SISTEM NAMA PANGGILAN DALAM ETNIS SASAK
(PERSONAL ADDRESSINGCALLING SYSTEM IN SASAK
COMMUNITY)
Lalu Erwan HusnanKantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat
Jalan Dokter Sujono, Lingkar Selatan, Kelurahan Jempong Baru, Sekarbela Kota Mataram, Nusa Tenggara Barat
Pos-el: laluhusnan@gmail.com Abstract
Sasak ethnic community have a unique addressingcalling system. It does not only consist of a name given by parents. They also have a new name after getting married and another name as a nick name given by others in the society. The nick name was given based on subjective assessments by others. It has to fully understand Sasak ethnic social context to compose a nick name. Some of the personal addressing system have linguistic patterns but some other are arbitrary. This paper uses descriptive qualitative method. Data were collected via interviews and recordings in different locations based on Sasak dialectal spread. The names are slightly different from its original form through phonological change called paragog, prothesis, epenthesis, mixing, and arbitrary.
Keywords: addressing calling system, Sasak, name, change nick others. Abstrak
Masyarakat Sasak memiliki sistem panggilan yang unik. Sistem panggilan dalam masyarakat Sasak tidak hanya menggunakan nama diri yang diberikan oleh orang tua, tetapi juga perubahan nama karena status perkawinan dan nama panggilan pemberian orang lain atau masyarakat sekitarnya. Pemberian nama terakhir sebagai panggilan diberikan berdasarkan pandangan seseorang atau masyarakat secara subjektif. Penggunaan nama sebagai sistem panggilan harus memahami konteks sosial etnis Sasak. Nama panggilan ini ada yang dapat ditelusuri polanya secara kebahasaan dan ada juga yang arbitrer (manasuka). Metode deskriptif kualitatif digunakan untuk melakukan kajian ini. Data dikumpulkan menggunakan metode wawancara dan rekam di beberapa daerah pengamatan dengan mempertimbangkan sebaran dialektal bahasa Sasak. Nama panggilan yang ditemukan mengalami perubahan bunyi dari bentuk aslinya. Perubahan bunyi yang terjadi berbentuk paragog, protesis, epentesis, campuran, dan arbitrer.
▸ Baca selengkapnya: contoh surat panggilan orang tua karena alpa
(2)1. Pendahuluan
Memanggil seseorang dalam budaya masyarakat Sasak tidak hanya menggunakan nama diri yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya, tetapi juga menggunakan nama panggilan lain. Memanggil seseorang dalam budaya Sasak dapat dibagi menjadi dua. Pertama, memanggil mengguna-kan nama diri atau ‘turunannya’ sebagai akibat pengaruh sosial dan sejarah. Kedua, memanggil menggunakan nama pemberian. Nama diri merujuk pada nama seseorang yang diberikan oleh orang tuanya ketika dia lahir. ‘Turunannya’ bukan merupakan istilah linguistik, melainkan perubahan nama ketika seorang Sasak telah menikah (semame(ne) X untuk laki-laki dan
senine(ne) X untuk perempuan), memiliki anak
(mamiq X (laki-laki), amaq X (laki-laki), dan
inaq X (perempuan)), memiliki cucu (papuq X
(laki-laki dan perempuan) dan niniq X (laki-laki dan perempuan), memiliki cicit (baloq X untuk laki-laki dan perempuan).
Nama pemberian merujuk pada nama yang diperoleh dalam lingkungan sosial. Si A diberikan nama panggilan F karena faktor sosial tertentu. Nama panggilan ini biasanya diperoleh sejak kecil, beranjak dewasa, atau ketika sudah dewasa. Pemberian nama dalam lingkungan sosial dalam masyarakat Sasak disebut Jejuluk atau Jejaleq. Istilah pertama bagi sebagian masyarakat Sasak tidak dikaitkan dengan nama asli secara kebahasaan. Istilah ini lebih disandarkan pada faktor sifat, perilaku, dan kegiatan. Di lain pihak, istilah kedua memiliki hubungan langsung dengan seseorang yang diberi sebutan nama panggilan tersebut. Dalam tulisan ini akan digunakan istilah pertama kecuali jika ada pembeda yang mengharuskan untuk menggunakan kedua istilah tersebut.
Istilah Jejuluk merupakan sistem panggilan yang lazim dalam budaya masyarakat Sasak. Sistem panggilan ini merujuk pada nama, gelar, atau nama pemberian dari orang tua (Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat, 2019:34). Istilah Jejuluk merupakan nama yang diberikan berdasarkan geneologi, jenis kelamin, status perkawinan, kelahiran, hubungan kekerabatan, dan konteks sosial masyarakat Sasak. Istilah ini memiliki dua turunan secara kebahasaan dengan menggunakan awalan /be-/ dan /te-/. Keduanya
dapat bermakna ‘memiliki nama’ dan ‘diberi nama’.
Sistem panggilan ini melekat pada seseorang termasuk orang yang memanggil. Panggilan tersebut secara tidak langsung menunjukkan hubungan kekerabatan antara yang dipanggil dan yang memanggil. Mereka memiliki hubungan geneologi, jenis kelamin, status perkawinan, kelahiran, hubungan kekerabatan, atau konteks sosial. Dengan demikian, sistem panggilan ini tidak dapat digunakan begitu saja tanpa memperhatikan faktor-faktor tersebut. Hal tersebut dapat menimbulkan konflik sosial yang berawal dari kesalahpahaman.
Berkaitan dengan hal tersebut, konsep
jejuluk harus diperjelas secara kebahasaan.
Konsep yang dimaksud mencakup makna khusus, baik dari segi bahasa, budaya, sejarah, maupun keunikan lain yang diemban oleh istilah tersebut. Istilah ini dapat dilestarikan dengan cara diangkat menjadi salah satu tema dalam pembelajaran muatan lokal bahasa Sasak pada semua jenjang sekolah. Penelitian terkait nama panggilan pernah dilakukan oleh Hakim (2020:329—340), Novianti (2016:313—327), dan Suhandra (2014:99—115). Hakim (2020:334— 338) hanya membahas masalah nama panggilan yang berhubungan dengan status kekerabatan yang lazim dite-mukan dalam masyarakat Sasak. Novianti (2016:317—325) membahas masalah pelesetan nama pada masyarakat Sasak. Suhandra (2014: 100—113) membahas masalah sapaan menggunakan pronomina dan honorifik yang digunakan pada masyarakat Sasak. Dengan demikian, tulisan ini tidak membahas nama panggilan yang menggunakan pronomina dan nama panggilan kekerabatan. Tulisan ini memumpun pada pendeskripsian kai-dah linguistik nama panggilan (jejuluk) yang diberikan oleh seseorang atau kelompok terhadap individu lainnya dalam masyarakat Sasak.
Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif kualitatif (Sugiyono, 2014:8). Metode ini bertujuan mendeskripsikan sistem panggilan yang berkaitan erat dengan faktor kebudayaan masyarakat Sasak. Daerah pengamatan dalam tulisan ini ditentukan berdasarkan pertimbangan sebaran variasi dialektal bahasa Sasak, geneologi/trah, administratif variasi dialektal, dan luas wilayah tutur (Kantor Bahasa Nusa Tenggara
Barat, 2014:1). Daerah pengamatan yang akan diambil berasal dari kantong tutur bahasa Sasak dialek a-a/Bayan, a-e/Pujut, dan e-e/Selaparang. Dengan demikian, penentuan daerah penga-matan pada satu daerah dapat mewakili ketiga variasi dialektal tersebut. Daerah pengamatan yang dijadikan sampel berjumlah enam desa/ kelurahan dengan empat orang narasumber dan 36 informan pendamping. Keempat daerah pengamatan tersebut terdiri atas satu desa di Kabupaten Lombok Utara sebagai representasi variasi dialek a-a/Bayan, satu desa di Kabupaten Lombok Timur sebagai representasi variasi dialek e-e/Selaparang, dua desa di Kabupaten Lombok Barat, dan dua desa di Kabupaten Lombok Tengah sebagai representasi variasi dialek standar a-e/Pujut. Dua desa di Kabupaten Lombok Tengah diambil dari dua trah berbeda, yaitu Meriak-meriku dan Menomene. Dua desa di Kabupaten Lombok Barat diambil dari sekitar Gerung sebagai perwakilan bagian barat dan satu lagi diambil dari daerah selatan sebagai perwakilan daerah pesisir pegunungan.
Data dalam tulisan ini dikumpulkan menggunakan metode wawancara dan catat (Mahsun, 2014:95—96). Metode wawancara digunakan untuk mengumpulkan data kebahasaan, yaitu sistem panggilan atau jejuluk dalam bahasa Sasak. Wawancara dilakukan secara langsung, bertatap muka dengan informan pada setiap daerah pengamatan. Wawancara dipandu menggunakan daftar tanyaan (instrumen) yang telah disiapkan. Teknik wawancara yang diterapkan adalah terbuka yang memungkinkan pewawancara mengembangkan tanyaan sesuai dengan kebutuhan data. Data wawancara dicatat dan direkam untuk kepentingan verifikasi data.
Data yang telah dikumpulkan dianalisis menggunakan metode padan (Sudaryanto, 2015:25—36). Tahapan yang dilakukan adalah penentuan unsur penentu, hubung banding menyamakan (HBS), hubung banding membedakan (HBB), hubung banding menyamakan hal pokok (HBSP), dan pembuatan simpulan dan rekomendasi.
2. Metode
Nama panggilan tidak dapat dipisahkan dari bahasa dan penggunaannya (Sumarsono, 2017:1—4) dalam konteks sosial budaya. Istilah kebahasaan terkait nama panggilan
mencakup jejuluk, nama diri, perubahan bunyi, kekerabatan, dan stereotip. Jejuluk, secara harfiah disepadankan dengan sebutan atau panggilan kepada seseorang. Seabra dan Isquerdo (2018:993) menyebutkan bahwa nama panggilan seseoang dalam kajian onomastika merupakan produk sistem yang merefleksikan cara suatu budaya dan nilai yang diusungnya. Nama panggilan tersebut umum digunakan dan dikenal masyarakat penggunanya meskipun terdengar berbeda dengan pronomina atau nama panggilan kekerabatan yang biasa digunakan.
Nama panggilan tersebut merupakan sebutan terhadap seseorang yang dapat menunjuk (Husnan, 2010a:3) pada konsep dan nama tempat atau kelompok dengan batas geografis, geneologis, atau trah. Nama panggilan tidak akan lepas dari pengaruh trah dan geneologi serta hubungan kekerabatan dalam masyarakat Sasak. Meskipun begitu, nama panggilan yang dalam tulisan ini disebut jejuluk merupakan sebuah nama yang diberikan oleh seseorang atau kelompok begitu saja kepada seseorang. Pemberian nama ini memiliki latar belakang, kegunaan, dan tentu memiliki kaidah kebahasaan dan budaya masyarakat Sasak.
Nama panggilan dalam konteks masyarakat Sasak disebut jejuluk mengalami perubahan bunyi secara fonologis (Indrawati, 2015:98— 99). Perubahan bunyi dapat berupa zeroisasi dan anaptiksis. Proses zeroisasi dapat terjadi pada (Krisanjaya, 2016:316—320) awal kata (aferesis), akhir kata (apokop), dan pada tengah kata (sinkop). Anaptiksis dapat terjadi pada tengah kata (epentesis) dan akhir kata (paragog).
Kekerabatan dapat diartikan sebagai hubungan kekeluargaan (Jamaludin, 2015:2) melalui perkawinan atau hubungan darah atau gen. Kerabat berarti dekat. Unsur kerabat inilah yang membuat masyarakat Sasak terikat selain dengan keluarga inti.
Sebagai dampak dari interaksi sosial, masyarakat memberikan peni-laian tersendiri terhadap seseorang atau kelompok lain dalam masyarakat Sasak (Husnan, 2010b:3—4) yang disebut stereotip. Penilaian ini berlanjut ke pemberian sifat dalam bentuk nama, seperti
Jejuluk. Pemberian nama ini bersifat subjektif
berdasarkan panda-ngan seseorang atau kelompok ter-hadap seseorang atau kelompok lain dalam masyarakat Sasak. Pemberian nama
yang subjektif dapat mengarah pada sifat yang positif atau negatif yang dalam kajian (Husnan, 2010b:3) lebih mengarah pada pemberian kategori tertentu saja.
3. Hasil dan Pembahasan
3.1 Jenis Sitem PanggilanSistem panggilan atau jejuluk berdasarkan lokus dapat dibagi menjadi protesis, epentesis, dan paragog. Setiap jenis memiliki pola tersendiri. Pola ini ditemukan setelah ditelusuri bentuk aslinya. Pola umum ditemukan dengan cara mengambil sebagian huruf dari nama asli. Dengan demikian, hasil analisis termasuk ke dalam kategori protesis, epentesis, atau paragog dilakukan setelah mengalami pengurangan jumlah huruf.
3.1.1 Protesis
Protesis adalah pemberian nama panggilan dari nama asal dengan cara mengambil dan mengubah bunyi sesuai dengan kaidah bahasa Sasak pada bagian awal. Pemberian nama panggilan ini dapat dilihat pada jejuluk
Bentol berasal dari nama asli Zaenal. Semua
huruf diambil dan terjadi penambahan serta pengurangan. Penambahan terjadi pada posisi penultima sebelum nasal. Pada saat yang sama terjadi juga perubahan bunyi dari /z/ menjadi /b/, bunyi rangkap /ae/ menjadi /e/ saja, dan /a/ menjadi /o/.
3.1.2 Epentesis
Epentesis adalah pemberian atau perubahan nama pada posisi tengah. Pola ini hanya ditemukan satu contoh, yaitu bedul. Bentuk ini berasal dari bentuk asli Abdullah. Bentuk yang diambil adalah bdul. Dalam bahasa Sasak sulit ditemui konsonan rangkap pada awal kata. Untuk itu, kedua konsonan tersebut disisipi oleh satu vokal yang berfungsi menyesuaikan bunyi sehingga menjadi bedul.
Berbeda dengan dua nama panggilan yang dideskripsikan lebih awal, Temoh berasal dari nama asal Fatimah. Jika dua jejuluk sebelumnya hanya mengambil empat huruf terakhir, jejuluk ketiga mengambil lima huruf terakhir. Jejuluk ini juga tidak mengalami penambahan seperti dua jejuluk sebelumnya. Yang terjadi hanya
perubahan bunyi pada konsonan yang diambil, yaitu bunyi /i/ menjadi /e/ dan /a/ menjadi /o/.
3.1.3 Paragog
Paragog merupakan pola pemberian nama panggilan pada posisi akhir. Jumlah huruf yang diambil bervariasi. Ada yang jumlah hurufnya tiga, empat, lima, dan enam huruf. Contoh Jejuluk tiga huruf adalah jok. Jejuluk ini berasal dari bentuk asli Hadijah. Lima huruf awal dihilangkan dan menyisakan tiga huruf kemudian disesuaikan bunyinya. Bunyi yang diubah adalah dua huruf terakhir, yaitu /a/ dan /h/ menjadi /o/ dan /k/.
Selain contoh tersebut, berikut adalah jejuluk lainnya, yaitu Ijok, icok, Imok, Ecok, Ameq,
Imok, Ajep, Irok, Irok, Ajok, Ilok, dan Ipok. Ada
contoh yang sama persis dan ada juga yang mirip. Sebagian besar diakhiri oleh konsonan letupan velar /k/. Bentuk yang sama persis adalah irok. Keduanya berasal dari bentuk asli yang berbeda, yaitu Sepirah dan Munirah. Keduanya sama-sama mengambil empat huruf terakhir, yaitu
irah. Bentuk ini diubah menjadi irok. Perubahan
bunyi yang terjadi adalah /a/ dan /h/ menjadi /o/ dan /k/. Sementara itu, dua huruf awal (/i/ dan /r/) tidak mengalami perubahan.
Selain irok ada juga dua jejuluk yang sama persis, yaitu imok. Jejuluk ini berasal dari dua nama asal yang berbeda, yaitu Saimah dan
Nurhalimah. Meskipun begitu, kedua jejuluk
tersebut sama-sama mengambil empat huruf terakhir dari nama asalnya. Jumlah dan jenis huruf yang diambil pun sama, yaitu imah. Empat huruf terakhir inilah yang kemudian diubah menjadi imok. Yang menarik adalah meskipun terdiri atas empat huruf, perubahan bunyi yang terjadi sama dengan perubahan bunyi pada kelompok perubahan dengan jumlah tiga huruf. Perubahan yang dimaksud adalah /a/ dan /h/ menjadi /o/ dan /k/. Dengan kata lain, dari empat huruf yang diambil, dua huruf awal (/i/ dan /m/) tidak mengalami perubahan. Perubahan hanya terjadi pada dua huruf terakhir.
Pola berikutnya yang ditemukan adalah
jejuluk empat huruf. Pada kelompok ini terdapat
pemberian nama yang mirip. Pada pola ini ditemukan dua kelompok pola, yaitu Icok-Ecok dan Ijok-Ajok. Icok dan Ecok berasal dari dua nama asal yang berbeda, yaitu Sarisah dan Aisah.
Meskipun begitu, kedua jejuluk tersebut sama-sama mengambil empat huruf terakhir dari nama asalnya. Jumlah dan jenis huruf yang diambil pun sama, yaitu Isah. Empat huruf terakhir inilah yang kemudian diubah menjadi Icok dan Ecok. Pun demikian, perubahan bunyinya tidak sama dengan pola pertama. Pada jejuluk Icok terjadi perubahan bunyi pada tiga huruf terakhir, Isah. Perubahan yang dimaksud adalah /s/ menjadi /c/, /a/ menjadi /o/, dan /h/ menjadi /k/.
Ijok dan Ajok berasal dari dua nama
asal yang berbeda, yaitu Hadijah dan Sinarah. Namun begitu, kedua jejuluk tersebut sama-sama mengambil empat huruf terakhir dari nama asalnya. Jumlah dan jenis huruf yang diambil pun sama, yaitu Ijah dan Arah. Empat huruf terakhir inilah yang kemudian diubah menjadi Ijok dan
Ajok. Namun, perubahan bunyinya tidak sama
dengan pola sebelumnya. Pada jejuluk Ijok terjadi perubahan bunyi pada dua huruf terakhir, Ijah. Perubahan yang dimaksud adalah /a/ menjadi /o/, dan /h/ menjadi /k/. Pada jejuluk Ajok terjadi perubahan bunyi pada tiga huruf terakhir, Arah. Perubahan yang dimaksud adalah /r/ menjadi /j/, /a/ menjadi /o/, dan /h/ menjadi /k/. Pada pola kedua ini, dua pasangan jejuluk yang dianalisis memiliki perbedaan jumlah huruf yang diubah.
Jejuluk Icok, Ecok, dan Ijok hanya mengubah
dua huruf terakhir dari empat huruf terakhir yang diambil dari nama asalnya, sedangkan jejuluk
Ajok mengubah tiga huruf terakhir dari empat
huruf dari nama asal yang diambil. Perubahan yang cukup menonjol adalah dari /r/ menjadi /j/. Dua jejuluk terakhir pada pola kedua ini adalah
Ajep dan Ameq. Kedua jejuluk ini berasal dari
dua nama asal yang berbeda, yaitu Mustajab dan
Amat. Jejuluk pertama mengambil empat huruf
terakhir dari nama asalnya, sedangkan jejuluk kedua mengambil utuh. Jumlah huruf yang diambil sama, yaitu Ajab dan Amat. Empat huruf inilah yang kemudian diubah menjadi Ajep dan
Ameq. Pun demikian, perubahan bunyinya tidak
sama dengan pola sebelumnya. Pada jejuluk
Ajep terjadi perubahan bunyi pada dua huruf
terakhir, Ajab. Perubahan yang dimaksud adalah
/a/ menjadi /e/ dan /b/ menjadi /p/. Pada jejuluk
Ameq terjadi perubahan bunyi pada dua huruf
terakhir, Amat. Perubahan yang dimaksud adalah
/a/ menjadi /e/, dan /t/ menjadi /q/.
Pasangan kedua abeng-ajeng berasal dari dua nama asal yang berbeda, yaitu Jabar dan
Rajap. Persamaan pada keduanya adalah
sama-sama mengambil empat huruf terakhir bentuk aslinya. Jejuluk pertama mengambil Abar dan kedua mengambil Ajap. Keduanya juga sama-sama mengubah huruf terakhir dengan bunyi nasal /ŋ/. Sebelumnya, terjadi satu kali perubahan pada jejuluk pertama dan kedua, yaitu /a/ menjadi /e/ sebelum nasal.
Berikutnya adalah tujuh jejuluk yang tidak memiliki pasangan yang serupa atau mirip.
Jejuluk tersebut adalah Kobra, Pakok, Temoh, Lekiq, Udeng, Sedet, dan Incih. Ketujuh jejuluk
tersebut berasal dari nama asal yang berbeda.
Kobra berasal dari nama asli Bukari, Pakok
berasal dari nama asli Ripaah, Temoh berasal dari nama asli Fatimah, Lekiq berasal dari nama asli Marzuki, Udeng berasal dari nama asli
Syarifuddin, Sedet berasal dari nama asli Rosidi,
dan Incih berasal dari nama asli Ruminsih.
Jejuluk Kobra terdengar terlalu berlebihan
tetapi jejuluk ini diambil dari empat huruf terakhir bentuk asalnya. Empat huruf tersebut kemudian diubah dan terjadi penambahan bunyi /b/ pada posisi penultima. Pada saat yang bersamaan terjadi perubahan dari bunyi /a/ menjadi /o/ dan /i/ menjadi /a/. Hampir sama dengan yang pertama, terjadi perubahan bunyi dan penambahan pada penultima huruf yang diambil dari nama asalnya. Pakok berasal dari nama asli Ripaah. Empat huruf terakhir diambil kemudian terjadi penambahan bunyi /k/. Pada saat yang bersamaan juga terjadi perubahan bunyi, yaitu /a/ menjadi /o/ dan /h/ menjadi /k/. Dua jejuluk berikut berasal dari nama asli yang berbeda, yaitu Udeng berasal dari Syarifudin dan
Sedet berasal dari Rosidi. Keduanya sama-sama
mengambil empat huruf terakhir dan melakukan penambahan bunyi. Empat huruf terakhir Udin mendapatkan tambahan bunyi /g/ setelah nasal dan menjadi /ŋ/. Pada saat yang sama terjadi perubahan bunyi dari /i/ menjadi /e/. Jejuluk kedua mengambil empat huruf teakhir, yaitu
Sidi. Jejuluk ini mendapatkan tambahan bunyi
pada posisi ultima, yaitu /t/. Pada saat yang sama terjadi juga perubahan bunyi dari /i/ menjadi /e/ pada posisi antipenultima dan /i/ menjadi /e/ pada posisi penultima. Jejuluk terakhir pada kelompok ini dalah Incih. Jejuluk ini berasal dari nama asli Ruminsih. Jejuluk mengambil lima huruf terakhir. Jejuluk ini cukup sederhana karena hanya melakukan perubahan sedikit,
yaitu konsonan yang berada pada posisi tengah sehingga lima huruf terakhir, Insih. Bunyi /s/ berubah menjadi /c/. perubahan ini meng-hasilkan jejuluk Incih.
3.1.4 Protesis dan Paragog
Protesis dan paragog merupakan gabungan perubahan bunyi pada bagian awal dan akhir secara bersamaan. Jejuluk ini dapat dilihat pada kata Cenet-Canot dan Abeng-Ajeng. Cenet berasal dari nama asli Musni dan kedua berasal dari nama asli Risani. Tiga huruf terakhir (Sani)
yang diambil mengalami perubahan bunyi
dan penambahan sehingga menjadi Cenot. Penambahan bunyi terjadi bersamaan dengan terjadinya perubahan bunyi. Perubahan terjadi pada bunyi /s/ menjadi /c/ dan /i/ menjadi /o/ kemudian ditambahkan bunyi /t/ pada akhir.
Jejuluk Lekiq berasal dari nama asal Marzuki.
Penambahan terjadi pada posisi ultima dan perubahan bunyi pada bunyi /z/ menjadi /l/ dan /u/ menjadi /e/.
3.1.5 Arbitrer
Berikutnya adalah jejuluk yang proses pengambilan dari nama asal dilakukan secara arbitrer, seperti Nduk, Semot, Sawung, Redot,
Upeng, Kadot, Gemoq, Genok, dan Gecuk. Jejuluk-jejuluk ini tergolong unik karena tidak
memiliki kaitan dengan nama asal. Pemberian nama dilakukan begitu saja sepanjang ada bunyi yang mirip dengan nama asal.
Nduk berasal dari nama asli Nur, Semot
berasal dari nama asli Sulaiman, Sawung berasal dari nama asli Saeful, Redot berasal dari nama asli Adi, Upeng berasal dari nama asli Suparman,
Kadot berasal dari nama asli Sabde, Gemoq
berasal dari nama asli Halimah, Genok berasal dari nama asli Rumnah, dan Gecuk berasal dari nama asli Gunasah.
Nama asal Nur menjadi Nduk sepertinya tidak mengikuti pola mengingat yang dipertahankan adalah bunyi /n/ saja. Hal yang sama juga berlaku untuk jejuluk Semot dan Sawung. Yang pertama hanya mempertahankan bunyi /s/ saja dan yang kedua mempertahankan bunyi konsonan dan vokal pada posisi antipenultima saja. Jejuluk
Redot dan Kadot juga tidak mengikuti pola
mengingat sangat jauh bunyi yang dihasilkan dari bentuk asalnya. Jejuluk lainnya juga berlaku
hal yang sama kecuali Upeng. Bentuk asalnya adalah Suparman. Meskipun terlihat jauh, tetapi bentuk asal yang lain juga menggunakan jejuluk ini. Bentuk asal yang dimaksud adalah Supardi yang juga menggunakan jejuluk Upeng. Unsur yang diambil adalah beberapa huruf awal, yaitu
Upar. Huruf yang diambil kemudian dilakukan
perubahan pada dua huruf terakhir. Bunyi /a/ menjadi /e/ dan /r/ menjadi /ŋ/.
Pemberian nama panggilan juga menggunakan cara komplementer, yaitu menambahkan beberapa huruf pada bunyi yang diambil dari nama asalnya. Contoh untuk jejuluk ini dapat dilihat pada bentuk
Gandek, Geboh, dan Cenet.
3.2 Kaidah Pemberian Nama Panggilan
Berdasarkan kaidah kebahasaan, pemberiaan nama dapat dibagi menjadi tujuh. Kesepuluh nama panggilan tersebut mengikuti pola VK#, KVK#, #K#, VKVK#, VKKV#, #KVKKV, KVKVK#, dan arbitrer.
3.2.1 Pola VK#
Pola VK# dapat diihat pada Jejuluk Ijok. Nama panggilan ini berasal dari kata Hadijah. Ada empat huruf yang diambil, yaitu Ijah. Keempatnya mengalami perubahan. Bunyi /a/ dan /h/ merupakan bunyi vokal rendah pusat dan konsonan frikatif faringal. Keduanya berubah mengingat daerah artikulasi yang ditempatinya. Bunyi pertama berada di antara bunyi konsonan paduan laminopalatal dan konsonan frikatif faringal. Bunyi kedua berada setelah vokal rendah pusat. Vokal rendah pusat diubah menjadi vokal tengah belakang yang secara artikulasi posisinya lebih ke depan. Berikutnya, bunyi konsonan frikatif faringal diubah menjadi hambat dorsovelar yang secara artikulasi berada di belakang. Yang menarik adalah ketika vokal rendah pusat berubah menjadi vokal tengah belakang, perubahan bunyi secara artikulasi diikuti oleh frikatif faringal menjadi hambat dorsovelar yang berada di belakang. Dengan demikian, empat bunyi yang dijadikan jejuluk secara berurutan diproduksi dari depan, tengah, tengah atas, dan belakang, yaitu dari bunyi yang dihasilkan meman-faatkan gigi dan gerakan lidah mendekati langit-langit kemudian diikuti dengan gerakan lidah ke belakang dan diakhiri dengan lidah menekan langit-langit bagian belakang
menggunakan bagian tengah lidah, sementara bagian ujung secara teratur mulai turun.
3.2.2 Pola KVK#
Pola KVK# dapat dilihat pada Jejuluk Icok. Nama panggilan ini berasal dari kata Sarisah. Ada empat huruf yang diambil, yaitu Isah. Kata yang diambil mengalami perubahan bunyi. Bunyi /s/, /a/, dan /h/ mengalami perubahan menjadi /c/, /o/, dan /k/. Konsonan paduan laminopalatal diubah menjadi kelas konsonan yang sama dengan posisi yang sedikit bergeser ke palatal bagian depan. Vokal rendah pusat
diubah menjadi vokal tengah belakang yang secara artikulasi posisinya lebih ke belakang daripada palatal depan. Berikutnya, bunyi konsonan frikatif faringal diubah menjadi hambat dorsovelar yang secara artikulasi berada di belakang. Empat bunyi yang dijadikan jejuluk secara berurutan diproduksi dari depan, depan atas, tengah atas, dan belakang, yaitu dari bunyi yang dihasilkan memanfaatkan gigi dan gerakan lidah mendekati langit-langit bagian atas depan kemudian diikuti dengan gerakan lidah ke belakang dan diakhiri dengan lidah menekan langit-langit bagian belakang menggunakan bagian tengah lidah, sementara bagian ujung secara teratur mulai turun.
3.2.3 Pola #K#
Pola #K# dapat dilihat pada Jejuluk Bah yang berasal dari kata Bakar. Ada tiga huruf yang diambil, yaitu Bak. Bunyi /k/ mengalami perubahan menjadi /h/. Bunyi /k/ berada setelah bunyi vokal rendah pusat. Konsonan hambat dorsovelar diubah menjadi konsonan geseran faringal yang secara artikulasi posisinya lebih ke belakang. Yang menarik adalah ketika konsonan hambat dipertahakan, bunyi yang dihasilkan oleh tiga huruf sebelum mengalami perubahan, bunyi berakhir dengan adanya tekanan ke atas langit-langit bagian belakang. Sebaliknya, setelah konsonan hambat diubah menjadi konsonan geseran, bunyi akhir akan ke belakang dengan posisi terbuka. Dengan demikian, tiga bunyi yang di-jadikan jejuluk secara berurutan di-produksi dari depan dan belakang, yaitu dari bunyi yang dihasilkan memanfaatkan bibir/ labial dan gerakan lidah mendekati langit-langit kemudian diikuti dengan terbukanya artikulasi
bagian belakang rongga mulut.
3.2.4 Pola VKVK#
Pola VKVK# dapat dilihat pada Jejuluk
Ecok yang berasal dari kata Aisah. Ada empat
huruf terakhir yang diambil. Empat huruf tersebut mengalami peru-bahan. Bunyi /i/, /s/, /a/, dan /h/ merupakan bunyi vokal tinggi depan, konsonan geseran laminoalveolar, vokal rendah pusat, dan konsonan frikatif faringal. Keempatnya berada sebelum bunyi geseran laminoalveolar, antara bunyi vokal tinggi depan dan rendah pusat, antara konsonan geseran laminoalveolar dan konsonan geseran faringal, setelah vokal rendah pusat. Perubahannya menjadi bunyi vokal tengah depan /e/, konsonan paduan laminopalatal /c/, bunyi vokal tengah belakang /o/, dan bunyi konsonan hambat dorsovelar /k/. Secara berurutan bunyi-bunyi tersebut diproduksi dari depan terbuka, depan langit-langit, depan terbuka, dan belakang.
3.2.5 Pola VKKV#
Pola VKKV# dapat dilihat pada Jejuluk
Incih berasal dari kata Ruminsih. Ada empat
huruf yang diambil dan mengalami perubahan bunyi, yaitu Insih. Satu bunyi yang mengalami perubahan, yaitu bunyi /s/. Bunyi ini merupakan bunyi konsonan geseran laminoalveolar. Bunyi ini diubah menjadi bunyi konsonan paduan laminopalatal. Perubahan bunyi dimulai dari bunyi awal depan tinggi kemudian bergeser ke langit-langit bagian tengah dan vokal tinggi depan serta diakhiri dengan konsonan terbuka.
3.2.6 Pola #KVKKVK
Pola #KVKKVK pada Jejuluk Bentol yang berasal dari kata Zaenal. Empat huruf diambil dan mengalami perubahan bunyi. Keempatnya adalah Enal. Bunyi /a/ diubah menjadi bunyi hambat laminoalveolar /o/. Setelah itu, terdapat penambahan bunyi hambat bilabial /b/. Bunyi /a/ diubah menjadi bunyi tengah belakang /o/. Sebagai tambahan, perubahan bunyi vokal tidak lazim terjadi sebelum penambahan bunyi konsonan mengingat bunyi [enol] dalam bahasa Sasak tidak populer, bunyi [enal] lebih populer. Perubahan bunyi vokal ini dapat dikatakan dipengaruhi oleh bunyi konsonan yang mendahuluinya. Perubahan bunyi vokal
dari rendah pusat ke tengah belakang terjadi setelah terjadi penambahan bunyi konsonan yang mendahuluinya.
3.2.7 Pola KVKVK#
Pola KVKVK# dapat dilihat pada jejuluk Temoh yang berasal dari kata Fatimah. Empat huruf terakhir yang diambil mengalami perubahan bunyi. Bunyi /i/ dan /a/ yang berada pada posisi awal dan akhir berubah menjadi bunyi /e/ dan /o/. Bunyi tinggi depan /i/ diubah menjadi bunyi tengah pusat /e/. Bunyi rendah pusat /a/ diubah menjadi bunyi tengah belakang /o/. Perubahan bunyi vokal /i/ karena diapit oleh bunyi konsonan hambat laminoalveolar /t/ dan konsonan sengauan bilabial /m/ mengapit bunyi /i/ dan bunyi konsonan sengauan bilabial /m/ dan konsonan geseran faringal /h/ mengapit bunyi /a/. Perubahan terjadi dari bunyi tinggi depan ke tengah pusat dan bunyi tengah pusat ke tengah belakang.
4. Penutup
4.1 Simpulan
Sistem nama panggilan pada etnis Sasak dalam tulisan ini merupakan nama pemberian oleh seseorang atau masyarakat terhadap orang lain. Nama panggilan yang diberikan sebagian besar diubah dari nama asal yang mengalami perubahan sesuai dengan kaidah bunyi dalam bahasa Sasak. Pengambilan bunyi huruf lebih banyak pada posisi akhir dengan perubahan bunyi lebih dominan menggunakan konsep paragog. Sisanya menggunakan protesis, epentesis, gabungan protesis dan paragog, dan arbitrer. Pola
pembentukan nama panggilan ini bervariasi sesuai dengan kaidah kebahasaan bahasa Sasak. pola yang dimaksud adalah VK#, KVK#, #K#, VKVK#, VKKV#, KVKKVK#, KVKVK#, dan arbitrer.
Sistem panggilan ini merupakan panggilan akrab seseorang dalam lingkungan sosial masyarakat Sasak. Penggunaan nama didasarkan pada hubungan sosial dalam lingkungan tertentu. Dalam hal ini, pembicara dan lawan bicara termasuk pendengar memiliki hubungan sosial yang dekat. Dengan kata lain, sistem panggilan hanya dapat digunakan oleh mereka yang memiliki hubungan sosial atau saling kenal dan tidak bertentangan dengan undak-usuk dan nilai budaya masyarakat. Tidak bertentangan dalam artian tidak bertentangan dengan nilai kesopanan yang berlaku, seperti tidak bolehnya sistem panggilan ini digunakan kepada orang yang lebih tua atau orang yang tidak dikenal. Sebagai tambahan, sistem panggilan ini tidak disarankan digunakan pada ritual kebudayaan yang mengandung nilai kearifan lokal masyarakat Sasak meskipun digunakan oleh orang yang sudah saling kenal.
4.2 Saran
Sistem panggilan pada masyarakat Sasak dapat dimasukkan ke materi ajar mulok dengan tetap merpertimbangkan aspek konteks penggunaan dan tujuan penggunaan kepada anak didik. Untuk itu, materi ini dapat digabungkan dengan perubahan nama dalam masyarakat Sasak yang dipengaruhi oleh status perkawinan.
Daftar Pustaka
Hakim, L. 2020. “Sapaan Kekerabatan Bahasa Sasak di Desa Beraim, Kecamatan Praya Tengah, Lombok Tengah”. Mabasan: Masyarakat Baha-sa dan Sastra Nusantara, 14(2), 329—340. https://doi.org/10.26499/mab.v14i2.426
Husnan, L. E. 2010a. “Alus Language of Sasak is Greatly Influenced by Bali and Java”. Proceeding
Seminar Internasional V Austronesia.
Husnan, L. E. 2010b. “Cara Pandang Masyarakat Sasak terhadap Sesa-manya yang Tercermin dalam Bahasanya: Suatu Kajian Etno-linguistik”. Mabasan Vol. 4, 2.
Indrawati, D. 2015. “Proses Fonologis dalam Pengadopsian Kata Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Ciacia di Kabupaten Buton, Sulawesi Tenggara”. Jurnal Pena Indonesia (JPI): Jurnal
Bahasa Indonesia, Sastra, dan Pengajarannya, 1(1), 96—104.
Jamaludin, A. N. 2015. “Sistem Keke-rabatan Masyarakat Kampung Sawah di Kota Bekasi”. El
Harakah Vol. 17 No. 2, 2.
Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat. 2019. Kamus Indonesia-Sasak. Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Krisanjaya. 2016. Linguistik Bandingan (N. E. Wasono (ed.); 3rd ed.). Universitas Terbuka.
Mahsun. 2014. Metode Penelitian Bahasa: Tahap Strategi, Metode, dan Tekniknya (Revisi). Rajawali Pers.
Novianti, M. I. 2016. Penggunaan Pelesetan Nama Panggilan dalam Masyarakat Sasak”. RETORIKA:
Jurnal Ilmu Bahasa, 2(2), 313—327. https://doi.org/10.22225/jr.2.2.287.313-327.
Seabra, Maria Candida Trindade Costa de dan Isquerdo, A. 2018. “Onomastics in Different Perspectives: Research Results”. Revista de Estudos Da Linguagem, 26(3), 993—1000. https://doi.org/ 10.17851/2237-2083.26.3.993-1000
Sudaryanto. 2015. Metode dan Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan
secara Linguistis (Pertama). Sanata Dharma University Press.
Sugiyono. 2014. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R dan D (21st ed.). ALFABETA. Suhandra, I. R. 2014. “Sapaan dan Honorifik”. Soociety: Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi,
XI(1), 99—115.