• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA. Sub kingdom : Metazoa. Sub phylum : Vertebrata Super kelas : Tetrapoda. : Testudinata. Super famili : Chelonioidea

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA. Sub kingdom : Metazoa. Sub phylum : Vertebrata Super kelas : Tetrapoda. : Testudinata. Super famili : Chelonioidea"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Bioekologi Penyu Hijau Morfologi dan Klasifikasi

Penyu hijau mempunyai ciri-ciri: karapaks sebagai penutup tubuh merupakan kulit keras yang terdiri dari 4 pasang coastal, 5 vertebral dan 12 pasang marginal, sepasang sisik prefrontal yang letaknya di atas hidung, memiliki sepasang kaki depan dengan sepasang kaki belakang, kuku pada kaki depan hanya satu, warna karapaksnya coklat/kehitam-hitaman dan letak bagian karapaks tidak saling menutupi satu sama lainnya. Bagian dorsal anak-anak penyu yang baru lahir (tukik) adalah berwarna hitam dan bagian ventralnya putih mulai dari kaki atau “flipper” (Nuitja 1992). Penyu hijau juga mempunyai ciri-ciri khas, yaitu 4 pasang sisik pada tempurung, 1 pasang sisik di antara kedua matanya, tempurungnya halus (sisik tidak saling tumpang tindih). Selain itu, ukuran panjang kerangkanya 1100 mm, moncong sangat pendek (rahang tidak berkait) dan ekor pendek (Priyono 1994).

Klasifikasi penyu menurut Linnaeus dalam Hirth (1971) Kingdom : Animalia

Sub kingdom : Metazoa Phylum : Chordata Sub phylum : Vertebrata Super kelas : Tetrapoda Kelas : Reptilia Sub kelas : Anapsida Ordo : Testudinata Sub ordo : Cryptodira Super famili : Chelonioidea Famili : Cheloniidae Genus : Chelonia

Spesies : Chelonia mydas Linnaeus 1758 Nama umum (Inggris) : Green Turtle

(2)

penyu janjang, penyu kantung kera, penyu petelur, penyu nijual, penyu biasa, penyu kea (Nuitja, 1992).

Habitat

Habitat merupakan tempat hidup dan berkembangbiaknya satwaliar yang terdiri dari komponen fisik dan biotik. Komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang, sedangkan komponen biotik terdiri dari vegetasi, mikro dan makro fauna serta manusia (Alikodra 2002). Habitat penyu hijau di lautan, tetapi daerah penelurannya di daratan (Nuitja 1992). Habitat untuk mencari makanan penyu hijau di daerah yang ditumbuhi oleh tanaman laut atau algae laut, meskipun masing-masing jenis mempunyai kesukaan makan algae laut tertentu (Priyono 1994).

Karakteristik tempat peneluran penyu hijau secara umum adalah daratan luas dan landai yang terletak di atas bagian pantai dengan rata-rata kemiringannya 30° serta di atas pasang surut antara 30 sampai 80 meter. Meskipun demikian penyu seringkali tidak jadi bertelur di daerah tersebut jika secara kebetulan tempat itu berpasir keras karena bercampur dengan tanah atau kerikil tajam. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tidak semua pasir dapat digunakan untuk tujuan bertelur. Tekstur tanah daerah peneluran berupa pasir tidak kurang dari 90% dan sisanya debu maupun liat dengan diameter butiran berbentuk halus dan sedang. Komponen utama yang menjadi penentu adalah pasir kuarsa atau konkresi kapur, terutama dalam ukuran halus dan sedang. Terbentuknya komponen tersebut mungkin berasal dari sumber sekitarnya atau tempat yang jauh dan dibawa oleh sungai atau gelombang (Nuitja 1978, 1982; Nuitja dan Uchida 1983).

Jenis vegetasi hutan pantai yang dijadikan penyu hijau sebagai tempat bertelur di KPS berdasarkan hasil pengamatan Natih et al. (1993) dan Sani (2000), yaitu pandan laut (Pandanus tectorius), butun (Barringtonia asiatica), katapang (Terminalia cattapa), waru laut (Hibiscus tiliaceus), kuciat (Ficus septica), bintaro (Tournefortia argentia), kicepot (Gonocaryum macrophyllum) dan mengkudu (Morinda citrifolia). Jenis pandan laut merupakan tumbuhan yang paling mendominasi vegetasi hutan pantai tersebut. Demikian juga di Pantai Pangumbahan, vegetasi yang mendominasi tempat peneluran penyu hijau dari hasil penelitian Sianipar (2007) adalah pandan. Bustard (1972) menyatakan bahwa

(3)

pandan memberikan pengaruh terhadap naluri penyu hijau yang ditemukan bertelur di Heron Island, Australia. Selain itu, di Sukamade ditemukan sarang-sarang penyu hijau yang letaknya di bawah naungan pohon pandan sebanyak 24.8% berada di daerah terbuka di depan formasi hutan Pandanus tersebut tetapi masih pada jalur supratidal sebanyak 75.2 % (Nuitja 1992).

Perilaku

Perilaku penyu hijau merupakan gerakan-gerakan sebagai akibat dari pengaruh photokinetic dan phototactic yang menuju sinar terang pada garis pantai dan dapat bermodifikasi akibat pengaruh lingkungan, seperti dalam penyediaan jumlah dan makanan di habitat (Priyono 1994). Perilaku yang dapat dilihat dari penyu hijau antara lain:

Mencari Makan

Penyu hijau pada tahun pertama dari kehidupannya cenderung bersifat karnivora, makanan yang dibutuhkan dalam periode tersebut terutama berupa invertebrata atau zooplankton seperti kepiting, udang, kerang-kerangan, jamur dan ubur-ubur, tetapi makan semacam itu tidak ditemukan sampai 100% dalam alat-alat pencernaannya, karena kadangkala sebagian kecil terdiri dari algae laut (Nuitja (1992). Penyu hijau merupakan satwa yang bermigrasi sangat luas antara daerah yang menjadi sumber makanan dan daerah penelurannya (Hirth 1997 dan Carr 1987).

Bertelur

Penyu biasanya bertelur dalam malam gelap, kecuali penyu sisik yang bertelur di siang hari. Penyu yang sudah siap bertelur biasanya merayap ke tempat yang aman, di atas garis pasang surut kemudian menggali lubang dengan siripnya. Penyu mulai menggali lubang dengan sirip depannya, lubang yang dibuat dangkal sebesar badannya. Kemudian dengan sirip belakang dia menggali lubang yang lebih kecil dan dalam, untuk menempatkan telurnya (Nuitja 1983).

Lama waktu bertelur penyu hijau dari di Kecamatan Cipatujah berkisar antara 107 sampai 147 menit (rata-rata 25,8 menit). Tahapan yang memakan waktu terlama adalah pada tahap menutup lubang badan dan menyembunyikan

(4)

lubang sarang, berkisar antara 25 sampai 38 menit, dengan rata-rata 31,6 menit (Natih et al. 1993).

Penyebaran Sarang

Penyebaran penyu hijau meliputi: Sumatera, Laut Jawa, Madura, Flores, Laut Kalimantan, Sulawesi, Ambon, Banda, Kepulauan Aru, Irian, Australia Utara, Formosa, India Barat, Brasil, Pantai Afrika, Laut Hindia (Priyono 1994). Penyebaran penyu hijau di KPS terdapat di 6 blok hutan pantai, yaitu Katapang, Tegal Sereh, Panarikan, Pamoekan, Selokan Wangi dan Cilutud. Demikian juga penyebaran sarangnya terdapat pada 6 blok hutan pantai tersebut (Sani 2000).

Penyebaran sarang sangat dipengaruhi oleh tekstur pasir. Tekstur pasir yang dijadikan sarang penyu hijau di Pangumbahan terdiri dari fraksi pasir (pasir sangat kasar, pasir kasar, pasir sedang, pasir halus dan pasir sangat halus), liat dan debu, dengan dominasi pasir sedang 74.2415%. Sedangkan di Sukawayana pasir berukuran sedang, yaitu 48.2585% (Hatasura 2004). Penyu memilih daerah untuk bertelur pada daratan yang landai dan tidak terkena pasang. Di Sukamande, sarang ditemukan 0.05% pada zona intertidal, sedangkan zona supratidal mencapai 98.64%. Diantara zona tempat pandan laut tumbuh hingga ke arah daratan, hampir tidak ditemukan telur-telur penyu lagi karena daerah tersebut memang sulit untuk dilalui. Kondisi daerah tersebut memang bertanah keras dan banyak naungan, sehingga zona ini secara logis tidak disenangi penyu yang yang ingin bertelur. Sarang penyu di Sukamande ditemukan 25.0% sarang-sarang berada di bawah naungan pohon dan selebihnya adalah bebas naungan (Nuitja 1992).

Musim Bertelur

Penyu di Sukamade, Sukabumi bertelur sepanjang tahun. Akan tetapi jika diperhatikan, puncak musim bertelurnya terjadi pada bulan Januari sampai Maret karena curah hujan pada bulan tersebut cukup tinggi (Nuitja 1992). Penyu hijau pada satu musim bertelur mempunyai selang waktu 9-16 hari. Pergerakan yang berhubungan dengan aktivitas bertelur dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu usia, makanan dan suhu perairan (Ridla 2007). Musim bertelur penyu hijau di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.

(5)

Tabel 1 Musim bertelur penyu hijau di Indonesia

Lokasi Musim bertelur (Bulan ke-)

Puncak

(Bulan ke-) Penyelidik bertelur Sumatera Berhala Pulau Penyu Pulau Penyu Bengkulu 1-12 1-12 1-12 1-12 11-1 6-7 5-6 6-7 Meermohr (1926)

Nuitja dan Sukarme (1977) Nuitja dan Sukarme (1977) Nuitja (1978) Jawa Barat pangumbahan Citirem Cibulakan Sindangkerta Ujungkulon 1-12 1-12 1-12 9-1 1-12 11-1 11-1 11-1 10-11 10-11

Nuitja dan Lazell (1982) Nuitja dan Lazell (1982) Nuitja (1978) Kusman (1982) FAO (1977) Jawa Timur Pulau Barung Sukamade 1-12 1-12 12-1 11-2 FAO (1977) Nuitja (1985) Sumbawa Ai-Ketapang 4-9 5 Hasan (1975) Kalimantan Timur Derawan 1-12 6-7 Wirahakusumah (1976) Maluku Kep.Sanana 1-12 3-4 Gerson (1980) Sumber: Nuitja (1992) Waktu yang paling disukai oleh penyu untuk bertelur yaitu pada tengah malam, antara pukul 21.00-24.00 kemudian pukul 24.00-03.00 Keadaan yang gelap gulita dan tenang memang terjadi pada tengah malam jika dibandingkan dengan waktu-waktu lainnya. Tetapi keluarnya anak-anak penyu hijau dari sarang di Pantai Pangumbahan umumnya dalam waktu tengah malam sampai pukul 16.00 WIB (Nuitja 1992).

Masa Inkubasi

Telur-telur penyu yang berada dalam sarang akan menetas karena dipengaruhi oleh faktor suhu, kelembaban, curah hujan dan lingkungan lainnya (Priyono 1994). Curah hujan dapat mempengaruhi fluktuasi suhu dan kadar air yang kemudian mempengaruhi keberhasilan penetasan. Rendahnya kadar air sarang menyebabkan keluarnya air dari dalam telur sedangkan kadar air lingkungan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan tumbuhnya jamur pada

(6)

bagian kulit telur dan mematikan janin yang sedang berkembang. Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan penetasan adalah faktor reproduksi dan indukan. Faktor ini meliputi hal pembuahan oleh jantan, kesehatan organ reproduksi, kesiapan induk pada proses produksi, makanan dan lain-lain (Hatasura 2004). Lama inkubasi penyu hijau di Serawak antara 50-65 hari, di pantai Tortuguero antara 47-55 hari (Nuitja 1992), sedangkan di India rata-rata 60 hari (Deraniyagala 1953; Carr & Orgen 1960).

Pemeliharaan Tukik

Hal utama yang harus diperhatikan pada pemeliharaan tukik adalah sirkulasi air. Sirkulasi air yang teratur menyebabkan sisa dari pemberian makanan dan sekresi tukik tereduksi secara terus menerus. Selain itu, mikroorganisme penyebab penyakit kulit pada tukik menjadi tidak mudah berkembang (Kafuku & Ikeone 1983 dalam Naulita 1990). Selain pengadaan sirkulasi air, luas tempat pemeliharaan juga mendapat perhatian khusus. Hal ini bertujuan untuk memberikan ruang gerak yang luas bagi tukik karena tukik merupakan hewan yang aktif bergerak (Fitrari 2007).

Pelepasan Tukik

Pelepasan tukik dilakukan saat tukik mampu menyerap oksigen (berumur 1 minggu) sehingga mampu menyelam 3 – 4 kali dalam waktu satu menit. Makin besar anak-anak penyu, maka perkembangan tumbuh paru-parunya akan lebih baik untuk digunakan menyerap oksigen (Nuitja 1992). Hari-hari pertamanya di air, tukik belum bisa menyelam karena dalam tubuhnya mengandung telur kuning yang belum tercerna seluruhnya. Keberadaan kuning telur tersebut menyebabkan berat jenis tubuh tukik jadi rendah dan hanya dapat berenang di permukaan, sehingga hal ini dapat memudahkan predator untuk memakannya (Nontji 1987).

(7)

Ekowisata

Ekowisata berasal dari kata:

a. Ekologi, artinya sebagai sumberdaya dan daya tarik, dan ekowisata memberikan kontribusi positif terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan b. Ekonomi, artinya ekowisata merupakan kegiatan ekonomi yang berkelanjutan c. Evaluasi kepentingan opini masyarakat, artinya ekowisata mempunyai

kepedulian terhadap peningkatan peran serta masyarakat dalam kegiatan tersebut, serta ekowisata merupakan suatu upaya peningkatan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat yang dapat memberikan kontribusinya terhadap upaya pelestarian alam dan lingkungan (Sudarto 1999).

Ekowisata adalah suatu jenis pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan aktivitas melihat, menyaksikan, mempelajari, mengagumi alam, flora dan fauna, sosial-budaya etnis setempat, dan wisatawan yang melakukannya ikut membina kelestarian lingkungan alam di sekitarnya dengan melibatkan penduduk lokal (Yoeti 2000). Ekowisata merupakan suatu konsep pariwisata yang mencerminkan wawasan lingkungan dan mengikuti kaidah keseimbangan dan kelestarian lingkungan. Secara umum, pengembangan ekowisata harus dapat meningkatkan kualitas hubungan antar manusia, meningkatkan kualitas hidup masyarakat setempat dan menjaga kualitas lingkungan (BKSDA Jatim 2008). Ekowisata sebagai bentuk wisata yang dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai pertumbuhan yang lestari secara ekonomi karena membantu melindungi dan menjaga lingkungan dan budaya, serta memberikan pesan pendidikan lingkungan bagi pengunjung dan penduduk lokal (Liu 1994).

Ekoturisme (ecotourism) identik dengan wisata alam (nature tourism) yang memiliki keterkaitan dengan konservasi. Secara sederhana keterkaitan tersebut dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi dampak positif dan sisi dampak negatif. Sisi dampak positif disebut sebagai benefits (manfaat) atau opportunities (kesempatan), sedangkan sisi dampak negatif disebut sebagai costs (kerugian) atau problems (permasalahan). Manfaat ekoturisme bagi pembangunan meliputi: (1) peningkatan dana bagi kawasan, (2) tersedianya kesempatan kerja dan berusaha bagi penduduk lokal (masayarakat setempat) dan pendidikan lingkungan bagi pengunjung (wisatawan). Kerugian dan permasalahan bagi lingkungan

(8)

ataupun kegiatan konservasi dan pembangunan meliputi: (1) penurunan kualitas lingkungan, (2) guncangan dan ketidakseimbangan dampak ekonomi serta (3) perubahan sosial budaya masyarakat sekitar (Boo 1991 dan Neely et al. 1992 dalam Sunarminto 2002).

Pengembangan Ekowisata

Pembangunan pariwisata di Indonesia merupakan salah satu alternatif dalam pembangunan ekonomi. Pengembangan sektor pariwisata saat masih difokuskan pada produk yang bersifat masal (mass-tourism) yang hanya mementingkan nilai ekonominya saja. Sehingga perlu digagas model pariwisata yang bersifat berkelanjutan dan tidak merusak lingkungan alam dan budaya. Salah satu model tersebut adalah ekowisata (ecotourism). Produk wisata yang bertumpu pada alam ini semakin berkembang sejalan dengan mulai meningkatnya perhatian dan kesadaran manusia terhadap lingkungan, serta kecenderungan untuk kembali ke alam (back to nature) melalui perjalanan ke daerah-daerah alami (Maksum 2008).

Pengembangan ekowisata di suatu kawasan erat kaitannya dengan pengembangan objek dan daya tarik wisata alamnya (ODTWA). Menurut Departemen Kehutanan (2006) keseluruhan potensi ODTWA merupakan sumber daya ekonomi yang bernilai tinggi dan sekaligus media pendidikan dan pelestarian lingkungan. Lebih rinci Departemen Kehutanan (2006) menjelaskan pengembangan ODTWA sangat erat kaitannya dengan peningkatan produktivitas sumberdaya hutan dalam konteks pembangunan ekonomi regional maupun nasional, sehingga selalu dihadapkan pada kondisi interaksi berbagai kepentingan yang melibatkan aspek kawasan hutan, pemerintah, aspek masyarakat dan pihak swasta didalamnya.

Pengembangan daerah tujuan wisata bagi kegiatan ekowisata, pelaksana dan partisipator harus mengikuti prinsip-prinsip berikut (TIES 2003):

1. Meminimalkan dampak negatif

2. Membangun kesadaran serta menghormati budaya dan lingkungan 3. Memberikan pengalaman positif bagi pengunjung dan masyarakat sekitar 4. Memberikan manfaat finansial secara langsung bagi konservasi

(9)

6. Menumbuhkan kepekaan sosial, lingkungan dan politik bagi masyarakat 7. Mendukung hak asasi manusia dan perjanjian buruh.

Prinsip-prinsip pengembangan ekowisata, yaitu (BKSDA Jatim 2008) : 1. Memanfaatkan sumberdaya alam hayati dengan tidak merusak

sumberdaya alam serta mendorong pihak swasta untuk berperan serta dalam program konservasi;

2. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistem;

3. Memberikan keuntungan ekonomi bagi pengelola kawasan, penyelenggara ekowisata dan masyarakat sekitar kawasan taman wisata, serta berdampak luas terhadap perekonomian Pemerintah Kabupaten, Provinsi maupun Nasional;

4. Membangun kemitraan dengan masyarakat sehingga masyarakat dapat terlibat sejak perencanaan sampai pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi dalam pengembangan ekowisata;

5. Menyediakan informasi yang akurat tentang potensi kawasan bagi khalayak.

Analisis SWOT

Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi, berdasarkan logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang (Opportunities), dan secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Jadi, analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang dan ancaman dengan faktor internal kekuatan dan kelemahan (Rangkuti 2005). SWOT merupakan suatu bagian integral dari suatu rencana pemasaran dan menjadi bagian dari suatu perencanaan bisnis, dan bagaimana cara melaksanakan oleh satu atau beberapa orang terhadap beberapa faktor yang dianggap sangat penting. SWOT memuat faktor internal (Strengths dan weakness) dan faktor eksternal (opportunities dan threats) yang memberikan empat kemungkinan pengembangan, yaitu pengembangan berdasarkan S-O, W-O, S-T dan W-T (Alto 2006).

Analisis SWOT dapat mengetahui isu atau faktor-faktor strategis yang perlu dikembangkan di masa yang akan datang untuk pengembangan sektor

(10)

pariwisata. Teknik analisis SWOT merupakan tahap awal upaya menemukan isu strategis yang nantinya berkaitan dengan penemuan strategi pengembangan sektor pariwisata Santoso dan Tangkilisan (tanpa tahun). Diagram matrik SWOT dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Matriks SWOT Faktor Internal

Faktor eksternal

Kekuatan (Strengths) Menentukan faktor-faktor yang merupakan kekuatan internal

Kelemahan (Weakness) Menentukan faktor-faktor yang merupakan kelemahan internal

Peluang (Opportunity) Menentukan faktor-faktor yang merupakan peluang eksternal

Strategi S-O

Menghasilakan strategi yeng menggunkan kekuatan untuk memanfaatkan peluang

Strategi W-O

Menghasilkan strategi yang meminimalkan kelemahan

untuk memanfaatkan

peluang Ancaman (Threath)

Menentukan faktor-faktor yang merupakan ancaman eksternal

Strategi S-T

Strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman

Strategi T-W

Menghasilkan strategi yang meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman

Sumber: Rangkuti (2000) Kekuatan (strengths) adalah unsur dari potensi sumberdaya yang dapat dilindungi dari persaingan dan dapat menciptakan suatu kemajuan di dalam suatu kegiatan/usaha. Kelemahan (weakness) adalah unsur dari potensi sumberdaya yang tidak dapat menciptakan suatu kemajuan di dalam kegiatan/usaha (Hayden dalam Rizal 1995).

Peluang (opportunity) adalah unsur lingkungan yang dapat memungkinkan suatu kegiatan/usaha untuk mendapatkan keberhasilan yang tinggi. Ancaman adalah unsur lingkungan yang dapat mengganggu/menghalangi suatu kegiatan/usaha sehingga dapat menggagalkan kegiatan/usaha bila tidak ada tindakan pengelolaan yang tegas segera diambil (Kotler dan Bloom 1987 dalam Rizal 1995).

Gambar

Tabel 1  Musim bertelur penyu hijau di Indonesia
Tabel 2  Matriks SWOT

Referensi

Dokumen terkait

Yang dipermasalahkan Pemerintah kabupaten Indramayu bukan dampak pengalihan lahan pertanian menjadi jalan tol sehingga mengurangi produksi pangan di kabupaten tersebut,

Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggung jawab atas kasus penyakit atau masalah kesehatan yang diselenggarakan secara timbal balik, baik secara vertikal

Jurnal Bahasa, Sastra dan Pembelajarannya ǀ 211 peristiwa-peristiwa yang dihadirkan Danarto dalam novel Asmaraloka ini terkesan acak dan absurd, tetapi setiap detilnya pembaca

Di bidang mikrobiologi air, beberapa jasad tertentu khususnya bakteri dan mikroalga, kehadirannya dapat digunakan jasad parameter/indikator alami terhadap kehadiran

Yang dimaksud dengan pelaksanaan pempelajaran di sisi adalah pelaksanaan komponen-komponen pokok pembelajaran yang meliputi komponen tujuan pembelajaran, materi

memperhatikan situasi tersebut maka tim pengabdian masyarakat sepakat dengan unit mitra yaitu SMA kecamatan Ubud, salah satunya dalam hal ini adalah melalui Kepala Sekolah