• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS STRUKTUR SERAT SELULOSA DARI BAKTERI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS STRUKTUR SERAT SELULOSA DARI BAKTERI"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

17

ANALISIS STRUKTUR SERAT SELULOSA DARI BAKTERI

Heru Suryanto

Jurusan Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang Email: heru.suryanto.ft@um.ac.id

Abstrak

Upaya ekstrak selulosa dari tanaman sangat membutuhkan energi dan memiliki potensi dalam merusak lingkungan, sehingga diperlukan alternatif sumber selulosa yang dapat diperbarui dengan hasil yang lebih efisien yaitu dengan produksi serat selulosa dari bakteri. Untuk itu penelitian ini bertujuan mengkarakterisasi struktur selulosa dari bakteri dan dibandingkan dengan struktur selulosa dari tumbuhan. Metode yang digunakan adalah pembuatan film serat selulosa bakteri yang diperoleh dari nata de coco komersial dengan cara pengeringan oven, selanjutnya, dilakukan pengujian X-ray diffraction (XRD) dan pengamatan dengan kamera optik dan Scanning Microscope Electron (SEM) dari serat selulosa bakteri serta dibandingkan dengan selulosa yang diekstrak dari serat tanaman mendong. Hasil pengamatan morfologi menunjukkan serat selulosa bakteri memiliki diameter rerata 75 nm. Analisis struktur dengan menggunakan XRD menghasilkan 3 puncak utama dari difraktogram pada sudut diffraksi 14,2°, 16,7°, dan 22,4° dan kristalinitas serat selulosa bakteri diketahui sebesar 88% dan indeks kristalnya sebesar 86,5%. Selulosa bakteri memiliki struktur selulosa I alpha sedangkan selulosa tanaman memiliki struktur selulosa I beta.

Kata kunci : kristalinitas, nata de coco, selulosa bakteri, struktur, XRD

1. Pendahuluan

Pada dekade terakhir, bahan-bahan alam khususnya serat telah diaplikasikan dalam bentuk biokomposit untuk berbagai peralatan teknologi. Serat alam selulosa telah mampu memperbaiki sifat-sifat komposit pada komposit matrik termoplastik dan thermoset untuk aplikasi struktur dan non struktur. Keunggulan pengunaan serat alam dibandingkan serat sintetis dalam komposit adalah harga murah, mudah dipisahkan, kemampuan biodegradasi, densitas rendah, dan dapat diperbarui (Li, et al (2007); Mu, et al (2009)).

Selulosa adalah polimer alami yang paling melimpah di dunia dan sebagian besar ada di tanaman yang lebih tinggi seperti juga pada protozoa, ganggang, dan bakteri (Musa, et al (2016). Berbagai bentuk selulosa memiliki banyak kegunaan seperti sebagai pengganti lemak dan zat penggembur dalam makanan rendah kalori, seperti pengubah tekstur, pengemulsi, dan pemanjang. Dalam produk makanan diperoleh sebagai pulp dari bahan berserat seperti kayu atau kapas dan dapat digunakan dalam aplikasi farmasi penguat untuk matrik polimer hidrophobik, implan biomedis dan komposit material (Lavanya, et al (2015)).

Banyak peneliti menggunakan selulosa sebagai filler komposit polimer dalam bentuk nanofibril ataupun selulosa nanokristal. Nanokristal ini disiapkan dari serat dengan menghancurkan serat ekstraksi sampai pada proses hidrolisis asam yang

menurunkan daerah amorf, menghasilkan nanopartikel kristal yang sangat tinggi (Zhang, et al (2013)). Namun proses ini membutuh energi yang tinggi sehingga menjadikan proses menjadi mahal. Untuk mengatasi itu, dikembangkan metode preparasi nanoselulosa dari bakteri yang dapat menggantikan nanofibril selulosa tanaman dengan lebih mudah (Esa, et al (2014)). Hal ini tentunya akan membawa pada kelestarian lingkungan tanaman.

Penelitian terhadap selulosa yang disintesis oleh mikroorganisme memperoleh banyak perhatian. Beberapa bakteri mampu mensintesis nanofibril selulosa bakteri (BC) dalam bentuk nata melalui polimerisasi molekul glukosa yang diubah menjadi rantai β-1,4-glukan di bagian dalam BC (Iguchi, et al (2000)). Produk selulosa bakteri yang paling sering dijumpai adalah nata de coco yang dihasilkan dari fermentasi air kelapa dengan menggunakan Acetobacter xylinum. Dalam kondisi kultur statis, bakteri ini menghasilkan gel tebal atau pellicle yang memiliki sifat unik seperti kemurnian tinggi, kristalinitas tinggi, sifat mekanik yang luar biasa dan kemampuan untuk membentuk lembaran membran homogen. Lembaran berukuran nano ini memiliki biokompatibilitas yang sangat baik dan struktur halus. Selain itu, serat BC memiliki sifat mekanik yang sangat baik dan kapasitas menahan air yang tinggi, kekuatan tarik tinggi dan biodegradable. Hal tersebut membuatnya berpotensi diterapkan dalam berbagai penelitian ilmu polimer, bahkan telah

(2)

18 banyak aplikasi di kertas, tekstil, dan industri makanan, dan sebagai biomaterial dalam kosmetik dan obat-obatan. Oleh karena itu perlu eksplorasi untuk mempelajari struktur serat selulosa bakteri dan membandingkannya dengan struktur serat selulosa dari tanaman.

2. Metode

Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi untuk memperoleh gambaran struktur dari serat selolosa dari bakteri. Adapun alir dari kegiatan ini, ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram alir proses

2.1 Bahan

Bahan penelitian berupa bakterial selulosa yang telah diproduksi secara komersial dalam bentuk nata de coco, sedangkan selulosa pembanding digunakan selulosa yang diekstraksi dari serat mendong.

2.2 Pembentukan film selulosa bakteri

Film selulosa bakteri diperoleh dengan cara melakukan penekanan pada produk nata de coco sehingga kandungan airnya berkurang dan menjadi pipih selanjutnya dikeringkan dengan suhu 80°C selama 3 jam dalam oven. Setelah kering, film di uji lebih lanjut.

2.3 Ekstraksi selulosa tanaman

Serat mendong diperoleh dengan ekstraksi dari batang mendong secara mekanis dengan dipukul-pukul selanjutnya bagian seratnya diambil. Serat dicuci dengan air suling beberapa kali dan dikeringkan dalam oven (redLINE oleh Binder, Model RE 53) pada suhu 80°C selama 24 jam. Kemudian, serat dipotong menjadi potongan-potongan kecil (panjangnya kira-kira 5 mm). Selanjutnya, dilakukan tahap dewaxing yaitu merendam dalam campuran toluena/etanol (2:1 v/v) yang mendidih dalam Soxhlet selama 6 jam. Serat di de-wax kemudian disaring, dicuci dengan etanol selama 30 menit dan dikeringkan. 50 g mendong

dihancurkan menggunakan mesin blender (Nasional, Indonesia) lalu disaring menggunakan filter 60 mesh. Serbuk mendong kering dicelup menggunakan campuran pelarut organik, toluena, dan etanol, dengan perbandingan 4: 1 (v/v) dalam perangkat Soxhlet untuk menghilangkan minyak atau lilin. Serbuk yang sudah dihilangkan wax-nya dicuci dengan etanol dan dikeringkan pada suhu 70 °C dalam oven. Setelah de-lignifikasi, 10 g serbuk tersebut dikeringkan dan direndam dalam larutan NaOH 500 mL dengan konsentrasi 60% selama 4 jam pada suhu 80°C dan kemudian dibilas dengan aquades. Selanjutnya, selulosa diambil dan dicuci dengan menggunakan air suling berulang kali sampai larutan memiliki pH netral. Selulosa dikeringkan dan dikeringkan dalam oven pada suhu 50°C selama 3 jam. Selulosa dikelantang menggunakan larutan hidrogen peroksida 5% dengan pH 12 pada suhu 70°C selama 3 jam. Selulosa diambil dan dicuci dengan air suling sampai pH netral. Ulangi proses dengan suhu yang sama dengan menggunakan perlakuan hidrogen peroksida selama 6 jam dan diulang lagi dengan selama 5 jam. Selulosa dikeringkan dan dikeringkan di tempat terbuka pada suhu 60°C selama 3 jam.

2.4 Pengamatan morfologi

Morfologi struktur selulosa dari bakteri diamati dengan menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) (FEI, Inspect-S50 type) dengan tegangan 10.00 kV. Sebelum proses sem dilakukan, spesimen di lapisi dengan lapisan emas setebal 10 nm dengan metode sputtering (sputter coater, SC7-620 Emitech).

2.5 Analisis struktur dengan X-ray diffraction

Struktur selulosa dianalisis menggunakan X-ray diffraction (PanAnalytical X-Pert Pro Diffractometer) pada kondisi temperatur kamar dengan radiasi CuK ( = 1.54 Å). Film BC kering digunakan sebagai sampel uji analisis X-ray diffraction. Intensitas radiasi CuK direkam pada sudut 2 dalam rentang sudut 5 sampai 50 dengan pertambahan 0.02 tiap langkah dengan tegangan 40 kV dan arus 30 mA. Indeks kristalinitas (CI) dan derajat kristalinitas (%Cr) dari BC dihitung dengan metode empiris Segal (Suryanto, et al (2014)), yaitu.

(1)

(2)

Dimana I(002) adalah intensitas puncak terbesar

yang sesuai dengan bidang pada sampel dengan indeks Miller (0 0 2) pada sudut 2 dalam kisaran 22-23 derajat yang mewakili bahan kristal dan Iam

adalah intensitas minimum difraksi dari bahan non-kristalin, yang diambil pada sudut sekitar 18 derajat

(3)

19 di lembah di antara puncak, mewakili bahan amorf dalam serat selulosa

3. Hasil dan Pembahasan

Sepotong nata de coco putih sepanjang 20 cm, lebar 20 cm dan tebal 1,5-2 cm dapat diperoleh setelah melalui proses fermentasi air kelapa selama 14 hari dan selanjutnya dipotong sesuai dengan kebutuhan. Dalam kondisi ini, kandungan air di dalam nata de coco masih sangat tinggi (Gambar 2a). Oleh karena itu, untuk menjadikannya dalam bentuk lembaran polimer, nata de coco perlu ditekan dan dikeringkan pada suhu 80°C untuk mendapatkan nata de coco dalam bentuk film tipis (Gambar 2b). Permukaan film ditemukan terdiri dari banyak senar terjalin yang menghasilkan struktur seperti jaringan yang terbentuk dari fibril halus yang saling tumpang tindih membentuk lapisan pita selulosa yang berorientasi secara acak. Pita ultrafine selulosa mikroba, panjangnya berkisar antara 1 sampai 9 µm, membentuk struktur retikulasi padat, distabilisasi oleh ikatan hidrogen yang luas. Derajat polimerisasi berkisar 2000 sampai 6000 bahkan dapat mencapai 20000 sedangkan derajat polimerisasi tanaman berkisar 13000 sampai 14000 (Bielecki, et al (2005)).

Morfologi dari selulosa bakteri tergantung dari metode kultur yang berbeda dengan bakteri yang berbeda. Bakteri bisa menghasilkan flocky asterisk-like BC atau solid sphere-asterisk-like BC (Bi, et al (2014). Gambar SEM dari film BC ini menunjukkan bahwa nata de coco terdiri dari serat selulosa dengan diameter rata-rata sekitar 70 nm dengan panjang beberapa mikrometer (Gambar 2c). Morfologi dari serat nano selulosa bakteri dicirikan oleh jaringan fibril interkoneksi yang mengandung ikatan dan agregasi dan membentuk struktur tiga dimensi seperti ditunjukkan pada Gambar 2c dengan ukuran rongga atau lubang pori yang bervariasi. Lubang ini cocok untuk matriks dalam suatu sistem komposit. Namun, keberadaan pori-pori bisa menjebak air dan melemahkan struktur yang menyebabkan kekuatan tarik menurun (Pa’e, et al (2014)).

Gambar 3 menunjukkan hasil difraksi dengan sinar X yang menunjukkan struktur dari serat selulosa. Difraktogram serat selulosa dari bakteri menghasilkan 3 puncak difraksi pada sudut 2: 14,2°, 16,7°, dan 22,4° sedangkan serat selulosa dari tanaman mendong menghasilkan 4 puncak difraksi pada sudut 2: 14,9°, 16,5°, 22,6°, dan 34,5°. 3 puncak difraksi awal terkait dengan bidang kristal 1

ī

0, 110, and 002 (Vicente, et al (2017)) sedangkan puncak difraksi terakhir dari serat tanaman menunjukkan bidang kristal 040 (Suryanto, et al (2017)).

Bagian amorf dari struktur serat selulosa ditunjukkan oleh lembah difractogram antara dua puncak, dengan daerah pada 2 sekitar 18°. Struktur selulosa ditunjukkan oleh puncak difraksi dalam kisaran antara 22 dan 23 yang merupakan karakteristik dari selulosa asli (selulosa I) (Le Troedec, et al (2008)). Oleh karena itu, puncak jenis struktur selulosa yang dihasilkan dari bakteri merupakan selulosa I. 2 puncak difraksi terdepan menunjukkan tipe lain dari selulosa I dimana untuk struktur selulosa Iβ memiliki puncak sudut difraksi 14,9 dan 16,7 sedangkan struktur selulosa I memiliki puncak sudut difraksi 14,3dan 16,8 (Cheng, et al (2011)). Mengamati puncak sudut difraksi dari serat selulosa bakteri menunjukkan bahwa puncak dengan intensitas tinggi terdapat pada sudut 14,2° sedangkan puncak dengan intensitas rendah terdapat pada 16,7° sehingga struktur dari selulosa bakteri sampel lebih merujuk pada struktur selulosa I alpha. Struktur selulose I alpha adalah triclinic dengan dimensi sel a = 0,674 nm, b= 0,593 nm, c= 1,036 nm (sumbu rantai), = 117 °, β= 113°,

 = 81°, dan satu residu selobiose per unit sel dengan unit volume sel adalah 0.3395 nm3 dan densitas 1,582 cm-3. Untuk selulosa dari serat mendong diketahui memiliki struktur selulosa I beta dengan a = 0.801 nm, b = 0,817 nm, c = 1,036 nm (sumbu rantai),  = β = 90,0°,  = 97,3 °, dan dua residu selobiose per unit sel dengan unit volume sel adalah 0,6725 nm3 dan densitas 1,599 cm-3 (Heiner, et al (1995); Suryanto, et al (2014)).

(4)

20

Gambar 2. Membran nanoselulosa dari nata de coco pada kondisii basah (A) dan pada kondisi kering (B) serta pengamatan film dengan SEM (C).

Gambar 3. Difraktogram serat selulosa yang diperoleh dari bakteri dan mendong

Pembentukan struktur selulosa bakteria dipengaruhi oleh kondisi kulturnya. Disamping dipengaruhi oleh jenis bakteri yang memproduksi (Bi, et al (2014)), kultur dalam reaktor maupun kultur statik juga mempengaruhi dimana kultur statik cenderung menghasilkan selulosa I alpha (Zhou, et al (2007)). Disamping itu, proses pengeringan dari produk selulosa bakteri juga tergantung dari metode pengeringannya (Pa’e, et al (2014)).

Puncak ketiga dari pola difraksi selulosa serat tanaman adalah pada sudut 34,5º dengan intensitas rendah. Puncak ini menunjukkan seperempat panjang unit selobiose dan timbul dari pengaturan sepanjang arah serat. Hal ini sensitif terhadap penyelarasan rantai menjadi fibril (Cheng, et al (2011)). Disamping itu, sudut diffraksi ini

merupakan pengindeks dari struktur monoklinik dan dianggap umum di semua selulosa asli dari sumber tanaman (Clair, et al (2006)).

Dari difraktogram, derajat kristalinitas dan indeks kristalin dari bakterial selulosa yang ditentukan dengan menggunakan persamaan Segal (persamaan 1 dan 2) menghasilkan derajat kristalinitas sebesar 88% dan indeks kristalin sebesar 86.5%. Ini sangat sesuai dengan derajat kristalinitas dari selulosa bakteri yang berkisar 87-90% (Pa’e, et al (2014)). Bila dibandingkan dengan serat selulosa dari tanaman mendong yang memiliki derajat kristalinitas berkisar 83,5% dan indeks kristal berkisar 85%, maka kristalinitas selulosa bakteri lebih tinggi yang menunjukkan bahwa serat selulosa yang dihasilkan bakteri memiliki tingkat kemurnian yang lebih tinggi dan proses untuk menghasilkan

(5)

21 kemurnian ini lebih mudah dibandingkan dengan memurnikan serat dari tanaman, sehingga proses produksi serat selulosa melalui bakteri akan lebih menjanjikan karena hasil yang diperoleh lebih murni, biaya proses pemurnian lebih rendah dan waktu pembentukan selulosa lebih singkat.

4. Kesimpulan dan Saran

Hasil analisis menunjukkan bahwa struktur serat selulosa yang dihasilkan oleh bakteri dalam produk nata de coco adalah berupa selulosa alpha sedangkan serat selulosa dari tanaman mendong adalah selulosa beta. Kemurnian dari serat selulosa produk dari bakteri lebih baik dibandingkan dengan serat selulosa dari tanaman sehingga dimasa depan sangat baik untuk dikembangkan sebagai penghasil selulosa yang lebih murah dan efisien untuk berbagai aplikasi teknik material.

Untuk pengembangan lebih lanjut maka dapat dilakukan proses ekstraksi nanofiber selulosa dari bakteri agar dapat dikembangkan lebih lanjut sebagai penguat dari produk komposit disamping itu juga perlakuan kimia yang perlu dilakukan untuk memperbaiki kompatibilitas serat selulosa dalam matrik polimer.

Daftar Pustaka:

Bi, J.-C., Liu, S.-X., Li, C.-F., Li, J., Liu, L.-X., Deng, J., Yang, Y.-C. (2014): Morphology and structure characterization of bacterial

celluloses produced by different strains in agitated culture. J. Appl. Microbiol. 117, 1305–11.

Bielecki, S., Krystynowicz, A., Turkiewicz, M., Kalinowska, H., Bielecki, S., Krystynowicz, A., Turkiewicz, M., Kalinowska, H. (2005): Bacterial Cellulose. In: Vandamme, E.J., De Baets, S., Steinbüchel, A. (Eds.), Biopolymers Online. Wiley-VCH Verlag GmbH & Co. KGaA, Weinheim, Germany.

Cheng, G., Varanasi, P., Li, C., Liu, H.,

Melnichenko, Y.B., Simmons, B.A., Kent, M.S., Singh, S. (2011): Transition of cellulose crystalline structure and surface morphology of biomass as a function of ionic liquid pretreatment and its relation to enzymatic hydrolysis. Biomacromolecules 12, 933–41. Clair, B., Alméras, T., Yamamoto, H., Okuyama, T.,

Sugiyama, J. (2006): Mechanical Behavior of Cellulose Microfibrils in Tension Wood, in Relation with Maturation Stress Generation. Biophys. J. 91, 1128–1135.

Esa, F., Tasirin, S.M., Rahman, N.A. (2014): Overview of Bacterial Cellulose Production

and Application. Agric. Agric. Sci. Procedia 2, 113–119.

Heiner, A.P., Sugiyama, J., Teleman, O. (1995): Crystalline cellulose Ialpha and Ibeta studied by molecular dynamics simulation. Carbohydr. Res. 273, 207–223.

Iguchi, M., Yamanaka, S., Budhiono, A. (2000): Bacterial cellulose — a masterpiece of nature ’ s arts. J. Mater. Sci. 35, 261–270.

Lavanya, D., Kulkarni, P., Dixit, M., Raavi, P., Krishna, L. (2015): Sources of cellulose and their applications- A review. Int. J. Drug Formul. Res. 2, 19–38.

Le Troedec, M., Sedan, D., Peyratout, C., Bonnet, J.P., Agnes, S. (2008): Influence of various chemical treatments on the composition and structure of hemp fibres. Compos. Part A 39, 514–522.

Li, X., Tabil, L.G., Panigrahi, S. (2007): Chemical Treatments of Natural Fiber for Use in Natural Fiber-Reinforced Composites: A Review. J. Polym. Environ. 15, 25–33. Mu, Q., Wei, C., Feng, S. (2009): Studies on

Mechanical Properties of Sisal Fiber / Phenol Formaldehyde Resin In-Situ Composites. Polym. Compos. 30, 131–137.

Musa, A., Ahmad, M.B., Hussein, M.Z., Mohd Izham, S., Shameli, K., Abubakar Sani, H., (2016): Synthesis of Nanocrystalline Cellulose Stabilized Copper Nanoparticles. J.

Nanomater. 2016, 1–7.

Pa’e, N., Hamid, N., Khairudin, N., Zahan, K., Seng, K., Siddique, B., Muhammad, I. (2014): Effect of Different Drying Methods on the

Morphology , Crystallinity , Swelling Ability and Tensile Properties of Nata De Coco. Sains Malaysiana 43, 767–773.

Suryanto, H., Fikri, A.A., Permanasari, A.A., Yanuhar, U., Sukardi, S. (2017): Pulsed Electric Field Assisted Extraction of Cellulose From Mendong Fiber ( Fimbristylis

globulosa) and its Characterization. J. Nat. Fibers 1–10 (inpress).

Suryanto, H., Irawan, Y.S., Marsyahyo, E., Soenoko, R. (2014): Effect of Alkali Treatment on Crystalline Structure of Cellulose Fiber From Mendong (Fimbristylis globulosa) Straw. Key Eng. Mater. 594–595, 720–724.

Suryanto, H., Marsyahyo, E., Irawan, Y.S., Soenoko, R. (2014): Morphology, Structure, and Mechanical Properties of Natural Cellulose Fiber from Mendong Grass (Fimbristylis globulosa). J. Nat. Fibers 11, 333–351. Vicente, A.T., Araújo, A., Gaspar, D., Santos, L.,

Marques, A.C., Mendes, M.J., Pereira, L., Fortunato, E., Martins, R. (2017):

Optoelectronics and Bio Devices on Paper Powered by Solar Cells. In: Nanostructured Solar Cells. InTech.

(6)

22 Zhang, Y., Nypelö, T., Salas, C., Arboleda, J.,

Hoeger, I.C., Rojas, O.J. (2013): Cellulose Nanofi brils: From Strong Materials to Bioactive Surfaces. J. Renew. Mater. 1, 195– 211.

Zhou, L.-L., Sun, D.-P., Wu, Q.-H., Yang, J.-Z.,

Yang, S.-L. (2007): Influence of culture mode on bacterial cellulose production and its structure and property. Wei Sheng Wu Xue Bao 47, 914–7.

Gambar

Gambar 1. Diagram alir proses  2.1  Bahan
Gambar 2. Membran nanoselulosa dari nata de coco pada kondisii basah (A) dan pada kondisi kering  (B) serta pengamatan film dengan SEM (C)

Referensi

Dokumen terkait

akuntansi keuangan daerah (meliputi: pencatatan, penggolongan/pengklasifikasian, dan pelaporan) yang dilaksanakan dengan baik sesuai aturan yang berlaku maka dapat

Berdasarkan hasil analisis data diperoleh bahwa, Perbedaan kecepatan antara model dengan bulbous bow rata- rata lebih besar 6,6 % dari model tanpa bulbous bow, Sehingga

Pelaksanaan Gelar Teknologi 1) Penerapan teknologi di lapangan dalam skala operasional sehingga dapat diukur dampak sosial ekonominya. 2) Teknologi yang digelar harus teknologi

Pembibitan dari benih atau anakan/stolon dilakukan dengan cara yang sama, tetapi media tanam berupa campuran gabah padi dan pupuk kandang dengan perbandingan 2:1.. Setelah bibit

Dalam setiap kegiatan yang diselenggarakan dalam kurun waktu mulai dari bulan Januari sampai dengan Desember pada tahun 2017, setiap program kegiatan akan

Upaya Pengembangan soft skills yang dilakukan oleh guru-guru PAI di SMPN 4 Pekanbaru meliputi peningkatan kesadaran diri sebagai guru PAI dengan selalu evaluasi diri,

Pengaruh dari variasi debit effluen pada percobaan kontinyu adalah efisiensi penurunan dan titik jenuh.Efisiensi penurunan konsentrasi terbesar dengan waktu jerap lebih

Program strategis dalam bidang pengabdian pada masyarakat meliputi: (1) pelaksanaan pengabdian pada masyarakat oleh mahasiswa sebagai bagian dari prestasi/kegiatan akademik,