• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VII DAMPAK KOMODIFIKASI HOMBO BATU TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA DI DESA BAWÖMATALUO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VII DAMPAK KOMODIFIKASI HOMBO BATU TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA DI DESA BAWÖMATALUO"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

102 BAB VII

DAMPAK KOMODIFIKASI HOMBO BATU TERHADAP KEHIDUPAN SOSIAL EKONOMI DAN SOSIAL BUDAYA DI DESA BAWÖMATALUO

7.1 Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi

Pengembangan dan pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan dampak-dampak yang dinilai positif, yaitu dampak yang diharapkan seperti peningkatan pendapatan masyarakat, peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak, keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Peningkatan pendapatan pemerintah dari bidang pariwisata juga akan mendorong pemerintah dalam membangun infrastruktur, sarana dan prasarana publik, sehingga dapat memajukan perekonomian daerah destinasi wisata.

Ada delapan kategori dampak pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat lokal dikemukakan oleh Cohen (1984) yang diulas kembali oleh Pitana dan Gayatri (2005: 109), antara lain:

1) Dampak terhadap penerimaan devisa; 2) Dampak terhadap pendapatan masyarakat; 3) Dampak terhadap kesempatan kerja; 4) Dampak terhadap harga-harga;

5) Dampak terhadap distribusi manfaat atau keuntungan; 6) Dampak terhadap kepemilikan dan kontrol;

(2)

8) Dampak terhadap pendapatan pemerintah.

Melalui hasil observasi selama di lapangan, ditemukan bahwa komodifikasi atraksi hombo batu sebagai daya tarik wisata di Desa Bawömataluo memiliki dampak terhadap kehidupan sosial ekonomi di desa tersebut. Dalam penelitian ini, dampak terhadap sosial ekonomi yang diamati difokuskan pada 3 (tiga) dari delapan dampak yang dirumuskan oleh Cohen. Ketiga dampak tersebut, yakni: dampak terhadap pendapatan masyarakat, dampak terhadap kesempatan kerja, dan dampak terhadap pembangunan pada umumnya.

7.1.1 Dampak Terhadap Pendapatan Masyarakat

Tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata telah membawa dampak terhadap perekonomian bagi masyarakat di daerah destinasi pariwisata yang berkembang itu. Perkembangan pariwisata pun membawa dampak pada seni dan kebudayaan yang dikomersialisasikan. Tradisi, seni dan budaya masyarakat lokal yang dijadikan sebagai komoditi dalam industri pariwisata, membawa dampak pada pengaruh pendapatan masyarakat yang terlibat di dalamnya.

Era globalisasi dan kapitalisme yang sedang terjadi dewasa ini telah masuk ke berbagai lini kehidupan. Meskipun agak sinis, namun pada kenyataannya memang sedang terjadi, apa yang dikatakan oleh Theodor Adorno—seorang kritikus Jerman—bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah semacam komodifikasi kebudayaan di dalam masyarakat kapitalisme. Komodifikasi bukan hanya menunjuk pada barang-barang berupa material. Dengan meminjam perkataan Adorno, Piliang (1997: 328) mengatakan bahwa komodifikasi telah merambat ke dalam dunia seni dan kebudayaan. Dalam bukunya yang lain (Dunia Yang Dilipat),

(3)

Piliang (2011: 359) mengatakan bahwa apa yang terjadi pada wajah ekonomi, juga terjadi pada wajah seni dan wajah kebudayaan pada umumnya. Fenomena-fenomena komodifikasi dan desakralisasi dalam komoditi-komoditi turisme merupakan bentuk realitas atas bedah kebudayaan. Sejalan dengan berubahnya bentuk-bentuk budaya menjadi komoditi pariwisata yang dikomersilkan, para pendukung komodifikasi budaya tersebut memperoleh manfaat secara ekonomi dari kegiatan pariwisata budaya ini.

Begitu juga dengan apa yang sedang terjadi pada atraksi hombo batu yang merupakan tradisi budaya lokal masyarakat Nias Selatan di Desa Bawömataluo. Komodifikasi hombo batu dengan segala atraksi pendukung lainnya, membawa manfaat ekonomi bagi masyarakat Desa Bawömataluo secara umum, dan khususnya kepada tim sanggar budaya yang mengelola dan terlibat dalam atraksi hombo batu ini, seperti penari penyambutan tamu (sogaele), penari tari perang (fatele dan maluaya), penari tari kreasi baru dengan syair yang berbahasa Nias Selatan, pemusik yang mengiringi atraksi dan tentu saja para pelompat batu (sifahombo).

Secara tidak langsung, masyarakat di Desa Bawömataluo telah menjadi bagian dari pariwisata di desa ini. Kegiatan para wisatawan selama berkunjung di Desa Bawömataluo yang terdorong oleh daya tarik hombo batu ikut mempengaruhi pendapatan masyarakat setempat. Jasa angkutan, ojek atau RBT, jasa pemandu wisata, penjualan berbagai bentuk souvenir, penjualan makanan dan minum merupakan beberapa contoh manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat setempat

(4)

dari kunjungan tamu di Desa Bawömataluo yang barang tentu mendatangkan income bagi mereka.

Demikian juga pengaruh komodifikasi hombo batu terhadap tim seni budaya dari Desa Bawömataluo. Bila pada era 1970-an yang menurut kesaksian Hikayat Manaö bahwa hombo batu hanya sebagai sarana olah raga ketangkasan bagi pemuda desa dan sesekali untuk keperluan hiburan dalam perayaan pesta nikah di desa tersebut, baik dari keluarga si’ulu maupun si’ila, maka saat ini tidaklah demikian. Dengan terjadinya komodifikasi terhadap atraksi hombo batu sebagai daya tarik wisata di desa ini, para pelaku kegiatan hombo batu dan rentetan tarian yang melekat pada atraksi tersebut, memperoleh pendapatan dari aktivitas pertunjukan ini.

Pendapatan secara ekonomis lainnya adalah kontribusi yang dikenakan pada pengunjung Desa Bawömataluo. Meskipun sedang dalam tahap rencana pengembangan lahan dan manajemen yang lebih terorganisir seperti pengadaan lahan parkir dimana sisi komersilnya tersirat, seperti yang disampaikan oleh Kepala Desa Bawömataluo, namun dapat dikalkulasikan betapa signifikan pendapatan dari sektor ini. Misalnya saja, pengenaan kontribusi terhadap pengunjung Rp. 5000 per orang. Menurut data yang diperoleh dari kantor kepala Desa Bawömataluo, jumlah pengunjung pada tahun 2011 sebanyak 102.473 orang. Dengan demikian, pendapatan dari kontribusi yang dikenakan kepada pengunjung per harinya rata-rata sekitar Rp. 1.425.000,-. Sayangnya, ketika hal ini dikonfirmasi kepada Kepala Desa Bawömataluo, Ariston Manaö, diakui bahwa kontribusi ini belum terkelola dengan baik. David Defianus Wau selaku pemuda desa setempat juga mengakui

(5)

bahwa manajemen kontribusi yang seharusnya dikenakan kepada pengunjung ini masih belum terlaksana dengan baik. Menurut David Wau, kemungkinan karena penduduk setempat, pemangku adat, kepala desa dan pelaku seni budaya di desa itu belum bersinergi dalam pengelolaan desa wisata Bawömataluo. 7.1.2 Dampak Terhadap Kesempatan Kerja

Sebagaimana telah diketahui pada gambaran umum Bawömataluo bahwa sebagian besar penduduknya berprofesi sebagai petani seperti halnya masyarakat Indonesia pada umumnya. Dengan hadirnya sektor pariwisata seperti memberikan angin segar bagi sumber mata pencaharian baru terhadap penduduk Desa Bawömataluo. Kebutuhan dan keinginan (needs and wants) wisatawan selama berkunjung ke Desa Bawömataluo yang tercetus dalam permintaan wisatawan, memicu penduduk desa setempat untuk memenuhinya karena dinilai bermanfaat secara ekonomis. Semakin banyak wisatawan dengan segala kebutuhan dan keinginan mereka, semakin banyak pula masyarakat yang dibutuhkan untuk mengambil bagian dalam pemenuhan permintaan wisatawan tersebut.

Pertunjukan hombo batu sebagai icon dalam atraksi seni budaya di Desa Bawömataluo biasanya dilakukan oleh 5 (lima) sampai 9 (sembilan) orang pelompat dengan umur berkisar 15 sampai 30 tahun. Biasanya harus ada pelompat batu senior yang merintis, memberi aba-aba kepada pelompat batu (sifahombo) dan menutup atraksi hombo batu tersebut. Apabila wisatawan dalam bentuk grup, maka rangkaian atraksi selain hombo batu adalah sogaele (tari penyambutan tamu) terdiri dari wanita-wanita anggun yang berjumlah antara 6 (enam) sampai 12 (dua belas) orang, penari tari perang (fatele) yaitu para pria yang mengawal para sogaele

(6)

dengan jumlah mereka sama dengan para sogaele, tarian kolosal oleh para pria yang disebut maluaya dengan jumlah mereka lebih banyak dari sifatele dan tari kreasi baru dengan diiringi musik tradisional khas Nias Selatan. Tarian ini dapat diikuti oleh semua tim dengan jumlah mereka berkisar antara 20 hingga 50 orang. Semakin banyak jumlah wisatawan dalam sebuah grup, semakin banyak pula seniman dari Desa Bawömataluo yang dilibatkan.

Selain memiliki dampak ekonomi terhadap tim atraksi hombo batu dan seni budaya Desa Bawömataluo, komodifikasi hombo batu juga secara tidak langsung berdampak pada kesempatan kerja. Wisatawan yang berkunjung ke Desa Bawömataluo, disamping menikmati atraksi hombo batu dan seni budaya, pasti berinteraksi juga dengan masyarakat setempat. Pemandu wisatawan setempat (local guide), alat transportasi seperti sepeda motor, mobil dan alat angkutan wisata lainnya, penjualan makanan dan minuman, merupakan layanan yang dibutuhkan oleh wisatawan. Aktivitas jasa ini membuka lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja bagi masyarakat setempat.

Pembuatan souvenir khas Desa Bawömataluo atau Maenamölö, pembuatan Kaos hombo batu dan Omo Sebua, mulai dari pencarian bahan, pengukiran miniatur rumah adat, miniatur sifatele dengan segala atribut yang melekat pada seorang prajurit perang khas Maenamölö, pembuatan gambar dalam bentuk sablon kaos yang “menjual” ciri khas Nias Selatan, merupakan kesempatan kerja yang terbuka lebar bagi penduduk setempat, termasuk para tenaga penjualan karya-karya seni tersebut. Gambar berikut ini merupakan beberapa contoh cendera mata yang bisa dipesan dan sering dijual oleh penduduk Desa Bawömataluo kepada

(7)

wisatawan baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Bahkan menurut kepala Desa Bawömataluo, Ariston Manaö, souvenir-souvenir itu sering dipesan oleh wisatawan Eropa seperti Jerman dan Belanda.

Gambar 7.1 Beberapa Contoh Souvenir Khas Maenamölö. Foto: Diadaptasi dari beberapa gambar souvenir yang ditunjukkan oleh Kepala Desa Bawömataluo.

Dari berbagai peluang kerja yang dipaparkan di atas, dapat dikatakan bahwa secara umum kesempatan kerja dari dampak komodifikasi atraksi hombo batu sebagai daya tarik wisata di Desa Bawömataluo merupakan kesempatan kerja langsung yang dirasakan oleh tim seni budaya atraksi hombo batu Desa Bawömataluo. Dampak langsung dalam kesempatan kerja juga dirasakan oleh para pembuat dan pedagang souvenir di Desa Bawömataluo. Sedangkan kesempatan kerja tidak langsung, dirasakan oleh masyarakat yang ikut ambil bagian dalam berbagai keperluan yang berhubungan atau bersinggungan dengan pemenuhan

(8)

kebutuhan para wisatawan selama berkunjung ke Desa Bawömataluo. Keterlibatan masyarakat ini dalam pemenuhan permintaan wisatawan, akan berpengaruh pada peningkatan jumlah wisatawan di Desa Bawömataluo sehingga komodifikasi atraksi hombo batu menjadi salah satu mata pencaharian andalan dari sektor pariwisata, khususnya di Desa Bawömataluo dan secara umum pada masyarakat sekitar daerah Maenamölö.

7.1.3 Dampak Terhadap Pembangunan Pada Umumnya

Dampak perkembangan pariwisata perpengaruh juga pada pendapatan pemerintah daerah tujuan wisata setempat. Begitu juga dengan Desa Bawömataluo, Kecamatan Fanayaman, Kabupaten Nias Selatan, Provinsi Sumatera Utara. Dengan adanya pendapatan pemerintah daerah dari sektor pariwisata akan mempengaruhi pembangunan di Desa Bawömataluo. Semakin bertambahnya jumlah wisatawan yang berkunjung ke Desa Bawömataluo akan mendorong pemerintah untuk memaksimalkan pembangunan sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pariwisata di Desa Bawömataluo dan beberapa destinasi pariwisata lainnya yang ada di Kabupaten Nias Selatan.

Daya tarik pertunjukan hombo batu yang merupakan warisan budaya yang unik sebab tidak terdapat atraksi yang serupa di daerah lainnya, ditambah dengan arsitektur rumah adat dan tinggalan batu-batu megalit yang menarik di Desa Bawömataluo, membuat minat wisatawan berkunjung ke desa ini semakin besar. Kondisi ini dipertegas oleh laporan BPS dalam Profil Daerah dan Informasi Kabupaten Nias Selatan 2009 bahwa sektor pariwisata merupakan salah satu sektor

(9)

andalan Kabupaten Nias Selatan dalam meningkatkan pendapatan asli daerah terutama dalam meningkatkan pendapatan masyarakat, maupun pendapatan daerah. “Kebupaten Nias Selatan memiliki banyak potensi destinasi wisata. Salah satunya adalah wisata budaya dan peninggalan sejarah seperti batu-batu megalit di desa Bawömataluo Kecamatan Fanayama. Tidak kalah rumah-rumah adat tradisional ditambah lagi dengan kesenian tradisional seperti atraksi tari perang dan tarian maena serta atraksi Lompat Batu yang telah tersohor di seluruh Nusantara bahkan mancanegara. Objek-objek wisata tersebut mampu memberikan daya tarik tersendiri bagi wisatawan mancanegara maupun domestik karena memiliki ciri khas yang unik. Untuk mendukung pengembangan sektor tersebut, turut didukung oleh tersedianya hotel/penginapan dan restoran di beberapa lokasi wisata.” (BPS Nias Selatan, 2009: 87).

Meskipun tidak dimuat tabel secara pasti berapa persen pendapatan dari sektor pariwisata bila dibandingkan dengan sektor lainnya sehingga dapat mendukung percepatan pembangunan dari sektor ini, namun BPS Nias Selatan 2009 pada lembaran lainnya dinyatakan bahwa ada dua sektor lapangan usaha yang cukup potensial dalam pembentukan PDRB Kabupaten Nias Selatan yakni sektor pertanian dan sektor pariwisata (dalam bentuk hotel dan restoran) yang masing-masing menyumbang di atas 15 persen angka PDRB. Ditambahkah oleh BPS (BPS Nias Selatan, 2009: 79) bahwa seiring meningkatnya pertumbuhan kedua sektor di atas, akan berimbas pada meningkatnya lapangan pekerjaan dan berimbas juga pada peningkatan tingkat kesejahteraan penduduk.

Manfaat dari pengembangan pariwisata terhadap pembangunan dicontohkan oleh Hikayat Manaö terhadap aksesibilitas Desa Bawömataluo ke beberapa kota di Pulau Nias, seperti Teluk Dalam dan Gunung Sitoli. Pria kelahiran tahun 1958 silam ini mengisahkan bahwa ketika mau mengenyam pendidikan SMA di kota Gunung Sitoli pada saat itu bukanlah hal yang mudah.

(10)

Kalau dewasa ini orang-orang bepergian ke luar negeri dengan mudah, tidaklah demikian pada masa-masa Hikayat menempuh SMA. Padahal sekolah menengah atas tersebut hanya sekitar 100 km dari desanya, Bawömataluo. “Bepergian ke Gunung Sitoli seperti mau ke luar negeri saja karena transportasi masih sulit. Kami menumpang kapal laut Rotella melalui Teluk Dalam. Kapal itu memuat sekitar 60 penumpang dan barang. Perjalanan ditempuh selama 9 jam.”

Cerita Manaö ini hampir sama dengan tulisan Koentjaraningrat (2004) yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1971 mengenai masalah pembangunan dan modernisasi di Nias. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa telah ada SMA dan IKIP di Nias namun letaknya di Kota Gunung Sitoli yang merupakan Ibu Kota dari Kepulauan Nias pada saat itu. Tulisan Koentjaraningrat berikut ini semakin mempertegas keadaan Nias Selatan pada masa muda Hikayat Manaö.

“Penghambat utama kemajuan di Nias (pada masa itu) terletak terutama dalam hal prasarana, baik di laut maupun di darat. Kapal yang menghubungkan Sibolga dan Nias hanya kapal-kapal kecil yang kebanyakan dibuat dari kayu, sehingga banyak yang pecah terkena badai. Di darat, jalan yang dilalui mobil hanya di pesisir sekitar Gunung Sitoli saja. Daerah pedalaman hanya dapat dilalui dengan berjalan kaki saja, sehingga pengangkutan di sana tergantung dari tenaga manusia belaka.” (Koentjaraningrat, 2004: 53-54)

Pengalaman Hikayat Manaö sangat jauh berbeda dengan keadaan sekarang ini. Meskipun belum semaju daerah lainnya dalam sistem transportasi, namun berkat promosi pariwisata yang dirintis oleh Sultan Hamengku Buwono IX pada tahun 1974, membuat pemerintah membuka akses ke Bawömataluo yang semula hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki menuju Teluk Dalam, berubah menjadi jalan raya yang bisa dilalui oleh kendaraan bermotor. Bahkan saat ini, akses ke Gunung Sitoli dengan jarak sekitar 100 km ke desa Bawömataluo ditempuh dengan

(11)

waktu kurang dari 2 jam perjalanan sebab jalan sudah hotmix. Dengan demikian, generasi muda tidak lagi mengalami kesulitan seperti yang dialami oleh Hikayat.

7.2 Dampak Terhadap Kehidupan Sosial Budaya

Di samping berdampak pada kehidupan sosial ekonomi, pariwisata juga berdampak pada kehidupan sosial budaya. Pitana dan Gayatri (2005: 117) menuangkan kembali dampak sosial budaya pariwisata yang dikelompokkan oleh Cohen (1984) ke dalam sepuluh kelompok besar, antara lain:

Dampak terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara masyarakat setempat dengan masyarakat yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi atau ketergantungannya;

1) Dampak terhadap hubungan interpersonal antara anggota masyarakat; 2) Dampak terhadap dasar-dasar organisasi/kelembangaan sosial; 3) Dampak terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata; 4) Dampak terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat; 5) Dampak terhadap pola pembagian kerja;

6) Dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial; 7) Dampak terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;

8) Dampak terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan 9) Dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

Dalam penelitian ini, dampak komodifikasi hombo batu terhadap sosial budaya yang diobservasi difokuskan pada 3 (tiga) dari sepuluh dampak yang dirumuskan oleh Cohen. Dampak-dampak tersebut yakni: dampak terhadap ritme

(12)

kehidupan sosial masyarakat, dampak terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial, dan dampak terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.

7.2.1 Dampak Terhadap Ritme Kehidupan Sosial Masyarakat

Pemasar populer Indonesia, Hermawan Kartajaya, menyatakan bahwa nilai sosial dan kebudayaan bukanlah sesuatu yang statis. Nilai-nilai ini terus-menerus bergerak secara dinamis, ketika nilai-nilai ini berinteraksi dengan nilai-nilai dari kebudayaan asing. Interaksi antar berbagai nilai yang berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda ini menyebabkan akulturasi kebudayaan. Menurut Kartajaya, masyarakat yang lebih sering berinteraksi dengan kebudayaan luar akan memperlihatkan kecenderungan terbuka dan toleran terhadap nilai-nilai baru. (Kartajaya & Yuswohadi, 2005: 25).

Akulturasi kebudayaan yang dikatakan oleh Kartajaya dapat dilihat dari ritme kehidupan sosial masyarakat di Desa Bawömataluo. Semakin seringnya wisatawan berkunjung ke Desa Bawömataluo untuk menyaksikan atraksi hombo batu berdampak pada perubahan ritme kehidupan sosial masyarakat setempat. Salah satu bentuk perubahan ritme kehidupan masyarakat di Desa Bawömataluo oleh karena sering berinteraksinya masyarakat dengan kebudayaan luar yang dibawa oleh wisatawan adalah sikap praktis dan komersil. Seperti yang disaksikan oleh Ina Hebron, bahwa masyarakat di Maenamölö pada umumnya sudah jarang melakukan kegiatan molalau bewewö dan manoso yakni menenun kain dan memberi corak atau warna pada tikar. Memang, kegiatan ini dulunya hanya untuk keperluan sehari-hari keluarga dan dijual kepada kerabat yang memerlukan. Namun, setelah pembangunan semakin berkembang dan pariwisata semakin

(13)

merasuk ke dalam kegiatan sehari-hari masyarakat, membawa ritme kehidupan masyarakat untuk berorientasi pada sisi komersil ‘yang lebih menguntungkan’ secara ekonomis sebab ketika dijual kepada wisatawan harganya jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga yang ditawar oleh masyarakat setempat.

Tikar bagi masyarakat di Nias Selatan pada umumnya, termasuk masyarakat Desa Bawömataluo, bukan lagi sekedar sebagai alas tidur utama masyarakat seperti sebelum era pariwisata dan modernisasi. “Dulu kan tikar sering dibuat karena kebutuhan sebagai alas tidur. Tapi sekarang tikar dibuat kalau ada pesanan aja dari tamu.” Ujar Ina Hebron yang kini lebih memilih usaha beternak ayam potong. Menurutnya, ayam potong lebih praktis dan lebih cepat menghasilkan uang. “Kalau membuat satu lembar tikar yang bagus dapat memakan waktu satu hingga dua minggu. Harganya paling mahal Rp. 250.000,-. Itu pun kalau tamu yang mesan. Kalau warga yang beli, paling banter Rp. 50.000,-. Sedangkan kebutuhan anak-anak banyak sekali.” Ujar ibu yang memiliki dua putra dan dua putri ini.

Seperti puluhan ibu rumah tangga lainnya yang ketika masih gadis diajari mowewewö (menenun tikar) oleh orang tua mereka, kegiatan tersebut kini mulai ditinggalkan dan lebih memilih berdagang, beternak atau bertani buah-buahan yang dapat dijual kepada wisatawan seperti pisang, nenas, manggis dan berbagai jenis buah-buahan musiman lainnya seperti durian dan mangga. Ritme perubahan kehidupan sosial budaya penduduk ini merupakan dampak dari modernisasi yang dibawa oleh wisatawan. Pada akhirnya, tikar ditenun sebagian besar tujuannya untuk dijual kepada wisatawan baik untuk cendera mata maupun untuk difungsikan

(14)

sebagai alas berjemur di Pantai Lagundri selama wisatawan tersebut berlibur di Nias Selatan.

Perubahan ritme kehidupan sosial yang tampak lebih mencolok lagi adalah kebiasaan para pemuda yang putus sekolah. David Wau menceritakan bahwa pada masa kecilnya, para pemuda desa yang tidak sekolah lagi, setiap pagi beriringan mengikuti langkah-langkah orang tua mereka untuk pergi ke ladang. “Lalu lalang orang ba giri newali (jalan umum di pekarangan desa adat di Nias Selatan) merupakan pemandangan biasa setiap pagi dan kembali pada petang harinya, kecuali hari Minggu karena libur dan harus ke gereja.” Ujar pemuda kelahiran 1981 ini. Rumah David yang berseberangan dengan Omo Ni Folasara memang termasuk strategis sehingga segala aktivitas yang ada di Desa Bawömataluo dapat disaksikan dari rumahnya. “Sekarang tidak seperti itu lagi. Para pemuda sudah banyak yang bersekolah ke kota bahkan ke luar daerah. Pemuda-pemuda yang tidak sekolah, mereka memilih jadi guide freelance, beach boy dan mamawa adu ba Jorake (menjual souvenir di Pantai Lagundri dan Sorake).” Pungkas David yang juga bergabung dalam anggota sanggar yang dipimpin oleh Hikayat Manaö. 7.2.2 Dampak Terhadap Stratifikasi dan Mobilitas Sosial

Secara adat istiadat, stratifikasi sosial di berbagai desa di Nias Selatan masih ada hingga saat ini. Pada masa Nias masih dalam prasejarah, tingkatan sosial masyarakat di Nias Selatan terbagi atas empat kelompok yaitu: (1) Kelompok bangsawan atau si’ulu; (2) Kelompok penasehat atau si’ila; (3) Kelompok masyarakat biasa atau sato; dan (4) kelompok budak atau sawuyu. Bahkan, di dalam buku yang ditulis oleh Wiradnyana (2010) membagi lebih detail mengenai

(15)

lapisan masyarakat di Nias Selatan. Kelompok si’ulu dibagi menjadi dua golongan yaitu balö ji’ulu (yang memerintah) dan si’ulu (bangsawan kebanyakan). Ono mbanua juga dibagi menjadi dua golongan, yaitu si’ila (para ahli dan pemuka rakyat) dan sato (rakyat kebanyakan). Sawuyu dibagi menjadi tiga golongan yaitu binu (budak yang kalah perang atau diculik), sondrara hare (budak karena tak mampu bayar hutang), dan hölitö (budak yang ditebus orang lain setelah mendapatkan hukuman mati).

Tulisan Wiradnyana tersebut di atas diakui oleh Emmanuel Fau selaku keturunan Namada Samofo (Pendiri dan yang mempertahankan daerah Maenamölö) bahwa hal itu pada jaman dulu benar adanya. Namun saat ini straktifikasi sosial dalam bentuk struktur masyarakat adat yang ada dewasa ini tinggal tiga bagian, yakni Si’ulu (bangsawan), Si’ila (para ahli dan pemuka masyarakat), Sato/Ono Mbanua (rakyat kebanyakan/para pemuda). Bahkan Bapak Bazamaoso Wau selaku Balö Ji’ulu di Desa Bawömataluo saat ini mengatakan bahwa di era globalisasi yang kian merasuk ke dalam sendi kehidupan masyarakat dewasa ini telah mengaburkan struktur sosial masyarakat. Para sarjana dan orang-orang yang merasa lebih baik secara ekonomi merasa lebih tinggi derajatnya dari pada si’ulu. “Ekonomi wa mana’öa jitatukö gofu hadia ia. Si’ulu ndraugö na ösöndra göu ba sato ndraugö na löna ö’ila manalui öu.” (Keadaan ekonomilah yang menentukan segalanya jaman sekarang ini. Kita akan diakui sebagai Si’ulu apabila kita mampu secara ekonomi. Namun sebaliknya, bila kita miskin, maka kita malah dianggap lebih rendah dari pada rakyat kebanyakan). Tutur Bapak Bazamaoso Wau.

(16)

Semakin kaburnya struktur lapisan masyarakat di Nias Selatan juga dipengaruhi oleh persamaan marga antara si’ulu, si’ila dan sato. Marga Wau misalnya, bisa terdapat dari golongan manapun. Balö Ji’ulu Desa Bawömataluo (Bapak Bazamaoso Wau) dan Desa Hiliamaetaniha (Bapak Amuri Zohahau Wau) adalah marga Wau. Dari golongan Si’ila dan sato juga banyak yang bermarga Wau di Nias Selatan. Tidak seperti di Bali atau Makassar, dari nama depan seseorang dapat diketahui orang tersebut dari golongan atau kasta mana. Di Nias Selatan, termasuk di Desa Bawömataluo, hanya orang-orang di desa tersebut yang mengetahui seseorang itu dari golongan bangsawan (si’ulu) atau rakyat biasa (sato). Kalaupun dari desa lain mengetahui golongan seseorang di desa tersebut disebabkan karena adanya hubungan kekerabatan.

Demikian juga halnya dalam pembentukan sebuah keluarga. Golongan Si’ilu sangat pantang menikah dengan golongan Si’ila, apalagi dari golongan sato. Bila terjadi pernikahan yang berbeda golongan ini, maka dari golongan si’ulu (terutama) akan mengucilkan saudara mereka yang menikah di luar golongan si’ulu. Seseorang yang berasal dari golongan si’ulu, terutama laki-laki, bila menikah dengan golongan lain di luar si’ulu maka hak-hak dia sebagai si’ulu secara tidak tertulis akan dikurangi. Misalnya, dalam urutan pembagian urakha mbanua (jamuan terhadap desa oleh seorang atau lebih warga desa), maka si’ulu yang tersebut akan disejajarkan bagiannya dengan sato yang notabene berada di urutan belakang. Dalam hal musyawarah desa (orahu), si’ulu yang menikahi warga biasa ini akan diminimalisir suaranya dalam pengambilan kebijakan dan keputusan di desa tersebut. Hal ini bahkan masih berlangsung hingga pasca agama Kristen

(17)

masuk ke wilayah Nias Selatan sampai pada masa populernya pariwisata di Nias Selatan.

Gambar 7.2. Potongan Babi Adat Pada Suatu Pernikahan, diurutkan berdasarkan gelar dan pangkat di daerah Maenamölö.

Bapak Amuri Zohahau Wau selaku Balo Ji’ulu Desa Hiliamaetaniha menjelaskan, sangat berbeda keadaannya pada jaman dahulu sebelum agama Kristen masuk ke Nias Selatan. “Dulu, nenek moyang kita orang kaya, apa aja yang mereka kehendaki, tersedia. Mereka juga berpoligami. Selain punya istri dari keturunan si’ulu, mereka juga memiliki gundik yang berasal dari rakyat kebanyakan (sato).” Ujar Balö Ji’ulu termuda di Nias Selatan ini. “Sekarang inggak bisa lagi seperti itu karena agama Kristen mengajarkan monogami.” Lanjut ayah empat anak ini. “Si’ulu meföna, so göi ba danö, ba so göi baomo. Oroma sibaiwa va’asi’ulu megötö ndra duada no. ba götö ndra amada wa’e irugi mana löna’e faoro harato ndraono ji’uluö.” (Bangsawan Nias Selatan jaman dulu, serba berkecukupan dan sangat menonjol kebangsawanan mereka hingga era kakek kita.

(18)

Mulai masa Ayah kitalah hingga dewasa ini sudah tidak kelihatan harta benda para keturunan Si’ulu). Terang pemilik gelar kesatria “Solawa Niha” ini.

Kondisi stratifikasi atau struktur masyarakat di Nias Selatan ini semakin rentan terhadap akulturasi budaya yang cenderung mengarah pada kesetaraan struktur sosial. Pengaruh kedatangan wisatawan terhadap struktur masyarakat Nias Selatan semakin tak terbendung. Pernikahan antar bangsa bukan berita asing lagi di daerah ini. Menikah dengan orang asing bukan hanya masyarakat dari golongan sato yang melakoni namun dari golongan si’ulu pun dewasa ini sudah menjadi hal yang lumrah terjadi.

Terkait dengan hal tersebut di atas, maka peranan si’ulu di beberapa Desa di Nias Selatan menjadi berkurang, terutama di beberapa desa yang sering dikunjungi oleh wisatawan dimana sebagian warganya menggantungkan mata pencahariannya pada kegiatan pariwisata. Desa Bawömataluo juga tidak luput dari perubahan ini. menurut pantauan penulis selama penelitian di lapangan, peranan kepala desa dan panglima adat di desa ini justru lebih menonjol. Dalam perencanaan pembangunan desa pun, peranan kepala desa sangat dominan meskipun kepala desa berasal dari golongan sato. Hal ini dapat terjadi oleh karena kecakapan dalam memimpin, kemampuan dalam berkomunikasi dengan dunia luar, menguasai bahasa Indonesia dan bahasa asing, selain kemampuan ekonomi yang lebih baik.

7.2.3 Dampak Terhadap Bidang Kesenian dan Adat Istiadat

Kemajuan pariwisata di Nias Selatan berdampak pada beberapa aspek kesenian dan kebudayaan di daerah ini. Khususnya di Desa Bawömataluo, promosi pariwisata yang dilakukan oleh Sultan Hamengkubuwono IX telah membangkitkan

(19)

kembali semangat para pemuda di desa ini untuk melestarikan tradisi atraksi hombo batu dan berbagai ritual adat khas Nias Selatan seperti Fatele, Maluaya, Famatö Harimao, Fogaele dan Famaena. Bapak P. Nehe selaku Kabid Kebudayaan dan Kesenian Kabupaten Nias Selatan bercerita bahwa setelah perang antardesa tidak terjadi lagi, masyarakat (kepulauan Nias pada saat itu) mulai jarang melakukan kegiatan lompat batu, fatele atau mogaele.

“Hal-hal yang bersifat adat istiadat khas Nias Selatan hanya terjadi ketika ada kematian si’ulu yang sangat disegani dan berpengaruh di kampung tersebut, maka ono mbanua (masyarakat desa) akan meratapinya dengan melakukan hoho (pantun semalaman suntuk yang mengisahkan sejarah tokoh yang meninggal tersebut) dan ketika hendak dikebumikan, peti jenazah tokoh tersebut diarak keliling kampung beberapa kali (la faluaya) sambil dieluk-elukkan (la hugö) kepahlawanannya.” (Nehe, wawancara Juni, 2011).

Pada masa transisi ini menurut Nehe, harta benda si’ulu sudah sangat berkurang sehingga dalam adat perkawinan pun sudah tidak lagi mempertunjukan atraksi besar seperti hombo batu. Hanya tarian maena yang biasa diadakan. Tarian maena merupakan tarian pesta perayaan khas Nias secara keseluruhan sehingga tidak menujukkan kelas sosial atau adat khas daerah tertentu di Nias. Dengan demikian, kisah Nehe, atraksi unik hombo batu pada saat itu hampir punah. Para pemuda yang masih latihan hombo batu hanya sebatas sebagai sarana olah raga. “Syukurnya, Bapak Sultan Hamengku Buwono IX berkunjung ke desa ini pada tahun 1978 dan membuka jalur promosi pariwisata budaya di Nias” timpal Hikayat Manaö dalam wawancara bersama kedua tokoh ini di kediaman Hikayat Manaö di Desa Bawömataluo.

Promosi pariwisata di Nias yang dilakukan oleh Sultan HB IX ini membawa dampak pada pelestarian kesenian dan adat-istiadat di daerah

(20)

Maenamölö. Para pemuda di daerah ini semakin giat dalam berlatih untuk menaklukkan batu bersusun yang tingginya rata-rata tidak kurang dari dua meter ini. Pemuda seperti Hikayat Manaö pada masa itu sangat termotivasi untuk menjadi yang terbaik dalam hal melompat batu sebab tidak hanya terdorong oleh keinginan menjadi yang terbaik dalam setiap lomba yang digalakkan atau karena dijanjikan menjadi tentara oleh Pangdam II Bukit Barisan, Soesilo Soedarman pada awal tahun 1980-an ini, tetapi mereka justru bersyukur sebab desa mereka semakin dikenal oleh dunia luar oleh karena atraksi yang unik ini.

Dampak komodifikasi atraksi hombo batu ini justru berpengaruh secara positif pada terlestarinya kesenian dan kebudayaan Nias Selatan, khususnya di Desa Bawömataluo. Masyarakat desa lebih memelihara kelestarian desa dan kesenian yang terkandung di dalam desa tersebut. Kebanggaan akan budaya sendiri juga menjadi tercipta sebab dunia luar mengakui eksistensinya. Benda-benda bersejarah pada akhirnya dirawat dan dipelihara sebaik mungkin demi sejarah dan Gambar 7.3 Kunjungan Sri Sultan HB

IX ke Desa Bawömataluo. Foto:

http://himse89.blogspot.com/2011/10/sultan -hamengkubuwono-ix.html

Gambar 7.4 Kediaman Seniman Bawömataluo, Hikayat Manaö

(Mengenakan Kemeja) dan Kabid Seni Budaya P. Nehe (Mengenakan topi).

(21)

kebanggaan akan desa atau pemukiman mereka. Meskipun pada kenyataannya bahwa masyarakat Nias Selatan mayoritas penduduknya menganut agama Kristen. Ketika terjadi penginjilan di Nias Selatan pada saat itu, hal-hal yang berbau mistis semacam ini hampir musnah, sebab ajaran Kristiani tidak menganut paham penyembahan terhadap nenek moyang. “Kita sudah sesuaikan dengan ajaran agama yang kita anut. Tidak mungkin budaya kita dihilangkan begitu saja. Tapi kita bersyukur agama Kristen masuk dan mengenal Tuhan Maha Pencipta yang sebenar-benarnya.” Tutur Hikayat Manaö ketika penulis mempertanyakan hal yang sepertinya paradoksal ini. Manaö menambahkan bahwa, hal-hal yang bersifat sejarah itu penting dicatat, dipelihara dan dilestarikan. Apalagi seperti atraksi hombo batu yang besifat heroik. Ini sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai dalam ajaran agama (Kristen).

Tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata seringkali bersifat instan dan praktis. Berbagai atraksi yang ditampilkan tidak lagi sesuai dengan praktek aslinya sebab justru komersialisasi seni-budaya yang dikedepankan. “Lihat saja Tari Ramayana yang biasa dipertunjukan dua atau tiga malam, demi dolar wisatawan dapat dilihat dalam waktu hanya satu jam. Lahirlah Tari Ramayana yang terpenggal-penggal” (Yoeti, 2008). Demikian juga dengan atraksi kemasan hombo batu dewasa ini. Hanya dapat disaksikan dalam beberapa menit. Padahal, pada jaman dahulu hombo batu berlangsung setiap saat disertai dengan tari-tarian seperti mogaele, maena, fadolihia, molau hoho dalam suatu perayaan yang berlangsung beberapa malam. Hal ini tercermin dari penggalan syair lagu yang diciptakan oleh Baniaro Nehe berikut.

(22)

Na tatoro tododa halowo ndra amada meföna. Me lafatua hili ba götö ndra Amada Rajo Sasolo.

Bewe hare-hare ma falagö, iri newali mato’anö, Bawagöli ni fobawa lasara. Ira hombo batu kho ndraono matua si hino dola.

Aero mbele-mbele mbatu va’ulu, ngaotu mate khora mbawi.

Lau ndra matua, ndra alawe laboji ndruri, lalau mogaele, lalau mo’ere ndra inada.

Aroro zamaigi maigi alau mata ndrangondrasi.

Bila diterjemahkan dalam bahasa Indonesia, maka syair ini dapat dipahami sebagai berikut:

Teringat akan kegiatan leluhur kita pada jaman dahulu. Ketika membangun wilayah pada masa Amada Rajo Sasolo.

Rumah adat telah rampung, jalan sudah rapi, pintu gerbang kampung megah. Ada pula atraksi lompat batu bagi para pemuda gagah perkasa.

Setiap pekarangan rumah terdapat lambang keperkasaan, ratusan ekor babi disembelih.

Baik laki-laki maupun wanita, bermain musik, menari, dan bersenandung. Terlena orang yang menyaksikan hingga pengunjung terkantuk-kantuk.

Syair ini menandakan bahwa acara tersebut tidak mungkin berlangsung hanya dalam dua hingga tiga jam. Pasti berhari-hari hingga membuat masyarakat aroro (terlena dan lupa akan pekerjaan lainnya oleh karena sesuatu yang menarik sedang disaksikan) dan pengunjung menjadi alau mata (pengunjung dalam hal ini adalah masyarakat dari desa lain yang diundang dalam acara tersebut). Mereka

(23)

menjadi mengantuk sekali oleh karena kemungkinan acaranya berlarut-larut dan berlangsung berhari-hari.

Apa yang terjadi pada jaman dulu, di era pariwisata saat ini menjadi terminiaturkan” dan serba “minimalis”. Atraksi budaya yang berlangsung berhari-hari, kini dikemas dalam kurun waktu hanya dalam satu sampai dua jam. Jaman memang sudah berubah. Dalam era globalisasi dan era pariwisata yang semakin diminati saat ini, semuanya serba dilakukan penyesuaian, penyederhanaan hingga pergeseran bentuk, fungsi maupun makna dari aslinya. Semuanya berakhir pada tujuan komodifikasi untuk menghasilkan keuntungan secara ekonomi.

Gambar

Gambar  7.1  Beberapa  Contoh  Souvenir  Khas  Maenamölö.  Foto:  Diadaptasi  dari  beberapa  gambar souvenir yang ditunjukkan oleh Kepala Desa Bawömataluo
Gambar 7.2. Potongan Babi Adat Pada Suatu Pernikahan, diurutkan berdasarkan gelar dan pangkat  di daerah Maenamölö
Gambar 7.4 Kediaman Seniman  Bawömataluo, Hikayat Manaö

Referensi

Dokumen terkait

variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah harga, kualitas produk, dan keputusan pembelian Citra merek, iklan, promosi penjualan dan penjualan secara langsung

Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan.. kegiatan

Variabel NPF secara parsial mempunyai pengaruh negatif tidak signifikan terhadap ROA dan berkontribusi sebesar 1.9 persen terhadap ROA pada Bank Umum Syariah

Para siswa saling memberikan umpan balik mengenai topik tersebut, mengenai tugas yang telah dikerjakan, dan mengenai keefektifan pengalaman-pengalamannya. Guru dan

Comparing the result of the proposed method in Figure 4-(a) and post-classification comparison result with 4 different pairs of pre- and post-disaster images in Figure

Berdasarkan informasi dari para pemangku dan tokoh masyarakat, tinggalan- tinggalan arkeologi berupa Arca Ganesa, arca- arca perwujudan, lingga, stambha, dan arca yang

Virtual Router Redudancy Protocol (VRRP) berjalan baik di Internet Protocol version 4 (IPv4) ditandai dengan nilai waktu perpindahan dan packet loss yang baik dan

Manfaat penelitian ini adalah memberikan rekomendasi bagi UNIKOM untuk mengembangkan dan meningkatkan keamanan jaringan komputer yang telah dimiliki dengan