• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERKEMBANGAN POPULASI DAN PEMBENTUKAN MAKROPTERA TIGA BIOTIPE WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens Stål PADA SEMBILAN VARIETAS PADI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERKEMBANGAN POPULASI DAN PEMBENTUKAN MAKROPTERA TIGA BIOTIPE WERENG BATANG COKELAT Nilaparvata lugens Stål PADA SEMBILAN VARIETAS PADI"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN POPULASI DAN PEMBENTUKAN

MAKROPTERA TIGA BIOTIPE WERENG BATANG

COKELAT Nilaparvata lugens Stål PADA SEMBILAN

VARIETAS PADI

WAHYU FITRININGTYAS

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

ABSTRAK

WAHYU FITRININGTYAS. Perkembangan Populasi dan Pembentukan Makroptera Tiga Biotipe Wereng Batang Cokelat Nilaparvata lugens Stål pada Sembilan Varietas Padi. Dibimbing oleh ENDANG SRI RATNA dan ARIFIN KARTOHARDJONO.

Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål merupakan salah satu hama potensial penyebab kerusakan tanaman padi di Indonesia. Varietas padi tahan umum digunakan dalam mengendalikan hama WBC. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan perkembangan populasi WBC biotipe 1, 2, dan 3 serta proporsi pembentukan makroptera yang diinfestasikan pada sembilan varietas padi. Satu dan sepuluh pasang setiap biotipe 1, 2, dan 3 WBC brakhiptera diambil dari populasi stok kemudian dilepas pada sembilan varietas padi uji yang ditanam pada sebuah ember berdiameter 25 cm dan dikurung di dalam kurungan kasa berkerangka besi. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Parameter yang diamati adalah jumlah populasi WBC setiap 2 hari setelah 7 hari infestasi, waktu dan jumlah pembentukan serangga makroptera, jumlah populasi brakhiptera dan makroptera, serta jumlah bulir padi serta berat gabah pada akhir penelitian. Hasil pelepasan satu pasang induk cenderung memicu perkembangan populasi WBC biotipe 1, 2, dan 3 paling cepat pada varietas IR 64, dengan jumlah individu tertinggi berturut-turut ± 184, 242, dan 419 ekor/rumpun dan WBC biotipe 2 pada varietas Inpari 3 sebesar 212 ekor/rumpun, dicapai pada puncak populasi generasi ke dua. Pelepasan sepuluh pasang induk meningkatkan perkembangan populasi WBC biotipe 1, pada varietas Inpari 4, dan WBC biotipe 2 pada IR 64, dengan jumlah individu tertinggi berturut-turut ± 785 dan 491 ekor/rumpun dicapai pada puncak populasi generasi ke dua. Pelepasan yang sama meningkatkan perkembangan populasi WBC biotipe 3 sejak generasi pertama pada seluruh varietas uji dengan jumlah individu mencapai rata-rata 300 ekor/rumpun. Varietas Inpari 6, Inpari 4, dan IR 64 berespon rentan terhadap WBC biotipe 1 dengan produksi gabah kering 1,8-3,2 g/rumpun dibandingkan Inpari 13 berespon agak tahan dengan produksi 6,4 g/rumpun. Varietas IR 64, Inpari 3 dan Inpari 6 berespon rentan terhadap WBC biotipe 2 dengan produksi 1,2-2,3 g/rumpun dibandingkan Inpari 13 berespon tahan dengan produksi 6,6 g/rumpun. Tujuh varietas padi uji berespon rentan terhadap WBC biotipe 3 dengan produksi 0-0,5 g/rumpun kecuali PTB 33 dan Inpari 13 berespon tahan dengan produksi 10,7 g/rumpun. Pada populasi WBC biotipe 1, 2, maupun 3, jumlah brakhiptera berturut-turut 16-23, 11, dan 13-32 kali lipat lebih besar dari makroptera ditemukan pada varietas rentan dibandingkan 4-13, 5-7 dan 3-8 kali lipat pada varietas tahan. Ratio seks betina : jantan WBC brakhiptera biotipe 1, 2, maupun 3 ditemukan berkembang pada varietas rentan yaitu 1,4- 2,24 relatif lebih besar dibandingkan dengan varietas tahan, yaitu 0,8-1,3. Rasio seks makroptera relatif hampir sama antara varietas rentan dan tahan, yaitu 1,2-1,3 pada biotipe 1, 0,8-1 pada biotipe 2, dan 1,2-1,3 biotipe 3. Populasi WBC biotipe 1, 2, dan 3 berkembang lambat pada varietas Inpari 13 dengan jumlah populasi rendah, namun relatif tidak menurunkan kualitas maupun kuantitas produksi gabah, sehingga varietas tersebut dianggap sebagai varietas durable resistance.

(3)

PERKEMBANGAN POPULASI DAN PEMBENTUKAN

MAKROPTERA TIGA BIOTIPE WERENG BATANG

COKELAT Nilaparvata lugens Stål PADA SEMBILAN

VARIETAS PADI

WAHYU FITRININGTYAS

A34060238

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(4)

Judul : Perkembangan Populasi dan Pembentukan Makroptera Tiga Biotipe Wereng Batang Cokelat Nilaparvata

lugens Stål pada Sembilan Varietas Padi

Nama Mahasiswa : Wahyu Fitriningtyas

NIM : A34060238

Disetujui, Pembimbing 1

Dra. Endang Sri Ratna, PhD. NIP 19580120 198203 2 001

Pembimbing 2

Dr. Ir. Arifin Kartohardjono NIP 19470210 197503 1 002

Diketahui, Ketua Departemen

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, MSi. NIP 19650621 198910 2 001

(5)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 17 Mei 1988 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Hadi Santoso dan ibu Tri Juswati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Hang Tuah 1 Surabaya pada tahun 2000 dan menyelesaikan sekolah lanjutan tingkat pertama di SMPN 29 Surabaya pada tahun 2003. Penulis melanjutkan ke SMAN 2 Surabaya dan lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui Ujian Seleksi Mahasiswa Institut Pertanian Bogor (USMI) dan pada tahun 2007 penulis diterima di Program Studi Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, IPB.

Selama di IPB penulis ikut serta dalam berbagai kegiatan dan kepanitiaan yang diadakan oleh Himpunan Mahasiswa Proteksi Tanaman (HIMASITA), Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Pertanian (BEM A) dan menjadi pengurus Badan Pengawas Anggota (BPA) periode 2008-2009.

(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadlirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Perkembangan Populasi dan Pembentukan Makroptera Tiga Biotipe Wereng Batang Cokelat

Nilaparvata lugens Stål pada Sembilan Varietas Padi” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dra. Endang Sri Ratna, PhD. dan Dr. Ir. Arifin Kartohardjono yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing penulis guna menyelesaikan skripsi ini dan senantiasa memberikan saran serta nasehatnya. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Kikin Hamzah Mutaqin, MSi. selaku dosen penguji tamu yang telah memberikan saran untuk skripsi ini. Penulis memberikan penghargaan yang tiada terhingga kepada Bapak Cece dan Bapak Dedi yang telah membantu saat penelitian di lapangan dan rumah kaca KP. Muara-Bogor serta Bapak Agus Sudrajat di Laboratorium Fisiologi dan Toksikologi, Departemen Proteksi Tanaman, IPB. Selain itu diucapkan terima kasih kepada sahabatku Desra Sihombing S.Pt, Ellyta Sariani SP, Indri Ahdiaty dan Astra Naibaho yang telah memberi dukungan dan bantuan selama proses penulisan skripsi ini.

Ucapan terima kasih yang tak terhingga penulis sampaikan kepada kedua orang tua, bapak Hadi Santoso dan ibu Tri Juswati dan kedua adikku Aissa Kesumawardhani dan Putri Nur Fajrina yang telah memberikan dukungan, motivasi, bimbingan moril dan doa untuk kesuksesan penulis.

Bogor, Februari 2012

(7)

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR TABEL ... ix DAFTAR GAMBAR ... x DAFTAR LAMPIRAN ... xi PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 3 Hipotesis ... 3 Manfaat ... 3 TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Wereng Batang Cokelat ... 4

Faktor-faktor Pertumbuhan Populasi ... 6

Pemencaran WBC dan Populasi Makroptera ... 8

Mekanisme Interaksi Ketahanan Tanaman terhadap WBC ... 10

Interaksi WBC terhadap Varietas Tahan ... 11

BAHAN DAN METODE ... 12

Tempat dan Waktu ... 12

Metode Penelitian ... 12

Perbanyakan Tanaman Uji ... 12

Perbanyakan WBC ... 12

Infestasi WBC pada Varietas Padi Uji ... 13

Analisis Data ... 13

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 14

Perkembangan Populasi WBC ... 14

Respon Biotipe terhadap Varietas Tanaman ... 18

Waktu Pembentukan Makroptera ... 26

Populasi Makroptera dan Brakhiptera pada Akhir Musim Tanam.. 29

Respon Serangan WBC terhadap Produktivitas Padi ... 38

(8)

Halaman DAFTAR PUSTAKA ... 46 LAMPIRAN ... 50

(9)

DAFTAR TABEL

No Halaman

Teks

1. Analisis interaksi antara varietas tanaman dengan dua kelompok pelepasan dan tiga kelompok biotipe wereng terhadap tujuh respon

penelitian ... 19 2. Populasi total wereng pada dua kelompok pelepasan WBC ... 20 3. Populasi total wereng pada tiga kelompok biotipe WBC ... 20 4. Populasi total WBC pada sembilan varietas padi pada akhir musim

tanam ... 22 5. Waktu kemunculan imago makroptera pada tiga kelompok biotipe

WBC ... 26 6. Respon sembilan varietas padi terhadap waktu dan jumlah kemunculan

imago WBC makroptera ... 27 7. Jumlah kumulatif populasi imago brakhiptera dan makroptera pada

dua kelompok pelepasan WBC ... 29 8. Jumlah kumulatif populasi imago brakhiptera dan makroptera pada

tiga kelompok biotipe WBC ... 30 9. Jumlah kumulatif populasi imago brakhiptera dan makroptera pada

akhir musim tanam pada perlakuan pelepasan satu pasang WBC ... 31 10. Jumlah kumulatif populasi imago brakhiptera dan makroptera pada

akhir musim tanam pada perlakuan pelepasan sepuluh pasang WBC ... 32 11. Rasio seks populasi imago pada dua kelompok pelepasan WBC ... 35 12. Rasio seks populasi imago pada tiga kelompok biotipe WBC ... 35 13. Rasio seks populasi imago betina : jantan WBC brakhiptera dan

makroptera pada akhir musim tanam ... 37 14. Produksi padi pada dua kelompok pelepasan WBC ... 39 15. Produksi padi pada tiga kelompok biotipe WBC ... 39 16. Produksi padi tanam pada pelepasan satu pasang WBC pada akhir

musim ... 40 17. Produksi padi tanam pada pelepasan sepuluh pasang WBC pada akhir

(10)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

Teks

1. Fluktuasi populasi WBC selama satu musim tanam setelah pelepasan satu pasang WBC pada sembilan varietas padi ... 15 2. Fluktuasi populasi WBC selama satu musim tanam setelah pelepasan

sepuluh pasang WBC pada sembilan varietas padi ... 16 3. Hubungan regresi antara populasi wereng dengan produksi padi

terhadap pelepasan satu pasang WBC ... 42 4. Hubungan regresi antara populasi wereng dengan produksi padi

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

Teks

1. Sidik ragam interaksi antara varietas dengan kelompok pelepasan wereng (satu dan sepuluh pasang induk) dan kelompok biotipe (1, 2, dan 3 ) terhadap perkembangan populasi wereng ... 51

2. Sidik ragam interaksi antara varietas dengan kelompok pelepasan wereng (satu dan sepuluh pasang induk) dan kelompok biotipe (1, 2, dan 3 ) terhadap waktu kemunculan makroptera ... 51

3. Sidik ragam interaksi antara varietas dengan kelompok pelepasan wereng (satu dan sepuluh pasang induk) dan kelompok biotipe (1, 2, dan 3 ) terhadap populasi brakhiptera ... 52

4. Sidik ragam interaksi antara varietas dengan kelompok pelepasan wereng (satu dan sepuluh pasang induk) dan kelompok biotipe (1, 2, dan 3 ) terhadap populasi makroptera ... 52

5. Sidik ragam interaksi antara varietas dengan kelompok pelepasan wereng (satu dan sepuluh pasang induk) dan kelompok biotipe (1, 2, dan 3 ) terhadap rasio seks brakhiptera ... 53

6. Sidik ragam interaksi antara varietas dengan kelompok pelepasan wereng (satu dan sepuluh pasang induk) dan kelompok biotipe (1, 2, dan 3 ) terhadap rasio seks makroptera ... 53

7. Sidik ragam interaksi antara varietas dengan kelompok pelepasan wereng (satu dan sepuluh pasang induk) dan kelompok biotipe (1, 2, dan 3 ) terhadap produksi padi ... 54

8. Sidik ragam regresi terhadap pelepasan satu pasang WBC ... 54 9. Sidik ragam regresi terhadap pelepasan sepuluh pasang WBC ... 54

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sejak dahulu komoditi pangan khususnya padi di Indonesia memegang peranan yang sangat penting karena merupakan sumber bahan makanan utama sebagian besar penduduk Indonesia (Nasoetion 2001). Penyediaan beras untuk memenuhi kebutuhan masyarakat penduduk Indonesia yang tumbuh pesat merupakan tantangan berat karena beberapa hal seperti ketersediaan pangan yang harus dipenuhi dalam kondisi lahan yang subur yang berkurang setiap tahun, keterbatasan sistem irigasi tanaman dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) yang sering menghambat proses budidaya tanaman sehingga menurunkan hasil panen.

Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål, famili Delphacidae termasuk OPT utama pada tanaman padi. Hama ini menyerang seluruh fase pertumbuhan tanaman. WBC mengakibatkan kekeringan pada seluruh jaringan tanaman akibat isapannya atau disebut hopperburn, selain itu dapat menjadi vektor penyakit virus kerdil hampa dan kerdil rumput (Oka & Bahagiawati 1991). Hama ini dilaporkan menyerang berbagai varietas tanaman padi khususnya padi tipe baru (PTB), padi hibrida dan padi varietas unggul baru (VUB) (Baehaki & Widiarta 2008). Pada bulan Januari-Juni 2011 menurut Data Kementerian Pertanian, serangan WBC mencapai luasan 105.010 ha dan puso 20.345 ha yang persebarannya meliputi 26 provinsi di Indonesia (Anonim 2011).

WBC dikenal memiliki biotipe. Tiga biotipe wereng yang tersebar di wilayah pertanaman padi di Indonesia, yaitu biotipe 1, 2, dan 3 telah ditetapkan berdasarkan penapisan tingkat kemampuan perusakan tanaman setiap biotipe tersebut terhadap perubahan varietas padi baru tertentu yang dianggap tahan dan diintroduksikan di lapangan. WBC memiliki plastisitas genetik yang tinggi sehingga dengan mudah membentuk biotipe baru. Pada tahun 2006, wereng biotipe 3 dilaporkan menunjukkan tingkat keganasan yang lebih parah yaitu menyebabkan ketahanan varietas IR 64 dan Ciherang yang sebelumnya dianggap tahan berubah menjadi tidak tahan (Baehaki 2007). Peledakan populasi WBC

(13)

dipengaruhi oleh kecepatan pertumbuhan yang pesat, seperti dicirikan dengan tipe pertumbuhan populasi r-strategi (Baehaki & Widiarta 2008). Pertumbuhan populasi ini sangat bergantung pada kemampuan dan kesesuaian hidup serta kemampuan reproduksi setiap individu wereng pada habitatnya. Peledakan populasi terjadi karena wereng berhasil hidup dan berkembangbiak dengan baik pada varietas tanaman rentan. Oleh karena itu, ada beberapa cara yang dapat dilakukan oleh petani untuk mengendalikan WBC di antaranya yaitu menanam varietas padi tahan. Cara ini dianggap paling ideal karena mudah digunakan, murah, dan kurang menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Varietas padi tahan bergantung pada biotipe WBC yang berkembang di suatu ekosistem, walaupun demikian pertahanan ini dapat patah karena WBC diduga memiliki kemampuan adaptasi terhadap varietas inang dan lingkungan (Syam et al. 2007). Seperti contohnya varietas IR 64 dan beberapa varietas unggul baru (VUB) telah teruji memiliki ketahanan terhadap WBC, namun pada kenyataan di lapang, masih sering dilaporkan serangan populasi wereng yang relatif tinggi pada varietas tersebut. Oleh karena itu, ketahanan varietas padi ini penting dikaji kembali melalui pengujian respon pertumbuhan tiga biotipe WBC pada beberapa varietas padi khususnya inhibrida dan VUB untuk mendapatkan varietas durable

resistance.

Awal infestasi serangan hama di antaranya WBC pada tanaman sangat ditentukan oleh kemampuan terbang serangga, yang berpengaruh terhadap aktivitas pemencaran dan pencapaian atau penemuan habitat inangnya. Aktivitas ini mendasari pola penemuan dan pemilihan tanaman inang, yang kemudian menentukan kemampuan hidup dan perkembangbiakan serangga (Van Alphen & Jervis 1996). Sayap serangga merupakan bagian alat gerak dalam aktivitas pemencaran populasi suatu spesies (Chapman 1998). WBC memiliki dua tipe sayap yaitu brakhiptera (bersayap pendek) dan makroptera (bersayap panjang). Makroptera sangat berpotensi dalam perilaku memencar jarak pendek antar pertanaman dan migrasi jarak jauh untuk menemukan tanaman inang (Baehaki 1984). Pada tanaman inang baru, WBC makroptera meletakkan telur yang akan menetas menjadi nimfa calon individu brakhiptera. WBC makroptera akan terinisiasi kembali apabila kepadatan populasi nimfa meningkat (Yamada 1990).

(14)

Peningkatan ini dipengaruhi faktor kualitas habitat dan makanan tempat wereng tumbuh dan berkembangbiak. Introduksi varietas padi tertentu diduga berpengaruh terhadap pembentukan WBC makroptera sebagai pemicu meluasnya serangan WBC. Dengan demikian, potensi pembentukan makroptera pada varietas inhibrida maupun VUB juga perlu diteliti.

Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah membandingkan perkembangan populasi WBC biotipe 1, 2, dan 3 serta proporsi pembentukan makroptera yang diinfestasikan pada sembilan varietas padi.

Hipotesis

Setiap varietas tanaman padi uji memiliki respon yang berbeda dalam menunjang pertumbuhan populasi WBC dan pembentukan sayap makroptera, baik biotipe 1, 2, maupun 3. Peningkatan populasi WBC terjadi pada tanaman rentan. Varietas padi yang diserang WBC pada tingkat populasi rendah dan masih menghasilkan gabah diduga bersifat durable resistance. Nilai proporsi pertumbuhan makroptera paling tinggi terjadi pada kepadatan populasi nimfa yang tinggi pada varietas tanaman uji paling rentan.

Manfaat

Manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan informasi ketidakmampuan WBC biotipe 1, 2, dan 3 untuk hidup dan berkembang pada varietas padi uji. Varietas padi yang bersifat durable resistance terhadap WBC dapat dijadikan salah satu komponen penentu dalam perakitan varietas tahan.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA

Wereng Batang Cokelat

Wereng batang cokelat (WBC) Nilaparvata lugens Stål adalah serangga yang termasuk dalam Ordo Hemiptera, Subordo Auchenorrhyncha, Superfamili Fulgoroidea, Famili Delphacidae (CAB International 2005). WBC hidup dan berkembangbiak pada tanaman padi (Oryza sativa) sebagai pakan utama. Di Filipina, WBC dapat ditemukan juga pada padi liar dan gulma jenis rumput

Leersia hexandra. Di Malaysia, rumput Arthroxon hisdipus, Digitaria adscendens, Echinochloa crus-galli var. oryzicola, Isachne globosa, Leersia japonica, dan Poa annua dilaporkan merupakan inang dari N. lugens.

Persebaran N. lugens meliputi daerah Asia Selatan, Asia Tenggara, Australia bagian tropis, Oseania dan Kepulauan Pasifik (CAB International 2005). Menurut Mochida & Okada (1979), persebaran wereng ini meliputi daerah paleartik (Cina, Jepang, dan Korea), dan wilayah oriental (Bangladesh, Kamboja, India, Malaysia, Taiwan, Thailand, Vietnam, dan Filipina). Di Indonesia, WBC tersebar luas di seluruh daerah provinsi, kecuali Maluku dan Irian Jaya.

WBC adalah serangga penghisap cairan tanaman (CAB International 2005). Habitat wereng umumnya berada di pangkal pelepah batang tanaman di permukaan tanah, tetapi pada kondisi populasi tinggi dapat hidup pada helaian daun, bahkan memenuhi seluruh bagian tanaman (Kalshoven 1981). Pada wereng ini dijumpai dimorfisme imago, yakni brakhiptera dan makroptera. Brakhiptera memiliki bentuk dan ukuran sayap depan dan sayap belakang pendek, terutama sayap belakang sangat rudimenter, sedangkan makroptera memiliki bentuk dan ukuran sayap depan dan sayap belakang relatif panjang, dengan pertulangan sayap yang jauh lebih berkembang.

Tubuh imago WBC berwarna cokelat kekuningan sampai cokelat tua. Panjang tubuh imago jantan 2-3 mm dan imago betina 3-4 mm. Wereng berkembang biak secara seksual dengan masa prapeneluran brakhiptera 3-4 hari dan makroptera 3-8 hari (Mochida & Okada 1979). Tubuh imago betina yang sedang dalam periode prapeneluran lebih besar dibandingkan imago jantan. Imago

(16)

betina periode prapeneluran memiliki ujung abdomen agak meruncing dibandingkan imago yang sedang dalam periode peneluran yang bertubuh gemuk terutama bagian abdomen tampak membengkak. Seekor imago betina mampu meletakkan 300-350 butir telur selama hidupnya yaitu dalam waktu berkisar antara 10-24 hari (Harahap & Tjahjono 1997). Pada kondisi optimal, seekor betina brakhiptera sehat yang hidup pada tanaman rentan meletakkan 300-400 telur dalam kondisi suhu ruangan 25-30 °C, walaupun ditemukan kasus imago yang meletakkan telur hingga melebihi 1000 telur. Seekor betina betina makroptera umumnya meletakkan 100 telur (CAB International 2005).

Telur WBC diletakkan secara berkelompok di ujung pelepah daun atau tulang daun dengan posisi berderet seperti sisir pisang. Satu kelompok telur terdiri atas 3-21 butir (Baehaki 1987; Harahap & Tjahjono 1997). Telur menyerupai bentuk buah pisang atau berbentuk bulan sabit dan menyempit di bagian tudung telur (CAB International 2005). Panjang telur 0,99 mm dan lebar 0,3 mm. Telur berwarna putih transparan saat baru diletakkan, kemudian akan terlihat bintik merah yang merupakan calon mata pada bagian kepala saat menjelang menetas. Stadium telur 6-9 hari. Suhu lingkungan mempengaruhi masa inkubasi telur, seperti suhu optimum untuk masa inkubasi telur berkisar antara 25-28 °C, sedangkan suhu kurang dari 10 °C atau di atas 42 °C menyebabkan embrio tidak mampu berkembang dan bertahan hidup.

Nimfa terdiri atas lima instar atau mengalami lima kali pergantian kulit. Setiap instar dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan bakal sayap yang semakin membesar. Nimfa yang baru menetas berwarna keputih-putihan dengan panjang tubuh 0,6 mm. Setelah ganti kulit pertama, warna tubuh berubah menjadi coklat kehitaman hingga memasuki instar lima yang mencapai panjang 2 mm (Harahap & Tjahjono 1997). Setiap stadium nimfa umumnya memerlukan waktu 2-4 hari pada suhu berkisar antara 25-28 °C. Waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan stadium nimfa bergantung pada bentuk dewasa brakhiptera atau makroptera yang akan terbentuk (Baehaki& Iman 1991).

Ukuran tubuh, waktu perkembangan, fekunditas, dan longevitas dipengaruhi oleh faktor lingkungan abiotik, terutama suhu, kelembaban, status nutrisi dan ketahanan inang (CAB International 2005). Hal ini sangat mempengaruhi

(17)

perkembangan populasi dan serangan WBC di lapangan. Suhu optimum untuk perkembangan populasi WBC berkisar antara 18-28 °C. Kelembaban mikro yang disebabkan oleh curah hujan/keadaan air sawah dan kerapatan tanaman dilaporkan sangat berpengaruh terhadap perkembangan populasi dan serangannya (Mustaghfirin 2008).

Faktor-faktor Pertumbuhan Populasi

Populasi didefinisikan sebagai kelompok kolektif organisme dari spesies yang sama yang menduduki ruang atau tempat tertentu yang merupakan satu kesatuan yang berubah-ubah. Perubahan suatu populasi dipengaruhi oleh beberapa sifat yang terdapat dalam populasi itu sendiri yaitu natalitas, mortalitas, sebaran umur, potensi biotik, pemencaran, dan bentuk pertumbuhan atau perkembangan (Odum 1996; Price 1997).

Natalitas adalah kemampuan yang sudah merupakan sifat suatu populasi untuk bertambah. Natalitas maksimum/fisiologis adalah produksi maksimum individu-individu baru secara teoritis dibawah keadaan yang ideal (yakni tidak ada faktor-faktor yang membatasi secara ekologi, reproduksi hanya dibatasi oleh faktor fisiologis), sedangkan natalitas ekologis yaitu pertambahan populasi dibawah keadaan lingkungan khas (Odum 1996).

Mortalitas adalah kematian individu-individu didalam populasi. Mortalitas dapat dinyatakan sebagai individu yang mati dalam kurun waktu tertentu. Individu-individu akan mati karena umur tua yang ditentukan oleh lama hidup imago (longevitas) fisiologis mereka yang seringkali jauh lebih besar daripada longevitas ekologi (Odum 1996).

Sebaran umur merupakan sifat penting populasi yang mempengaruhi natalitas dan mortalitas. Oleh karena itu, nisbah dari berbagai kelompok umur dalam suatu populasi menentukan status reproduktif yang sedang berlangsung dari populasi. Biasanya pada kelompok populasi yang memiliki perkembangan cepat, banyak terdapat individu-individu yang muda, sebaliknya pada populasi yang stationer memiliki pembagian umur individu yang merata dan saat populasi menurun sebagian besar dihuni oleh individu-individu tua (Odum 1996).

(18)

Potensi biotik berpengaruh terhadap pertumbuhan, perkembangan & penyebaran hama. Potensi ini meliputi faktor sumber daya makanan yang ada di lapang dan musuh alami. Faktor kualitas dan kuantitas makanan memberikan pengaruh terhadap tinggi rendahnya perkembangan populasi hama. Selain itu kehadiran musuh alami seperti predator, parasitoid, patogen, dan kompetitor dalam suatu pertanaman akan menekan perkembangan populasi serangga hama tersebut (Dadang 2006).

Pemencaran populasi (dispersal) adalah gerakan individu-individu ke dalam atau keluar populasi atau di daerah populasi. Pemencaran populasi dapat berupa emigrasi, imigrasi dan migrasi. Pemencaran individu membantu natalitas dan mortalitas di dalam memberi wujud bentuk pertumbuhan dan kepadatan populasi. Pola pemencaran populasi dibedakan dalam tiga tipe yaitu pola acak, seragam, dan teratur. Pemencaran secara acak relatif jarang ditemukan di alam, biasanya terjadi pada lingkungan sangat seragam dan individu dalam populasi cenderung berkelompok. Pemencaran seragam dapat terjadi bila persaingan di antara individu sangat keras dan terdapat antagonisme positif yang mendorong pembagian ruang yang sama. Pemencaran teratur berupa pemencaran berkelompok dan mewakili pola yang paling umum terjadi di alam (Odum 1996). Bentuk pertumbuhan atau perkembangan populasi adalah pola-pola pertambahan yang khas yang dimiliki oleh suatu populasi. Dua pola dasar yang sering dijadikan acuan dalam penentuan bentuk pertumbuhan/perkembangan populasi yaitu pola pertumbuhan berbentuk J (=eksponensial) dan S (= sigmoid). Pada pola pertumbuhan bentuk J, kerapatan populasi bertambah dengan cepat secara eksponensial dan kemudian berhenti secara mendadak karena hambatan lingkungan atau pembatas-pembatas lain. Menurut Nicholson 1956 dalam Odum 1996, tipe pola pertumbuhan yang dipicu oleh kepadatan populasi di atas menyebabkan peledakan populasi serangga. Pada pola pertumbuhan bentuk S, kerapatan populasi bertambah secara perlahan-lahan kemudian terjadi percepatan dan melambat karena hambatan lingkungan meningkat sampai tingkat yang kurang lebih seimbang (Odum 1996).

Menurut Price (1997) & Baehaki (2008), pola pertumbuhan populasi serangga WBC dikatagorikan r-strategi. Karakteristik dari pola r-strategi yaitu

(19)

secara umum ukuran tubuh serangga kecil , ukuran imago betina lebih besar daripada jantan, siklus hidup yang pendek, kemampuan memencar yang tinggi sehingga dengan cepat akan menemukan habitat yang baru, berkembang biak dengan cepat dan mampu menggunakan sumber daya makanan dengan baik sebelum serangga lain ikut berkompetisi. Pola ini terbentuk apabila rata-rata kemampuan reproduksi mencapai maksimum saat terjadi ketidakstabilan lingkungan, yaitu populasi berada dibawah daya dukung lingkungan dan sumber daya alam tidak terbatas. Pertumbuhan populasi jenis ini sangat bergantung pada kemampuan dan kesesuaian hidup serta kemampuan reproduksi setiap individu wereng pada habitatnya (Baehaki 2008).

Pemencaran WBC dan Populasi Makroptera

Tiga tipe pemencaran terjadi pada WBC yaitu pemencaran jarak pendek dalam pertanaman padi, biasanya dilakukan oleh nimfa, wereng brakhiptera, dan wereng makroptera, pemencaran jarak pendek antar pertanaman yang dilakukan oleh wereng makroptera, dan pemencaran jarak jauh atau emigrasi dilakukan oleh wereng makroptera (Baehaki 1984 ; Baehaki & Iman 1991).

Wereng makroptera biasanya migrasi saat padi mulai ditanam (Baehaki & Widiarta 2008). Perpindahan individu ini dipicu oleh perilaku WBC yang meninggalkan tanaman tua. Pemencaran maksimum terjadi sebelum panen. Setelah bentuk makroptera menetap, WBC mulai berkembang biak satu atau dua generasi pada tanaman padi stadia vegetatif. Bila migrasi terjadi pada waktu 2-3 minggu setelah tanam (MST), maka imigran berkembang biak dua generasi. Puncak populasi nimfa generasi pertama dan ke dua berturut-turut muncul pada umur padi 5-6 MST dan 10-11 MST. Bila migrasi terjadi setelah padi umur 5-6 MST, puncak populasi nimfa hanya ditemukan satu kali, yaitu pada 9-10 MST. Serangga dewasa yang muncul setelah padi berumur 7 MST, umumnya bersayap pendek (brakhiptera), bertelur ditempat tanaman awal tempat mereka hinggap atau berpindah pada tanaman yang berdekatan, dan tidak bermigrasi pada jarak yang relatif jauh. Makin tinggi kepadatan populasi, maka kerusakan tanaman yang dialami makin berat. Populasi yang berpotensi sangat merusak tanaman adalah stadia nimfa. Jumlah populasi makroptera meningkat saat tanaman memasuki

(20)

stadium pembungaan. Generasi populasi akhir ini didominasi oleh betina brakhiptera dan jantan makroptera. Makroptera inilah yang bermigrasi mencari pertanaman padi muda.

Betina makroptera tumbuh pada perkembangan populasi lanjut yang pada dasarnya distimulasi oleh berbagai faktor, seperti kerapatan populasi nimfa yang terjadi akibat peningkatan kepadatan populasi dan penurunan kualitas serta kuantitas pakan atau tanaman inang (Kisimoto 1956, 1957 dalam Mochida & Okada 1979; Kalshoven 1981; Hidayati 1991; Baehaki 1993; Grodnitsky 1999). Peningkatan wereng makroptera dicirikan adanya kepadatan populasi selama stadium nimfa di tempat perkembangbiakannya (Yoshimeki 1966 dalam Baehaki & Widiarta 2008). Perkembangan individu calon wereng makroptera atau brakhiptera dapat diamati lebih awal dari pengamatan ukuran bantalan sayap pada nimfa instar akhir. Nimfa calon betina instar akhir dengan ukuran panjang bantalan sayap kurang dari 0,94 mm akan mengalami proses ganti kulit menjadi imago brakhiptera, sedangkan nimfa dengan ukuran panjang bantalan sayap lebih dari 0,94 mm dapat membentuk imago brakhiptera maupun makroptera. Nimfa calon jantan instar akhir dengan ukuran panjang bantalan sayap kurang dari 0,94 mm cenderung menjadi wereng dewasa brakhiptera, akan tetapi acuan ukuran panjang bantalan sayap pembentuk imago jantan makroptera tidak dapat dideteksi (Yamada 1990). Pembentukan bantalan sayap instar akhir dipengaruhi oleh kepadatan nimfa selama stadium nimfa instar satu hingga instar empat. Kepadatan populasi rendah cenderung menghasilkan nimfa instar akhir dengan bantalan sayap yang berukuran pendek, sebaliknya apabila kepadatan populasi tinggi cenderung menghasilkan bantalan sayap berukuran panjang. Grodnitsky (1999), melaporkan bahwa proporsi kemunculan bentuk sayap pada serangga dewasa sangat dipengaruhi oleh kepadatan populasi dan kandungan nutrisi tanaman. Pada pertanaman yang siap dipanen, kualitas dan kuantitas pakan wereng menjadi berkurang sehingga wereng akan menghadapi katastropi. Kondisi ini memicu wereng segera mengubah posisi membentuk wereng makroptera untuk emigrasi (Baehaki & Iman 1991; Baehaki & Widiarta 2008).

(21)

Mekanisme Interaksi Ketahanan Tanaman terhadap WBC

Varietas tahan adalah varietas yang megurangi peluang keberhasilan hama untuk menggunakan tanaman tersebut sebagai sumber makanan dan tempat untuk berkembang biak (Anggraeni 2002). Suatu varietas disebut tahan apabila: memiliki sifat-sifat yang memungkinkan tanaman pulih kembali dari serangan hama, mengandung sifat genetik tanaman yang mampu mengurangi tingkat kerusakan disebabkan oleh serangan hama dan mampu menghasilkan produk yang lebih banyak dan lebih baik dari varietas yang lain pada tingkat populasi hama yang sama (Sumarno 1992).

Mekanisme pertahanan tanaman terhadap hama menurut Schoonhoven et al. (2005) digolongkan menjadi tiga macam yaitu antixenosis (non-preferences),

antibiosis, dan tolerance. Antixenosis (non-preferences) adalah kelompok

tanaman tertentu yang mempunyai sifat fisik dan kimia yang tidak disukai serangga. Sifat-sifat tersebut dapat berupa tekstur, warna, aroma atau rasa, dan banyaknya rambut-rambut tanaman, sehingga menyulitkan serangga untuk meletakkan telur, makan atau berlindung. Bentuk mekanisme ini dibagi menjadi dua golongan, yaitu antixenosis kimiawi, terjadi penolakan karena kandungan senyawa allelokimia dan antixenosis fisik, terjadi penolakan karena ketidaksesuaian struktur atau morfologi tanaman. Menurut Ying et al. (2006) variasi komponen metabolit sekunder pada varietas padi rentan TN-1 dan tahan ASD 7 dan IR 36 dilaporkan berkaitan erat dengan perilaku preferensi atau non preferensi WBC dalam mekanisme pertahanan tanaman. Antibiosis, suatu sifat fisiologis tanaman yang dapat merugikan kehidupan serangga. Kazushige dan Pathak (1970) melaporkan bahwa padi yang tahan terhadap WBC memiliki konsentrasi aspargin yang lebih rendah dibandingkan dengan padi yang rentan. Contohnya yaitu WBC yang dikurung pada varietas Mudgo akan mengalami petumbuhan yang lambat, ukuran tubuh kecil, fekunditas yang rendah, dan kematian yang tinggi. Tolerance suatu sifat pada tanaman yang mampu menyembuhkan diri dari serangan hama meskipun jumlah hama yang menyerang berjumlah sama dengan yang menyerang pada tanaman rentan.

(22)

Interaksi WBC terhahap Varietas Tahan

Pengendalian wereng coklat salah satunya dilakukan dengan menggunakan varietas tahan yang disesuaikan dengan biotipe wereng yang dihadapinya. Varietas tahan mempunyai andil yang sangat besar karena dapat mereduksi populasi wereng coklat. Varietas IR 74 (Bph 3) dan IR 64 (Bph 1+) berturut-turut dapat mereduksi wereng coklat sebesar 94,9 dan 77,4% dibanding dengan varietas Cisadane yang tidak dapat menekan populasi wereng coklat biotipe 3 sedangkan Cisanggarung hanya mereduksi 20,3% (BB Padi 2011). Pertumbuhan, perkembangan, kesuburan, mortalitas, atau keperidian serangga dipengaruhi oleh komposisi gizi yang terkandung dalam tanaman (Sunjaya 1970 dalam Laksono 1991).

Kandungan nutrisi tanaman sangat menentukan kualitas pakan wereng, sehingga akan berpengaruh terhadap pertahanan hidup dan perkembangbiakan wereng. Variasi kandungan asam amino beberapa varietas tanaman padi berkaitan erat dengan ketahanan tanaman terhadap WBC (Ardiwinata et al. 1991; Kazushige & Pathak 1970). Kalode dan Khrisnha (1979) melaporkan bahwa pada padi varietas tahan ditemukan senyawa yang bersifat repelen terhadap WBC. Bahan yang bekerja sebagai repelen, penghambat makan ataupun perusak sistem saluran pencernaan maupun sistem syaraf serangga biasanya berupa bahan metabolit sekunder. Variasi komponen metabolit sekunder pada varietas padi rentan TNI dan tahan ASD 7 dan IR 36 dilaporkan berkaitan erat dengan perilaku preferensi atau non preferensi WBC dalam mekanisme pertahanan tanaman (Ying et al. 2006).

(23)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Kebun Percobaan BB Padi Muara-Bogor dari bulan November 2010 sampai dengan April 2011.

Metode Penelitian Perbanyakan Tanaman Uji

Varietas tanaman yang digunakan adalah tiga varietas tanaman inang yaitu Pelita, IR 26, dan IR 42 masing-masing varietas untuk inang WBC biotipe 1, 2 dan 3, varietas pembanding rentan dan tahan dari IRRI yaitu TN-1 dan PTB 33, varietas yang sering ditanam di lapangan oleh petani yaitu IR 64 dan IR 74 dan varietas unggul baru dari BB Padi yaitu Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, dan Inpari 13. Benih-benih tersebut diperoleh dari BB Padi Sukamandi.

Benih padi uji disemai pada ember plastik kecil diameter 15 cm yang diisi dengan tanah secukupnya. Penyemaian dilakukan di laboratorium rumah kaca BB Padi KP Muara, Bogor. Bibit padi berumur dua minggu, dipindahkan ke dalam ember berisi tanah ditanami 2 bibit tanaman yang digenangi air secukupnya. Tanaman dipelihara dengan memberikan pupuk urea masing-masing 2 g/pot, setara dengan 250 kg/ha. Sediaan tanaman diperbaharui sebulan sekali sebagai stok tanaman inang. Tanaman tersebut selanjutnya digunakan sebagai inang perbanyakan wereng uji dan tanaman perlakuan.

Perbanyakan WBC

Serangga uji WBC berasal dari perbanyakan WBC yang dipelihara secara terus-menerus pada varietas padi inang yang sesuai untuk masing-masing biotipe di Rumah Kaca KP Muara, Bogor. Tiga pasang imago jantan dan betina WBC diambil dan dipindahkan ke tanaman padi berumur 35 HST yang telah disediakan di atas dengan menggunakan aspirator. Padi yang telah diinfestasi WBC tersebut dikurung dengan kurungan kasa silinder berkerangka besi, berdiameter 25 cm dan tinggi 85 cm yang bagian atasnya ditutup kain kasa dan dibagian samping diberi

(24)

ventilasi berukuran 10 cm x 10 cm. Setelah lima hari infestasi, imago wereng dikeluarkan. Telur yang diletakkan akan menjadi nimfa instar I yang berumur relatif sama. Nimfa dipelihara sampai menjadi imago, dan imago yang muncul digunakan sebagai wereng uji pada penelitian selanjutnya.

Infestasi WBC pada Varietas Padi Uji

Satu dan sepuluh pasang WBC brakhiptera diambil dari populasi stok dengan menggunakan aspirator kemudian dilepas pada 9 varietas padi uji yaitu TN-1, IR 64, IR 74, Inpari 3, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 13, dan PTB 33 serta pada varietas inang yang ditanam pada sebuah ember berdiameter 25 cm. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Tanaman yang telah diinfestasi wereng dikurung dengan kurungan kasa silinder berkerangka besi, berdiameter 25 cm dan tinggi 85 cm yang bagian atasnya ditutup kain kasa dan dibagian samping diberi ventilasi berukuran 10 cm x 10 cm. Wereng uji tersebut dipelihara dan jumlah wereng yang menetas diamati setiap interval 2 hari sekali hingga terbentuk imago makroptera. Penelitian berakhir sampai tanaman memasuki akhir musim tanam.

Parameter yang diamati adalah jumlah populasi WBC setiap 2 hari setelah 7 hari infestasi, waktu dan jumlah pembentukan serangga makroptera, jumlah populasi brakhiptera dan makroptera pada akhir penelitian, dan jumlah bulir padi serta berat gabah pada akhir penelitian.

Analisis Data

Keragaman data diolah dengan menggunakan program Microsoft Excel

2007 dan Statistical Analysis System for Windows ver 9.0 diikuti dengan

pengujian selang berganda Duncan pada taraf nyata alpha sebesar 5%. Data pengamatan dianalisis menggunakan metode rancangan acak lengkap (RAL) 3 faktorial yang terdiri atas sembilan perlakuan varietas padi uji, kelompok pelepasan wereng satu dan sepuluh pasang dan tiga jenis biotipe wereng.

(25)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Perkembangan Populasi Wereng Batang Cokelat (WBC)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepasan satu dan sepuluh pasang WBC pada sembilan varietas padi umur 35 HST cenderung menghasilkan dua generasi populasi hingga akhir musim tanam kecuali pelepasan sepuluh pasang wereng biotipe 3 pada IR 42 hanya menghasilkan satu generasi populasi selama musim tanam (Gambar 1 & 2). Populasi generasi kedua tidak terbentuk akibat serangan populasi wereng biotipe 3 yang relatif sangat tinggi pada generasi populasi pertama pada tanaman rentan yang menyebabkan kematian tanaman lebih dini terjadi pada varietas IR 42.

Pelepasan satu pasang WBC biotipe 1 dan 2 umumnya menghasilkan jumlah populasi wereng relatif sangat rendah yaitu rata-rata di bawah 100 ekor/rumpun pada generasi pertama dan peningkatan populasi baru terlihat jelas pada generasi kedua dengan puncak populasi tertinggi mencapai 200 ekor/rumpun pada biotipe 2 dan bahkan 700 ekor/rumpun pada biotipe 1. Sebaliknya, pelepasan satu pasang wereng biotipe 3 sudah menunjukkan peningkatan populasi yang relatif cukup tinggi dengan rata-rata jumlah populasi melebihi 200 ekor/rumpun pada puncak populasi generasi pertama dan 400 ekor/rumpun pada puncak generasi populasi kedua. Perkembangan populasi wereng biotipe 1 cenderung lebih pesat pada varietas Pelita dan TN-1 dibandingkan 7 varietas uji lainnya, dengan rata-rata puncak populasi tertinggi dicapai dalam jumlah ± 375-700 ekor/rumpun. Di antara varietas yang diujikan, perkembangan tertinggi terjadi pada varietas IR 64 dengan rata-rata puncak populasi tertinggi ± 184 ekor/rumpun. Perkembangan populasi wereng biotipe 2 terlihat paling tinggi pada varietas Inpari 3 dan IR 64 dengan rata-rata jumlah populasi tertinggi mencapai ± 212-242 ekor/rumpun. Respon yang berbeda terjadi pada pelepasan biotipe 3, populasi cenderung berkembang pada semua varietas padi uji kecuali pada Inpari 13 dan PTB 33. Rata-rata jumlah populasi tertinggi pada biotipe 3 ini terjadi pada varietas IR 64 mencapai ± 419 ekor/rumpun.

(26)

Gambar 1 Fluktuasi populasi selama satu musim tanam setelah pelepasan satu pasang WBC pada sembilan varietas padi.

(27)

Gambar 2 Fluktuasi populasi selama satu musim tanam setelah pelepasan sepuluh pasang WBC pada sembilan varietas padi.

(28)

Perkembangan populasi pada pelepasan sepuluh pasang wereng cenderung lebih pesat dibandingkan pelepasan satu pasang. Peningkatan populasi sudah tampak lebih awal terjadi pada generasi populasi pertama dan secara umum jumlah populasi yang terbentuk lebih relatif tinggi pada semua biotipe wereng (Gambar 2). Populasi WBC biotipe 1 cenderung lebih berkembang pada varietas TN-1 dan Inpari 4 dengan rata-rata jumlah populasi mencapai 535-785 ekor/rumpun dibandingkan varietas lainnya. Perkembangan populasi wereng biotipe 2 terlihat cukup tinggi pada tiga varietas IR 26, TN-1 dan IR 64, dengan rata-rata jumlah populasi mencapai 491-693 ekor/rumpun. Pola perkembangan populasi yang hampir mirip pada perlakuan pelepasan satu pasang wereng yaitu biotipe 3 cenderung berkembang pada semua varietas padi uji kecuali pada Inpari 13 dan PTB 33. Peningkatan jumlah populasi wereng biotipe 3 bergeser lebih awal dan mendominasi populasi generasi pertama dibandingkan generasi berikutnya. Selain itu tampak terjadi pemendekan periode perkembangan setiap biotipe pada perlakuan pelepasan satu pasang dan dua biotipe 1 dan 2 pada perlakuan pelepasan sepuluh pasang.

Hasil gambaran kurva pertumbuhan populasi di atas menunjukkan bahwa rata-rata jumlah populasi tertinggi dicapai pada perlakuan pelepasan satu pasang WBC biotipe 1, 2 dan 3 berkisar antara 200-700 ekor/rumpun sedangkan perlakuan pelepasan sepuluh pasang dicapai 1-3,5 kali lebih besar yaitu pada kisaran 700-1000 ekor/rumpun. Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan satu pasang wereng cenderung menghasilkan laju pertumbuhan populasi yang relatif lebih tinggi dibandingkan pada pelepasan sepuluh pasang. Keadaan ini mengindikasikan bahwa serangga yang hinggap pada tanaman dengan jumlah populasi yang sedikit akan memiliki kesempatan tumbuh dan berkembang biak dengan baik dibandingkan pelepasan sepuluh pasang. Faktor yang menyebabkan lambatnya laju pertumbuhan populasi yaitu diduga adanya persaingan intraspesifik yang sangat kuat dalam mendapatkan pakan dan habitat (Price 1997). Pelepasan satu pasang WBC biotipe 1 dan 2 menghasilkan peningkatan jumlah individu yang jauh lebih tinggi pada populasi generasi kedua, sebaliknya pada pelepasan sepuluh pasang, peningkatan jumlah individu tampak sejak awal pertumbuhan populasi generasi pertama. Begitu pula pelepasan satu maupun

(29)

sepuluh pasang WBC biotipe 3 menghasilkan pertumbuhan populasi yang meningkat tajam sejak generasi populasi pertama. Dengan demikian mengindikasikan bahwa peningkatan atau peledakan populasi WBC biotipe 1 maupun 2 dipicu oleh infestasi awal berupa kelompok individu sedangkan peledakan populasi WBC biotipe 3 dapat dipicu oleh satu pasang atau satu individu fertil yang siap meletakkan telur dan berkembang biak pada setiap tanaman baru. Hal ini menunjukkan bahwa WBC biotipe 3 sangat berpotensi sebagai perusak varietas padi rentan.

Menurut Baehaki & Munawar (2007) hasil evaluasi biotipe yang dilakukan pada tahun 2006 menunjukkan bahwa biotipe wereng batang cokelat di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Sumatera Selatan adalah biotipe 3. Ledakan populasi WBC biotipe 3 pada tahun 2008 terhadap varietas IR 64 terjadi hampir di seluruh lokasi sentra pertanaman padi dengan persentase serangan lebih dari 50% (Iriana 2009). Atas dasar acuan tersebut diduga bahwa WBC yang menyerang pertanaman padi di Pulau Jawa pada saat tersebut hingga sekarang masih tetap biotipe 3. Baehaki & Munawar (2007) menyatakan bahwa populasi WBC yang ada di lapangan merupakan populasi campuran dua biotipe yaitu biotipe 2 dan 3, bahkan diduga didominasi oleh WBC biotipe 3. Oleh karena itu, WBC biotipe 2 dan 3 selalu digunakan oleh pemulia tanaman sebagai standard pengujian penapisan padi varietas tahan.

Respon Biotipe terhadap Varietas Tanaman

Hasil pengujian WBC biotipe 1, 2 dan 3 terhadap sembilan varietas tanaman padi menghasilkan jumlah populasi bervariasi yang dipengaruhi oleh tiga interaksi perlakuan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pada pengujian ini terjadi respon interaksi antara perlakuan pelepasan jumlah induk wereng dengan varietas tanaman, biotipe dengan varietas tanaman, dan interaksi ketiganya yaitu pelepasan jumlah induk wereng, biotipe, dan varietas tanaman pada nilai P < 0,05. Interaksi pelepasan jumlah induk wereng dengan biotipe dan faktor biotipe itu sendiri tidak berpengaruh terhadap jumlah total populasi wereng berdasarkan hasil nilai P > 0,05 (Tabel 1, Lampiran 1).

(30)

Tabel 1 Analisis interaksi antara varietas tanaman dengan dua kelompok pelepasan dan tiga kelompok biotipe wereng terhadap tujuh respon penelitian

Sumber Jumlah total

wereng WM1 Populasi makroptera Populasi brakhiptera Rasio seks makroptera Rasio seks Brakhiptera Produksi padi Pelepasan2 N TN TN N TN N N Varietas3 N N N N N N N Pelepasan*Varietas N TN TN TN TN TN TN Biotipe4 TN N N N N TN N Pelepasan*Biotipe TN TN TN TN N TN TN Varietas*Biotipe N N TN TN TN TN N Pelepasan*Varietas*Biotipe N TN TN TN TN TN TN

1 Waktu kemunculan makroptera. 2

Pelepasan satu dan sepuluh pasang wereng.

3 Pelepasan 9 varietas tanaman. 4 Biotipe 1, 2 dan 3.

* Menunjukkan interaksi antar faktor. N = Berbeda nyata pada taraf α = 0,05. TN = Tidak berbeda nyata taraf α = 0,05.

(31)

Pelepasan satu pasang induk sangat nyata menghasilkan jumlah total wereng 371 ekor/rumpun lebih rendah dibandingkan pelepasan sepuluh pasang wereng 614 ekor/rumpun, namun ketiga biotipe 1, 2 dan 3 yang dilepas tidak menunjukkan perbedaan jumlah wereng, yaitu berkisar antara 456-562 ekor/rumpun (Tabel 2 & 3). Pemaparan sembilan varietas padi terhadap WBC biotipe 1, 2 dan 3 menghasilkan variasi jumlah kumulatif wereng yang berbeda nyata antar varietas diikuti respon tanaman berbeda akibat serangan populasi yang terbentuk. Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa pelepasan satu dan sepuluh pasang wereng dapat menghasilkan dua generasi populasi dalam satu musim tanam kecuali pelepasan satu pasang wereng biotipe 1 pada varietas PTB 33, pelepasan sepuluh pasang biotipe 1 pada varietas TN-1 dan pelepasan sepuluh pasang biotipe 3 pada varietas IR 42 yang hanya menghasilkan satu generasi populasi. Kerusakan parah tanaman umumnya terjadi pada pelepasan sepuluh pasang wereng seperti kematian tanaman akibat hopperburn terjadi pada varietas IR 42 setelah terjadi puncak populasi generasi pertama atau kegagalan produksi pada varietas pembanding rentan TN-1, varietas inang adaptif Pelita dan IR 26, serta varietas Inpari 4 dan Inpari 6 di akhir musim tanam.

Tabel 2 Populasi total wereng pada dua kelompok pelepasan WBC

Kelompok pelepasan wereng Jumlah wereng (ekor/rumpun)a

Pelepasan satu pasang 371 a

Pelepasang sepuluh pasang 614 b

a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0,05.

Tabel 3 Populasi total wereng pada tiga kelompok biotipe WBC

Biotipe Jumlah wereng (ekor/rumpun)a

1 456 a

2 459 a

3 562 a

a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0,05.

(32)

Pelepasan satu pasang WBC biotipe 1 menghasilkan populasi wereng tertinggi pada varietas TN-1 yaitu 1366 ekor/rumpun kemudian diikuti dengan Pelita, IR 64 dan Inpari 6 yang berkisar antara 344-636 ekor/rumpun sedangkan jumlah populasi terendah nyata terjadi pada varietas IR 74, Inpari 13 dan PTB 33 yaitu berkisar 6-50 ekor/rumpun (Tabel 4). Pelepasan sepuluh pasang wereng biotipe 1 menunjukkan hasil yang berbeda dari hasil yang diperoleh pada pelepasan satu pasang. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 4 bahwa pelepasan sepuluh pasang wereng menghasilkan jumlah populasi tertinggi pada varietas Inpari 4 mencapai 1355 ekor/rumpun diikuti IR 74, Pelita dan TN-1 berkisar antara 620-721 ekor/rumpun. Hal ini berarti bahwa varietas padi pembanding rentan TN-1 dan Pelita masih berespon rentan sebaliknya varietas padi pembanding tahan PTB 33 berespon tahan terhadap serangan populasi wereng biotipe 1. Berdasarkan perbandingan jumlah populasi wereng pada tanaman inang adaptif Pelita atau pembanding rentan TN-1 dan tahan PTB 33 maka varietas padi uji Inpari 4 dan IR 74 berespon rentan; Inpari 6, Inpari 3 dan IR 64 berespon agak rentan sedangkan varietas Inpari 13 berespon agak tahan terhadap wereng biotipe 1. Kegagalan panen akibat serangan WBC biotipe 1 hanya ditunjukkan oleh padi varietas rentan TN-1 dan Pelita.

Seperti telah diuraikan di atas bahwa Baehaki & Munawar (2007), tidak menyinggung keberadaan populasi WBC biotipe 1 di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa biotipe 1 ini tidak umum dijumpai di lapang dan masih digunakan hanya untuk pengujian penapisan varietas tahan di laboratorium. Apabila merujuk pada penelusuran perkembangan sejarah perubahan biotipe, pada tahun 1930 populasi wereng masih rendah sehingga pengendalian belum banyak dilakukan terhadap WBC. Pelepasan Pelita pada tahun 1971 ditujukan hanya untuk peningkatan produksi padi guna memenuhi kebutuhan pangan di Indonesia akan tetapi penanaman Pelita justru menimbulkan dampak yang sangat besar yaitu memicu ledakan populasi wereng pada tahun 1972 dan akhirnya membentuk biotipe baru yang ditetapkan sebagai biotipe 1. Pada tahun 1976, di sentra produksi padi terjadi ledakan populasi WBC terhadap IR 26 (gen tahan Bph 1) yang diduga karena ada perubahan biotipe 1 menjadi biotipe 2 dalam kurun waktu empat tahun (1972-1976). Pada tahun 1981 di Simalungun (Sumatera Utara) dan

(33)

Tabel 4 Populasi total WBC pada sembilan varietas padi pada akhir musim tanam

Varietas

Jumlah wereng ± galat populasi (ekor/rumpun)a

Pelepasan satu pasang Pelepasan sepuluh pasang

Biotipe 1 Biotipe 2 Biotipe 3 Biotipe 1 Biotipe 2 Biotipe 3 TN-1 1366 ± 659 a 286 ±70 ab 595 ± 61 ab 677 ± 179 ab 886 ± 202 ab 844 ± 37 b Pelita/IR 26/IR 42 b 636 ± 225 a 318 ± 142 ab 244 ± 90 c 721 ± 73 ab 1374 ± 96 a 1575 ± 50 a IR 64 431 ± 208 ab 438 ± 27 a 820 ± 109 a 321 ± 150 abc 1024 ± 119 ab 473 ± 96 c IR 74 50 ± 14 d 256 ± 12 ab 669 ± 52 ab 620 ± 180 ab 595 ± 83 bc 531 ± 41 bc Inpari 3 288 ± 133 abc 463 ± 91 a 322 ± 53 bc 335 ± 73 abc 678 ± 216 bc 573 ± 116 bc Inpari 4 68 ± 46 bcd 268 ± 132 ab 664 ± 100 ab 1355 ± 94 a 410 ± 95 cd 728 ± 168 bc Inpari 6 344 ± 64 abc 231 ± 47 ab 646 ± 58 ab 566 ± 75 abc 423 ± 57 cd 651 ± 94 bc Inpari 13 50 ± 36 cd 160 ± 66 bc 236 ± 64 c 289 ± 25 bc 252 ± 72 de 263 ± 29 d PTB 33 6 ± 2 d 87 ± 22 c 87 ± 36 d 91 ± 40 c 121 ± 42 e 204 ± 38 d

a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0,05.

b

(34)

beberapa daerah lainnya telah terjadi ledakan populasi WBC terhadap varietas IR 42 (gen tahan bph 2) karena terjadi perubahan biotipe 2 menjadi biotipe 3 dalam kurun waktu lima tahun (1976-1981) (Baehaki & Widiarta 2008). Hasil pengujian pada percobaan ini menunjukkan bahwa satu di antara sembilan varietas padi yaitu Inpari 4 berespon rentan terhadap WBC biotipe 1. Hal tersebut berbeda dengan pendapat Suprihatno et al. (2010) bahwa varietas Inpari 4 masih dikategorikan agak rentan terhadap WBC biotipe 1. PTB 33 merupakan varietas pembanding tahan yang selalu digunakan sebagai dasar acuan uji penapisan varietas. Menurut Kalode & Khrisnha (1979), PTB 33 dilaporkan tahan terhadap biotipe 1, 2 dan 3 dengan nilai skor 1, 1 dan 3 serta dari hasil uji genetik diketahui bahwa pada varietas tersebut terdapat gen resisten yang dominan. Varietas PTB 33 telah diidentifikasi mengandung 2 gen tahan yaitu Bph 2 dan Bph 3 sehingga menyebabkan WBC tidak berkembang.

Pada umumnya, rata-rata jumlah populasi WBC biotipe 2 relatif lebih tinggi dibandingkan populasi biotipe 1. Pelepasan satu pasang WBC biotipe 2 menghasilkan jumlah populasi wereng tertinggi pada varietas Inpari 3 yaitu 463 ekor/rumpun yang tidak berbeda nyata dengan varietas padi inang IR 26 dan pembanding rentan TN-1 yaitu berkisar antara 286-318 ekor/rumpun maupun empat varietas lainnya berturut-turut IR 64, Inpari 4, IR 74 dan Inpari 6 yang berkisar antara 231-438 ekor/rumpun sedangkan jumlah populasi terendah nyata terjadi pada varietas PTB 33 dan Inpari 13 sebesar 87-160 ekor/rumpun. Pelepasan sepuluh pasang wereng biotipe 2 menunjukkan hasil jumlah wereng yang tidak jauh berbeda dengan pelepasan satu pasang. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 4 bahwa pelepasan sepuluh pasang wereng biotipe 2 menghasilkan jumlah populasi tertinggi pada varietas IR 64 mencapai 1024 ekor/rumpun tidak berbeda nyata dengan varietas padi inang IR 26 dan pembanding rentan TN-1 yaitu 886-1374 ekor/rumpun. Tingginya jumlah populasi ini berturut-turut berkurang pada lima varietas lainnya yaitu Inpari 3, IR 74, Inpari 6, Inpari 4 dan Inpari 13 berkisar antara 252-678 ekor/rumpun dan populasi terendah nyata terjadi pada varietas pembanding tahan PTB 33 yaitu hanya mencapai 121 ekor/rumpun. Hal ini menunjukkan bahwa bahwa varietas padi pembanding rentan TN-1 dan inang adaptif IR 26 juga berespon rentan dan varietas padi pembanding tahan PTB

(35)

33 berespon tahan terhadap serangan populasi wereng biotipe 2. Berdasarkan perbandingan jumlah populasi wereng pada tanaman inang adaptif IR 26 atau pembanding rentan TN-1 dan tahan PTB 33 maka varietas padi uji tahan IR 64, Inpari 3, dan IR 74 dikelompokkan berespon rentan; Inpari 4 dan Inpari 6 berespon agak tahan dan Inpari 13 berespon tahan terhadap serangan wereng biotipe 2. Berbeda dengan pernyataan Suprihatno et al. (2010) bahwa varietas Inpari 4 selain bereaksi agak rentan terhadap WBC biotipe 1 juga agak rentan terhadap biotipe 2. Kegagalan panen akibat serangan biotipe ini ditunjukkan oleh padi varietas rentan IR 26, Inpari 3 dan Inpari 6 yang tidak berproduksi maksimal. Populasi WBC biotipe 2 ini masih dijumpai di lapangan dan umumnya dilaporkan berkembang di luar Pulau Jawa tepatnya di Maros, Sulawesi Selatan (Baehaki & Munawar 2007). Populasi wereng biotipe 2 sudah ada di lapangan sejak tahun 1976 dan pada tahun 1980 diintroduksikan varietas IR 42 (gen tahan bph 2) dari IRRI untuk mengatasi serangan wereng ini, namun tahun 1981 terjadi ledakan populasi wereng karena terjadi perubahan biotipe 2 menjadi biotipe 3. Perubahan biotipe 2 menjadi biotipe 3 terjadi dalam kurun waktu lima tahun (1976-1981) (Baehaki & Widiarta 2008).

Hasil respon ketahanan sembilan varietas padi yang diujikan terhadap WBC biotipe 3 menunjukkan bahwa hampir seluruh varietas padi uji mampu menopang pertumbuhan populasi wereng yang relatif tinggi baik pada pelepasan satu maupun sepuluh pasang. Pelepasan satu pasang wereng biotipe 3 menghasilkan jumlah populasi wereng tertinggi pada varietas IR 64 sebesar 820 ekor/rumpun berturut-turut diikuti lima varietas lainnya yaitu IR 74, Inpari 4, Inpari 6 dan TN-1 berkisar antara 595- 669 ekor/rumpun yang sangat berbeda nyata dengan varietas inang rentan adaptif IR 42 sebesar 244 ekor/rumpun. Jumlah wereng nyata terendah terdapat pada varietas PTB 33 diikuti peningkatan jumlah individu pada varietas Inpari 13 dan Inpari 3 yaitu 231-256 ekor/rumpun tidak berbeda nyata dibandingkan varietas IR 42. Pelepasan sepuluh pasang wereng biotipe 3 menunjukkan variasi perkembangan jumlah wereng. Hal ini dapat ditunjukkan pada Tabel 4 bahwa pelepasan sepuluh pasang wereng biotipe 3 menghasilkan jumlah populasi nyata tertinggi pada varietas rentan IR 42 mencapai 1575 ekor/rumpun diikuti varietas TN-1 844 ekor/rumpun. Jumlah populasi wereng

(36)

pada varietas rentan TN-1 ini sama tingginya dengan empat varietas Inpari 4, Inpari 6, Inpari 3 dan IR 74 berkisar antara 531-728 ekor/rumpun, tetapi berbeda nyata dengan jumlah wereng pada varietas IR 64, Inpari 13 dan PTB 33 berkisar antara 204-473 ekor/rumpun. Berdasarkan perbandingan jumlah populasi wereng pada tanaman pembanding rentan TN-1 dan tahan PTB 33 maka varietas Inpari 4, Inpari 6, Inpari 3 dan IR 74 dikategorikan berespon rentan; IR 64 berespon agak tahan dan Inpari 13 berespon tahan terhadap serangan wereng biotipe 3.

Kartohardjono et al (2010) melaporkan bahwa varietas IR 64 bereaksi agak rentan dan menurut Suprihatno et al. (2010) varietas Inpari 4 juga berespon agak rentan terhadap populasi WBC biotipe 3. Maka respon rentan kedua varietas tersebut terhadap wereng biotipe 3 diduga terjadi perkembangan pertahanan fisiologi atau ekologi pada kedua biotipe WBC tersebut sehingga yang semula pertahanannya masih lemah kemudian berubah menjadi kuat dan dapat bertahan hidup serta berkembang lebih baik pada varietas tersebut.

Varietas Inpari 13 dan PTB 33 bereaksi tahan terhadap WBC biotipe 1, 2 dan 3. Rendahnya populasi pada varietas tersebut diduga dipengaruhi faktor morfologi dan kandungan bahan metabolit sekunder tanaman yang menghambat pertumbuhan atau kandungan nutrisi tanaman yang kurang mencukupi kebutuhan tubuh sehingga berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan, perkembangan, kesuburan, mortalitas dan keperidian serangga (Saxena & Pathak 1979; Schoonhoven et al. 2005). Kazushige & Pathak (1970) melaporkan bahwa kandungan molekul aspargin yang rendah pada padi varietas tahan Mudgo menyebabkan WBC yang dipelihara pada varietas tersebut mengalami perlambatan petumbuhan, pengurangan ukuran tubuh, peningkatan mortalitas nimfa dan penurunan fekunditas.

Populasi WBC biotipe 3 sudah ada di lapangan dari tahun 1981 dan untuk mengatasi serangan wereng tersebut maka pada tahun 1986 dilepas varietas IR 64 (gen tahan Bph 1+). Keberadaan wereng biotipe 3 yang cukup lama selama 24 tahun (1981-2005) di lapangan diduga karena varietas IR 64 memiliki ketahanan yang bersifat durable resistance dan pada tahun 2006, wereng biotipe 3 dilaporkan menunjukkan tingkat keganasan yang lebih parah yaitu menyebabkan

(37)

patahnya ketahanan varietas IR 64 dan Ciherang yang sebelumnya dianggap tahan (Baehaki 2007).

Waktu Pembentukan Makroptera

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelepasan WBC pada sembilan varietas padi secara umum memicu waktu kemunculan imago makroptera lebih cepat pada biotipe 1 dibandingkan biotipe 2 dan 3 (Tabel 5 & 6). Hari pertama kemunculan makroptera biotipe 1 berkisar antara 16-35 hari dengan rata-rata 19,7 hari nyata lebih cepat dibandingkan biotipe 2 dan 3 berturut-turut 15-59 dan 19-37 hari dengan rata-rata 25,8 dan 23,1 hari. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa waktu kemunculan makroptera nyata dipengaruhi oleh perlakuan varietas tanaman, perlakuan biotipe dan interaksi perlakuan varietas tanaman dan biotipe pada nilai P < 0,05. Sebaliknya, perlakuan pelepasan jumlah induk wereng, interaksi perlakuan pelepasan induk dan varietas tanaman, interaksi perlakuan pelepasan induk dan biotipe maupun interaksi ketiga perlakuan pelepasan induk dan varietas tanaman, dan biotipe tidak berpengaruh nyata terhadap waktu kemunculan makroptera dengan nilai P > 0,05 (Tabel 1, 5 & 6, Lampiran 2 ).

Jumlah individu yang terbentuk pada generasi populasi pertama berkisar antara 1-3 ekor dan 1-5 ekor berturut-turut pada pelepasan satu dan sepuluh pasang dari jumlah populasi total 2-194 ekor dan 24-696 ekor (Taberl 6). Pada varietas tahan PTB 33, pertumbuhan populasi wereng sangat lambat, bahkan pada biotipe 1 tidak dihasilkan individu makroptera. Ketahanan varietas sedikit mempengaruhi periode perkembangan nimfa calon makroptera, tetapi tidak mempengaruhi jumlah pembentukan makroptera. Secara umum padi varietas tahan menghasilkan waktu pembentukan makroptera jauh lebih lambat daripada

Tabel 5 Waktu kemunculan imago makroptera pada tiga kelompok biotipe WBC

Biotipe Waktu kemunculan wereng (HSI)a

1 19,7 a

2 25,8 b

3 23,1 b

a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0,05.

(38)

Tabel 6 Respon sembilan varietas padi terhadap waktu dan jumlah kemunculan imago WBC makroptera

Varietas

Pelepasan satu pasang imago (ekor/rumpun) a Pelepasan sepuluh pasang imago (ekor/rumpun) a

Biotipe 1 Biotipe 2 Biotipe 3 Biotipe 1 Biotipe 2 Biotipe 3

WMa Σ M Σ x WMa Σ M Σ x WMa Σ M Σ x WMa Σ M Σ x WMa Σ M Σ x WMa Σ M Σ x Pelita/IR 26/ IR 42 b 35 c 1 127 24 a 1 14 20 a 2 36 17 ab 2 254 24 a 3 293 19 a 5 696 TN-1 28 bc 2 104 28 a 1 20 20 a 2 138 16 a 4 123 22 ab 1 136 22 a 4 352 IR 64 20 b 2 31 24 a 1 32 21 ab 3 194 26 b 2 156 18 ab 2 176 25 a 4 248 IR 74 25 bc 1 6 31 a 1 39 19 a 3 162 24 b 1 125 17 ab 1 116 19 a 2 258 Inpari 3 21 bc 2 21 15 a 1 34 29 abc 2 47 25 b 3 52 23 ab 1 74 21 a 2 247 Inpari 4 25 bc 1 6 16 a 1 20 22 ab 3 118 16 a 2 138 21 ab 2 69 20 a 3 290 Inpari 6 22 bc 1 15 30 a 1 22 34 bc 1 114 21 ab 2 106 28 abc 2 62 20 a 2 247 Inpari 13 20 b 1 2 59 b 1 28 30 abc 2 14 26 b 2 48 32 bc 1 25 30 b 3 40 PTB 33 0 a 0 0 32 a 1 14 37 c 1 5 24 b 1 38 43 c 1 24 24 a 1 40 a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0,05.

b

Pelita = inang biotipe 1, IR 26 = inang biotipe 2, IR 42 = inang biotipe 3. WM = Waktu kemunculan wereng makroptera (hari setelah infestasi imago). Σ M = Jumlah makroptera yang terbentuk pada HM (ekor).

(39)

varietas rentan. Hal ini dapat terlihat pada varietas tahan Inpari 13, awal pembentukan makroptera terdeteksi pada hari ke 32 dan 59 pada biotipe 2 dan hari ke 30 pada biotipe 3 nyata berbeda dengan pembentukan makroptera pada varietas rentan yang hanya dicapai pada hari ke 24 dan 28 pada biotipe 2 dan hari ke 22 pada biotipe 3. Pada varietas Inpari 13, walaupun kondisi jumlah individu di dalam populasi cukup rendah 40 ekor, wereng makroptera masih tetap terbentuk hingga mencapai 3 ekor. Hal ini menunjukkan bahwa pelepasan banyak induk pada pada varietas tahan relatif menghasilkan banyak nimfa yang akan memicu percepatan terbentuknya nimfa calon makroptera tetapi jumlah makroptera ini tidak sebanding dengan jumlah populasi yang terbentuk pada periode tersebut. Seperti diuraikan pada hasil sebelumnya bahwa pelepasan sepuluh pasang imago menghasilkan peningkatan individu pada populasi generasi pertama, namun bagaimanapun juga hasil tersebut menggambarkan bahwa nimfa calon makroptera sudah terpola dari awal secara genetis. Grodnitsky (1999), Yamada (1990) dan Yoshimeki (1966 dalam Baehaki & Widiarta 2008), melaporkan bahwa kepadatan populasi nimfa yang tinggi memberikan pertanda akan terjadi kondisi persaingan makanan atau habitat dan secara alamiah individu calon makroptera didalam populasi terinisiasi membentuk sistem pertahanan populasi berupa serangga migrant. Saxena et al. (1981) melaporkan bahwa kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman tua dibandingkan dengan tanaman muda dan kemunculan makroptera lebih banyak pada tanaman setengah rusak dibandingkan tanaman yang sehat. Pada beberapa serangga, polimorfisme sayap sebagian dikendalikan oleh faktor genetis, misalnya pada WBC, selain pengaruh genetis, faktor lingkungan juga berperanan penting dalam pembentukan sayap makroptera (Yamada 1990). Menurut Hoffman et al. (2005) pengaruh lingkungan seperti kondisi persediaan nutrisi rendah, suhu lingkungan rendah dan aplikasi pestisida yang berlebihan dapat berdampak pada pembentukan asimetri sayap lalat

Drosophila melanogaster, Lucilia cuprina dan ngengat Epiphyas postvittana.

Perubahan asimetri sayap meningkat apabila kondisi stress mengganggu perkembangan normal organisme. Tekanan lingkungan yang terjadi pada waktu yang spesifik dapat mengubah bentuk sayap dengan cara yang spesifik pula.

(40)

Populasi Makroptera dan Brakhiptera pada Akhir Musim Tanam

Seperti telah diuraikan sebelumnya bahwa ratio jumlah individu makroptera relatif sangat kecil dibandingkan makroptera yang ada didalam populasi sehingga jumlah populasi imago dari ketiga biotipe WBC 1, 2 dan 3 pada akhir musim tanam didominasi oleh brakhiptera. Dominasi brakhiptera diduga memberikan andil dalam pertambahan populasi nimfa yang pada akhirnya mempengaruhi respon ketahanan tanaman akibat serangannya. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah populasi makroptera nyata dipengaruhi oleh dua perlakuan varietas tanaman dan perlakuan biotipe sedangkan populasi brakhiptera nyata dipengaruhi oleh tiga perlakuan pelepasan jumlah induk wereng, varietas tanaman maupun biotipe dengan nilai P < 0,05. Pada pengujian ini, ketiga interaksi perlakuan di atas tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah WBC makroptera maupun brakhiptera yang terbentuk yaitu ditunjukkan dengan nilai P > 0,05 (Tabel 1, 7, 8, 9 & 10, Lampiran 3 & 4).

Pelepasan satu pasang induk menghasilkan jumlah wereng makroptera yang tidak berbeda nyata dibandingkan pelepasan sepuluh pasang yaitu berkisar antara 13-16 ekor/rumpun sebaliknya pada pelepasan satu pasang menghasilkan jumlah wereng brakhiptera nyata lebih rendah 119 ekor/rumpun dibandingkan sepuluh pasang yaitu 163 ekor/rumpun (Tabel 7). Perbedaan jumlah populasi wereng juga terjadi pada kelompok biotipe WBC (Tabel 8). Pada makroptera, jumlah WBC biotipe 1 yang terbentuk di akhir musim tanam nyata lebih sedikit yaitu rata-rata 8 ekor/rumpun dibandingkan biotipe 2 dan 3 yaitu 16 dan 18 ekor/rumpun sedangkan pada brakhiptera, jumlah WBC nyata terendah pada biotipe 1 dan tertinggi pada biotipe 3 yaitu 82 dan 215 ekor/rumpun.

Tabel 7 Jumlah kumulatif populasi imago brakhiptera dan makroptera pada dua kelompok pelepasan WBC

Perlakuan pelepasan Jumlah wereng (ekor/rumpun)a

Makroptera Brakhiptera

Satu pasang 13 a 119 a

Sepuluh pasang 16 a 163 b

a

Nilai rataan yang diikuti huruf kecil yang sama pada setiap lajur menunjukkan tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf α = 0,05.

Gambar

Gambar 1  Fluktuasi populasi selama satu musim tanam setelah pelepasan satu  pasang WBC pada sembilan varietas padi
Gambar 2  Fluktuasi populasi selama satu musim tanam setelah pelepasan  sepuluh pasang WBC pada sembilan varietas padi
Tabel 1  Analisis interaksi antara varietas tanaman dengan dua kelompok pelepasan dan tiga kelompok biotipe wereng terhadap tujuh respon  penelitian
Tabel 4  Populasi total WBC pada sembilan varietas padi pada akhir musim tanam
+6

Referensi

Dokumen terkait

perjanjian yang dibuat antara pelaku usaha dengan pelaku usaha lainnya yang memuat persyaratan bahwa penerima barang dan atau jasa tidak akan menjual atau memasok kembali barang

Dengan menggunakan metode penelitian sejarah, observasi langsung dan wawancara mendalam dengan pemilik dan pelanggan serta masyarakat sekitar warung kopi, penelitian ini

Untuk itu, dengan dasar pemikiran di atas dan situasi nasabah yang ada di BPR Tulen Amanah, maka dalam rencana penelitian ini akan mengkaji berbagai hubungan relationship

Selain kurangnya pemahaman pelajar mengenai kiprah perjuangan golongan nasionalis Islam yang didalamnya turut serta Ki Bagus Hadikusumo, juga literatur yang membahas mengenai

Oleh karena itu, upaya-upaya untuk terus mengembangkan profesi pendidik (guru) menjadi suatu syarat mutlak bagi kemajuan suatu bangsa, meningkatnya kualitas pendidik akan

Rumusan masalah yang ditemukan setelah me- lakukan observasi pada site dan wawancara: Problem definition di bidang usaha yaitu, Restoran Malioboro merupakan sebuah restoran yang

Gaya hidup ( lifestyle) para musisi atau gitaris biasanya menginginkan produk gitar yang berbeda dengan produk gitar yang lain karena sifat mereka cenderung

Metode penelitian yang peneliti gunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan maksud untuk menggambarkan, meringkas berbagai realitas yang dihadapi PT Mizan Pustaka