• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. 1 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. 1 Eka Darmaputera, Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam tulisannya yang berjudul “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”1, Eka Darmaputera memaparkan tentang pentingnya teologi kontekstual dengan bertolak dari keprihatinan pastoral. Mula-mula ia memaparkan hasil pengamatannya bahwa pemimpin-pemimpin jemaat dari gereja-gereja “arus tengah” di Indonesia, dewasa ini berada di dalam keadaan cemas dan resah akibat munculnya dua kelompok: gerakan Pentakosta Baru/Kharismatik dan gerakan-gerakan yang menamakan diri “Injili”. Kedua kelompok ini menganut strategi “proselitisme ke dalam”, artinya, beroperasi di kalangan orang-orang yang telah menjadi anggota gereja tertentu pada tingkat “grass-root”.2

Eka Darmaputera kemudian mencoba melihat persoalan ini dengan lebih seksama. Ia menemukan bahwa pokok persoalan ini terkait erat dengan hal pembinaan teologi yang diberikan gereja selama ini tidak dapat memenuhi/mencukupi kebutuhan-kebutuhan (teologis) jemaat. Menurut Eka, adanya warga jemaat yang berpaling ke kelompok-kelompok tersebut bukan karena gereja tidak memberikan pembinaan teologi, melainkan karena pembinaan teologi yang selama ini diberikan gereja tidak terlampau relevan dengan kenyataan hidup mereka, tidak kontekstual, dan oleh karena itu tidak fungsional.3 Demikianlah, dari hasil wawancaranya dengan beberapa warga jemaat yang berpaling ke kelompok-kelompok tersebut, Eka menyimpulkan bahwa sebenarnya warga jemaat mempunyai suatu kebutuhan. Kebutuhan itu tidak lain adalah sebuah teologi yang kontekstual.4

1

Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, dalam Eka Darmaputera (peny.), Konteks Berteologi di Indonesia, (Jakarta: BPK GM, 1988), hlm. 3-19

2

Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, hlm. 3

3

Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, hlm. 6.

4

Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, hlm. 5-6. Sekalipun dalam kelompok-kelompok tersebut (gerakan Pentakosta Baru/Kharismatik dan gerakan-gerakan yang menamakan diri “Injili”) warga jemaat merasa kebutuhannya telah terpenuhi, tampaknya Eka tidak mengakui kelompok-kelompok tersebut telah mengupayakan sebuah teologi yang kontekstual. “Bahwa banyak warga jemaat menyukai dan menarik manfaat dari hal-hal yang ada dalam kelompok-kelompok tersebut bukan berarti itu merupakan alternatif yang tepat melainkan karena tidak ada alternatif lain yang lebih baik.”, demikian kata Eka.

(2)

Menurut penulis apa yang dikemukakan Eka merupakan alasan mendasar mengapa mengupayakan teologi kontekstual itu penting. Mungkin ada berbagai alasan lain yang bisa diajukan, tetapi penulis cenderung berpendapat bahwa pada akhirnya mengupayakan teologi kontekstual berkaitan erat dengan upaya merespon secara sungguh-sungguh keprihatinan pastoral yang ada.5 Ini didasarkan pada pemahaman bahwa teologi itu bertolak dari iman dan bahwa iman itu tidak bisa dilepaskan dari komunitas (jemaat/gereja).6 Dalam hal ini teologi akademis yang hanya sibuk dengan masalah keilmuan dan mengabaikan pergumulan-pergumulan jemaat patut dikritisi. Teologi kontekstual bukan semata-mata berarti mengupayakan teologi yang mutakhir, yang sesuai dengan perkembangan zaman, tetapi terutama untuk menjawab kebutuhan jemaat di dalam konteksnya.

Keberadaan teologi seharusnya tidak terpisahkan dari keberadaan jemaat/gereja. Teologi ada pertama-tama untuk menolong jemaat/gereja memahami keberadaan diri mereka di tengah-tengah konteksnya.7 Dengan kata lain, seharusnya teologi tidak boleh berhenti pada masalah keilmuan. Lebih jauh, seharusnya teologi memperhatikan aspek-aspek pastoral juga. Itulah yang membuat teologi relevan.8 Upaya penyusunan teologi yang kontekstual (upaya kontekstualisasi teologi), yang relevan dengan kenyataan hidup, dan karena itu yang fungsional masih tetap

5

Bnd. pandangan E.G. Singgih bahwa dalam periode (teologi) akademis-kontekstual segi pastoral seharusnya menjiwai semua bidang dalam ilmu teologi. Lihat E.G. Singgih, Berteologi dalam Konteks, (Yogyakarta-Jakarta: Kanisius-BPK GM, 2000), hlm. 144. Singgih membedakan tiga periode teologi: periode pra-akademis (tekanannya adalah pencetakan pendeta-pendeta siap pakai, yang bisa membimbing warga Gereja menghadapi bahaya-bahaya yang mengancam. Mata kuliah yang merupakan “prima donna” adalah Dogmatik.), periode akademis (menekankan pada segi akademis. Dalam periode ini teologi biasanya terbagi atas “teologi jemaat” [yakni refleksi yang berasal dan berlaku di kalangan jemaat] dan “teologi akademis” [beredar di kalangan lembaga-lembaga pendidikan teologi]. Mata kuliah yang merupakan “prima donna” adalah Biblika.) dan periode akademis-kontekstual (Dalam periode ini, orang menyadari bahwa teologi itu bukan saja harus akademis, melainkan juga kontekstual, dalam arti mendarat pada konteks lokal atau setempat. Dalam periode ini teologi jemaat mendapat tempat yang penting. Mata kuliah yang merupakan “prima donna” adalah Teologi Pastoral.)

6

Meminjam diktum Anselmus yang terkenal, teologi dipahami sebagai “iman yang mencari pengertian” (fides quaerens intellectum). Daniel L. Migliore mengatakan bahwa pada hakikatnya teologi Kristen muncul dari dan berhubungan erat dengan sebuah komunitas iman tertentu (a particular community of faith). Lihat Daniel L. Migliore, Faith Seeking Understanding, (Grand Rapids: William B. Eerdmans, 1991), xi-xii

7

Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal, (Jakarta: BPK GM, 1991), hlm. 30. Judul asli: Constructing Local Theology, (New York: Orbis Books, 1985)

8

Apa yang dikatakan Eka patut diperhatikan. “Yang penting untuk dicatat di sini adalah, bahwa yang saya maksudkan dengan “relevan” bukanlah sekedar sesuatu yang mempunyai nilai teknis-pragmatis. Sebab bila nilai teknis-pragmatis saja yang menjadi ukuran, ia dapat menjerumuskan kita kepada sikap oportunisme yang tanpa prinsip. Tidak! Yang saya maksud dengan “relevan” di sini adalah sesuatu yang dapat mendukung fungsi kristiani kita sebagai “nabi”, “imam” dan “raja” di tengah-tengah konteks masyarakat Indonesia sekarang dan di masa depan. “Relevan” berarti sesuatu yang memungkinkan kita untuk bersikap positif, kritis, kreatif dan realistis di tengah keprihatinan dan pengharapan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan tetap setia kepada iman kristiani kita.” Lihat Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, hlm. 16

(3)

penting dilakukan pada saat ini. Teologi yang disusun pada saat ini haruslah memperhatikan konteksnya, sebab “teologi yang terasing dari konteksnya tidak akan mampu berfungsi”9.

Menurut Eka, teologi hanya dapat disebut sebagai teologi apabila teologi itu benar-benar kontekstual. Selanjutnya ia menegaskan bahwa “setiap teologi haruslah kontekstual”.10 Penegasan ini senada dengan apa yang diungkapkan Stephen B. Bevans tentang teologi kontekstual sebagai imperatif teologis. Kata Bevans,

“TIDAK ADA SESUATU yang disebut “teologi”; yang ada hanyalah teologi kontekstual ... Kontekstualisasi teologi – yakni upaya memahami iman Kristen dipandang dari segi suatu konteks tertentu – sungguh merupakan sebuah imperatif teologis. ”11

B. Deskripsi Masalah

Kontekstualisasi teologi masih penting dilakukan pada saat ini. Menurut penulis, upaya kontekstualisasi teologi itu pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari (penafsiran) Alkitab. “Kontekstualisasi tidak mungkin dilakukan tanpa perhatian dan penggalian yang serius terhadap konteks. Namun sama pentingnya, kontekstualisasi juga tidak mungkin dilakukan tanpa Alkitab.”12 Di kalangan Kristen Protestan pada khususnya, Alkitab menempati kedudukan yang sentral dalam penyusunan teologi (sola scriptura). Bahkan dengan tegas dikatakan bahwa “tidak ada ilmu teologi tanpa penelitian Alkitab.”13 Alkitab menjadi dasar berteologi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya Alkitab dalam teologi Kristen.14

Belakangan ini semakin disadari pentingnya usaha pencarian cara-cara baru dan kontekstual untuk menafsirkan Alkitab. Salah satu alasannya adalah secara metodologis, kontekstualisasi teologi sebagai metode berteologi yang baru (yang memperhatikan konteks dengan sungguh-sungguh) membutuhkan suatu paradigma

9

Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, hlm. 8

10

Eka Darmaputera, “Menuju Teologi Kontekstual Di Indonesia”, hlm. 9-10

11

Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), hlm. 1. Judul asli: Models of Contextual Theology, (New York: Orbis Books, 2002)

12 B.F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi? Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi, (Jakarta: BPK GM,

2003), hlm. 111

13

B.F. Drewes dan Julianus Mojau, Apa itu Teologi?, hlm. 92

14

Sesudah Konsili Vatikan II, Alkitab juga dipandang penting/sentral di kalangan Katholik. Bnd. Maria Ko Fong, “Kitab Suci dengan Pendekatan Asia”, dalam Ekawarta no. 02 & 03, Maret-Juni 1999, hlm. 6

(4)

hermeneutika yang baru pula, suatu hermeneutika kontekstual.15 Dalam hal ini mengusahakan tafsiran Alkitab yang kontekstual16 merupakan satu pokok penting dalam upaya kontekstualisasi teologi.

Di Indonesia, tampaknya usaha menyusun tafsiran Alkitab yang kontekstual-Indonesia kurang/jarang dikembangkan, khususnya oleh dosen-dosen biblika. Emanuel Gerrit Singgih menggambarkan tentang situasi umum dunia biblika di Indonesia demikian.

“Meskipun sekolah-sekolah teologi Indonesia utamanya sekolah-sekolah teologi yang menjadi anggota Persetia (Perhimpunan Sekolah-sekolah Teologi di Indonesia) telah menerima kurikulum standar nasional yang mengarah pada pembangunan sebuah teologi kontekstual (Kurnas 1997), dan cukup banyak terbitan-terbitan lepas yang berisi muatan-muatan yang bersifat kontekstual, dapat dikatakan bahwa dosen-dosen biblika menonton saja perkembangan yang terjadi ini. Hal itu tidak berarti bahwa dosen-dosen ini tidak mendukung kontekstualisasi. Bahkan sebaliknya, beberapa dari dosen-dosen malah merupakan pendorong kontekstualisasi. Namun ketika mereka sendiri harus menulis karangan-karangan dari bidang minat atau spesialisasi mereka, tanda-tanda bahwa mereka berpikir kontekstual tidak kelihatan. Seluruh karangan mengandaikan bahwa tafsiran bersifat objektif universal. Paling-paling hanya bagian akhir yang disebut “relevansi” ada konsesi sedikit terhadap pikiran-pikiran kontekstual. Bagannya persis seperti bagan khotbah tertentu, yang mulai dari penjelasan mengenai teks, kemudian diakhiri aplikasi teks untuk keperluan jemaat masa kini.”17

Singgih sendiri adalah salah satu (kalau bukan satu-satunya) dosen biblika Indonesia yang rajin menulis karangan-karangan tafsir Alkitab dan menghubungkannya dengan kontekstualisasi teologi.18 Dalam suatu kesempatan Singgih pernah mengungkapkan keprihatinannya bahwa, “masalah kita adalah

15

Bnd. Joas Adiprasetya, “Mencari Hermeneutika Asia”, dalam I. Rakhmat (ed.), Mendidik dengan Alkitab dan Nalar, (Jakarta: BPK GM, 1995), hlm. 244-245

16

tafsiran Alkitab yang kontekstual di sini secara sederhana dipahami sebagai tafsiran Alkitab yang berupaya mengapresiasi konteks pembaca lokal. Ungkapan ini bukan pertama-tama soal metode penafsiran Alkitab yang baru tapi lebih terkait dengan pergeseran orientasi/paradigma dalam menafsirkan Alkitab. Yang menjadi penekanan adalah bagaimana Alkitab bermakna dan dimaknai dalam konteks pembaca masa kini. E.G. Singgih membedakan antara ungkapan kontekstualisasi dan penafsiran Alkitab secara kontekstual. Kontekstualisasi berbicara tentang konteks kebudayaan setempat, sedangkan penafsiran Alkitab secara kontekstual berbicara tentang konteks perikop, kitab/surat dan bahkan kanon Alkitab. Lihat E.G. Singgih, Berteologi dalam Konteks, hlm.18-19. Dalam skripsi ini yang menjadi perhatian penulis bukan penafsiran Alkitab secara kontekstual, melainkan tafsiran Alkitab yang kontekstual, yakni tafsiran Alkitab yang terkait dengan upaya kontekstualisasi.

17

E.G. Singgih, “Menuju Hermeneutik Kontekstual Indonesia: Menafsir Alkitab dengan Mengakui Peranan Sudut Pandang Penafsir”, dalam Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, (Jakarta: BPK GM, 2004), hlm. 32-33

18

Jeffrey Kuan menyebut E.G. Singgih sebagai salah satu di antara orang-orang Asia yang menekankan pentingnya kontekstualisasi dalam bidang Biblika. Lihat Jeffrey Kuan, “Asian Biblical Interpretation”, dalam John H. Hayes (peny.), Dictionary of Biblical Interpretation A-J, (Nashville: Abingdon Press, 1999), hlm. 71

(5)

bagaimana membangun dan menghayati suatu teologi yang berwawasan Alkitabiah dan kontekstual.”19 Keprihatinan itu ditindak-lanjutinya dengan menyusun tafsiran-tafsiran Alkitab yang diharapkan dapat membantu para teolog kontekstual Indonesia dalam menyusun teologi kontekstual. Dalam prakata bukunya Dunia Yang Bermakna, Singgih mengatakan,

“Harapan saya, tafsir PL dengan tema “ciptaan” ini dapat membantu para teolog kontekstual Indonesia dalam menyusun teologi kontekstual yang pada satu pihak sesuai dengan tuntutan konteks, tetapi pada pihak lain tidak mengabaikan tradisi biblis.”20

Lebih jauh, Singgih kemudian mengupayakan suatu tafsiran Alkitab yang kontekstual Indonesia. Hal ini diungkapkannya dalam prakata bukunya Hidup Di

Bawah Bayang-Bayang Maut. Singgih mengatakan:

“...saya menafsir sebagai orang Indonesia dengan konteksnya yang khas. Saya tidak ragu-ragu mengangkat konteks itu ke permukaan di dalam menafsirkan teks Kitab Pengkhotbah. ... saya berusaha agar orang Indonesia bisa menafsirkan Alkitab dengan menggunakan perspektif dari konteksnya sendiri. Mudah-mudahan hal ini bisa memberanikan orang lain untuk juga menafsirkan dengan cara demikian, supaya tercapailah tujuan kita bersama, yaitu mengusahakan suatu tafsiran kontekstual Indonesia!”21

Itulah sebabnya, penulis hendak meneliti karangan tafsir Singgih untuk melihat bagaimana tafsiran Alkitab yang kontekstual Indonesia itu diupayakan. Diharapkan akan diperoleh gambaran tentang tafsiran Alkitab yang kontekstual Indonesia.

Dengan menyadari bahwa Singgih adalah seorang pakar biblika Perjanjian Lama (PL), penulis memutuskan untuk meneliti karangan tafsir PL yang Singgih tulis. Secara khusus, penulis akan meneliti tafsiran Singgih atas Kitab Pengkhotbah, dalam buku yang berjudul Hidup Di Bawah Bayang-Bayang Maut. Adapun alasan penulis adalah:

19 E.G. Singgih, Berteologi dalam Konteks, hlm. 49 20

E.G. Singgih, Dunia Yang Bermakna: Kumpulan Karangan Tafsir Perjanjian Lama, (Jakarta: Persetia, 1999), hlm. xii

21

E.G. Singgih, Hidup Di Bawah Bayang-Bayang Maut: Sebuah Tafsir Kitab Pengkhotbah, (Jakarta: BPK GM, 2001), hlm. x

(6)

1. Dari segi maksud. Secara eksplisit, sebagaimana diungkapkan dalam prakata buku Hidup Di Bawah Bayang-Bayang Maut, tafsiran atas Kitab Pengkhotbah ini dimaksudkan Singgih untuk “mengusahakan suatu tafsiran kontekstual Indonesia”22.

2. Dari segi kelengkapan. Tafsiran atas Kitab Pengkhotbah merupakan tafsiran lengkap Singgih atas salah satu kitab PL. Singgih menulis banyak karangan tafsir Alkitab (PL maupun PB), namun pada umumnya karangan-karangan tafsir tersebut terbatas pada perikop atau pasal tertentu. Dalam tafsiran atas Kitab Pengkhotbah, seluruh pasal Kitab Pengkhotbah, mulai dari pasal 1-12 ditafsirkan. Dengan demikian, diharapkan sebuah kitab dapat dipahami secara lebih utuh.

Untuk membahas upaya Singgih dalam menyusun tafsiran Alkitab yang kontekstual Indonesia (sebagaimana yang tampak dalam buku tafsir Kitab Pengkhotbah karangannya), ada dua pertanyaan yang menjadi pedoman bagi penulis. Pertama, apa yang dimaksud dengan tafsiran Alkitab yang kontekstual? Kedua, bagaimanakah Singgih mengupayakan tafsiran Alkitab yang kontekstual

Indonesia dalam buku tafsiran Kitab Pengkhotbah karangannya?

C. Tujuan Penulisan

Memperoleh gambaran tentang upaya penafsiran Alkitab yang kontekstual Indonesia menurut E.G. Singgih (sebagaimana yang tampak dalam buku tafsir Kitab Pengkhotbah karangannya) dan memberikan tinjauan kritis atasnya.

D. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah studi literatur, yakni menelusuri literatur-literatur yang berkaitan dengan pokok yang dibahas dan kemudian dituliskan secara deskriptif-analitis.

22

(7)

E. Judul

TELAAH ATAS UPAYA EMANUEL GERRIT SINGGIH MENYUSUN TAFSIRAN ALKITAB YANG KONTEKSTUAL INDONESIA DALAM

BUKU TAFSIRAN KITAB PENGKHOTBAH

F. Sistematika Penulisan

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini penulis memaparkan beberapa hal berkaitan dengan: latar belakang permasalahan, permasalahan, tujuan penulisan, judul, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Pemahaman tentang Penafsiran Alkitab yang Kontekstual

Dalam bab ini penulis memaparkan pemahaman tentang penafsiran Alkitab (hermeneutik) yang kontekstual menurut E.G. Singgih. Sebagai pembanding penulis juga memaparkan pandangan R.S. Sugirtharajah.

Bab III Memahami Tafsiran Kitab Pengkhotbah Karangan E.G. Singgih

Dalam bab ini penulis meninjau tafsiran Kitab Pengkhotbah karangan Singgih. Pertama-tama penulis memaparkan tinjauan umum dan kemudian secara khusus penulis meneliti konteks apa saja yang tampak dalam tafsiran tersebut.

Bab IV Tanggapan atas Upaya E.G. Singgih Menyusun Tafsiran Alkitab yang Kontekstual Indonesia

Dalam bab ini penulis menanggapi upaya Singgih menyusun tafsiran Alkitab yang kontekstual Indonesia sebagaimana yang tampak dalam buku tafsir Kitab Pengkhotbah karangannya.

Bab V Kesimpulan

Dalam bab ini penulis memaparkan kesimpulan dari seluruh pembahasan yang telah dilakukan dalam bab-bab sebelumnya.

Referensi

Dokumen terkait

Revitalisasi Stasiun Besar Yogyakarta dengan Pendekatan Arsitektur Kontekstual adalah pengembangan bangunan Stasiun Besar Yogyakarta yang bertujuan untuk meningkatkan

Tesis yang membahas strategi mobilisasi massa di Indonesia ini mampu menjelaskan mobilisasi massa sebagai strategi politik yang lahir dan berkembang dari politik

menumbuhkan pertanyaan dari judul teks, dilanjutkan dengan membaca teks, kemudian masing-masing siswa menceritakan kembali teks yang telah dibaca sementara teman

Kompetensi pedagogik dalam menerapkan kurikulum akan tampak pada kemampuan pendidik menyusun strategi sebagai ilmu dan kiat dalam memanfaatkan segala sumber yang

Pada bab ini dijelaskan mengenai objek penelitian yaitu karyawan tetap Kantor Perwakilan Bank Indonesia Purwokerto serta membahas masalah dan hasil dari analisis pengaruh stres

Di dalam buku ini membahas sejarah perjuangan perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia yang tidak terlepas dari peran para ulama dan santri secara spesifik, juga di dalamnya

Berdasarkan pemaparan di atas, maka bisa kita lihat dan kita cermati bahwa perkembangan tafsir sunda di Indonesia begitu amat pesat dan sangat berkembang jauh dulu

Penelitian ini akan meminjam banyak ilmu-ilmu lain seperti, Antropologi, sosiologi dan ilmu yang berkaitan dengan budaya sebagai pisau analisis untuk membahas