• Tidak ada hasil yang ditemukan

FORDA - Jurnal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "FORDA - Jurnal"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1) 2) Ari Wibowo dan/and Rufi'ie

1)

Pusat Litbang Hutan Tanaman

Kampus Balitbang, Jl. Gunung Batu No. 5, PO Box 331, Bogor 16610 Telp. 0251-7520005 Fax. 0251-7520005, E-mail : ariwibowo61@yahoo.com 2)

Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta Jl. Palagan Tentara Pelajara Km 15, Purwobinangun, Sleman, Yogyakarta

Telp. 0274-895954, Fax. 0274 896080

Naskah masuk : 23 Mei 2008 ; Naskah diterima : 27 September 2008

ABSTRACT

Climate change occurs due to the increase of green house gasses (GHGs) concentration namely CO , CH , 2 4 N O, HFC, PFC and SF in the atmosphere. The GHGs emission is produced mainly from the process of 2 6 development and industry that use fossil fuel as well as the activities of land use, land use change and forestry. For global level, study by Stern (2007) showed that the highest source of emission originated from energy sector including electrical power plant, 24 %, industry, 14 %, transportation 14 %, construction 8 % and other energy sources 5 %. Emission from non-energy sector consisted of forestry, 18 %, agriculture 14 % and waste 3 %. In Indonesia, according to The First National Communication (1999), forestry sector contributed the highest emission or about 72 % of total GHGs emission. In Indonesia, forest area that cover 137 million ha or 60 % of total area of Indonesia has been providing tangible and intangible benefits that include wood and non woof forest products, and intangible benefits such as micro-climate, hydrological function, soil fertility and source of biodiversity. In the context of climate change, forestry has contibution as source of emission and sink of carbon. Deforestation and degradation will increase source of emission meanwhile afforestation, reforestation, other planting activities and forest conservation will increase sink of carbon. Mitigation of climate change for forestry sector is therefore directed for the activities to increase sink and to reduce source.

Keywords: Climate change, forestry sector, green house gasses, mitigation

ABSTRAK

(2)

degradasi akan meningkatkan emisi sementara aforestasi, reforestasi, kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan akan meningkatkan serapan karbon. Mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan oleh sebab itu diarahkan kepada kegiatan untuk meningkatkan serapan karbon dan mengurangi sumber emisi.

Kata Kunci: Perubahan iklim, sektor kehutanan, gas rumah kaca, mitigasi

I. PENDAHULUAN

Terjadinya perubahan iklim telah banyak dibuktikan secara ilmiah. Saat ini perubahan iklim telah menimbulkan bencana baru bagi manusia. Musim kemarau yang semakin panjang serta musim penghujan yang relatif pendek dengan intensitas hujan yang tinggi merupakan bukti nyata adanya perubahan iklim. Hal ini berdampak pada berbagai aspek kehidupan manusia seperti kekeringan yang berkepanjangan, gagal panen, krisis pangan, air bersih, pemanasan muka laut serta banjir dan longsor. Berbagai studi menyebutkan bahwa negara berkembang yang akan paling menderita karena tidak mampu membangun struktur untuk beradaptasi, walaupun dampak perubahan iklim juga dirasakan negara maju (IPCC, 2006; Stern, 2007).

Perubahan iklim ini terjadi karena peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) yaitu CO , CH , N O, 2 4 2 HFC, PFC dan SF di atmosfer. Peningkatan emisi diakibatkan oleh proses pembangunan dan industri 6 berbahan bakar migas (BBM) yang semakin meningkat dan kegiatan penggunaan lahan serta alih guna lahan dan kehutanan (LULUCF = Land Use, Land Use Change and Forestry yang sekarang disebut sebagai AFOLU = Agriculture, Forestry and Land Use). Hasil studi oleh Stern (2007) untuk tingkat dunia, menunjukkan sumber emisi terbesar berasal dari sektor energi yaitu pembangkit listrik 24 %, industri 14 %, transportasi 14 %, konstruksi 8 % dan sumber energi lain 5 %. Emisi dari sektor non energi yaitu perubahan lahan termasuk kehutanan 18 %, pertanian 14 % dan limbah 3 %.

Di Indonesia, sektor kehutanan mengemisi gas rumah kaca yang cukup besar, sekitar 72 % emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari sektor LULUCF (Indonesia: The First National Communication, 1999). Bahkan hasil review Peace (2007) menyebutkan emisi GRK dari sektor kehutanan sebesar 85 % dari total emisi GRK, meskipun hal ini perlu dibuktikan lebih lanjut melalui hasil inventarisasi GRK.

Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 137 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia (Departemen Kehutanan, 2007). Hutan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan manusia saat ini dan di masa yang akan datang. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan sink. Tulisan ini memberikan gambaran kondisi umum kehutanan di Indonesia dan perannya terhadap perubahan iklim, sebagai isu penting di dunia yang memerlukan kontribusi semua pihak untuk mengatasinya.

II. KONDISI DAN UPAYA PELESTARIAN HUTAN DI INDONESIA

2.1. Kondisi Hutan Indonesia

2.1.1. Luas dan Tipe Hutan

(3)

No Fungsi Hutan/Forest Function Luas/Area (Ha)

1 Kawasan suaka alam + Kawasan Pelestarian Alam 23 537 832

2 Hutan Lindung 31 604 032

3 Hutan Produksi Terbatas 22 502 724

4 Hutan Produksi Tetap 36 649 918

5 Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi 22 795 961

Jumlah 137 090 468

Indonesia menduduki posisi kedua di dunia setelah Columbia sehingga keberadaannya perlu dipertahankan. Di Indonesia luas hutan meliputi 60 % dari luas seluruh wilayah Indonesia. Hutan di Indonesia memiliki peranan yang penting, tidak hanya sebagai sumber pembangunan ekonomi dan sumber kehidupan masyarakat, tetapi juga sebagai pemelihara lingkungan global. Indonesia juga merupakan negara yang memiliki mega diversity dan memiliki lahan gambut yang sangat luas. Luas hutan menurut fungsinya tersaji pada Tabel 1.

Tabel (Table) 1 Luas hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya (Forest area in Indonesia according to the function) (Sumber /Source : Departemen Kehutanan 2007)

Berdasarkan Undang-Undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, kawasan hutan dibagi ke dalam kelompok hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi dengan pengertian sebagai berikut: Hutan Konservasi adalah kawasan hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya.

ŸHutan Konservasi terdiri dari: Kawasan suaka alam berupa cagar alam (CA) dan suaka margasatwa (SM), kawasan pelestarian alam berupa Taman Nasional (TN), Taman Hutan Raya (THR) dan Taman Wisata Alam (TWA); serta Taman Buru.

ŸHutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah

ŸHutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. Hutan Produksi terdiri dari Hutan Produksi Tetap (HP), Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK).

Berdasarkan ekosistemnya hutan di Indonesia dibagi dalam kategori sebagai berikut :

ŸHutan hujan dataran rendah : Jenis hutan ini banyak ditemukan di bagian barat Indonesia, Sumatera dan Kalimantan yang dicirikan dengan curah hujan tinggi, pada dataran rendah. Jenis tanah podsolik, latosol dan aluvial. Jenis pohonnya antara lain : Shorea spp, Eusideroxylon zwagery, Pometia pinnata, Intsia bijuga, Agathis spp., Pterocarpus indicus, Octomeles sumatrana, Diospyros celebica, dan jenis lainnya.

ŸHutan rawa: Dijumpai di dekat muara sungai, sering tergenang air dan kaya bahan organik. Jenis tanah Gley humus, dan aluvial. Jenis penting: Alstonia pneumatopora, Campnosperma macrohylla, Dyera lowii, Palaquium leiocarpum, Shorea balangeran, dan Lophopetalum multinervium.

ŸHutan rawa gambut: Jenis tanah tanah gambut yang kaya bahan organik ketebalan 1 - 20 m. Tanah tergenang air gambut berwarna coklat kekuningan. Jenis tanah organosol, dengan jenis pohon penting yaitu ramin (Gonystylus bancanus). Hutan rawa gambut menyimpan cadangan karbon yang besar pada tanah dan tegakan.

ŸHutan mangrove atau bakau: Ditemukan pada tanah aluvial berpasir di tepi pantai dan dipengaruhi oleh air laut/payau. Jenis yang penting antara lain Avicenia spp., Sonneratia spp., Rhizophora spp., Bruguiera spp. Ceriops tagal dan Xylocarpus granatum.

[image:3.595.69.525.200.293.2]
(4)

2.1.2. Sumbangan Sektor Kehutanan terhadap Pembangunan

Selama tiga dekade terakhir, sumberdaya hutan telah menjadi modal utama pembangunan ekonomi nasional, yang memberi dampak positif antara lain terhadap peningkatan devisa, penyerapan tenaga kerja dan mendorong pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi. BPS (2000) menunjukkan devisa sektor kehutanan pada pelita VI /1992 - 1997 tercatat sebesar US$ 16.0 milyar, atau sekitar 3,5% dari PDB nasional.

Namun demikian pemanfaatan hasil hutan kayu secara berlebihan dan besarnya perubahan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan menyebabkan timbulnya berbagai permasalahan lingkungan, ekonomi, dan sosial. Sebagai akibatnya laju degradasi hutan antara tahun 1997 - 2003 diperkirakan sebesar 2,83 juta hektar per tahun dengan devisa hanya sebesar US$ 13.24 milyar, atau terjadi penurunan sebesar 16,6 persen (Bappenas, 2003). Kontribusi sektor kehutanan terhadap PDB nasional selama jangka waktu 1997-2006 tertera pada Tabel 2 berikut:

Tabel (Table) 2. Konstribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB (Contributor of forestry sector on Bruto Domestic Income)

Tahun PDB Kehutanan ( x Rp. 1 milliar)

PDB Total (x Rp. 1 milliar)

Kontribusi Sektor Kehutanan (%)

1997 9.806,5 627.695,9 1,56

1998 11.700,5 955.753,9 1,22

1999 13.803,8 1.099.731,8 1,26

2000 16.343,0 1.389.769,9 1,18

2001 16.962,1 1.646.322,0 1,03

2002 17.602,4 1.821.833,0 0,97

2003 18.414,6 2.013.674,6 0,91

2004 20.290,0 2.295.826,2 0,88

2005* 22.561,8 2.784.960,4 0,81

2006** 30.017,0 3.338.195,7 0,90

Keterangan (Remark) : *) angka sementara, **) angka sangat sementara

2.2. Deforestasi dan Degradasi sebagai ancaman terhadap kelestarian hutan

Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi di Indonesia mendorong berkembangnya isu sebagai penyumbang emisi karbon yang cukup signifikan. Di sisi lain, sebagaimana negara berkembang lainnya hutan masih diposisikan sebagai sumberdaya pembangunan ekonomi yang dikhawatirkan akan mempercepat laju deforestasi dan degradasi hutan yang memperbesar emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.

Sampai dengan saat ini, di Indonesia masih terjadi deforestrasi dan degradasi hutan yang meyebabkan penurunan penutupan vegetasi hutan. Berdasarkan data dan hasil analisis Departemen Kehutanan, pada periode 1985-1997 laju deforestasi dan degradasi di Indonesia mencapai 1,8 juta hektar per tahun. Pada periode 1997-2000 terjadi peningkatan laju deforestasi yang cukup signifikan yaitu mencapai rata-rata sebesar 2,8 juta hektar dan menurun kembali pada periode 2000-2005 menjadi sebesar 1,08 juta hektar sebagaimana disajikan pada Gambar 1. Pada periode tahun 1985 s/d 1987, penurunan penutupan vegetasi hutan yang sangat besar terjadi di Sumatera dan Kalimantan, sedangkan pada periode 1997 s/d 2000 terjadi selain di Sumatera dan Kalimantan, juga di Papua, yang selanjutnya secara umum terjadi penurunan angka rata-rata penurunan penutupan vegetasi hutan pada periode 2000 s/d 2005.

Terjadinya deforestasi dan degradasi hutan di Indonesia antara lain disebabkan oleh kebakaran dan perambahan hutan; Illegal loging dan illegal trading yang antara lain didorong oleh adanya permintaan yang tinggi terhadap kayu dan hasil hutan lainya di pasar lokal, nasional dan global; adanya konversi kawasan hutan secara permanen untuk pertanian, perkebunan, pemukiman, dan keperluan lain; dan adanya penggunaan kawasan hutan di luar sektor kehutanan melalui pinjam pakai kawasan hutan dan pemanenan hasil hutan yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari (PHL).

[image:4.595.69.527.279.431.2]
(5)

2.3. Upaya Pelestarian Hutan dan Kaitannya dengan Mitigasi Perubahan Iklim

Menyadari pentingnya peran hutan terhadap ekonomi, sosial dan lingkungan termasuk perannya dalam mitigasi perubahan iklim, pemerintah telah berupaya menangani permasalahan di bidang kehutanan antara lain dengan menetapkan kebijakan pemberantasan pencurian dan perdagangan kayu illegal, penanggulangan kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan, serta desentralisasi sektor kehutanan. Kebijakan tersebut telah dituangkan dalam rencana strategis kehutanan pada periode kabinet Gotong Royong yang lalu. Untuk periode tahun 2005-2009 telah disusun Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan, yang memberi arah pembangunan kehutanan periode tersebut. Renstra-KL ini juga memperhatikan lima kebijakan prioritas pembangunan kehutanan 2005-2009 sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. SK.456/Menhut-VII/2004, yaitu:

- Pemberantasan pencurian kayu di hutan negara dan perdagangan kayu illegal; - Revitalisasi sektor kehutanan khususnya industri kehutanan;

- Rehabilitasi dan konservasi sumber daya hutan;

- Pemberdayaan ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan; - Pemantapan Kawasan Hutan.

Lima kebijakan prioritas tersebut bertujuan untuk mencapai pengelolaan hutan yang lestari. Upaya pengelolaan hutan secara lebih baik melalui penerapan PHL sejalan dengan upaya mitigasi perubahan iklim untuk sektor kehutanan (Trextler et al., 2000), yang meliputi : Pengelolaan sumberdaya hutan yang ada secara lebih baik; memperluas penutupan hutan; dan Penggunaan bahan bakar kayu sebagai pengganti bahan bakar fosil. Patosaari (2007), juga menyampaikan hal senada, yang menyebutkan kegiatan yang dapat dilakukan oleh sektor kehutanan untuk mitigasi perubahan iklim, yaitu :

- Pengelolaan hutan dengan jenis yang secara potensial dapat menyerap karbon - Pembangunan hutan melalui kegiatan reforestasi dan aforestasi

- Mengurangi laju deforestasi dan mengembalikan penutupan hutan

- Menciptakan iklim investasi dan akses pasar yang mendukung produk-produk kehutanan yang lestari - Peningkatan penggunaan produk kehutanan seperti bioenergi dan kayu yang tahan lama sebagai substitusi

terhadap penggunaan bahan yang kurang ramah lingkungan.

Sebagai upaya untuk mencapai tujuan pengelolaan hutan yang lestari, Departemen Kehutanan sedang berupaya untuk membentuk Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH), sebagai institusi pengelola hutan di tingkat tapak dalam bentuk unit-unit pengelolaan hutan (KPH) pada sebagian besar kawasan hutan produksi dan hutan lindung, khususnya di luar Jawa.

Secara umum, pengertian KPH adalah merupakan areal/wilayah yang didominasi oleh hutan dan mempunyai batas yang jelas, yang dikelola untuk memenuhi serangkaian tujuan yang ditetapkan secara Gambar (Figure) 1. Deforestasi di lima pulau besar Indonesia/Deforestation in 5 big islands in Indonesia

[image:5.595.141.460.89.233.2]
(6)

eksplisit sesuai dengan rencana pengelolaan jangka panjang. Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi komitmen pemerintah dan masyarakat (para pihak), yang telah dimandatkan melalui UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, PP No 44 Tahun 2004 tentang Perencanan Kehutanan dan PP No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang bertujuan untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang efisien dan lestari. Berdasarkan peraturan perundangan tersebut, KPH telah menjadi prasyarat terselenggaranya pengelolaan hutan lestari (PHL) karena KPH merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya.

Melalui pembangunan KPH diharapkan dapat dicapai sasaran yaitu; 1). Mengurangi degradasi hutan; 2). Tercapainya PHL; 3). Meningkatnya kesejahteraan masyarakat lokal; 4) Stabilisasi penyediaan hasil hutan; 5). Mengembangkan tata pemerintahan yang baik dalam pengelolaan hutan; 6). Percepatan rehabilitasi dan reforestasi; dan 7). Memfasilitasi akses pada pasar karbon.

III. PERANAN HUTAN TERHADAP PERUBAHAN IKLIM

Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya serta konservasi hutan meningkatkan sink. Dalam pengelolaan hutan lestari penyerapan karbon merupakan jasa yang dapat diberikan oleh sektor kehutanan. Sebaliknya kegiatan kehutanan yang berhubungan dengan serapan karbon akan mendukung pengelolaan hutan lestari. Misalnya kegiatan aforestasi, reforestasi dan mencegah deforestasi.

Pada First National Communication (1999) dilaporkan, tahun 1990an emisi karbon dari sektor kehutanan sekitar 0.14 Gt C (atau sekitar 60-70 persen total emisi CO ). Berdasarkan pulau, emisi karbon dari 2

sektor kehutanan terbesar terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Meskipun hutan menjadi pengemisi karbon, hutan juga dapat berfungsi sebagai penyerap karbon melalui proses foto-sintesis, serta kemampuannya untuk menyerap karbon lebih lama dibandingkan tanaman semusim atau tahunan, sehingga menurunkan emisi karbon dan meningkatkan kapasitas serapan karbon merupakan pilihan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan.

3.1. Sebagai Sumber Emisi Gas Rumah Kaca

Kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 137 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia, mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung dan 5,4 % angkatan kerja tidak langsung, sektor kehutanan merupakan salah satu tulang punggung ekonomi nasional pada periode 1985 - 1995. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah yang sangat penting bagi kehidupan manusia saat ini dan di masa yang akan datang.

Emisi GRK yang terjadi di sektor kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi (konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, prasarana wilayah) dan degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), serta perambahan. Deforestasi di negera berkembang khususnya di negara tropik tercatat berkontribusi terhadap sekitar 20 % emisi karbon global. Dari hasil review oleh Stern (2007), emisi dari deforestasi dapat mencapai 40 Gt CO antara 2008-2012. Hal ini akan meningkatkan kadar CO di atmosfer sebanyak 2ppm jika 2 2

upaya-upaya mitigasi tidak dilakukan dengan baik.

(7)

Dieterle dan Heil (1998) mengungkapkan bahwa dalam kebakaran hutan yang terjadi tahun 1997 di Sumatera dan Kalimantan dilepaskan emisi sebanyak jutaan ton dan berakumulasi di atmosfer. Perkiraan emisi yang dihasilkan tertera pada Tabel 4.

Tabel (Table) 4. Perkiraan emisi yang dihasilkan dari kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan tahun 1997 (Estimated emission resulted by forest fire in Sumatera and Kalimantan in 1997)

Jenis Emisi Jumlah Emisi ( * sampai ** ton)

Karbon dioksida 85 sampai 316 juta

Karbon monoksida 7 sampai 52 juta

Partikel 4 sampai 16 juta

Ozon 2 sampai 12 juta

Amonia 0,1 sampai 4 juta

Nitrogen oksida 0,2 sampai 1,5 juta

Vegetasi hutan merupakan penyimpan karbon terbesar dengan cadangan 80 persen dari jumlah karbon di dunia (Mukna, 1999). Dalam suatu kebakaran hutan terjadi peristiwa kimia yang mengubah biomassa hutan menjadi CO , uap air serta menghasilkan panas. Ward dan Yokelson (1996) menyajikan data tentang rata-rata 2

emisi yang dikeluarkan dalam pembakaran biomas, sebagaimana tertera pada Tabel 3. CO dan NH adalah gas-2 4

gas rumah kaca (green house gasses) yang berpengaruh terhadap terjadinya pemanasan global. Besarnya jumlah CO dan CO yang dihasilkan dari kebakaran hutan yang mencapai 96 % memberikan kontribusi yang 2

nyata terhadap terjadinya peningkatan suhu akibat efek rumah kaca.

Tabel (Table) 3. Data rata-rata emisi yang dikeluarkan oleh pembakaran biomas (Average data of emission resulted by biomass - burning)

Nama Senyawa Formula Persentase dari total (%)

Karbon dioksida CO2 78,82

Karbon monoksida CO 17,10

Methana CH4 1, 22

Amonia NH3 0.93

Asam asetik CH3COOH 0,31

Hidrogen sianida HCN 0,29

Metanol CH3OH 0,28

Propana C3H6 0,15

Etana C2H4 0,14

Formaldehyd HCHO 0,13

Phenol C6H6O 0,11

Asam formic HCOOH 0,07

2 – Hydroxyethanal C2H4O2 0,03

Karbon sulfida CS 0,02

Ethana C2H2 0,01

Keterangan (Remark) : * Perkiraan hanya dari kebakaran hutan,

** 30 persen dari areal yang terbakar adalah kebakaran hutan gambut

3.2. Peranan Hutan sebagai Penyerap Karbon (Carbon Sink)

[image:7.595.74.527.233.433.2] [image:7.595.65.526.544.648.2]
(8)

degradasi akibat aktivitas manusia. Peningkatan serapan dilakukan melalui kegiatan perluasan hutan tanaman. Kegiatan yang telah dilakukan untuk menunjang peningkatan peran hutan sebagai penyerap karbon adalah misalnya Gerakan Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Gerhan), pembangunan HTI, hutan rakyat, agroforestry dan kegiatan penanaman lainnya.

Secara spesifik hasil penelitian Hadiwinoto et al. (2005) menunjukkan bahwa stok karbon pada biomass di atas permukaan tanah di hutan alam sekunder tua (carbon stock in the aboveground biomass of old secondary forest), di hutan alam sekunder usia pertengahan (middle-agesecondary forest), dan di hutan alam sekunder muda (young secondary forest) masing-masing diperkirakan sekitar 71,55 ton/ha, 39,86 ton/ha dan 38,99 ton/ha. Tomich et al. (2001), menyampaikan kapasitas beberapa jenis pemanfaatan lahan di Sumatera dalam menyerap karbon, seperti terlihat pada Tabel 5.

Tabel (Table) 5. Kapasitas beberapa jenis pemanfaatan lahan di Sumatera dalam menyerap karbon (Capacity of some land utilization in Sumatera in carbon sequestation)

Tipe Penggunaan Lahan Skala Pengamatan Rata-rata Serapan Karbon (t/ha)

Hutan alam

Hutan kemasyarakatan Hutan bekas tebangan Agroforestry karet Agroforestry karet * Monokultur karet Monokultur kelapa sawit Sawah/hortikultur Ketela pohon

25 ha

35 ha hutan kemasyarakatan 35,000 ha hutan konsesi Petak-petak 1-5 ha Petak-petak 1-5 ha Petak-petak 1-5 ha 35,000 ha kebun sawit Petak-petak 1–2 ha Petak-petak 1–2 ha

254 176 150 116 103 97 91 74 39

Sumber (Source): Tomich et al. 2001

Pada hutan tanaman, menunjukkan kandungan karbon yang bervariasi pada berbagai jenis pohon pada umur, kerapatan tegakan dan lokasi yang berbeda (Tabel 6).

Tabel (Table) 6. Biomasa dan kadar karbon per hektar dari beberapa jenis tanaman di beberapa lokasi dan umur (Biomas and carbon per hectare of some species on some location and ages)

Jenis/ Lokasi Umur (tahun) Kerapatan (N/ha) Biomasa (ton/ha) Kandungan Karbon (ton/ha) Jumlah karbon/ (ton/ha/th)

Mahoni (Sumsel) 20 1.111 405,98 202,99 10,15

Mangium (Sumsel) 6 1.111 199,69 99,85 16,64

Sungkai (Sumsel) 10 1.111 83,94 41,97 4,20

Sungkai (Lampung) 25 1,666 182,57 91,29 9,40

Puspa (Lampung) 25 1,666 182,92 91,46 8,38

Kemiri (Lampung) 25 312 406,13 203,08 6,45

Pinus (Jatim) 14 622 167,88 83,94 5,99

Mahoni (Jatim) 16 533 155,03 77,51 4,84

Sengon (Jatim) 8 711 268,63 134,31 16,79

Gmelina (Sulsel) 4 1600 179,35 89,69 22,42

Pinus (Sulsel) 13 977 81,60 40,80 3,14

Eukaliptus (Sulsel) 21 577 136,42 68,21 3,24

[image:8.595.74.527.502.694.2]
(9)

IV. PENUTUP

Kawasan hutan di Indonesia mencapai luas 137 juta ha atau sekitar 60 persen dari luas total Indonesia. Hutan mempunyai manfaat langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Manfaat langsung dari hutan adalah penghasil kayu dan non kayu, sedangkan manfaat tidak langsung adalah sebagai pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah, serta sumber plasma nutfah. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan karbon) maupun source (pengemisi karbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan penanaman lainnya serta konservasi hutan akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap karbon.

Berbagai studi secara nasional dan internasional telah dan akan terus dilaksanakan untuk meningkatkan peran Indonesia khususnya sektor kehutanan dalam menghadapi perubahan iklim. Salah satu mekanisme yang saat ini menjadi perhatian adalah mekanisme penurunan emisi dari pencegahan deforestasi dan degradasi (REDD).

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. 2007. Cadangan, Emisi, dan Konservasi Karbon pada Lahan Gambut. Makalah pada Bunga Rampai Konservasi Tanah dan Air. Pengurus Pusat Masyarakat Konservasi Tanah dan Air Indonesia 2004-2007. Jakarta 2007.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS). 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2003-2020, IBSAP, Dokumen Nasional. Jakarta.

Badan Planologi Kehutanan. 2002. Peta Vegetasi Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Biro Pusat Statistik. 2000. Statistik Indonesia 1993-1997. Jakarta

Boer, R. 2001. Opsi Mitigasi Perubahan Iklim di Sektor kehutanan dan Aspek Metodologi Proyek Karbon Kehutanan. Prosiding Lokakarya Tindak Lanjut Konvensi Perubahan Iklim dan Protokol Kyoto 18 September 2001. Departemen Kehutanan. Jakarta

Boer, R. Masripatin, N. T. June And E. N. Dahlan. 2001. Greenhouse Gases Mitigation Technologies in Forestry: Status, Prospects And Barriers of Their Implementation In Indonesia. In Ministry Of Environment (2001). Identification Of Less Greenhouse Gasses Emission Technologies In Indonesia. Ministry of Environment, Jakarta.

CIFOR. 2001. A Shared Research Agenda for Landuse, Landuse Change, Forestry and CDM. CIFOR. Bogor

Departemen Kehutanan. 2007. Mengenal IFCA. http://www.dephut.go.id/INFORMASI/IFCA/IFCA. htm.

Departemen Kehutanan. 2007. Statistik Kehutanan Indonesia 2006. Jakarta.

Dieterle, G dan Heil. A. 1998. Impacts of Large Scale Forest and Land Fires in Indonesia 1997 on Regional Air Pollution. International Cross Sectoral Forum on Forest and Fire Management in Southeast Asea. Jakarta.

Direktorat Perencanaan Kehutanan. 1983. Potensi dan Distribusi Kayu Komersial Indonesia. Buku 3 Ramin. Direktorat Jenderal Kehutanan. Departemen Pertanian. Jakarta.

(10)

Gintings, A.N dan S. Prajadinata. 2002, 2003, 2004 dan 2005. Assessment of the Potency of Reforestation and Afforestation Activities in Mitigating the Climate Change. Interim Reports. Cooperation between Forest and Nature Conservation Research and Development Center (FNCRDC) and Japan International Forestry Promotion and Cooperation Center (JIFPRO).

Hadiwinoto, H. 2005. Strengthening Institutional Capacity In Monitoring, Assessment and Reporting on the Progress Toward Sustainable Forest Management. Bureau of International Cooperation and Investment, Ministry Of Forestry, Republic Of Indonesia

IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IGES, Japan. IPCC.

Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Status Lingkungan Hidup Indonesia 2003. Jakarta

Lubis, I and I.N.N. Suryadiputra. 2003. Efforts in Integrated Management of Burned Over Peat Swap Forest in Berbak-Sembilang Area. In Suyatno, U. Chokkalingam and P. Widodo, eds.) Proceeding of Workshop: Fire in Peat Land of Sumatera: Issues and Solutions. CIFOR.

Menteri Kehutanan. 2005. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tanggal 14 Pebruari 2005: Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen Kehutanan Tahun 2005-2009

Ministry of Environment. 2001. Identification of Less Greenhouse Gases Emission Technologies in Indoensia. Ministry of Environment, Jakarta.

Ministry of Environment. 2003. National Strategy Study on CDM Forestry Sector. Ministry of Environment, Jakarta.

Mukna, H.S. 1999. Forest Fire ; Impact to Climate Change. BPPT Second International Conference on Science and Technology for the Assessment of Global Climate Change and Its Impact on Indonesian Continent. Jakarta.

Nukman, A. 1998. Role of Health Sector to Prevent Adverse Health Impact on Haze in Indonesia. International Cross Sectoral Forum on Forest Fire Management in Southeast Asia. Jakarta.

Patosaari, P. 2007. Forestry Action in Mitigation of Climate Change. The 60th Annual DPI/NGO Conference, New York

PEACE. 2007. Indonesia dan Perubahan Iklim: Status Terkini dan Kebijakannya.

RAN-PI. 2007. Rencana Aksi Nasional untuk Perubahan Iklim. Kementerian Negara KLH. Jakarta

Retnowati, E. 1998. Kontribusi Hutan Tanaman Eucalyptus grandis Maiden sebagai Rosot Karbon di Tapanuli Utara. Buletin Penelitian Hutan No. 611/1998.

Sekretariat CDM Departemen Kehutanan. 2003. Status Penelitian dan Kajian tentang CDM Kehutanan dan proyek karbon berbasis hutan lainnya di Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta.

Stern, N. 2007. The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge

Tomich, T.P., H. de Foresta, K. Dennis, D. Murdiyarso, Q.M. Katterings, F. Stolle, Suyanto, and M. van Noordwijk, M. 2001. Carbon sequestration for conservation and development in Indonesia. Submitted to American Journal of Alternative Agriculture.

Trexler, M. C., L. H. Kosloff, and R. Gibbon. 2000. Forestry after the Kyoto Protocol: A review of key questions and issues. In “Climate Change and Development” (L. Gomez-Echeverri, ed.), pp. 131-152. UNDP.

Gambar

Tabel (Table) 1 Luas hutan di Indonesia berdasarkan fungsinya (Forest area in Indonesia according to the function)  (Sumber /Source :  Departemen Kehutanan 2007)
Tabel (Table) 2. Konstribusi Sektor Kehutanan terhadap PDB (Contributor of forestry sector on Bruto Domestic Income)
Gambar (Figure) 1. Deforestasi di lima pulau besar Indonesia/Deforestation in 5 big islands in Indonesia (Sumber/Souirce : RAN-PI, 2007)
Tabel (Table) 4. Perkiraan emisi yang dihasilkan dari kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan tahun 1997 (Estimated emission resulted by forest fire in Sumatera and Kalimantan in 1997)
+2

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Sebagai contoh, anak yang jarang diajak bicara atau dibacakan buku, nantinya bayi akan mengalami kesulitan dalam perkembangan bahasanya, karena sel-sel otak yang mengendalikan

The focus of this study is to introduce a comprehensive technology to the development and updating of ESP manuals and means of technical support as well as

In the following, the effect of range (distance between a target and the scanner’s position at each station), inclination (angle between scanner’s beams and the

Jika kita menyukai seeorang maka kita cenderung melihat segala sesuatu dari diri orang tersebut dengan positif sebaliknya jika kita tidak menyuaki seseorang maka kita akan

*) Diisi untuk kerugian yang sudah terjadi maupun pasti akan terjadi loss dalam jumlah tertentu **) Diisi hanya untuk Kantor Cabang Bank Asing, apabila ada.. LAPORAN KOMITMEN

Dalam abstrak jurnal hanya menjabarkan secara garis besar latar belakang permasalahan, tujuan penelitian, objek penelitian, konsep Activity Based Budgeting, dan hasil

Figure 4. The frequency of A and B alleles of kappa-casein locus �Asp148/Ala) in SIMP� �Bos taurus � Bos indicus) and some breeds of B.. The distribution of genotypes of

Jika tidak dapat pergi melaut saat situasi paceklik, bagaimana bapak memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, biaya sekolah anak-anak bapak?. Pada bulan berapa saja musim