• Tidak ada hasil yang ditemukan

IDENTIFIKASI DAN DETEKSI MULTIPLEX REVERSE TRANSCRIPTION POLYMERASE CHAIN REACTION

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IDENTIFIKASI DAN DETEKSI MULTIPLEX REVERSE TRANSCRIPTION POLYMERASE CHAIN REACTION"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAN DETEKSI MULTIPLEX REVERSE

TRANSCRIPTION POLYMERASE CHAIN REACTION

VIRUS – VIRUS PENYEBAB GEJALA MOSAIK

PADA NILAM (Pogostemon cablin BENTH.)

MIFTAKHUROHMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Identifikasi dan Deteksi Multiplex Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction Virus – Virus

Penyebab Gejala Mosaik pada Nilam (Pogostemon cablin Benth.) adalah

benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013 Miftakhurohmah NIM A352100031

*Pelimpahan hak cipta atas karya tulis dari penelitian kerjasama dengan pihak luar IPB harus didasarkan pada perjanjian kerja sama yang terkait.

(4)
(5)

RINGKASAN

MIFTAKHUROHMAH. Identifikasi dan Deteksi Multiplex Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction Virus – Virus Penyebab Gejala Mosaik pada Nilam (Pogostemon cablin Benth.). Dibimbing oleh GEDE SUASTIKA dan TRI ASMIRA DAMAYANTI.

Nilam merupakan salah satu sumber devisa Indonesia dan Indonesia menjadi penyuplai terbesar kebutuhan minyak nilam dunia. Salah satu kendala dalam budidaya nilam adalah infeksi virus. Informasi tentang virus – virus yang menginfeksi tanaman nilam masih terbatas. Oleh karena itu penelitian ini bertujuan untuk mendeteksi dan mengidentifikasi virus – virus yang berasosiasi dengan gejala mosaik pada tanaman nilam secara serologi dan molekuler.

Pengambilan sampel dan pengamatan gejala infeksi virus dilakukan di tiga lokasi pertanaman nilam, yaitu Manoko (Bandung Barat), Cicurug (Sukabumi) dan Cijeruk (Bogor). Setiap lokasi dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 tanaman baik yang bergejala maupun tidak. Deteksi secara serologi dilakukan menggunakan empat antiserum : Cymbidium mosaic virus (CymMV), Broad bead wilt virus 2 (BBWV2), Cucumber mosaic virus (CMV) dan Potyvirus. Identifikasi secara molekuler dilakukan meliputi amplifikasi DNA virus tanaman dengan reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR), perunutan DNA, dan analisis hasil runutan DNA. Untuk pengembangan deteksi cepat secara molekuler dilakukan multiplex reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) dengan menggunakan delapan variasi kombinasi konsentrasi primer (I, II, III, IV, V, VI, VII dan VIII).

Kejadian infeksi Potyvirus di Manoko sebesar 100%, di Cicurug 83.3% dan 50.0% di Cijeruk. Kejadian infeksi BBWV2 sebesar 100% di Manoko, 73.3% di Cicurug dan 90.0% di Cijeruk. Kejadian infeksi CymMV sebesar 3.3% di Manoko dan Cicurug, sedangkan kejadian CMV di Cicurug sebesar 80.0% dan 13.3% di Cijeruk. Semua pasangan primer yang digunakan berhasil mengamplifikasi semua virus, dan mengkonfirmasi deteksi secara serologi. Analisis homologi runutan nukleotida dan asam amino menunjukkan bahwa isolat BBWV2 Manoko memiliki homologi tertinggi dengan BBWV2 asal Singapura (tanaman inang Megakepasma erythroclamys / ME). Isolat BBWV2 Manoko mengelompok dengan isolat BBWV2 asal Singapura (ME), Cina (lada) dan Korea Selatan (cabai merah) berdasarkan runutan nukleotida dan asam amino. Isolat CymMV asal Manoko memiliki homologi nukleotida dan asam amino tertinggi dengan isolat CymMV asal Korea Selatan (Cymbidium). Hasil analisis filogenetik berdasarkan runutan nukleotida, isolat CymMV Manoko mengelompok dengan CymMV asal Indonesia (Dendobrium), Cina (Cymbidium dan vanili), Korea Selatan (Cymbidium), India (Phaius sp.), Thailand (Oncidium) dan Hawai (Dendobrium). Sedangkan berdasarkan asam amino isolat CymMV asal Manoko mengelompok dengan CymMV Singapura (Dendrobium) dan India (Phaius sp. dan vanili).

(6)

Multiplex RT-PCR berhasil mengamplifikasi Potyvirus, BBWV2 dan CymMV menggunakan kombinasi primer V, VI, VII dan VIII. Dengan teknik ini, deteksi infeksi virus ganda pada tanaman nilam bisa dilakukan secara simultan dan hemat dalam penggunaan bahan – bahan yang diperlukan.

(7)

SUMMARY

MIFTAKHUROHMAH. Identification and Multiplex Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction Detection of Viruses Associated with Mosaic Symptom on Patchouli (Pogostemon cablin Benth.). Supervised by GEDE SUASTIKA and TRI ASMIRA DAMAYANTI.

Patchouli essential oil is one of sources of Indonesia foreign exchange, since Indonesia is the biggest supplier of patchouli oil in the world. One of obstacle on the patchouli production is viral infection. Virus(es) infecting patchouli plant has not been well known. Thus, the aim of presented work is to detect and identify virus(es) associated with mosaic symptom on patchouli either serologically or molecularly.

Samples were collected from patchouli cultivation in Cicurug and Cijeruk (Sukabumi) and in Manoko (Lembang, Bandung) by taking 30 symptomatic and asymptomatic samples from each location. Serological test using four antisera to Cucumber mosaic virus (CMV), Cymbidium mosaic virus (CymMV), Potyvirus and Broad bean wilt virus 2 (BBWV2) were carried out to determine the incidence of virus infection. Further molecular detection of virus(es) was carried out by reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) and DNA sequencing. Multiplex RT-PCR was developed to provide rapid detection of those viruses used eight combination of primer concentrations (I, II, III, IV, V, VI, VII and VIII).

Serology detections showed that BBWV2 and Potyvirus were detected in all sampling locations, CymMV was found in Cicurug and Manoko, while CMV was detected in Cicurug and Cijeruk. Potyvirus disease incidence was 100% in Manoko, 83.3% in Cicurug and 50.0% in Cijeruk. BBWV2 disease incidence was 100% in Manoko, 73.3% in Cicurug and 90.0% in Cijeruk. Disease incidence of CymMV in Manoko and Cicurug was 3.3% , while the incidence of CMV in Cicurug was 80.0% and 13.3% in Cijeruk. Each of primer pairs were able to amplify the coresponding viruses, which confirmed the serology detections. Nucleotide and amino acid sequence homology analysis showed that BBWV2 isolated from Manoko has a highest homology with BBWV2 from Singapore (natural host: Megakepasma erythroclamys / ME). BBWV2 from Manoko clustered with BBWV2 from Singapore (ME), China (pepper) and South Korea (red pepper) based on the nucleotide and amino acid sequences. CymMV from Manoko has a highest homology of nucleotide and amino acid sequences with CymMV from South Korea (Cymbidium). CymMV from Manoko clustered with CymMV from India (Phaius sp), Indonesia (Dendrobium), China (Cymbidium and vanilla), Thailand (Oncidium), Hawai (Dendrobium) and South Korea (Cymbidium) based on nucleotide sequence. While based on amino acid sequence, CymMV from Manoko clustered with CymMV from India (Phaius sp and vanilla), and Singapore (Dendrobium).

(8)

Multiplex RT-PCR was succesfully amplified Potyvirus, BBWV2 and CymMV by using primer combination V, VI, VII and VIII. The multiplex RT-PCR can be applied to detect multiple viruses infection on patchouli simultaneously.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB

(10)
(11)
(12)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

IIDENTIFIKASI DAN DETEKSI MULTIPLEX REVERSE TRANSCIPTION

POLYMERASE CHAIN REACTION VIRUS – VIRUS PENYEBAB

GEJALA MOSAIK PADA NILAM (Pogostemon cablin BENTH.)

MIFTAKHUROHMAH

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2013

(13)
(14)
(15)

Judul Tesis : Identifikasi dan Deteksi Multiplex Reverse Transcription

Polymerase Chain Reaction Virus - Virus Penyebab Gejala Mosaik pada Nilam (Pogostemon cablin Benth.)

Nama : Miftakhurohmah NIM : A352100031

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Gede Suastika, MSc Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr

Ketua Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Fitopatologi

Dr Ir Sri Hendrastuti H., MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(16)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayahNya yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Identifikasi dan Deteksi Multiplex Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction Virus - Virus Penyebab Gejala Mosaik pada Nilam (Pogostemon cablin Benth.)”. Shalawat dan salam tercurah kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Tesis ini dibuat untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Fitopatologi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr Ir Gede Suastika, MSc dan Dr Ir Tri Asmira Damayanti, MAgr atas bimbingan, saran, kritik, dan dukungan moril yang sangat besar peranannya dalam penelitian dan penyelesaian tesis ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Ir Kikin Hamzah Mutaqin, MSi, PhD yang bersedia menjadi Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis; Badan Litbang pertanian atas kesempatan dan beasiswa yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti program Pascasarjana di IPB; Dr Ir Sri Hendrastuti Hidayat, MSc atas bimbingan dan izin penggunaan bahan laboratorium untuk penelitian. Terima kasih sebesar – besarnya penulis ucapkan kepada suami, anak – anak, orang tua dan saudara yang telah memberikan dukungan selama penulis menjalani studi. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pegawai Kelompok Peneliti Proteksi Tanaman Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat atas seluruh bantuan dan dukungannya selama penulis menjalani studi. Penulis menyampaikan terima kasih kepada teman – teman di laboratorium Virologi Tumbuhan Departemen Proteksi Tanaman IPB atas seluruh bantuan, dukungan semangat, dan keceriannya selama penulis menjalani penelitian.

Bogor, Oktober 2013

(17)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xvii

DAFTAR GAMBAR xvii

DAFTAR LAMPIRAN xviii

PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 2 Manfaat Penelitian 2 Hipotesis 2 TINJAUAN PUSTAKA 3

Budidaya Tanaman Nilam 3

Virus - Virus yang Menginfeksi Tanaman Nilam 4

Potyvirus 4

Cucumber mosaic virus 5

Fabavirus 6

Potexvirus 7

Deteksi dan Identifikasi Virus 8

Pengamatan Partikel Virus Menggunakan Mikroskop Elektron 8

Deteksi dan Identifikasi Virus Berdasarkan Biomolekuler 9

Serologi 9

Polymerase Chain Reaction (PCR) 10

METODE 11 Tempat dan Waktu 11 Pengambilan Sampel 11 Pengamatan Partikel Virus 11

Deteksi Serologi 12 Deteksi Asam Nukleat 13

Ekstraksi RNA 13

Konstruksi cDNA (complementary DNA) 14

Amplifikasi DNA dan Multiplex Reverse Transcription 14

Polymerase Chain Reaction (RT-PCR) Amplifikasi DNA 14

Multiplex RT-PCR 15

Visualisasi DNA 16

Analisis Runutan Nukleotida dan Asam Amino 16

Perunutan Susunan Nukleotida 16

Analisis Identitas Matriks dan Filogenetika 16

HASIL DAN PEMBAHASAN 17 Gejala Infeksi Virus pada Nilam 17 Kejadian Infeksi Virus pada Pertanaman Nilam 17 Partikel Virus 20 Deteksi Potyvirus, BBWV2 dan CymMV secara Molekuler 21

(18)

Broad bean wilt virus 2 22 Homologi runutan nukleotida dan asam amino gen

SCP BBWV2 23

Pohon filogenetika runutan nukleotida dan asam

amino gen SCP BBWV2 25

Cymbidium mosaic virus 26 Homologi runutan nukleotida dan asam amino gen

CP CymMV 28

Pohon filogenetika runutan nukleotida dan asam

amino gen CP CymMV 30

Multiplex RT-PCR 32

SIMPULAN DAN SARAN 33

Simpulan 34

Saran 34

DAFTAR PUSTAKA 34

LAMPIRAN 40

(19)

DAFTAR TABEL

1 Primer - primer yang digunakan untuk deteksi virus mosaik nilam 14 2 Program amplifikasi untuk setiap primer yang digunakan dalam kegiatan

PCR 15

3 Kombinasi total konsentrasi primer Potyvirus, BBWV2 dan CymM 15 4 Kejadian penyakit Potyvirus, BBWV2, CymMV, CMV dan TMV pada

pertanaman nilam di Manoko, Cicurug dan Cijeruk 18

5 Hasil BLAST runutan nukleotida isolat BBWV2 asal Cicurug

menggunakan software Blast (www. ncbi.nml.niv.gov) 22 6 Isolat BBWV2, PatMMV dan BBWV1 dari database GenBank yang

digunakan untuk membandingkan homologi gen SCP BBWV2 Manoko 24 7 Homologi runutan nukleotida dan asam amino gen SCP BBWV2 Manoko

dengan beberapa anggota genus Fabavirus 24

8 Hasil BLAST runutan nukleotida isolat CymMV asal Manoko

menggunakan software Blast (www.ncbi.nml.niv.gov) 27 9 Isolat CymMV dari database GenBank yang digunakan untuk

membandingkan homologi gen CP CymMV Manoko 29

10 Homologi nukleotida dan asam amino gen CP CymMV Manoko dengan

beberapa CymMV asal beberapa negara lain 29

DAFTAR GAMBAR

1 Peta genom secara umum anggota genus Potyvirus. P1-Pro, berukuran 35K, yaitu protein dengan aktifitas proteolitik; HC-Pro berukuran 52K yaitu protein dengan aktifitas helper component; P3 berukuran 50K; protein yang belum diketahui fungsinya berukuran 6K; CI berukuran 71 K, membentuk badan inklusi silindris; protein yang belum diketahui fungsinya, berukuran 6K; NIa dan NIb berukuran 21, 27 dan 58K merupakan protein pembentuk badan inklusi (small dan large) dan CP sebagai pembentuk selubung protein, berukuran 30K (van Regenmortel et al. 2000) 5 2 Organisasi genom CMV. 1a dan 2a : protein replikasi berukuran 109K dan

14K; protein 2b overlap dengan ORF 2a sebanyak 69 kodon; 3a : Movement protein berukuran 32K, dan 3b. : selubung protein (CP)

berukuran 24K (Hull 2002) 5

3 Struktur genom RNA 1 (A) dan RNA 2 (B) PatMMV. Pro-C= protease cofactor, NTB= nucleotide tri-phosphate binding protein, VPg= viral protein genome-linked, C-Pro : cysteine protease, RdRp : RNA dependent RNA polymerase, MP : movement protein, LCP : Large Coat Protein, SCP : Short Coat Protein (Ikegami et al. 1998; 2001) 6 4 Genom CymMV, salah satu anggota genus Potexvirus, RdRP : RNA

dependent RNA polymerase, TGB : triple gene block, MP : movement protein, CP : coat protein (Ajjikuttira dan Wong 2009) 7 5 Gejala infeksi virus tanaman nilam di lapangan. a. tidak bergejala, b dan c.

(20)

6 Mikrograf elektron dari cairan daun nilam yang telah diwarnai dengan uranyl acetate : a. Partikel Potyvirus, b. Partikel BBWV2, c. Partikel

CymMV 21

7 Hasil visualisasi RT-PCR dengan primer P29502 dan CPUP pada gel agarosa 1.5%. 1-2. Isolat Cijeruk, 3-7. Isolat Cicurug, 8-10. Isolat Manoko, K+. Kontrol positif Potyvirus dari nilam asal Bogor, K-. Kontrol

negatif, M. Penanda DNA 100 pb 21

8 Hasil visualisasi RT-PCR dengan primer BBWVVSSP dan BBWVKMRM pada gel agarose 1.5%. M. Penanda DNA 100 pb, K-. kontrol negatif, 1-2. isolat dari Manoko positif, 3. isolat Manoko negatif, 4-6. isolat dari Cicurug positif, 7-9. isolat dari Cijeruk positif 22 9 Hasil visualisasi RT-PCR BBWV2 pada gel agarosa 1%. 1. Isolat Manoko

negatif, 2. Isolat Manoko positif, 3. Isolat Cicurug positif, K- . kontrol

negatif, M. Penanda DNA 1 kb plus 23

10 Pohon filogenetika gen SCP BBWV2 isolat Manoko berdasarkan : (a) runutan nukleotida, (b) asam amino. Pohon filogenetika dibuat dengan menggunakan software MEGA 4.0, metode neighbour-joining, dengan bootstrap sebanyak 1000 kali. BBWV1 (AY781172) digunakan sebagai

pembanding di luar grup 26

11 Hasil visualisasi RT-PCR dengan primer general Potexvirus pada gel agarosa 1.5 %. M. Penanda DNA 100 pb, K-. kontrol negatif, K+. kontrol

positif, CymMV asal Anggrek, 1. isolat Manoko 27

12 Hasil visualisasi RT-PCR CymMV pada gel agarosa 1.5 %. M. Penanda DNA 100 pb, K-. kontrol negatif, K+. kontrol positif, 1. sampel Cicurug,

2-4. sampel Manoko 28

13 Pohon filogenetika gen CP CymMV isolat Manoko berdasarkan : (a) runutan nukleotida. (b) asam amino. Pohon filogenetika dibuat menggunakan software MEGA 4.0, metode neigbour-joining, dengan bootstrap sebanyak 1000 kali. PVX (AF485891) digunakan sebagai

pembanding di luar grup 31

14 Hasil visualisasi uniplex RT-PCR pada gel agarosa 1.5%. M. Penanda DNA 100 pb, 1. Sampel sehat, 2. Potyvirus, 3. CymMV, 4. BBWV2 32 15 Hasil visualisasi multiplex RT-PCR pada gel agarosa 1.5 %. M. Penanda

DNA 100 pb, 1 – 8. Produk PCR yang teramplifikasi oleh set primer I – VIII, dimana kombinasinya dapat dilihat pada tabel di atas gambar 33

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil ELISA sampel komposit dan sampel tunggal dari Manoko, Cicurug

dan Cijeruk 41

2 Hasil alignment nukleotida antara genom SCP BBWV2 isolat Manoko dengan nukleotida genom – genom SCP BBWV2, dan PatMMV, serta BBWV1 sebagai isolat di luar grup yang didapatkan dari database

GenBank 45

3 Hasil alignment asam amino gen SCP BBWV2 isolat Manoko dengan asam amino gen SCP BBWV2, dan PatMMV, serta BBWV1 sebagai isolat di luar grup yang didapatkan dari database GenBank 47

(21)

4 Hasil alignment nukleotida antara genom CymMV isolat Manoko dengan nukleotida genom – genom CymMV yang didapatkan dari database GenBank Hasil alignment nukleotida antara genom CymMV isolat Manoko dengan nukleotida genom – genom CymMV yang

didapatkan dari database GenBank 48

5 Hasil alignment asam amino antara genom CymMV isolat Manoko dengan nukleotida genom – genom CymMV yang didapatkan dari

(22)
(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Nilam (Pogostemon cablin Beth) merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri yang menjadi salah satu sumber devisa Indonesia. Minyak nilam dalam dunia perdagangan internasional dikenal sebagai patchouli oil banyak digunakan sebagai bahan fiksatif dalam pembuatan parfum, sabun dan kosmetik. Indonesia memenuhi kurang lebih 70% kebutuhan minyak nilam dunia dengan volume ekspor rata–rata di atas 1 000 ton per tahun (Barani 2008). Ekspor minyak nilam Indonesia pada tahun 2004 mencapai 2 074 ton dengan nilai US$ 27 137 juta (Direktorat Jenderal Perkebunan 2006). Hal ini mengakibatkan tingginya minat petani untuk mengembangkan tanaman nilam. Pada tahun 2009 luas areal penanaman nilam seluas 24 535 ha, yang meningkat sebesar 9.79% dari tahun 2008, dengan produktifitas sebesar 0.11 ton/ha. Namun demikian, pada tahun 2010, terjadi penurunan sebesar 4.53% luas penanaman nilam, menjadi 23 472 ha, dan penurunan produktifitas sebesar 0.09 ton/ha (Direktorat Jenderal Perkebunan 2012).

Salah satu kendala budidaya tanaman nilam adalah adanya serangan hama dan penyakit. Penyakit utama pada tanaman nilam adalah penyakit layu yang disebabkan oleh Ralstonia solanacearum dan serangan nematoda (Asman et al. 1998; Mustika et al. 1991). Penelitian tentang penyakit layu sudah banyak dilakukan, baik mengenai deteksi dan identifikasi, serta usaha –usaha pengendaliannya. Selain penyakit layu dan serangan nematoda, infeksi virus juga ditemukan pada tanaman nilam. Beberapa virus yang dilaporkan menyerang tanaman nilam adalah Tobacco necrosis virus (Gama et al. 1982), Patchouli mild mosaic virus (PatMMV) (Natsuaki et al. 1994), Patchouli mottle virus (PatMoV) (Natsuaki et al. 1994, Sugimura et al. 1995), Patchouli virus X (PatVX) (Filho et al. 2002), dan Peanut stripe virus (PStV) (Singh et al. 2009).

Uji serologi sampel tanaman nilam berhasil mendeteksi PatMoV (Sumardiyono et al. 1996), dan infeksi campuran antara CMV dan Potyvirus pada pertanaman nilam di Cianjur dan Bogor (Sukamto et al. 2007). Pada pertanaman nilam di Jawa Barat, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, ditemukan gejala mosaik yang berasosiasi dengan Potyvirus berdasarkan uji serologi dan PCR. Sedangkan gejala mosaik di Brebes (Jawa Tengah) terdeteksi positif Broad bean wilt virus 2 (BBWV2) (Noveriza et al. 2012a).

Infeksi virus pada tanaman nilam diketahui telah menjadi kendala utama pada pertanaman nilam di Jawa dan Sumatera Barat. Kejadian penyakit akibat infeksi Potyvirus diperkirakan berkisar antara 30 sampai 50%, sedangkan di Jawa Tengah akibat infeksi BBWV2 berkisar 40% (Noveriza et al., 2012a). Infeksi virus menyebabkan penurunan bobot terna basah sebesar 7.87 sampai 34.65%, bobot terna kering sebesar 0.62 sampai 40.42% dan penurunan kadar patchouli alcohol sebesar 0.72 sampai 5.06% (Noveriza et al., 2012b).

Deteksi dan identifikasi virus merupakan langkah pertama yang harus dilakukan sebelum penentuan strategi pengendalian yang tepat. Ada beberapa metode untuk mendeteksi virus, yaitu berdasarkan sifat-sifat biologi dan bagian dari partikel virus. Deteksi dengan target partikel virus dapat dilakukan secara

(24)

2

serologi dan molekuler. Salah satu teknik serologi adalah Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA), sedangkan teknik molekuler yang umum digunakan adalah Polymerase Chain Reaction (PCR) (Naidu dan Hughes, 2003). Dari hasil PCR, selanjutnya dapat dilakukan perunutan susunan nukleotida, yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan virus berdasarkan genomnya. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa analisis sekuen coat protein (CP) sangat berguna dalam kegiatan identifikasi BBWV1 dan BBWV2 (Kobayashi et al. 1999, Kondo et al. 2005). Beberapa software telah tersedia untuk mengklasifikasikan virus berdasarkan susunan nukleotida genomnya, diantaranya BioEdit, MEGA, dan GeneDoc (Tamura et al. 2007; Hall 1999).

Infeksi ganda virus pada tanaman nilam telah dilaporkan sebelumnya oleh Natsuaki et al. (1994) dan Sugimura et al. (1995), yang menyebabkan gejala lebih parah dibandingkan infeksi tunggal. Untuk mendeteksi secara cepat infeksi beberapa virus pada tanaman, diperlukan metode deteksi secara cepat, efisien dan akurat. Metode multiplex reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) telah banyak digunakan untuk mendeteksi infeksi ganda beberapa virus pada tanaman.

Kebun Percobaan Balittro di Manoko dan Cicurug, serta kebun petani di Cijeruk memiliki lahan pertanaman nilam yang cukup luas, dan berdasarkan pengamatan awal, banyak ditemukan gejala penyakit yang diduga berasosiasi dengan virus. Nilam diperbanyak secara vegetatif dan pada ketiga lahan pertanaman tersebut diproduksi bibit tanaman nilam, serta belum diketahui status kesehatan nilam yang berasal dari lokasi tersebut. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian tentang deteksi dan identifikasi virus – virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik pada pertanaman nilam di ketiga lokasi tersebut serta metode deteksi beberapa virus secara simultan.

Tujuan Penelitian

1. Mendeteksi dan mengidentifikasi virus – virus yang berasosiasi dengan penyakit mosaik pada tanaman nilam.

2. Mengoptimasi metode multiplex reverse transcription polymerase chain reaction (RT-PCR) untuk mendeteksi secara simultan Potyvirus, BBWV2 dan CymMV.

Manfaat Penelitian

Penelitian diharapkan mendapatkan informasi jenis – jenis virus yang menginfeksi nilam sebagai dasar pengambilan tindakan pengendalian yang tepat serta metode deteksi secara simultan Potyvirus, BBWV2 dan CymMV.

Hipotesis

1. Gejala mosaik pada nilam dapat disebabkan oleh lebih dari satu jenis virus. 2. Multiplex RT-PCR dapat diterapkan untuk mendeteksi virus – virus pada

(25)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Budidaya Tanaman Nilam

Tanaman nilam merupakan salah satu tanaman penghasil minyak atsiri. Minyak nilam, yang dalam dunia perdagangan internasional dikenal sebagai patchouli oil, merupakan bahan pengikat aroma wangi yang tidak dapat digantikan dengan zat sintetis lain. Selain minyak nilam yang bermanfaat, limbah hasil penyulinganpun dapat dipergunakan sebagai bahan baku pupuk organik, karena memiliki kadar hara yang tinggi. Dengan teknologi pengomposan yang cepat dan efisien, akan menghasilkan pupuk organik yang bermutu tinggi (Suhirman 2011).

Di Indonesia, terdapat tiga jenis nilam, yaitu Pogostemon cablin Benth (nilam Aceh), P. heyneanus (nilam jawa) dan P. hortensis (nilam sabun), dimana hanya nilam jawa yang berbunga. Selain bunga, ketiga jenis tanaman nilam tersebut dapat dibedakan berdasarkan karakter morfologi, kandungan dan kualitas minyak, serta ketahanannya terhadap cekaman biotik dan abiotik. Nilam Aceh merupakan jenis nilam yang paling banyak dibudidayakan karena kadar minyaknya lebih tinggi dan kualitas minyaknya lebih bagus dibandingkan nilam jawa dan nilam sabun (Nuryani 2006).

Nilam Aceh diperkirakan masuk ke Indonesia lebih dari seabad yang lalu, diduga berasal dari Filipina atau Semenanjung Malaysia. Berdasarkan pengamatan tanaman nilam Aceh, ditemukan perbedaan baik karakter morfologi, kandungan minyak, sifat fisika kimia minyak serta ketahanannya terhadap penyakit dan kekeringan. Hal ini diduga karena telah lama dibudidayakan di beberapa daerah, menyebabkan terjadinya perubahan dari sifat – sifat asalnya. Nilam Jawa berasal dari India, disebut juga nilam kembang karena dapat berbunga, yang dapat dibedakan dengan nilam Aceh berdasarkan visual daunnya. Daun nilam Jawa permukaannya kasar dengan tepi bergerigi runcing, sedangkan daun nilam Aceh permukaannya halus dengan tepi bergerigi tumpul. Nilam Jawa lebih tahan terhadap serangan nematoda dan penyakit layu bakteri dibandingkan nilam Aceh, namun kualitas minyaknya kurang bagus (Nuryani 2006). Nilam sabun, seperti halnya nilam Jawa, memiliki kualitas minyak yang kurang bagus dibandingkan nilam Aceh. Pada zaman dulu, daun nilam sabun digunakan untuk mencuci pakaian. Daun nilam sabun tidak berbulu, permukaannya mengkilap, dan lebih tipis dari daun nilam Aceh (Mangun 2002).

Tanaman nilam termasuk tanaman herba yang mudah dibudidayakan. Nilam dapat tumbuh dengan baik pada ketinggian 500 sampai 400 m dpl, namun masih mampu tumbuh di dataran rendah dan dataran tinggi sampai ketinggian 1 200 m dpl. Pertumbuhan tanaman nilam membutuhkan curah hujan berkisar antara 2 000 sampai 2 500 mm/th, suhu optimum 24 sampai 28 oC, intensitas penyinaran 75 sampai 100%, serta kelembaban lebih dari 75% (Nuryani et al. 2005).

Dalam upaya peningkatan produksi dan produktifitas serta mutu minyak nilam, perlu memperhatikan bahan tanaman yang digunakan, teknologi budidaya, lingkungan tumbuh, baik abiotik maupun abiotik, serta panen dan pasca panen. Dalam pemilihan bahan tanaman, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti

(26)

4

(1) varietas, harus berasal dari varietas unggul. Varietas yang direkomendasikan yaitu Sidikalang, Lhokseumawe dan Tapak Tuan; (2) Tanaman induk, benih harus berasal dari tanaman induk yang sehat (bebas hama dan penyakit) dan tanpa gejala kekurangan unsur hara; (3) Lokasi asal benih, untuk benih dari lokasi dengan kondisi agroklimat yang berbeda, perlu dilakukan penyesuaian (Ditjenbun 2011).

Salah satu kendala budidaya pada tanaman nilam adalah adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT). Hama utama pada tanaman nilam adalah Aphis gossypii, ulat pemakan daun, ulat penggulung daun (Sylepta sp.), walang sangit, tungau merah, belalang dan rayap (Mardiningsih et al. 2011). Selain berperan sebagai hama, A. gossypii juga berperan sebagai vektor beberapa virus, diantaranya yaitu Broad bean wilt virus 1 (BBWV1) (Belliure et al. 2009), dan Potyvirus. BBWV1 dan Potyvirus ditemukan menginfeksi tanaman nilam, yang menyebabkan gejala mosaik pada tanaman nilam (Noveriza et al. 2012a).

Penyakit penting pada tanaman nilam adalah penyakit layu bakteri yang diakibatkan oleh Ralstonia solanacearum, penyakit merah dan kuning yang disebabkan oleh nematoda, penyakit budok yang diakibatkan oleh cendawan Synchytrium sp., dan penyakit mosaik yang disebabkan oleh virus (Wahyuno et al. 2011). Infeksi virus menyebabkan terjadinya penurunan produksi dan kadar patchouli alcohol pada beberapa varietas tanaman nilam (Noveriza et al. 2012b).

Virus – Virus yang Menginfeksi Tanaman Nilam

Potyvirus

Potyvirus tergolong ke dalam famili Potyviridae yang memiliki anggota spesies paling banyak dibandingkan genus lain (Fauquet et al. 2005). Beberapa anggota genus ini menyebabkan kehilangan secara nyata pada tanaman holtikultura, tanaman hias, tanaman pangan dan padang rumput (Chen et al. 2001).

Genom Potyvirus terdiri dari satu RNA utas tunggal positif sense, berukuran kira – kira 8.5 sampai 10 kb, dengan bagian – bagian : (1) 5’ VPg (genome-linked viral protein) (24kDa); (2) 5’ non coding region, berukuran 144 nukleotida yang kaya dengan basa A dan U, (3) ORF tunggal berukuran besar, yaitu 9 161 nukleotida yang mengkode 3 000 asam amino (340 kDa), terdiri dari P1-Pro, HC-Pro, P3, CI (cylindrical inclusion), NIa dan NIb (nuclear inclusion a dan b), serta CP (coat protein), (4) 3’ untranslated region, berukuran 190 basa, sebelum poly A (van Regenmortel et al. 2000; Hull 2002) (Gambar 1). Partikel Potyvirus berbentuk benang lentur, tanpa amplop, berdiameter 11 sampai 15 nm, dengan panjang 650 sampai 900 nm (Fauquet et al. 2005).

Pada umumnya spesies anggota genus ini memiliki kisaran inang yang sempit, namun beberapa spesies memiliki lebih dari 30 famili tanaman sebagai inangnya. Potyvirus ditularkan oleh kutudaun secara non persisten, serta bisa ditularkan secara mekanis. Bagian genom, yaitu helper component dan bagian asam amino triplet (DAG untuk beberapa spesies Potyvirus) dibutuhkan dalam penularan dengan kutudaun. Penularan melalui kutudaun pada beberapa isolat tidak efisien, bahkan ada yang tidak bisa ditularkan oleh kutudaun (van Regenmortel et al. 2000).

(27)

5 Potyvirus yang menginfeksi tanaman nilam diidentifikasi sebagai Peanut stripe virus (PStV) di India yang menyebabkan gejala mosaik pada daun nilam (Singh et al. 2009), Patchouli mottle virus (PatMoV) di Jepang, dengan gejala berkisar antara tanpa gejala sampai belang lemah (Natsuaki et al. 1994) dan Telosma mosaic virus (TeMV) di Sumatra Utara, Sumatra Barat dan Jawa Barat yang menyebabkan gejala mosaik dengan beberapa variasi (Noveriza et al. 2012a).

Gambar 1 Peta genom secara umum anggota genus Potyvirus. P1-Pro, berukuran 35K, yaitu protein dengan aktifitas proteolitik; HC-Pro berukuran 52K yaitu protein dengan aktifitas helper component; P3 berukuran 50K; protein yang belum diketahui fungsinya berukuran 6K; CI berukuran 71 K, membentuk badan inklusi silindris; protein yang belum diketahui fungsinya berukuran 6K; NIa dan NIb berukuran 21, 27 dan 58K merupakan protein pembentuk badan inklusi (small dan large) dan CP sebagai pembentuk selubung protein berukuran 30K (van Regenmortel et al. 2000)

Cucumber mosaic virus (CMV)

CMV tergolong ke dalam genus Cucumovirus, famili Bromoviridae. CMV merupakan tipe spesies dari Cucumovirus, dengan bentuk partikel spherical berdiameter 26 sampai 35 nm dan panjang 30 sampai 85 nm. Virus ini memiliki kisaran inang yang luas, menginfeksi 85 famili tanaman, dan lebih dari 1 000 spesies. CMV ditularkan oleh kutudaun secara non persisten, dan dapat ditularkan juga secara mekanis (Fauquet et al. 2005).

Genom CMV memiliki 3 utas tunggal RNA positif sense, yaitu RNA 1 (3 357 nukleotida), RNA 2 (3 050 nukleotida), dan RNA 3 (2 116 nukleotida), serta 2 subgenomik RNA, yaitu RNA 4 dan RNA4A (1 027 nukleotida). RNA 1 dan RNA 2 mengkode gen replikasi. Selain itu, pada 3’ sequence RNA 2, mengkode protein yang berperan dalam perpindahan jarak jauh CMV, melalui subgenomik RNA4A. RNA 3 mengkode movement protein dan protein selubung (CP), dimana gen CP tersebut diekspresikan dari RNA 4 sebagai subgenomik (Gambar 2) (Hull 2002; Roossinck 2001; Gal-On et al. 2000 dalam Feng et al. 2006).

Gambar 2 Organisasi genom CMV. 1a dan 2a : protein replikasi berukuran 109K dan 14K; protein 2b overlap dengan protein 2a sebanyak 69 kodon; 3a : movement protein berukuran 32K dan 3b : selubung protein (CP) berukuran 24K (Hull 2002)

(A)n3’ VPg

RNA1 RNA2 RNA3

RNA4 1a 3a 3b 2b 2a P1-Pro

(28)

6

CMV terdeteksi secara serologi menginfeksi pertanaman nilam di Cianjur dan Bogor, Jawa Barat. Infeksi CMV bersama – sama dengan Potyvirus menyebabkan gejala mosaik. Berdasarkan hasil ELISA, antiserum Potyvirus bereaksi lebih kuat dengan sampel dibandingkan dengan antiserum CMV (Sukamto et al. 2007).

Fabavirus

Fabavirus tergolong ke dalam famili Comoviridae, dilaporkan menginfeksi tanaman yang memiliki arti penting secara ekonomi diantaranya bush basil (Ocimum basilicum) (Sanz et al. 2001), gentian (Gentiana scabra) (Kobayashi et al. 2005), Mikania micrantha (Compositae) (Wang et al. 2008), dan cabai (Capsicum annum) (Lee et al. 2000). Di lapangan, Fabavirus ditularkan oleh kutudaun secara non persisten. Broad bean wilt virus 1 ditularkan secara efektif oleh Myzus persicae dan Aphis gossypii (Belliure et al. 2009), serta BBWV pada basil juga ditularkan oleh M. persicae dan A. gossypii (Sanz et al. 2001).

Partikel Fabavirus berbentuk icosahedral berdimeter sekitar 30 nm, memiliki genom 2 RNA utas tunggal berukuran antara 6.0 sampai 6.3 kb (RNA1) dan 3.9 sampai 4.5 kb (RNA2), di mana masing – masing RNA terenkapsidasi secara terpisah (Kobayashi et al. 2005). Prediksi runutan poliprotein yang dikode oleh RNA 1 PatMMV dihasilkan untuk protease cofactor (39K), NTP-binding protein (66K), VPg (3K), cysteine protease (23K) dan RNA-dependent RNA polymerase (79K). Protease diperlukan untuk memecah poliprotein pada virus yang menggunakan polyprotein processing sebagai strategi translasi. ORF panjang dari RNA2 PatMMV, menunjukkan Movement Protein (MP) berukuran 52K, Large Coat Protein (LCP) berukuran 44K dan Small Coat Protein (SCP) berukuran 22K (Gambar 3A dan 3B) (Ikegami et al. 1998; 2001).

(A) RNA1

(B) RNA2

Gambar 3 Struktur genom RNA 1 (A) dan RNA 2 (B) PatMMV. Pro-C= protease cofactor, NTB= nucleotide tri-phosphate binding protein, VPg= viral protein genome-linked, C-Pro : cystein protease, RdRp : RNA dependent RNA polymerase, MP : movement protein, LCP : Large Coat Protein, SCP : Short Coat Protein (Ikegami et al. 1998; 2001)

Genus Fabavirus memiliki empat spesies definitif yaitu : BBWV 1 dan 2, Lamium mild mosaic virus (LMMV) dan PatMMV (van Regenmortel et al. 2000). Saat ini ditemukan virus baru yang tergolong Fabavirus juga, yaitu Gentian mosaic virus (Kobayashi et al. 2005).

Fabavirus yang menyebabkan gejala mosaik pada tanaman nilam di Jepang dilaporkan disebabkan oleh PatMMV. Virus ini memiliki kemiripan

poly A poly A Pro-C NTB VPg C-Pro RdRp SCP LCP MP

(29)

7 morfologi partikel, berat molekul CP dan hubungan serologi dengan BBWV dan LMMV. Namun demikian, PatMMV menunjukkan perbedaan kisaran inang dan gejala pada tanaman Vicia faba dan Nicotiana tabacum. Perbedaan ini yang menyebabkan PatMMV dikategorikan sebagai spesies baru anggota Fabavirus (Natsuaki et al. 1994).

Potexvirus

Genus Potexvirus dinamakan setelah Potato virus X (PVX), memiliki banyak anggota yang menginfeksi beberapa tanaman di seluruh dunia. Salah satu anggota genus ini yang terkenal adalah Cymbidium mosaic virus (CymMV) yang menyebabkan kehilangan besar secara ekonomi pada tanaman anggrek. Gejala yang disebabkan Potexvirus umumnya mosaik dan tanaman kerdil. Potexvirus memproduksi sejumlah besar partikel virus pada sitoplasma sel yang terinfeksi (Agrios 2005).

Partikel Potexvirus berbentuk flexuous rod, dengan panjang antara 470 sampai 580 nm, dan berdiameter antara 11 sampai 13 nm. Genom Potexvirus adalah RNA positif utas tunggal, berukuran 5.8 sampai 7.0 kb dan memiliki lima Open Reading Frame (ORF). ORF1 mengkode protein yang berhubungan dengan replikasi virus, ORF2 sampai 4 berfungsi sebagai Triple Gene Block (TGB) dan mengkode gen yang berhubungan dengan perpindahan virus dari sel ke sel. ORF5 mengkode coat protein virus (Gambar 4) (Agrios 2005; van der vlugt dan Barendsen 2002).

55’ (A)n

Gambar 4 Genom CymMV, salah satu anggota genus Potexvirus. RdRp : RNA-dependent RNA polymerase, TGB : triple gene block, MP : movement protein, CP : coat protein (Ajjikuttira dan Wong 2009) Anggota genus Potexvirus yang menginfeksi tanaman nilam dilaporkan adalah Patchouli virus X (PatVX). Secara serologi, virus ini berhubungan dekat dengan Papaya mosaic virus (PapMV), PVX, Viola mottle virus (VMV), White clover mosaic virus (WClMV) dan Lily virus X (LVX). PatVX tidak ditularkan melalui pemangkasan, benih atau vektor, namun ditularkan dengan efektif secara mekanis. Pada tanaman nilam, infeksi PatVX hanya menyebabkan gejala laten (Filho et al. 2002). 1 CP 5’ RdRp 160K 3’ 24K 10K 13K 26K MP TGB

(30)

8

Deteksi dan Identifikasi Virus

Deteksi dan identifikasi secara tepat virus penyebab penyakit merupakan langkah penting pertama untuk menentukan strategi pengendalian penyakit. Pengendalian setelah terjadi infeksi virus sering tidak memberikan hasil yang memuaskan. Pengendalian virus lebih efektif jika dilakukan sebelum terjadi infeksi. Penggunaan bahan tanaman bebas virus merupakan pendekatan pengendalian yang paling efektif. Salah satu bagian penting untuk memproduksi bahan tanaman bebas virus adalah tersedianya metode diagnosis yang sensitif (Makkouk dan Kumari 2006).

Teknik deteksi dan identifikasi virus terbagi dalam dua kategori yaitu : berdasarkan sifat-sifat biologi yang berhubungan dengan interaksi virus dengan inang dan atau vektor dan berdasarkan bagian dari partikel virus, yaitu asam nukleat dan CP (Naidu dan Hughes 2003). Deteksi dan identifikasi berdasarkan sifat biologi virus adalah berdasarkan tipe gejala yang muncul, kisaran inang, penularan melalui vektor, sifat-sifat fisik virus (titik panas inaktivasi, titik batas pengenceran dan ketahanan in vitro), dan pengamatan partikel virus dengan mikroskop elektron. Sedangkan berdasarkan CP dan asam nukleat bisa dilakukan dengan uji serologi dan teknik molekuler.

Pengamatan Partikel Virus Menggunakan Mikroskop Elektron

Mikroskop elektron merupakan alat yang dapat digunakan untuk mengamati bentuk partikel virus, sebagai dasar identifikasi virus tertentu yang belum diketahui identitasnya. Dengan mikroskop elektron identitas virus dapat diketahui dengan mengamati bentuk partikel virus, panjang partikel virus, dan morfologinya. Partikel virus yang akan diamati akan lebih jelas apabila dipurifikasi terlebih dahulu. Pengamatan partikel virus dari sap tanaman yang belum dipurifikasi biasanya merupakan ekstrak sap yang kasar sehingga pada hasil pengamatan akan terlihat kotoran sap disekitar partikel virus (Doi et al. 1969; Djikstra dan De Jagger 1998).

Penggunaan transmission electron microscope (TEM) selama tahun 1970 sampai 1980 telah berkontribusi pada penemuan beberapa virus penting pada manusia, seperti Adenovirus, Entrovirus, Paramyxovirus dan Reovirus yang diisolasi dari sel. Pada masa itu, TEM digunakan sebagai teknik rutin dalam deteksi virus. Setelah teknik ELISA dan PCR ditemukan, penggunaan TEM pada deteksi virus telah bergeser dari teknik rutin menjadi teknik penunjang dalam deteksi agen infeksius yang belum diketahui, karena teknik ELISA dan PCR lebih sensitif. Selain itu, TEM tidak bisa digunakan untuk deteksi cepat virus pada sampel yang banyak, relatif mahal baik alatnya maupun perawatannya, sehingga banyak insitusi penelitian pertanian yang tidak mampu memilikinya. Namun demikian, TEM masih digunakan untuk mempelajari siklus hidup virus pada sel inangnya, dan deteksi cepat patogen baru atau yang belum diketahui misalnya pada kasus bioterorisme. Dengan menggunakan TEM, maka akan terlihat semua morfologi patogen pada sampel yang diamati (Roingeard 2008; Naidu dan Hughes 2003).

Salah satu teknik penyiapan sampel untuk pengamatan struktur dan ukuran partikel virus di bawah TEM adalah dengan pewarnaan negatif. Pada teknik ini, diperlukan irisan tipis sampel yang berisi partikel virus. Pada irisan tipis jaringan

(31)

9 / sel tersebut, akan dapat dilihat interaksi virus-sel, termasuk tahapan replikasi virus. Teknik pewarnaan negatif ini dapat dikombinasikan dengan metode serologi untuk melokalisasi antigen virus (Marshal 2012). Penggabungan TEM dengan metode serologi menggunakan antiserum monoklonal ataupun poliklonal merupakan teknik deteksi virus yang cepat dan akurat. Antiserum VP 664 mampu mengaglutinasi lebih banyak partikel White spot syndrome virus pada kerang laut dengan reaksi antigen – antiserum, sehingga lebih banyak partikel virus yang teramati di bawah TEM (Hipolito et al. 2012). Teknik pewarnaan negatif yang telah dioptimasi, dapat digunakan sebagai protokol umum untuk mempelajari struktur protein di bawah mikroskop elektron, terutama protein highly dynamic dengan struktur equilibrium-fluctuating (Zhang et al. 2013).

Deteksi dan Identifikasi Virus Berdasarkan Sifat Biomolekuler

Serologi. Beberapa teknik serologi yang bisa digunakan adalah dot immunoblotting assay (DIBA), immunosorbent electron microscopy (ISEM) (Naidu dan Hughes 2003), enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) dan tissue blot immunoassay (TBIA) (Webster et al. 2004). ELISA merupakan uji serologi yang populer untuk deteksi virus pada materi tanaman, serangga vektor, benih dan bahan tanaman vegetatif (Naidu dan Hughes 2003). Keuntungan dari teknik ELISA adalah memiliki sensitifitas yang tinggi, dapat mendeteksi sampel dalam jumlah besar lebih cepat, hanya membutuhkan antiserum dalam jumlah sediki dan hasilnya kuantitatif (Agrios 2005). Namun demikian, teknik ELISA, seperti teknik serologi lainnya, memiliki kelemahan, yaitu tidak bisa membedakan virus yang sekerabat, terutama bila yang digunakan antiserum universal genus. Selain itu, beberapa antigenic site dimiliki oleh virus yang tidak sekerabat, sehingga memungkinkan terjadinya reaksi silang (Putnam 1995).

Terdapat dua teknik ELISA, yaitu Double Antibody Sandwich ELISA (DAS-ELISA atau ELISA secara langsung) dan Indirect ELISA (ELISA tidak langsung). Perbedaan pada kedua teknik ini telah dijelaskan oleh Clark dan Adams (1977) serta Koenig (1981), yaitu pada coating microtiter plates-nya dengan antiserum atau antigen. Pada teknik DAS-ELISA, plate langsung dicoating dengan antiserum spesifik yang kemudian berikatan dengan antigennya (virus), sedangkan pada teknik Indirect ELISA, plate dicoating dengan antigen dulu, baru dicoating dengan antiserumnya.

Penggunaan teknik Indirect ELISA untuk mengamati reaktivitas antiserum Chrysanthemum B Carlavirus (CVB) menunjukkan bahwa semakin tinggi pengenceran antiserum dan sampel menghasilkan reaksi yang semakin lemah. Sensitifitas teknik ELISA dalam mendeteksi CVB cukup tinggi, yaitu virus masih terdeteksi pada pengenceran sampel 1/256 dan antiserum 100 000 kali (Temaja et al. 2010). Dengan teknik Indirect ELISA, CymMV dan Odontoglossum ringspot virus (ORSV) terdeteksi pada Dendrobium yang diperbanyak secara vegetatif, dan tidak terdeteksi pada Dendrobium hasil kultur jaringan (Khentry et al. 2006). Apple mosaic virus (ApMV), Apple stem grooving virus (ASGV) dan Apple chlorotic leaf spot virus (ACLSV) terdeteksi pada tanaman apel, baik varietas hasil koleksi maupun komersial dengan teknik DAS-ELISA menggunakan antiserum komersial (Caglayan et al. 2006).

(32)

10

Polymerase chain reaction (PCR). PCR merupakan teknik yang memungkinkan amplifikasi spesifik dan deteksi runutan target DNA dari campuran komplek asam nukleat. Kombinasi primer spesifik dan DNA polymerase, yang digunakan untuk mengamplifikasi runutan target melalui siklus denaturasi, annealing, dan sintesis DNA yang berulang memungkinkan terjadinya peningkatan jumlah DNA (Seal dan Coates 1998). Teknik ini memiliki beberapa kelebihan, yaitu lebih sensitif dan spesifik, dapat digunakan untuk mendeteksi virus yang telah diketahui maupun yang belum diketahui, yang tidak memiliki antiserum, belum tersedia banyak informasi, dan juga bisa untuk mendeteksi virus dari tanaman berkayu (Agrios 2005; Naidu dan Hughes 2003). Namun demikian, teknik PCR sulit dilakukan di beberapa laboratorium yang memiliki keterbatasan dana, karena teknik ini memerlukan peralatan dan bahan – bahan yang relatif mahal. Selain itu, sensitifitas teknik ini menyebabkan peralatan dan proses pengerjaan PCR harus selalu steril untuk mencegah hasil positif yang palsu (false positive), karena kontaminan bisa menjadi DNA templat (Johnson 2000).

Proses PCR terdiri dari 20 atau 30 siklus, yang masing-masing siklus terdiri dari tiga tahap : (1) DNA utas ganda dipanaskan pada suhu 94 sampai 96

o

C untuk memisahkannya menjadi utas yang terpisah, (2) tahap annealing atau penempelan primer pada utas DNA yang dilakukan pada suhu 45 sampai 60 oC, (3) ekstensi setiap primer, selalu terjadi pada suhu 72 oC menggunakan DNA thermostable (Akinjogunla et al. 2008). Dalam beberapa jam, runutan target diamplifikasi dalam jumlah besar dan hasilnya dapat dianalisis dengan gel agarosa yang dielektroforesis, kemudian diwarnai dengan ethidium bromide untuk melihat keberadaan DNA hasil amplifikasi (Naidu dan Hughes 2003).

Untuk diagnosis virus tanaman yang memiliki asam nukleat RNA, RNA target dikonversikan menjadi complementary DNA (cDNA) yang dikopi dengan transkripsi balik sebelum PCR dimulai. Pada siklus awal PCR, DNA akan disintesis berdasarkan cDNA templat menghasilkan DNA utas ganda. Proses amplifikasi dinamakan RT-PCR (Naidu dan Hughes 2003). Teknik RT-PCR telah banyak digunakan untuk mendeteksi virus – virus tanaman yang memiliki genom RNA. Teknik RT-PCR berhasil mendeteksi sampel positif ACLSV, ASGV, dan ASPV pada apel lebih banyak 8.6% dibandingkan dengan teknik ELISA (Caglayan et al. 2006).

Beberapa pengembangan lain dari teknik PCR, diantaranya adalah Immunocapture-PCR (IC-PCR) (Webster et al. 2004) dan Bio-PCR (Schaad dan Frederick 2002). Teknik PCR yang dikembangkan untuk mendeteksi beberapa target sekaligus, dinamakan Multiplex PCR. Teknik ini menggunakan beberapa pasang primer yang berbeda dalam satu reaksi PCR. Multiplex PCR merupakan teknik yang cepat, mudah dilakukan dan lebih ekonomis untuk deteksi rutin beberapa virus dalam satu sampel, dan telah berhasil digunakan untuk deteksi virus dari beberapa tanaman (Lee dan Chang 2006).

Teknik multiplex RT-PCR dengan menggunakan pasangan primer spesifik, telah berhasil mendeteksi infeksi CymMV dan Odontoglossum ringspot virus (ORSV) pada anggrek (Lee dan Chang 2006) dan Dasheen mosaic virus (DsMV), Turnip mosaic virus (TuMV), Konjac mosaic virus (KoMV), serta Zantedeschia mild mosaic virus (ZaMMV) pada tanaman Calla lily di Taiwan (Hu et al. 2010).

Penggunaan beberapa pasang primer dalam satu reaksi, bisa menyebabkan beberapa DNA non target teramplifikasi lebih efisien dibandingkan DNA target.

(33)

11 Oleh karena itu, optimasi harus dilakukan untuk meminimalkan produk yang tidak diinginkan. Beberapa optimasi yang perlu dilakukan adalah : (1) optimasi kondisi siklus multiplex RT-PCR, yang meliputi suhu dan waktu ekstensi, serta suhu dan waktu annealing; (2) optimasi komponen reaksi multiplex, yang meliputi konsentrasi primer, konsentrasi dNTP dan MgCl2, konsentrasi bufer PCR,

konsentrasi templat DNA dan DNA polimerase serta penggunaan adjuvants seperti DMSO, glyserol dan BSA. Optimasi tersebut dilakukan dengan pendekatan empiris atau trial and error, karena tidak diketahui cara untuk memprediksi kinerja pasangan primer yang dipilih. Oleh karena itu, perlu didesain primer – primer yang digunakan dengan memperhatikan GC content, panjang primer, dan sekuennya (Henegariu et al. 1997; Elnifro et al. 2000).

Penggunaan beberapa pasangan primer dalam satu reaksi multiplex RT-PCR sering menyebabkan kendala dalam pelaksanaannya, yaitu menyebabkan teknik ini kurang bersifat universal dan memerlukan optimasi yang ekstensif. Untuk mengatasi kendala tersebut, metode universal multiplex PCR diciptakan dengan menggunakan universal adapter-F dan universal adapter-R yang dihubungkan ke primer forward dan reverse. Dengan teknik ini, maka pasangan - pasangan primer yang berbeda suhu annealingnya bisa digunakan untuk mendeteksi secara cepat keragaman genetik jagung. Teknik ini juga bisa digunakan untuk analisis polimorfisme, pengujian kuantifikasi dan identifikasi spesies (Wen dan Zhang 2012).

METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Laboratorium Virologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), dari bulan Januari 2012 sampai Maret 2013.

Pengambilan Sampel

Pengambilan sampel daun tanaman nilam, baik yang bergejala maupun tidak, dilakukan di dua Kebun Percobaan Balittro yaitu di Cicurug (Sukabumi) dan Manoko (Bandung Barat), serta di lahan petani di Cijeruk (Bogor). Setiap lokasi dilakukan pengambilan sampel sebanyak 30 tanaman yang terdiri dari 5 sampel diambil dari tanaman yang tidak bergejala, dan sisanya tanaman yang bergejala. Pengambilan sampel dilakukan secara acak, baik pada tanaman yang bergejala maupun tidak. Dokumentasi gejala di lapangan juga dilakukan untuk keperluan deskripsi gejala.

Pengamatan Partikel Virus

Sampel yang digunakan daun nilam yang terinfeksi virus. Pengamatan partikel virus dilakukan di Laboratorium Tropical Plant Protection, Department

(34)

12

of International Agricultural Development, Tokyo University of Agriculture (Jepang), serta di lembaga Eijkman, Jakarta. Pengamatan dilakukan dengan metode pewarnaan negatif dengan menggunakan grid berukuran 400 mesh, di bawah mikroskop elektron.

Deteksi Serologi

Sampel yang didapatkan dari lapangan, dideteksi secara serologi dengan menggunakan antiserum universal Potyvirus, antiserum spesifik BBWV2 dan CymMV (DSMZ, Jerman), serta antiserum spesifik CMV (Agdia, USA). Uji serologi dilakukan untuk mengetahui kejadian infeksi Potyvirus, BBWV2, CMV dan CymMV dari setiap lokasi pengambilan sampel. Sampel yang didapatkan dari setiap lokasi, yaitu sebanyak 30, dibuat menjadi 6 sampel komposit, dimana setiap komposit terdiri dari 5 sampel. Selanjutnya, bila sampel komposit menunjukkan hasil positif, uji serologi dilanjutkan terhadap setiap individu sampel dari sampel komposit positif tersebut.

Teknik DAS-ELISA untuk antiserum BBWV2 dan CymMV mengacu pada pedoman DSMZ. Antiserum (IgG), dilarutkan pada bufer coating (sodium carbonate 1.59 g; sodium bicarbonate 2.93g; sodium azide 0.2 g; aquades 1 L, pH 9.6), dengan perbandingan sesuai yang dianjurkan, kemudian dimasukkan ke dalam sumuran plat mikrotiter sebanyak 100 µl, diinkubasi pada suhu 37 oC, selama 2 sampai 4 jam. Plat mikrotiter dicuci dengan PBST (Phosphate Buffered Saline Tween : sodium chloride 8.0 g; monobasic potassium phosphate 0.2 g; dibasic sodium phosphate 1.15 g; potassium chloride 0.2 g; aquades 1 L; pH 7.4; tween 20 0.5 ml) tiga kali. Sampel digerus pada bufer ekstraksi (PBST + 2% PVP (Polyvinyl pyrrolidone)) dengan perbandingan 1:5 (b/v), dimasukkan ke sumuran plat mikrotiter sebanyak 100 µl, diinkubasi pada suhu 4 oC semalaman. Plat mikrotiter dicuci dengan PBST tiga kali. Enzim konjugat (IgG-AP) disiapkan, dilarutkan pada bufer konjugat (bufer ekstraksi + 0.2% egg albumin (Sigma A-5253)), dengan perbandingan sesuai yang dianjurkan, dimasukkan ke sumuran plat mikrotiter, diinkubasi pada suhu 37 oC, selama 4 jam. Plat mikrotiter dicuci dengan PBST tiga kali. Substrat, yaitu p-nitrophenyl phosphate (PNP) dilarutkan ke bufer substrat (diethanolamine 97 ml; sodium azide 0.2 g; aquades 1 L; pH 9.8), kemudian dimasukkan ke setiap sumuran plat mikrotiter, diinkubasi pada suhu ruang pada kondisi gelap, selama 30 sampai 60 menit, atau sampai diperoleh reaksi yang jelas.

Metode indirect-ELISA untuk antiserum Potyvirus dilakukan sesuai dengan anjuran dari DSMZ. Sampel digerus pada bufer coating + 0.05 M Dieca, kemudian dimasukkan ke sumuran plat mikrotiter sebanyak 100 µl, diinkubasi semalaman pada suhu 4 oC. Plat mikrotiter dicuci tiga kali dengan PBST. Skim milk 2% dalam PBST sebanyak 100 µl dimasukkan ke plat mikrotiter, diinkubasi selama 30 menit pada suhu 37 oC. Larutan skim milk dibuang. Larutan antiserum (IgG), dilarutkan dalam bufer konjugat, dimasukkan ke setiap sumuran sebanyak 100 µl, diinkubasi pada suhu 37 oC selama 2 sampai 4 jam. Plat mikrotiter dicuci tiga kali dengan PBST. Konjugat RAM-AP (Rabbit anti mouse yang telah dilabel dengan enzim Alkaline phosphatase), dilarutkan pada bufer konjugat, dimasukkan sebanyak 100 µl ke setiap sumuran, diinkubasi selama 2 jam pada suhu 37 oC. Plat

(35)

13 mikrotiter dicuci tiga kali dengan PBST. PNP dilarutkan pada bufer substrat, dimasukkan ke setiap sumuran sebanyak 100 µl, diinkubasi pada suhu ruang pada kondisi gelap, selama 30 sampai 60 menit, atau sampai reaksi yang jelas diperoleh.

Prosedur Indirect-ELISA untuk antiserum CMV sesuai dengan anjuran dari Agdia : sampel digerus pada bufer ekstraksi. Sampel sebanyak 100 µl dimasukkan ke plat mikrotiter, diinkubasi semalam pada suhu 4 oC. Plat mikrotiter dicuci dengan larutan PBST 1x, 3 sampai 5 kali, sampai bersih. Antiserum primer (IgG) dilarutkan dalam bufer konjugat dengan perbandingan sesuai yang direkomendasikan, kemudian dimasukkan sebanyak 100 µl ke setiap sumuran plat mikrotiter, diinkubasi selama 1 sampai 2 jam pada suhu ruang. Plat mikrotiter dicuci dengan PBST 1x sebanyak tiga kali. Enzim konjugat GAR-AP (Goat anti-rabbit yang telah dilabel dengan enzim Alkaline phosphatase) dilarutkan dalam bufer konjugat, dimasukkan ke sumuran plat sebanyak 100 µl, diinkubasi selama 1 jam pada suhu ruang. Plat dicuci dengan PBST 1x, sebanyak 3 kali. Tablet PNP dilarutkan dalam bufer PNP, dimasukkan ke sumuran plat sebanyak 100 µl, diinkubasi selama 15 menit sampai 4 jam pada ruang gelap, sampai terjadi perubahan warna.

Titer virus secara kuantitatif dibaca menggunakan ELISA READER model 550 (Bio-Rad, USA) pada panjang gelombang 405 nm. Hasil pembacaan dengan ELISA reader dinilai positif bila nilai absorbansinya 1.5 kali lebih besar daripada kontrol negatif.

Deteksi Asam Nukleat

Ekstraksi RNA

Ekstraksi RNA dilakukan dengan Xprep Plant RNA mini kit

(PKT-Philekorea Technology). Bufer XPRB disiapkan dengan menambahkan 1% mercaptoethanol (ME). Sampel daun nilam sebanyak 0.1 g digerus menggunakan nitrogen cair pada mortar, sampai menjadi serbuk. Serbuk sampel ditambah bufer XPRB yang telah ditambah ME, dimasukkan ke dalam kolom filter dan disentrifugasi selama 2 menit pada kecepatan 13 000 rpm. Supernatan dipindahkan ke tabung eppendorf baru dan etanol absolut ditambahkan sebanyak 0.5 kali volume supernatan, dan dicampur dengan cara dipipet atau dibolak-balik. Kemudian supernatan dalam alkohol dimasukkan ke dalam kolom XPPLR mini, dan disentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 13 000 rpm. Setelah supernatan dibuang, kolom diberi wash buffer 1 (WB1) sebanyak 500 µl, disentrifugasi selama 1 menit, dan supernatan dibuang. Wash buffer 2 (WB2) sebanyak 750 µl ditambahkan ke dalam kolom, disentrifugasi selama 1 menit, dan supernatan dibuang. Selanjutnya, untuk mengeringkan kolom, dilakukan sentrifugasi kolom selama 3 menit pada kecepatan 13 000 rpm. RNA total dikoleksi dengan cara memberikan air bebas nuklease sebanyak 50 µl ke pusat membran kolom XPPLR yang diletakkan pada tabung eppendorf baru, dibiarkan selama 1 menit, lalu disentrifugasi selama 2 menit. RNA yang telah diperoleh disimpan di freezer -80

o

(36)

14

Konstruksi cDNA (complementary DNA)

Reaksi reverse transcription (RT) dilakukan untuk membuat cDNA dengan menggunakan enzim reverse transcriptase. Adapun reaksi RT dilakukan dalam 10 µl reaksi campuran yang terdiri dari air bebas nuklease (3.7 µl), bufer RT 5x (2 µl), DTT 50 mM (0.35 µl), dNTP 10 mM (0.5 µl), M-MuLV Rev (Fermentas) (0.35 µl), RNase Inhibitor (0.35 µl), Oligo d(T) 10 µM (0.75 µl) dan RNA templat (2 µl) selama 1 jam pada suhu 42 oC.

Amplifikasi DNA dan Multiplex Reverse Transcription Polymerase Chain

Reaction (RT-PCR)

Amplifikasi DNA. Sepasang primer degenerate untuk BBWV1 dan

BBWV2 (BBWVSSP dan BBWVKMRM), digunakan dalam deteksi awal BBWV2 pada nilam. Dengan primer ini, ukuran produk yang didapatkan sebesar 323 pb, yang merupakan bagian dari C-terminal Large Coat Protein (LCP) sampai N-terminal Short Coat Protein (SCP) Selanjutnya, untuk mendapatkan keseluruhan bagian gen CP, yang berukuran 2 000 pb, digunakan primer degenerate BBWV (BBWV25 dan BBWV3487M) (Kondo et al. 2005) (Tabel 1). Untuk mendeteksi Potexvirus pada nilam, digunakan sepasang primer universal Potexvirus, yang mengamplifikasi bagian RNA dependent RNA polymerase (RdRp/replikase) (Miglino et al. 2011). Selanjutnya, untuk mengamplifikasi keseluruhan gen CP CymMV, digunakan sepasang primer spesifik CyCP-F1 dan CyCP-R1 (Lee dan Chang 2008) (Tabel 1). Deteksi Potyvirus secara molekuler menggunakan primer degenerate P9502 dan CPUP, yang mengamplifikasi wilayah CP Potyvirus (Van der vlugt et al 1999).

Tabel 1 Primer - primer yang digunakan untuk deteksi virus mosaik nilam No. Pasangan

Primer

Urutan Basa Ukuran

DNA

Sumber Rujukan

1 BBWVVSSP 5’-GTBTCDAGTGCTYTD GAAGG-3’ 323 pb Kondo et

al. (2005) BBWVKMRM 5’-TDGWDCCATCVAG ICKCATTTT-3’ 2 BBWV25 5’-AATGARRTKGTNCTCAAYTA-3’ 2 000 pb Kondo et al. (2005) BBW3487M 5’-AMAMAGGTCATGGAACCCA-3’.

3 Potex4 5’-AGCATGGCGCCATCTTGTGACTG-3’ 280 pb Miglino et

al. (2011) Potex5 5’-CTGAAGTCACAATGGGTGAAGAA-3’ 4 CyCP-F1 5-ATGGGAGAGYCCACTCCARCYCCAGC-3′ 679 pb 800 pb Lee dan Chang (2008) Van der vlugt et al. (1999) 5 CyCP-R1 P9502 CPUP 5′-ATCGCTCGAGTTCAGTAGGGGGTGCAG GCA-3′ 5’-GCGGATCCTTTTTTTTTTTTTTTTTT-3’ 5’-TGAGGATCCTGGTGYATHGARAAYG-3’

cDNA yang dihasilkan dari hasil RT, diamplifikasi pada reaksi campuran dengan total volume 25 µl yang terdiri dari : air bebas nuklease 9.5 µl, PCR mix (Go Green Taq-Promega) 12.5 µl, primer forward 10 µM dan reverse 10 µM,

(37)

15 masing – masing 1 µl dan DNA templat 1 µl. Program PCR diatur berbeda, tergantung pasangan primer yang digunakan (Tabel 2).

Tabel 2 Program Amplifikasi untuk setiap primer yang digunakan dalam kegiatan PCR No. Pasangan Primer Program PCR Sumber Rujukan 1 BBWVVSSP BBWVKMM

Denaturasi awal pada suhu 95 oC selama 5 menit; 35 siklus terdiri dari 95 oC selama 1 menit, 51 oC selama 1 menit dan 72 oC selama 1 menit; ekstensi akhir 72 oC selama 5 menit

Kondo et al. (2005)

2 BBWV25 Denaturasi awal, suhu 99 oC selama 5 menit; 35 siklus terdiri dari 94 oC selama 1 menit, 55 oC selama 2 menit dan 72 oC selama 3 menit; ekstensi akhir 72 oC selama 5 menit

Kondo et al. (2005)

BBW3487M

3 Potex4 Denaturasi awal, suhu 94 oC selama 2 menit; 35 siklus terdiri dari 94 oC selama 30 detik, 55 oC selama 1 menit dan 72 oC selama 1 menit; ekstensi akhir 72 oC selama 5 menit

Miglino et al. (2011)

Potex5

4 CyCP-F1 Denaturasi awal pada suhu 96 oC selama 5 menit, 30 siklus : 96 oC selama 30detik; 52 oC selama 30 detik; 72 oC selama 30 detik, ekstensi akhir 72 oC selama 7 menit. Denaturasi awal pada suhu 94 oC selama 5 menit, 45 siklus : 94 oC selama 1 menit; 54 oC selama 2 menit; 72 oC selama 1 menit, ekstensi akhir 72 oC selama 10 menit.

Lee dan Chang (2008)

Van der vlugt et al. (1999), modifikasi 5 CyCP-R1 P9502 CPUP

Multiplex RT-PCR. Untuk menyediakan deteksi cepat virus – virus yang menginfeksi nilam secara simultan, dilakukan optimasi multiplex RT-PCR Potyvirus, BBWV2 dan CymMV. Primer yang digunakan adalah primer degenerate Potyvirus, P9502 dan CPUP (800 pb), primer degenerate BBWV, BBWVVSSP dan BBWVKMRM (323 pb), serta primer spesifik CymMV, CyCP-F1 dan CyCP-R1 (679 pb). Untuk optimasi reaksi multiplex RT-PCR, digunakan beberapa kombinasi konsentrasi primer sebagai berikut (Tabel 3):

Tabel 3 Kombinasi total konsentrasi primer Potyvirus, BBWV2, dan CymMV

Kombinasi ke- Konsentrasi Primer (µM)

Potyvirus BBWV2 CymMV I 10 10 10 II 3 3 3 III 3 10 3 IV 3 7 3 V 3 7 5 VI 3 7 7 VII 3 5 5 VIII 3 5 7

(38)

16

cDNA yang dihasilkan dari hasil RT, diamplifikasi pada reaksi campuran PCR mix (Go Green Taq-Promega) 12.5 µl, primer forward dan reverse 10 µM, masing – masing sesuai konsentrasi primer pada Tabel 3, DNA template 1 µl, dan air bebas nuklease ditambahkan sampai volume 25 µl. Program PCR terdiri dari 1 siklus 95 oC selama 5 menit, 10 siklus pada suhu 95 oC selama 1 menit; 51 oC selama 1 menit; 72 oC selama 1 menit, 30 siklus pada suhu 94 oC selama 1 menit; 54 oC selama 1 menit; 72 oC selama 2 menit, ekstensi akhir 72 oC selama 10 menit.

Visualisasi DNA

DNA hasil amplifikasi PCR divisualisasi pada gel agarosa 1 atau 1.5 % yang telah ditambah ethidium bromide (0.5 µl/10 ml 0.5x TBE). Sampel dimasukkan ke dalam sumuran gel agarosa, kemudian dielektroforesis pada 50 Volt selama 50 menit. Hasil visualisasi dilihat di bawah transilluminator ultraviolet dan didokumentasi dengan kamera digital.

Analisis Runutan Nukleotida dan Asam amino

Perunutan Susunan Nukleotida

Perunutan susunan nukleotida menggunakan mesin sequencer ABI-Prism 3100-Avant Genetic Analyzer di laboratorium Research and Development Centre PT. Genetika Science Indonesia. Hasil runutan dianalisis menggunakan software Blast (www. NCBI. Nml. Niv.gov) dan software Wu-Blast (www.ebi.ac.uk). Contiq hasil perunutan DNA dilakukan dengan bantuan program Sequencher4.8 dan software Complementor (www.justbio.com). Selanjutnya, hasil runutan yang sudah diolah, diterjemahkan menjadi urutan protein (asam amino), dengan bantuan software Translate ( www.expasy.org.tools).

Analisis Identitas Matriks dan Filogenetika

Hasil runutan yang telah diolah, dibandingkan tingkat homologi runutan gen CP dan asam aminonya dengan beberapa genom virus dari berbagai negara yang diambil dari database GenBank.

Matriks identitas nukleotida dan asam amino diperoleh dengan menggunakan software BioEdit versi 7.0. Selanjutnya, gambar pensejajaran susunan nukleotida didapatkan dengan menggunakan program GeneDoc versi 2.7.000.

Pohon filogenetika dikonstruksi dengan menggunakan software MEGA 4.0 (Molecular Evolutionary Genetic Analysis software) (Tamura et al. 2007), dengan metode neighbour-joining menggunakan bootstrap 1000 kali ulangan.

(39)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gejala Infeksi Virus pada Nilam

Infeksi virus pada tanaman nilam menyebabkan gejala mosaik dengan beberapa variasi, yaitu mosaik lemah, bintik kuning, mosaik hijau muda hijau tua, dengan penebalan pada warna hijau tua, mosaik dengan perubahan bentuk pada daun (malformasi) serta mosaik hijau tua dan kuning (Gambar 5). Gejala mosaik, baik mosaik, mosaik hijau muda hijau tua, serta mosaik hijau tua dan kuning, ditemukan di semua lokasi pengambilan sampel. Sedangkan gejala bintik kuning hanya ditemukan pada sampel asal Cicurug.

Penelitian sebelumnya menemukan bahwa sampel dari Bogor, Cianjur, Sukabumi dan Garut (Jawa Barat), Pakpak Barat (Sumatera Utara) serta Pasaman Barat (Sumatera Barat) menunjukkan gejala mosaik yang bervariasi juga. Gejala mosaik lemah sampai parah menunjukkan terinfeksi oleh Potyvirus secara tunggal. Sedangkan gejala mosaik parah yang ditemukan di Brebes (Jawa Tengah) disebabkan oleh infeksi tunggal BBWV2 (Noveriza et al. 2012a). Gejala mosaik dilaporkan sebelumnya pada pertanaman nilam di India yang terinfeksi PStV (Potyvirus) (Singh et al. 2009), dan di Jepang yang terinfeksi oleh PatMMV (Fabavirus) (Natsuaki et al. 1994).

Gambar 5 Gejala infeksi virus pada tanaman nilam di lapangan. a. tidak bergejala, b dan c. mosaik lemah, d – g. variasi gejala mosaik, h. bintik kuning

Kejadian Infeksi Virus pada Pertanaman Nilam

Hasil uji serologi menunjukkan bahwa BBWV2 dan Potyvirus menginfeksi tanaman nilam di ketiga lokasi pengambilan sampel, CymMV ditemukan di Cicurug dan Manoko, sedangkan CMV ditemukan di Manoko dan

a b c g f e d h a h g f e d c b

Gambar

Tabel 1 Primer - primer yang digunakan untuk deteksi virus mosaik nilam
Tabel 2 Program Amplifikasi untuk setiap primer yang digunakan dalam kegiatan  PCR  No
Gambar 5  Gejala  infeksi  virus  pada  tanaman  nilam  di  lapangan.  a.  tidak  bergejala,  b  dan  c
Tabel  4  Kejadian  infeksi  Potyvirus,  BBWV2,  CymMV,  CMV  dan  TMV  pada   pertanaman nilam di Manoko, Cicurug dan Cijeruk
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pengujian hipotesis pertama dan kedua merupakan pengembangan dari hasil penelitian Lui dan Jamieson (2003) dapat diketahui perceived case of use dan perceived

TARIF LAYANAN BADAN LAYANAN UMUM POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG.. PADA

Proses penangkapan dilakukan pada malam hari dengan mempergunakan umpan berupa kelapa yang ditempatkan di lokasi yang diperkirakan terdapat ketam kenari, yaitu berupa

Pemeluk agama Islam disini selain bangsa Inggris sendiri juga imigran Arab, Turki, Mesir, Cyprus, Yaman, Malaysia dan lain-lain yang jumlahnya ± 1 ½ juta orang

proyek sehingga masyarakat umum tidak mengetahui volume besarnya dana yang dikerjakan. Terdapat fenomena masalah yang penulis temui yaitu, masih rendahnya

Definisi promosi penjualan menurut institute of sales promotion in England: Promosi penjualan terdiri dari serangkaian teknik yang digunakaan untuk

Dari hasil simulasi ada dua hal yang bisa dianalisis yaitu (i) ketika jarak antara sumber ke tujuan dekat (dengan rasio kecil) menggunakan beberapa relay di jaringan

Klien pernah masuk rumah sakit jiwa menur sebanyak dua kali dengan alasan dirumah klien sering marah-marah, suka membentak orang, pernah mencoba memukul