1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang
Kedelai (Glycine max L Merr ) merupakan salah satu komoditas pangan bergizi tinggi sebagai sumber protein nabati dan rendah kolesterol dengan harga terjangkau (Atman, 2006). Tempe dan tahu mendominasi pemanfaatan kedelai untuk bahan pangan pangan, yakni masing masing 50% dan 40%, sedangkan sisanya digunakan untuk pengolahan susu kedelai, kecap, taoge, tauco, tepung, dan olahan lainnya (Silitonga dan Djanuwardi, 1996 dalam Ginting, 2009). Sejauh ini, bahan baku tempe sebagian besar masih menggunakan kedelai impor yang dianggap memiliki kualitas fisik lebih baik dibanding kedelai lokal. Selain itu, pengrajin tempe cenderung memilih kedelai impor karena terjamin pasokan bahan bakunya, lebih bersih, dan lebih besar ukuran bijinya dibanding kedelai lokal (Ginting, 2009).
Sesungguhnya, Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan kedelai berbiji besar dengan bobot 14-17g/100 biji, mirip kedelai impor dengan bobot rata-rata 16 g/100 biji. Tempe (bobot, volume, dan sifat sensoris) yang dibuat dengan menggunakan kedelai ini sama dengan tempe yang dibuat dari kedelai impor, bahkan kandungan proteinnya lebih tinggi (Anonim, 2011). Hal ini didukung Antarlina (2002) dalam Ginting (2009) yang melaporkan bahwa tempe yang dibuat dengan kedelai varietas lokal tertentu mempunyai rendemen dan kadar protein yang lebih tinggi daripada tempe dari kedelai impor. Ini mengisyaratkan bahwa kualitas tempe dari kedelai varietas lokal tidak kalah dengan tempe dari kedelai impor dan telah memenuhi standar mutu tempe untuk beberapa kriteria.
2
Tempe merupakan bahan makanan hasil fermentasi kacang kedelai atau jenis kacang-kacangan lainnya menggunakan jamur Rhizopus oligosporus dan Rhizopus oryzae. Selama fermentasi, biji-biji kedelai terperangkap dalam rajutan miselia jamur membentuk padatan yang kompak berwarna putih (Dwinaningsih, 2010). Pembuatan tempe melalui 3 tahap yaitu: perendaman, perebusan dan fermentasi (Kasmidjo, 1990 dalam Dwinaningsih, 2010). Improvisasi terjadi dari para pengrajin dimana perebusan hanya dilakukan satu kali dari normalnya dua kali perebusan serta waktu pemanasan diperpendek (Pratomo, 2009). Hal ini akan berdampak pada nilai gizi dan daya tahan tempe yang dihasilkan
Menurut Sutikno (2009) pada tahap fermentasi tempe ditemukan adanya bakteri Micrococcus sp. Bakteri ini menghasilkan senyawa isoflavon (sebagai antioksidan). Antioksidan adalah zat yang dapat menunda atau mencegah terjadinya reaksi oksidasi radikal bebas dalam oksidasi lipid (Trilaksani, 2003). Senyawa antioksidan alami pada tumbuhan umumnya adalah senyawa fenolik atau polifenolik yang dapat berupa golongan flavonoid, turunan asam sinamat, kumarin, tokoferol, dan asam-asam organik polifungsional (Pratt, 1992).
3
kali perebusan berbahan baku kedelai varietas Grobogan serta kedelai impor sebagai pembanding.
1.2. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas maka tujuan dari penelitian ini: