• Tidak ada hasil yang ditemukan

Key words : Kata ganti orang pertama, kata ganti orang kedua, kata ganti orang ketiga, Bahasa Ibu, Pemelajar Bahasa Jepang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Key words : Kata ganti orang pertama, kata ganti orang kedua, kata ganti orang ketiga, Bahasa Ibu, Pemelajar Bahasa Jepang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENGARUH BAHASA IBU TERHADAP PENYEBUTAN KATA GANTI ORANG PERTAMA, KEDUA DAN KETIGA PADA PENGUNAAN BAHASA JEPANG DALAM

KALIMAT DESKRIPTIF – FOKUS PADA PEMBELAJAR DI INDONESIA TINGKAT MENENGAH KE ATAS –

Juariah, Riri Hendriati, Kun Makhsusy Permatasari Sastra Jepang – Fakultas Sastra

Juariah.unsada@gmail.com , riri_hendriati@yahoo.co.jp , tita.manis@gmail.com

ABSTRACT

Japanese learners Indonesian people are using the first person pronoun, "watashi" second person pronoun "anata", and the third person pronoun "Kare, chichi, haha, etc". This was apparent at the time of Japanese students make sentences in a variety of written and in everyday conversation. Students of Japanese learners still use the pronoun that is not appropriate when creating a sentence or make a conversation. Improper pronoun in identifying a thing about him is the meaning pertaining did nothing wrong and communications will remain intertwined. But pragmatically use the pronoun that does not cause the Japanese right conveyed into unnatural and raises "doubts" of the interlocutors about the dibicarakan.Salah one factor causes the closest and most unpredictable is the influence of the mother tongue. This is because in communicating with Indonesian pretty much rely on the word "I", "You" or "She". But with the state of Indonesian learners who have limited contact with the Japanese authors assumed the existence of other factors in addition to the influence of the mother tongue. So that through this research, the authors will conduct an analysis of the influence of Mother to speech pronouns Japanese language learners.

Key words : Kata ganti orang pertama, kata ganti orang kedua, kata ganti orang ketiga, Bahasa

Ibu, Pemelajar Bahasa Jepang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam penelitian yang telah kami lakukan sebelumnya berjudul “Analisis Penggunaan Kata Ganti Orang Pertama “Watashi” pada Kalimat Pembelajar Bahasa Jepang Baik Ragam Tulis Maupun Lisan_Fokus pada Pembelajar di Warga Negara Indonesia Tingkat Menengah ke Atas” diketemukan bahwa tidak hanya ada kesalahan pada kata ganti orang pertama saja pembelajar bahasa Jepang melakukan kesalahan, tetapi juga pada penggunaan kata ganti orang kedua dan ketiga.

Dalam Bahasa Jepang penggunaan kata ganti orang pertama, kedua dan ketiga dalam bahasa Jepang banyak sekali macamnya, tergantung situasi dan kondisinya. Misalnya untuk kata ganti orang pertama: watashi, watakushi, atashi, atakushi, boku, ore, washi, ware dan lain-lain.

(3)

Contoh kata ganti orang kedua antara lain: anata, kimi, omae, anta dan lain-lain, sedangkan untuk contoh kata ganti orang ketiga antara lain: konokata, kare, kanojo, koitsu, chichi, haha dan lain-lain. Ketika pembelajar sudah memasuki pelajaran dan komunikasi yang lebih tinggi dan luas, mereka dihadapkan dengan perbedaan bahasa dan budayanya sehingga tanpa disadari telah mempengaruhi pemahaman dan pemakaian penggunaan kata ganti orang dalam berkomunikasi. Kesalahan-kesalaham yang kerapkali diketemukan dalam kelas antara lain;

1. わたしのちちはかいしゃいんです。 (Watashi no chichi wa kaishain desu) Ayah saya seorang karyawan.

2. はじめまして、ぼくはアリです。 (Hajimemashite, boku wa Ari desu) Perkenalkan, saya Ari

Pada contoh kalimat pertama kesalahan pada kata watashi no chichi. Chichi dalam bahasa Jepang berarti ayah saya, sehingga pembicara tidak perlu lagi menambahkan dengan kata watashi lagi. Kesalahan pada kalimat kedua adalah boku yang berarti saya yang biasanya diucapkan oleh laki-laki dan biasanya diucapkan kepada seseorang yang sudah lama dikenalnya atau merasa akrab dengan pendengarnya.

Adanya perbedaan penggunaan bahasa ibu dan budaya diperkirakan oleh peneliti sebagai kendala untuk pembelajar bahasa Jepang tingkat pemula. Untuk membuktikan hipotesa tersebut dan apakah ada penyebab lainnya sehingga pembelajar kesulitan, maka peneliti melakukan penelitian ini dengan menganalis kesalahan-kesalahan pembelajar dalam menggunakan kata ganti orang dalam bahasa Jepang.

1.2 Tujuan Penelitian

Orang Indonesia terbiasa menggunakan kata ganti orang pertama, orang kedua maupun orang ketiga ketika melakukan aktifitas bahasa, seperti misalnya menggunakan kata “saya”, “kamu”, dan “dia”. Hal ini pun berdampak kepada orang Indonesia yang sedang memelajari Bahasa Jepang terutama pada saat membuat rangkaian kalimat baik dalam ragam tulis maupun ragam lisan. Pemelajar seringkali menggunakan kata ganti orang yang tidak tepat atau tidak sesuai dengan etika atau kaidah dalam bahasa Jepang.

(4)

Secara pragmatis, penggunaan kata ganti orang yang tidak tepat dapat menyebabkan bahasa Jepang yang disampaikan menjadi tidak alami, serta dapat menimbulkan keraguan dari lawan bicara.

Melalui penelitian ini kami mempunyai tujuan utama, Membuktikan adanya penggunaan kata ganti orang pertama, orang kedua dan orang ketiga pada ragam kalimat yang dibuat oleh pemelajar Bahasa Jepang di Indonesia dan apa saja yang menjadi penyebabnya serta merumuskan langkah pengajaran yang tepat dengan menganalisis pemakaian kata ganti orang antara bahasa ibu dengan bahasa yang sedang dipelajari, yaitu bahasa Jepang agar pengajaran berbahasa berhasil dengan baik. Sehingga tujuan penelitian ini adalah sebagaiberikut :

 Membuktikan adanya penggunaan kata ganti orang pertama, kedua, dan ketiga pada kalimat deskriptif yang di buat oleh pembelajar orang Indonesia.

 Menelusuri faktor penyebab terjadinya hal tersebut.

 Merumuskan langkah pengajaran yang tepat agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam pengertian tentang kata ganti orang pertama, kedua dan ketiga dalam bahasa Jepang.

1.3 Urgensi Hasil Penelitian

Penulis mengharapkan hasil penelitian ini nantinya dapat digunakan sebagai referensi untuk meningkatkan keterampilan berbahasa mahasiswa dan membantu mahasiswa untuk menyadari kesalahan berbahasa sehingga mahasiswa dapat menguasai bahasa yang sedang dipelajari. Selain itu dengan penelitian ini penulis juga berharap adanya perubahan terhadap pola pengajaran yang dilakukan oleh pengajar bahasa Jepang. Oleh karena itu penulis menggangap penelitian ini sangat penting.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Dalam bukunya yang berisi penjelasan mengenai tata bahasa Jepang tingkat menengah ke atas, Iori dkk menegaskan bahwa penggunaan kata ganti orang pertama dalam bahasa Jepang bukan dihilangkan namun lebih tepat jika dikatakan dipastikan waktu penggunaannya. Kata ganti orang pertama akan terdengar janggal pada jawaban untuk kalimat pertanyaan yang membutuhkan jawaban ya atau tidak (yes/no question). Kemudian kata ganti orang pertama juga akan terdengar janggal pada kalimat yang mengekspresikan perasaan dari alat indera, contohnya sebagai berikut :

(5)

Selanjutnya adalah waktu komunikasi yang mengizinkan kemunculan kata ganti orang pertama. Kata ganti orang pertama akan terdengar alami ketika mengekspresikan perbandingan, sebagai contoh :

② ゴールデンウィークに私は沖縄に行きます。

Dalam kalimat tersebut terkandung makna perbandingan bahwa “kalau jadwal liburan milik saya selama golden week adalah pergi ke Okinawa (mungkin jadwal orang lain akan berbeda) ”.

Kemudian kemunculan kata ganti orang pertama juga akan dinilai alami pada kalimat yang mengekspresikan kesimpulan, sebagai contoh :

③ 部長:今度の出張、誰が行ってくれるかな?

田中:{私が}行きます。

Lalu kemunculan kata ganti orang pertama juga akan dinilai alami pada kalimat yang menjelaskan tentang informasi asal usul yang berkaitan dengan penuturnya, sebagai contoh :

④ {私は}1974 年に生まれました。

⑤ {私は}10 年前にこの会社に入った。

Kata ganti sendiri dalam Bahasa Jepang tidak mengalami perunahan bentuk dan pada umumnya kata ganti orang membedakan pengertian tunggal dan jamak. Kata ganti orang dalam Bahasa Jepang juga mengandung perbedaan jenis laki-laki dan perempuan, tabel berikut ini adalah tabel kata ganti orang orang dalam Bahasa Jepang :

Jenis Kata ganti

Tunggal Jamak

Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Kata Ganti Orang I わたし (Watashi) わたし (Watashi) 私たち (Watashitachi) 私たち (Watashitachi) Kata Ganti Orang II あなた (Anata) あなた (Anata) あなたがた (Anatagata) あなたたち (Anatatachi) あなたがた (Anatagata) あなたたち (Anatatachi) Kata Ganti 彼 彼女 かれら 彼女たち

(6)

Disam ping kata ganti renmi diatas terdapat juga kata ganti tidak resmi dalam bahasa Jepang seperti Boku, Ore yang menunjukkan kata ganti orang pertama (Saya). Dan Kimi, Omae menunjukkan kata ganti orang kedua (Kamu)

Bahasa Sopan untuk orang kedua tidak ada tapi langsung kata yang menunjukkan nama + San atau Jabatan atau perannya.

Jenis Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan

1. Bahasa Berdasarkan Tahap Pemerolehan

Berdasarkan tahap pemerolehan, bahasa dapat dibedakan menjadi 3, yaitu bahasa ibu (bahasa pertama), bahasa kedua (ketiga dan seterusnya) dan bahasa asing.

(i) Bahasa Ibu

Bahasa ibu merupakan padanan untuk istilah Inggris native language, yaitu satu sistem linguistik yang pertama kali dipelajari secara alamiah dari ibu atau keluarga oleh anak. Sebagai contoh, bahasa ibu penduduk asli penduduk di lereng gunung merapi adalah bahasa Jawa dan bahasa ibu penduduk asli di tepi danau batur adalah bahasa Bali.

Bahasa ibu tidak mengacu pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu (atau biasa disebut bahasa sang ibu), melainkan mengacu pada bahasa yang dipelajari seorang anak dalam keluarga yang mengasuhnya. Sekarang ini di kota-kota besar seperti Surabaya, Yogyakarta, Semarang dll, banyak terjadi orang tua menggunakan bahasa daerah saat berkomunikasi berdua namun menggunakan bahasa Indonesia ketika berkomunikasi dengan anak mereka. Hal ini bisa dikatakan bahasa ibu si anak adalah bahasa Indonesia sebab bahasa itulah yang dipelajari anak dari keluarganya.

Bahasa ibu biasa disebut bahasa pertama karena bahasa itulah yang pertama dipelajari anak. Kalau kemudian si anak mempelajari bahasa lain yang bukan bahasa ibunya, maka bahasa lain yang dipelajarinya itu disebut bahasa kedua. Sedangkan bahasa lain lagi yang mungkin dipelajari anak setelah itu disebut bahasa ketiga, keempat dan seterusnya.

(7)

Pada penjelasan di atas telah disebutkan bahwa bahasa ibu tidak mengacu pada bahasa yang dikuasai dan digunakan oleh seorang ibu (bahasa sang ibu), maka untuk menghindari kesalahpahaman istilah, perlu dibedakan istilah antara bahasa ibu dengan bahasa sang ibu. Bila bahasa ibu adalah bahasa yang dipelajari anak, maka bahasa sang ibu adalah bahasa yang dipakai oleh orang dewasa pada waktu berbicara dengan anak yang sedang dalam proses memperoleh bahasa ibunya. Istilah ini dipakai sebagai padanan istilah Inggris motherese, parentese, atau child

directed speech.

(ii) Bahasa Kedua

Di atas telah disebutkan bahwa bahasa lain yang bukan bahasa ibunya yang dipelajari oleh anak, maka bahasa lain itu disebut bahasa kedua. Bahasa kedua ini bisa bahasa nasional, bahasa resmi negara, bahasa resmi kedaerahan, atau juga bahasa asing (bukan bahasa asli penduduk pribumi). Sebagai contoh, seorang anak yang tinggal di Yogyakarta mempelajari bahasa Jawa sebagai bahasa pertama yang diajarkan orangtuanya, kemudian saat memasuki bangku sekolah anak tersebut mendapat pengajaran bahasa Indonesia di sekolah, maka dalam hal ini bahasa Indonesia dapak dikatakan sebagai bahasa kedua si anak.

(iii) Bahasa Asing

Bahasa asing merupakan bahasa yang tidak digunakan oleh orang yang tinggal di sebuah tempat yang tertentu: misalnya, bahasa Indonesia dianggap sebagai sebuah bahasa yang asing di Australia. Bahasa asing juga merupakan sebuah bahasa yang tidak digunakan di tanah air / negara asal seseorang, misalnya; seorang penutur bahasa Indonesia yang tinggal di Australia boleh mengatakan bahwa bahasa Inggris adalah bahasa yang asing untuk dirinya sendiri. Bahasa Asing adalah bahasa selain Bahasa Indonesia dan bahasa daerah (Pasal 1 Angka 6 UU

Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, Dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan). Bahasa Inggris di Indonesia secara umum diajarkan sebagai bahasa asing. Istilah

'bahasa asing' dalam bidang pengajaran bahasa berbeda dengan 'bahasa kedua'. Bahasa asing adalah bahasa yang yang tidak digunakan sebagai alat komunikasi di negara tertentu di mana bahasa tersebut diajarkan. Sementara bahasa kedua adalah bahasa yang bukan bahasa utama namun menjadi salah satu bahasa yang digunakan secara umum di suatu negara.

(8)

3. METODE PENELITIAN

Sebagai metodologi yang digunakan dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan deskriptif, yaitu metode penelitian yang dilakukan semata-mata hanya berdasarkan pada fakta yang ada atau fenomena yang memang secara empiris hidup pada penutur-penuturnya sehingga yang dihasilkan atau yang dicatat berupa perian bahasa yang biasa dikatakan sifatnya potret : paparan seperti adanya (Sudaryanto, 1992 : 62).

Sebagai metode pengumpulan data akan penyebaran angket dengan berisi pertanyaan-pertanyan yang menunjukkan asal responden sehingga terlihat pengaruh Bahasa ibu dan angket yang berisi pertanyaan yang merupakan kemampuan penggunaan kata ganti orang Bahasa Jepang.Penyebaran angket dan wawancara dilakukan dengan target responden sebagai berikut :

 92 orang yang merupakan warga negara Indonesia dengan lama belajar bahasa Jepang minimal 2 tahun dan memiliki sertifkat kemampuan bahasa Jepang minimal level 4 (N4).  Kurang lebih 5 orang penutur asli bahasa Jepang sebagai acuan penggunaan bahasa yang

benar.

Untuk responden WNI, wawancara akan dilakukan dalam 2 bahasa, yaitu dimulai dengan wawancara dalam bahasa Jepang dan dilanjutkan dengan wawancara dalam bahasa Indonesia. Dalam wawancara, sebagai langkah awal, pembelajar akan diwawancara seputar riwayat belajar bahasa Jepang dan kesulitan yang dihadapinya. Sementara untuk penutur asli bahasa Jepang, akan diwawancara mengenai riwayat hidupnya selama di Indonesia (tujuan, kesan pertama, adaptasi budaya dsb). Untuk mempermudah proses analisis data suara hasil wawancara selanjutnya akan dirubah ke dalam bentuk tulisan.

Dari hasil wawancara yang sudah dirubah ke dalam bentuk teks, penulis akan mulai analisis data dengan proses klasifikasi berdasarkan tingkat kemampuan bahasa Jepang responden, status responden (WNI atau penutur asli) dan isi dari wawancara. Setelah itu, proses analisis akan dimulai dengan hasil data dari penutur asli lalu dilanjutkan ke data responden WNI. Dari analisi tersebut diharapkan hasil yang dapat membuktikan hipotesis penulis mengenai penggunaan kata ganti pertama orang pertama, kedua, dan ketiga pada sistem bahasa pembelajar atau pengajar bahasa Jepang di Indonesia.

Dalam proses pengumpulan data, sebagai rasa terima kasih penulis memberikan honor kepada setiap responden. Dengan ini penulis berharap kedua belah pihak baik penulis sebagai peneliti dan responden sebagai nara sumber bisa menjalankan tugasnya dengan nyaman dan baik.

(9)

4. HASIL YANG DICAPAI

Sebelum memaparkan hasil yang dicapai pada penelitian ini berikut ini adalah rincian data responden sebanyak 92 responden yang terdiri dari pembelajar Bahasa jepang tingakat menengah yang tersebar diseluruh Indonesia.

1. Data Responden

Data responden yang terkumpul merupakan data dari responden dengan latar belakang sebagai berikut : A.Gender responden • Laki-laki 35% • Perempuan 65% B.Usia Responden

C. Lingkungan tempat belajar Bahasa Jepang responden

65% 35%

Gender Responden

Perempuan Laki-laki 0% 24% 50% 26%

RENTANG usia

0-15 tahun 16-20 tahun 0 - 15 tahun 0% 16 - 20 tahun 24% 21 - 25 tahun 50% Lebih dari 25 tahun 26%

(10)

A. Lama belajar Bahasa Jepang responden

E. Kemampuan berbahasa Jepang (level Ujian N5-N1)

2% 86% 5% 7%

Lingkungan belajar

Bahasa jepang

SMU Universitas Kursus Lainnya 3% 21% 21% 55%

Lama belajar bahasa

jepang

Kurang 1 tahun

1 tahun lebih namun kurang dari 3 tahun Kurang dari 4 tahun

Lebih dari 4 tahun

SMU 2%

Universitas 86%

Kursus 5%

lainnya 7%

Kurang dari 1 tahun 3%

1 Tahun lebih namun kurang dari 3 tahun 21% Lebih dari 3 tahun kurang dari 4 21%

(11)

F. Bahasa ibu yang dipergunakan

2. Hasil Analisis data penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua “Anata” dan

1% 17% 34% 48%

KEMAMPUAN BAHASA

JEPANG

N1 N2 N3 N4-N5 92% 8%

Bahasa Ibu

Responden

Bahasa Indonesia Bahasa daerah • N1 1% • N2 17% • N3 34% • N4 dan N5 48% Bahasa Indonesia 93%

Bahasa 8% yang terdiri dari Bahasa minang 3%, Jawa 2% dan Sunda 1%

(12)

kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia perempuan), pada Kalimat deskripsi Bahasa Jepang.

Data terkumpul dari 92 responden. Dari 92 data, data yang valid dan bisa digunakan adalah 85 data (persentasi data yang valid 92%). Definisi data yang valid dalam penelitian ini adalah data yang dihasilkan dari proses pengisian terhadap pertanyaan angket secara keseluruhan dan memiliki bagian wacana perkenalan diri dan keluarga yang tertulis dalam bahasa Jepang. Adapun hasil analisis data tersebut dengan melihat jumlah kejanggalan dengan mengacu pada bebarapa parameter yaitu sebagai berikut:

 Lama belajar bahasa Jepang

Dari tabel berikut ini dapat diketahui bahwa semakin lama waktu belajar Bahasa Jepang tingkat kejanggalan dalam penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua

“Anata” dan kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia

perempuan), pada Kalimat deskripsi semakin kecil.

 Level bahasa Jepang (N1 – N5)

Hubungan kemampuan berbahasa jepang dengan tingkat kejanggalan dalam penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua “Anata” dan kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia perempuan), dll dari tabel dibawah ini dapat diketahui bahwa semakin rendah kemampuan berbahasa Jepang (N4-N5) maka tingkat kejanggalannya tinggi, sebaliknya semakin tinggi kemampuan berbahasa Jepang responden tingkat kejanggalan dalam penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" didalam kalimat perkenalan semakin rendah.

0 2 4 6

Kurang dari

1 tahun 1 tahunlebih Kurang dari3 tahun Lebih dari 4tahun

Ra ta -r ata Ke sa la ha n

Lama Belajar Bahasa Jepang

HUBUNGAN ANTARA

JUMLAH KEJANGGALAN

(13)

 Lingkungan belajar Bahasa Jepang

Dari tabel dibawah ini dapat diketahui bahwa lingkungan belajar Bahasa seseorang mempengaruhi kemampuan dalam berbahasa.Dari data responden dapat diketahui bahwa yang belajar bukan dari bangku sekolah atau universitas memiliki rata-rata kejanggalan dalam penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua “Anata” dan kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia perempuan),dll jauh lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang belajar secara resmi baik di kursus,SMU atau universitas.

 Frekuensi akses responden ke media berbahasa Jepang

0 0.5 1 1.5 N2 N3 N4 atau N5 Ra ta -r ata ke sj an gg al an

Kemampuan Berbahasa Jepang

HUBUNGAN KEMAMPUAN

BERBAHASA JEPANG DENGAN

RATA-RATA KEJANGGALAN

0 5 10 15 H U B U N G A N R A T A - R A T A K E J A N G G A L A N D E N G A N L I N G K U N G A N B E L A J A R B A H A S A J E P A N G

(14)

Dari tabel dibawah ini dapat diketahui bahwa responden yang memiliki "kejanggalan"sedikit dalam penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua

“Anata” dan kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia

perempuan), itu memiliki frekuensi akses ke media berbahasa Jepang lebih tinggi dari pada responden yang banyak memiliki kejanggalan.

 Pendapat responden terhadap tingkat kesulitan bahasa Jepang (Sulit, Lumayan, dsb) Dari tabel berikut ini dapat diketahui secara menarik bahwa responden yang merasa Bahasa Jepang itu mudah lebih rendah tingkat kejanggalan dalam rata-rata penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua “Anata” dan kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia perempuan) dalam kalimat deskripsi dan responden yang merasa Bahasa Jepang itu lumayan mudah maupun yang merasa sulit hanya memiliki perbedaan yang sangat tipis.

0 0.51 1.5

1 minggu 1 kali 1 hari 1 kali 1 hari lebih dari 1 kali Ra ta -R ata Ke ja ng ga la n

Frekuensi Akses ke Media Bahasa Jepang

HUBUNGAN

RATA-RATA KEJANGGALAN

DENGAN FREKUENSI …

(15)

0 1 2

16 - 20 tahun 21 - 25 tahun 26 tahun ke atas

a-Ra ta Ke ja ng ga la n TIngkat Usia

HUBUNGAN RATA-RATA

KEJANGGALAN DENGAN

TINGKAT USIA

 Tingkat usia

Dari tabel dibawah ini dapat jelas terlihat tingkat usia 16-20 tahun memiliki rata-rata kejanggalan lebih tinggi dibandingkan dengan usia 21-25 namun usia 26 keatas juga memiliki nilai rata-rata kejanggalan lebih tinggi dibandingkan dengan responden usia 21-25 tahun.

 Bahasa Ibu

Dari tabel dibawah ini terdapat hal yang menarik dimana dapat terlihat responden yang Bahasa ibunya Bahasa Indonesia memiliki kejanggalan lebih tinggi dibandingkan dengan responden yang menggunakan Bahasa daerah sebagai Bahasa Ibunya.

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4

Lumayan mudah Mudah Sulit Sangat sulit

Ra ta -R ata Ke ja ng ga la n

Rasa Tingkat Kesulitan

H UB UN G AN RATA -RATA K E JA NGGA LAN D E N G AN RA SA T I N GK AT K ESULI TAN

(16)

0 1 2 3

Padang Jawa Sunda

KEJANGGALAN DALAM PENGGUNA

BAHASA DAERAH SEBAGAI BAHASA IBU

Dan yang lebih menarik lagi pengguna Bahasa daerah minang sebagai Bahasa ibu memiliki tingkat kejanggalan paling tinggi dibandingkan dengan pembelajar Bahasa Jepang yang menggunakan Bahasa jawa atau Bahasa sunda sebagai Bahasa ibu, terlihat dalam tabel berikut ini.

6. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan

Dari analisis data yang sudah dilakukan dibab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa: 1. Terdapat kecenderungan bahwa semakin lama periode belajar dari pembelajar, maka

semakin kecil kemungkinan terjadinya kesalahan dalam produksi bahasa. Hal ini merupakan hal yang wajar terjadi dan dapat dilihat dari jumlah kesalahan atau kejanggalan dalam produksi bahasa pembelajar yang semakin mengecil pada pembelajar dengan periode belajar yang lebih panjang. Hal ini dikarenakan seiring dengan bertambahnya waktu atau periode belajar pembelajar maka semakin banyak dan bervariasi juga perbendaharaan pola dan kata bahasa Jepang yang dikuasai oleh pembelajar.

2. Kemudian relasi antara kesalahan atau kejanggalan produksi bahasa juga terlihat dalam hal

0.6 0.8 1 1.2

Bahasa Indonesia Bahasa Daerah

HUBUNGAN RATA-RATA

KEJANGGALAN DENGAN …

(17)

keminatan pembelajar terhadap budaya atau media yang menggunakan bahasa Jepang. Hal ini dapat dilihat dari grafik yang menggambarkan keminatan pembelajar kepada media berbahasa Jepang dan frekuensi akses pembelajar terhadap jenis-jenis informasi tersebut. Semakin banyak hal yang disukai dari budaya negara yang pembelajar pelajari bahasanya dan semakin sering pembelajar mengakses informasi mengenai hal tersebut maka semakin minim juga tingkat kesalahan atau kejanggalan dalam produksi bahasanya.

3. Dari hasil analisis juga kita dapat melihat bahwa pembelajar yang belajar di lingkungan yang memiliki lebih banyak akses ke input bahasa Jepang maka semakin minim juga tingkat kesalahan atau kejanggalan dalam produksi bahasanya.

4. Dari penelitian ini dapat terlihat juga bahwa pembelajar Bahasa Jepang yang menggunakan Bahasa Indonesia dan Bahasa Minang sebagai Bahasa ibu memiliki kejanggalan penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua “Anata” dan kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia perempuan) dalam kalimat deskripsi dibandingkan dengan responden yang berbahasa ibu Bahasa jawa maupun sunda.

5. Di akhir simpulan, kita dapat melihat dan membuktikan peranan besar-kecilnya input dalam penggunaan bahasa Jepang dalam hal ini adalah penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua “Anata” dan kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia perempuan) dalam kalimat deskripsi.

6.2 Saran

Skala penelitian ini masih sangat kecil yaitu hanya menyoroti penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua “Anata” dan kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia perempuan) dalam kalimat deskripsi pada output pembelajar bahasa Jepang baik lisan maupun tulisan. Dari penelitian ini kita dapat melihat sedikit gambaran mengenai besarnya peranan input dalam proses pembelajaran bahasa Jepang. Semakin banyak dan intens si-pembelajar menerima input bahasa maka semakin baik juga output yang dihasilkan. Jika dianalogikan, pembelajar diibaratkan seperti mesin produksi di pabrik yang menerima informasi bagaimana bentuk cetakan atau blueprint dari produk yang akan dihasilkan. Jika informasi mengenai bagaimana bentuk cetakan atau blueprint dari produk tersebut sangat detail dalam artian banyak atau memiliki frekuensi tinggi maka semakin baik pula bentuk cetakan atau

(18)

blueprint dari produk tersebut sehingga bisa menghasilkan output dengan tingkat kesempurnaan

produksi yang tinggi.

Dari hal ini kita bisa merefleksikannya dalam proses belajar-mengajar bahasa Jepang dalam bentuk dengan mempriorotasikan banyak memberikan input bahasa berupa contoh penggunaan daripada memberikan penjelasan gramatikal yang panjang. Dari hal tersebut, pembelajar akan dapat mempelajari konteks bahasa secara langsung dan menemukan makna bahasa dalam konteks tersebut.

Selain itu, kita juga sebagai pengajar dapat memotivasi pembelajar untuk lebih banyak dan intens dalam mengakses informasi atau media yang menggunakan bahasa Jepang. Dari saran sebelumnya mungkin hal ini yang akan direspon dengan sangat baik oleh pembelajar karena dalam hal mempelajari bahasa Jepang kita bisa mengakses informasi atau media yang berupa drama seri, serial animasi, komik, dan hal lain yang sifatnya menghibur. Namun kita sebagai pengajar juga harus tetap memantau dan memberikan feedback atas akses atau konsumsi informasi berbahasa Jepang yang dilakukan oleh pembelajar. Hal ini disebabkan oleh banyak juga input, terutama dalam hal yang bersifat fiksi yang berkaitan dengan hal non-kebahasaan seperti pembentukan karakter tokoh cerita dan sebagainya yang bisa mengakibatkan penggunaan bahasa Jepang yang tidak lazim.

Dalam penelitian kali ini hanya ditampilkan hasil analisis dapat diperoleh gambaran bahwa pengaruh Bahasa ibu dalam kejanggalan penggunaan kata ganti Bahasa Jepang, meski didalam lampiran kami tampilkan kejanggalan-kejanggalan yang terjadi namun daalam penelitian selanjutnya diperlukan penelitian lanjutan mengenai analisis kesalahan dalam penggunaan kata ganti orang pertama "Watashi" kedua “Anata” dan kata ganti orang ketiga “kare” (Dia laki-laki) atau “kanojo” (dia perempuan) dalam kalimat deskripsi secara lebih mendalam sehingga dapat dilihat kesalahan kesalahan apasaja yang ditemukan sehingga menjadi acuan pengajar Bahasa jepang dalam pengajaran Bahasa.

DAFTAR PUSTAKA

(19)

Iori Isao dkk. 2000. Shokyu wo Oshieru Hito no tame no Nihongo Bunpo Handbook. 3A Network., Jepang

Ito Kosuke. 1997. Nihongo no Shukaku wo Hyouji suru Joshi no Kaisouteki Bunseki. Ishikawa Nou Tankidaigaku Hou 27: 13-26

Ishizawa Hiroko. 2005. Minna no Nihongo I. 3A Network., Jepang 14

Ichikawa Yasuko. 2009. Shokyu Nihongo Bunpo to Oshiekata no Pointo. 3A Network., Jepang Kudo Hiroshi. 1996. Nihongo Yousetsu. Hitsuji Shobo., Jepang

Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik. Gadjah Mada University Press., Indonesia

Tanaka Hiroshi. 2006. Hajimete no tame no Nihongo no Oshiekata Handbook. Kokusaigogakusha., Jepang

Referensi

Dokumen terkait

Uji toksisitas tahap awal dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dilakukan terhadap ekstrak kental n -heksana dan metanol untuk mengetahui aktivitas

(2005) yang mengkaji suhu ion dan elektron di lapisan F ionosfera pada kawasan India ketika suria minimum tahun 1995 - 1996 mendapati bahawa suhu ion dan elektron adalah berkadar

Dasar pertimbangan peneliti memilih SDN 1 Prigi Kebumen sebagai lokasi penelitian dikarenakan (1) pembelajaran IPS yang di sekolah tersebut masih bersifat

Pengantar $ebuah diskusi dalarn pelatihan keuangan menjadi penga- Iaman menarik karena ternyata banyak di antara peserta diskusi tersebut mengalami, merasakan, dan

38190 HUKUM UNIVERSITAS SURABAYA 1992 FAKULTAS

Persiapan yaitu langkah-langkah yang harus dilakukan sebelum melakukan pemeliharaan, agar pemeliharaan dapat dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, meliputi : Persiapan perintah

Pada penelitian ini subtitusi tepung daun singkong fermentasi pada perlakuan P1 untuk tepung ikan 3% dan tepung jagung 7%, ini merupakan komposisi yang baik untuk pakan

Karena kualitas lembaran pulp kulit durian rendah maka pulp tersebut dibuat untuk kertas dasar untuk kertas bungkus berlaminasi plastik yang persyaratan