontrol kesehatan dan perilaku seksual pasangan/pacar/tukiman dari WPS itu sendiri.

 Sulit mengontrol WPS yang tinggal di luar wisma, sehingga para pengasuh tidak dapat mengawasi anak asuhnya.

 Kurangnya sumber daya manusia dalam mendukung tercapainya tujuan dari resosialisasi tersebut dan mengcover semua WPS dalam hal KIE mengenai IMS, HIV dan AIDS.

SARAN

 Sebaiknya dilakukan pemantauan yang berkesinambungan oleh PL maupun pengurus resosialisasi, dan dilakukan tindak lanjut yang tegas untuk peraturan masalah kesehatan yang telah dilanggar.

 Melakukan screening dan KIE terhadap pacar para WPS, sehingga dapat mencegah penularan IMS dan HIV.

(34)

34  Diadakannya kursus keahlian seperti memasak, salon, terhadap para WPS, untuk bekal ketrampilan pekerjaan jika sudah keluar dari SK maupun berganti profesi nantinya.

 Kepada pengurus agar selalu memberikan motivasi kepada WPS untuk mengumpulkan modal sehingga nantinya dapat keluar dari SK dan bekerja mandiri untuk melanjutkan hidup yang lebih baik.

(35)

35 DAFTAR PUSTAKA

1. Prostitusi. Diunduh dari :

http://ayu.blog.fisip.uns.ac.id/2011/02/25/prostitusi/. Pada tanggal 3 Maret 2013, pukul 19.20.

2. Lokalisasi dan Dunia Prostitusi di Indonesia. Diunduh dari : http://sosbud.kompasiana.com/2010/09/22/lokalisasi-masih-perlukah-dipertahankan-263792.html. Pada tanggal 3 Maret 2013, pukul 19.30. 3. 6 Sampai 8 Juta Lelaki Indonesia Rutin ke Pelacuran. Diunduh dari :

http://lampost.co/berita/6-sampai-8-juta-lelaki-indonesia-rutin-ke-pelacuran. Pada tanggal 3 Maret 2013, pukul 19.46.

4. Sejarah KPA. Diunduh dari :

http://www.aidsindonesia.or.id/contents/1/3/Sejarah#sthash.GK5jdnwn.dpb s. Pada tanggal 3 Maret 2013, pukul 21.00

5. Info AIDS. Diunduh dari : http://www.aidsindonesia.com/p/info-aids.html. Pada tanggal 3 Maret 2013, pukul 21.05.

6. Semarang Duduki Peringkat Satu Penderita AIDS Di Jateng. Diunduh dari : http://www.jawaban.com/index.php/news/detail/id/91/news/121202031116 /limit/0/Semarang-Duduki-Peringkat-Satu-Penderita-AIDS-Di-Jateng. Pada tanggal 3 Maret 2013, pukul 22.15.

7. Outreach Sunan Kuning. Diunduh dari :

http://karikaturijo.blogspot.com/2010/08/outreach-sunan-kuning-juli-2010.html. Pada tanggal 3 Maret 2013, pukul 22.30. 8. Data resosialisasi Sunan Kuning 2012.

(36)

36 LAMPIRAN

(37)
(38)

Gambar

Gambar 2. Kerangka Pemikiran Pendekatan Sistem  C.  Input

Referensi

Dokumen terkait

Seperti halnya penerapan ICT berdasarkan sarana dan prasarana (infrastruktur) yang ada di Museum Angkut, dimana penerapan ICT ini bertujuan untuk mempermudah

Penyusunan tugas akhir ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh oleh setiap mahasiswa Jurusan Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas Diponegoro dalam

P (Participants) P1 dalam dialog tersebut adalah Lorna yang sedang berbicara pada P2 yaitu James... 145 No

BAB I Pendahuluan, bab ini terdiri dari Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Keaslian Penelitian, Tinjauan

4 2.000 buah alat diagnosis cepat (rapid diagnostic test/RDT), dan jumlah tersebut tidak hanya digunakan bagi ibu hamil, tetapi juga untuk pasien lain di luar ibu

Badan Usaha Milik Desa : badan hukum yang didirikan oleh desa dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset, mengembangkan investasi dan produktivitas,

20 Tahun 2001 Tentang Pemilikan Saham Dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing yakni dalam rangka lebih mempercepat peningkatan dan perluasan kegiatan

Bab I merupakan bab pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan,