• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI AGUSTUS, 2020

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI AGUSTUS, 2020"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Pada Program Studi Pendidikan Sosiologi

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh : FANDI ASBAR NIM: 10538272313

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI AGUSTUS, 2020

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN MOTTO

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum, sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S Ar-Ra’d) “Karunia Allah yang paling lengkap adalah kehidupan yang didasarkan pada ilmu

pengetahuan”. (Ali Abi Thalib)

PERSEMBAHAN

Alhamdulillah, atas rahmat dan hidayah-Nya, saya dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Karya sederhana ini ku persembahkan untuk:

• Ayahku (H. Wasnawir), yang telah mendukungku, memberiku motivasi dalam segala hal serta memberikan kasih sayang yang teramat besar yang tak mungkin bisaku balas dengan apapun.

• Kakak saudara kandung yang terkasih Dewi Astuti dan Sri Evi Yanti, makasih telah memberiku motivasi dan makasih sudah membantu beban Ayah untuk membiayai kuliah saya.

• Keluargaku, yang telah memberiku semangat. Makasih sudah menyemangati menyelesaikan skripsi selama ini.

(7)

vii ABSTRAK

Fandi Asbar 2019. Konflik Sosial Agraria Antara Masyarakat Dan Investor di Kabupaten Manggarai Barat. Skripsi. Jurusan Pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar. Pembimbing I Muhammad Nawir dan Pembimbing II Abd. Aziz Muslimin.

Masalah utama dalam dalam penelitian ini adalah konflik agraria yang terjadi antara masyarakat dan investor di Labuan

Bajo Kabupaten Manggarai Barat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengapa kasus jual beli lahan terjadi antara masyarakat dan investor dan bagaimana peran Pemerintah dalam menetralisir konflik sosial agraria dalam kasus jual beli lahan di Kabupaten Manggarai Barat.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan menggunakan purpose sampling sebagai teknik pengambilan sampel. Data yang dianalisis adalah hasil wawancara dengan masyarakat, Pihak Investor terkait dan pemerintah yang menangani kasus agraria.

Hasil penelitian menunjukkan penyebab utama kasus jual beli lahan yang menimbulkan konflik adalah karena tingginya harga lahan yang ada di Kabupaten Manggarai Barat dimana sejak pemerintah memutuskan kawasan tersebut akan dikembangkan sebagai pusat pariwisata. Adapun Peran Pemerintah dalam menetralisir konflik sosial agraria yaitu dengan jalan mediasi dimana mempertemukan kedua belah pihak yang sedang memperebutkan lahan. Namun upaya mediasi tidak jarang gagal dan akhirnya langkah terakhir pemerintah menyarankan untuk melanjutkan kepengadilan bagi pihak yang merasa dirugikan. Kata Kunci: Penyebab Konflik, Jual beli Lahan, Masyarakat dan Investor,

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullhi Wabarakatu

Alhamdulillah Rabbil ‘Alamin, puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang karena-Nya kita hidup dan karena-Nya kita kembali. Dari-Nya segala sumber kekuatan dan inspirasi terindah dalam menepaki jalan hidup ini. Dialah yang memberikan begitu banyak nikmat khususnya kesehatan dan kesempatan sehinggah skripsi yang berjudul “Konflik Sosial Agraria Antara Masyarakat Dan Investor di Kabupaten Manggarai Barat” dapat penulis selesaikan. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, yang merupakan uswatun hasanah atau suri tauladan yang baik untuk ummat manusia sampai akhir zaman.

Penulis ungkapkan terima kasih dan penghargaan yang sangat spesial penulis hanturkan dengan rendah hati dan rasa hormat kepada kedua orang tua penulis yang tercinta, Ayahanda H. Wasnawir dan Ibunda Almarhumah Hj. Bajinanro serta kakak dan keluarga penulis yang dengan segala pengorbanannya tak akan pernah penulis lupakan atas jasa-jasa mereka. Doa restu, nasehat dan petunjuk dari mereka yang merupakan dorongan moral yang paling efektif bagi kelanjutan studi penulis hingga saat ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tinggiya penulis hanturkan kepada: Prof. Dr. H. Abd. Rahman Rahim, SE., M.M, sebagai Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar. Erwin Akib, S.Pd., M.Pd., Ph. D, sebagai Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar serta para Wakil Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

(9)

ix

Muhammadiyah Makassar. Drs. H. Nurdin, M.Si, sebagai Ketua Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar dan Kaharuddin, S.Pd., M.Pd., Ph. D, Sekretaris Program Studi Pendidikan Sosiologi Universitas Muhammadiyah Makassar beserta seluruh staffnya. Dr. Muhammad Nawir, M.Pd, sebagai pembimbing 1 (satu) dan Dr. Abd. Aziz Muslimin, M.Pd, selaku pembimbing 2 (dua) yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Bapak dan Ibu dosen Program Studi pendidikan Sosiologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan yang telah memberikan ilmunya kepada penulis, semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT. Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari.

Pimpinan beserta para staff Perpustakaan Pusat, Perpustakaan Fakultas dan Keguruan, atas segala kemudahan yang diberikan kepada penulis untuk mendapatkan referensi yang mendukung penyelesaian skripsi ini. Seluruh responden yang telah bersedia membantu dan meluangkan waktu dalam pengisian kuesioner. Kawan-kawanku Kakak Irfan, Syamsudin, Agus Ilhamda, yang selalu memberikan doa dan dukungan. Kawan-kawanku mahasiswa program studi pendidikan sosiologi khususnya kawan-kawan seperjuangan Kelas D yang selalu memberikan support kepada penulis. Akhirnya penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala dari rahmat Allah SWT. Semoga apa yang telah ditulis dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Amin ya Rabbal a’lamin.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran dari semua pihak penulis harapkan untuk menyempurnakan skripsi ini.

(10)

x

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan para pemerhati dunia pendidikan.

Hanya Allah SWT yang dapat memberikan imbalan yang setimpal. Semoga aktivitas kita senantiasa bernilai ibadah disisi-Nya. Amin

Makassar, Agustus 2020

(11)

xi DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING ... iv

SURAT PERNYATAAN... v

SURAT PERJANJIAN ... vi

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... vii

ABSTRAK ...viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ...xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 5

C. Tujuan Penelitian ... 5

D. Manfaat Penelitian ... 5

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 7

A. Kajian Teori ... 7

1. Hasil Penelitian yang Relevan ... 7

2. Konsep Mengenai Konflik Sosial ... 9

(12)

xii

4. Konflik Agraria ... 14

5. Hubungan Masyarakat dan Investor ... 23

6. Kebutuhan Akan Pertanahan... 29

7. Landasan Teori Sosiologis ... 34

B. Kerangka Pikir ... 34

BAB III METODE PENELITIAN ...37

A. Jenis Penelitian... 37

B. Lokasi Penelitian ... 37

C. Fokus Penelitian ... 37

D. Teknik Penentuan Informan Penelitian ... 37

E. Instrumen Penelitian ... 40

F. Teknik Pengumpulan Data ... 40

G. Teknik Analisis Data ... 41

H. Teknik Pengabsahan Data ... 42

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45

A. Deskripsi Umum Daerah Penelitian ... 45

1. Sejarah Singkat Manggarai Barat ... 45

2. Kondisi Geografis dan Iklim ... 47

3. Topologi, Geologi dan Hidrologi ... 48

4. Kondisi Demografis ... 50

5. Tingkat Pendidikan ... 52

6. Kehidupan Keagamaan, Budaya, Sosial, dan Ekonomi ... 52

(13)

xiii

1. Kasus Jual Beli Antara Masyarakat Dan Investor di Kabupaten

Manggarai Barat... 56

2. Peran Pemerintah Untuk Menetralisir Konflik Sosial Agraria . 61 C. Pembahasan... 62 1. Penyebab Konflik... 65 2. Upaya Penyelesaian ... 70 BAB V PENUTUP ... 73 A. Kesimpulan ... 73 B. Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA ... 75 LAMPIRAN-LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

4.1 Migrasi Masuk Penduduk Per Kecamatan Semester 1(Januari - Juni)

2017 ... 50 4.2 Migrasi Keluar Penduduk Per Kecamatan Semester 1 (Januari

- Juni) 2017 ... 51 4.3 Migrasi Keluar Penduduk Per Kecamatan Semester 1 (Januari

- Juni) 2017 ... 52 4. 4 Kehidupan Keagamaan, Budaya, Sosial dan Ekonomi.

(15)

xv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran Halaman 1. Data Informan ... 78 2. Pedoman wawancara ... 80 3. Hasil Observasi ... 91 4. Dokumentasi Penelitian ... 93

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN 8. Latar Belakang

Perkembangan hubungan manusia dengan tanah semakin lama semakin luas dan kompleks, dimulai dengan penguasaan individu terhadap tanah sampai corak yang diciptakan oleh negara. Di Indonesia secara konstitusional masalah tanah sebagai permukaan bumi diatur dalam pasal 33 ayat 3 UUD 1945 yang berbunyi: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan di pergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Dari bunyi pasal di atas, dapat disimpulkan bahwa pasal 33 ayat 3 berkaitan erat dengan penguasaan tanah.

Jauh sebelum Negara Republik Indonesia terbentuk fakta sejarah memperlihatkan penjajahan yang dilakukan oleh Jepang maupun Belanda itu dimulai dengan perebutan ruang hidup dan penghidupan masyarakat dalam hal ini tanah yang diambil secara paksa, kemudian masyarakat dipaksa untuk bekerja di atas tanah yang sebelumnya digarapnya sendiri. Konflik agraria memang merupakan permasalahan kelasik yang kerap kali terjadi di negara ini, lebih jauh lagi seperti yang diungkapkan Wiradi, bahwa konflik agraria di Indonesia bahkansudah terjadi sejak zaman feodal yaitu pengambil alihan tanah petani secara paksa oleh pihak kerajaan (bangsawan).

Dewasa ini ketimpangan agraria seperti di atas kemudian masih berlangsung sampai hari ini meskipun dengan wajah yang sedikit berbeda, misalnya seperti lahirnya berbagai kebijakan yang memberikan ruang kepada para pemodal terhadap

(17)

akses tanah., yang artinya bahwa para pemilik modal mendapatkan legitimasi yang sah dari pemerintah untuk mencaplok sumberdaya masyarakat. Keterlibatan pemodal atau investor dalam persoalan agraria menurut Marzuki (2008) telah mendorong perubahan pola konflik agraria di Indonesia, dari konflik yang sifatnya Land Hunger (haus tanah) yang terjadi dilingkup pedesaan menjadi konflik struktural yang tidak hanya terjadi di desa tetapi juga di kota-kota dengan peran negara yang dominan.

Melalui Hak Guna Usaha (HGU) pemerintah memfasilitasi pelaku ekonomi untuk secara terus menerus mengambil tanah rakyat dalam jumlah besar. Modus pemberian HGU semakin melebar dengan keluarnya PP No.40/1996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Kebijakan pengadaan tanah untuk para pemodal besar dengan intervensi langsung dari pemerintah dengan cara masyarakat dipaksa untuk menjual tanahnya sendiri demi kepentingan roda bisnis para investor ini, berkonsekuensi pada semakin berkembangnya dua persoalan mendasar dalam pertanahan di Indonesia, yakni terkonsentrasinya aset termasuk tanah ditangan segelintir orang dan semakin meluasnya konflik agraria.

Kehadiran para investor di satu sisi cukup menggembirakan karena dengan masuknya banyak investor dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) namun di lain sisi mencemaskan masyarakat. Kehadiran investor akan mampu mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi sekaligus berkontribusi mempercepat kemajuan pembangunan di suatu daerah namun keberadaan investor juga berpotensi memunculkan konflik kepentingan yang dapat memicu konflik dan

(18)

kekerasan. Berbagai sengketa tanah tersebut secara jelas menggambarkan betapa proses dan pola-pola pengambil alihan tanah masyarakat menjadi suatu persoalan yang boleh dibilang krusial. Seperti halnya yang tengah terjadi di beberapa daerah termasuk Manggarai Barat, daya tarik pariwisata disinyalir menjadi salah satu pemicu utama proses pengalihan tanah-tanah masyarakat oleh investor.

Perkembangan dunia kepariwisataan yang kian pesat merupakan salah satu faktor dominan yang memicu investasi kapital dari luar dan terakumulasi di dalam yang menyebabkan pula munculnya elite-elite lokal yang mengklaim diri sebagai kepemilikan tunggal atas tanah-tanah dan pulau-pulau yang sebenarnya milik kolektif masyarakat tradisional.

Apa yang tengah terjadi di Kabupaten Manggarai Barat saat ini merupakan potret buram di balik proses pengambil alihan tanah-tanah masyarakat, bak cendawan dimusim hujan yang terus bermunculan. Konflik antar individu maupun kelompok atau komunitas terus terjadi disejumlah tempat di Manggarai Barat. Tingginya harga tanah yang ditawarkan investor ditambah sulitnya akses terhadap mata pencaharian menambah daftar pemicu konflik sosial itu terjadi, klaim atas tanah oleh masyarakat adat (kelompok), dan klaim tanah milik pemerintah dan investor, muaranya timbul perlawanan dari masyarakat atas klaim yang sepihak tadi, misalnya, kasus perebutan tanah antara komunitas masyarakat adat Mbehal, Kecamatan Boleng dengan warga Menjerita Kecamatan Komodo, sengketa tanah antara warga Dalong, Desa Watu Nggelek dengan warga Tana Dereng yang berujung pada tragedi perang tanding antar warga yang menewaskan tiga orang dan konflik tanah komunal antar warga Cumbi dan Lemes di Kecamatan Komodo.

(19)

Di Manggarai Barat, pencaplokan sumber daya publik sudah berlangsung masif yang menyebabkan marginalisasi masyarakat lokal. Tercatat beberapa pulau sudah dikuasai dan “dibeli” orang asing seperti pulau Bidadari, Kanawa dan Sebayur. Bahkan penjualan pulau-pulau terpampang jelas di laman digital seperti penjualan pulau Punggu di www.skyproperty.com beberapa tahun lalu.

Tidak adanya regulasi yang jelas membuat wilayah pesisir dan pantai-pantai diklaim secara privat. Bahkan pantai publik satu-satunya yaitu pantai Pedde sudah diprivatisasi oleh PT. SIM, milik pengusaha dan politisi nasional, Setya Novanto. Harga tanah pun melonjak mahal. Marginalisasi tidak hanya tercipta melalui mekanisme pasar, tetapi juga melalui regulasi dari pemerintah. Aturan dalam kawasan Taman Nasional Komodo adalah contohnya.

Atas nama konservasi, aturan zonasi membuat masyarakat lokal yang sebagian besar berladang dan nelayan tidak boleh sembarangan membuka lahan pertanian atau menangkap ikan. Mereka seringkali dilabeli sebagai perusak ekosistem dalam kawasan Taman Nasional Komodo (TNK), baik itu daratan maupun laut. Sementara, penguasaan perseorangan oleh investor seperti pendirian bangunan resort dalam kawasan TNK diperbolehkan. Berbagai persoalan di atas inilah yang kemudian menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat yang ada di Kabupaten Manggarai Barat. Maka atas dasar itulah penelitian ini diberi judul “ Konflik Sosial Agraria Antara Masyarakat dan Investor di Kabupaten Manggarai Barat”

(20)

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan seperti diatas maka dapat di identifikasikan beberapa hal sebagai berikut:

a. Mengapa kasus jual beli lahan terjadi antara masyarakat dan investor di Kabupaten Manggarai Barat?

b. Bagaimana peran Pemerintah dalam meminimalisir konflik sosial agraria dalam kasus jual beli tanah di Kabupaten Manggarai Barat?

E. Tunjuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

C. Untuk mengetahui kasus jual beli tanah terjadi antara masyarakat dan investor di Kabupaten Manggarai Barat.

D. Untuk mengetahui peran Pemerintah dalam meminimalisir konflik sosial agraria dalam kasus jual beli tanah di Kabupaten Manggarai Barat.

F. Manfaat Penelitian

Berdasarakan tujuan penelitian di atas, maka manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :

A. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan mampu menghasilkan pemikiran-pemikiran yang dapat disumbangkan terhadap perkembangan ilmu sosial, khususnya tentang fenomena dan konflik sosial agraria.

(21)

1. Bagi masyarakat

Di harapkan dari penelitian ini dapat memberikan pemahaman yang baru bagi masyarakat agar melihat persoalan konflik agraria anatar masyarakat dan investor lebih luas lagi.

2. Bagi Investor

Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan sudut pandang baru khususnya bagi investor yang sedang mengalami masalah sengketa agraria agar dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan kebijakan. 3. Bagi Pemerintah / Lembaga terkait

Penelitian ini dapat di gunakan sebagai dasar untuk menetapkan suatu kebijakan, yang berkaitan dengan agraria

4. Bagi peneliti

Melalui penelitian ini, peneliti harapkan kiranya dapat memberikan tambahan pembelajaran dan ilmu khususnya yang menyoal konflik agraria.

(22)

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hasil Penelitian yang Relevan

Masalah agraria merupakan masalah yang hampir setiap generasi mengalaminya, bahkan dibeberapa literatur disebutkan bahwa konflik agraria sudah terjadi sejak masa kerajaan hingga dizaman penjajahan sampai pada hari ini, berbagai alasan menyertai perjalanan terjadinyaa konflik sosal agraria, ditambah carut marutnya aturan serta proses penyelesaian masalah sengketa agrarian ini, hingga tema agraria turut pula menjadi diskursus penelitan oleh banyak akademisi, seperti halnya judul skripsi yang tengah penulis kerjakan saat ini, dan beberapa hasil penelitan yang berkaitan dengan ini atau yang relevan dengan penelitian ini, antara lain;

Hasil penelitian oleh Putut Ary Sadewo, Sudjarwo, Darsono (2014) “Dinamika Konflik Agraria dalam Kehidupan Sosial Masyarakat Sendang Ayu dan Surabaya Kecamatan Padang Ratu”. Hasil penelitian menunjukan bahwa dinamika konflik agraria dalam kehidupan sosial masyarakat desa Sendang Ayu dan Surabaya yaitu: (1) dinamika konflik terjadi sejak tahun 1970, konflik melahirkan konflik terbuka dan tertutup, (2) penyebab konflik yaitu sewa tanah tidak sesuai perjanjian awal, (3) pemicu terjadinya konflik yaitu perusahaan melakukan cara-cara kekerasan terhadap warga untuk menguasai tanah, (4) penyelesaian konflik dilakukan antara perusahaan, warga tiga desa dan pemerintah daerah melalui perundingan, (5) dampak konflik yang berkepanjangan, melahirkan tiga dampak, yaitu dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan.

(23)

Kemudian berikutnya penelitian yang dilakukan oleh Musdalifah (2013) Konflik Agraria dalam relasi antara perusahaan perkebunan dengan masyarakat. (Kasus konflik antara petani dengan PT. PP Lonsum di Kabupaten Bulukumba) yang menunjukan bahwa: 1) Relasi antara pemerintah, perusahaan dan masyarakat digambarkan sebagai hubungan keterikatan antara kepentingan pemerintah terhadap keberadaan perusahaan perkebunan PT. Lonsum, kekuasaan pemerintah sebagai penentu kebijakan, serta hak guna usaha yang dimiliki PT. Lonsum dan hak masyarakat yang merupakan warisan nenek moyang; 2) Keberadaan perusahaan perkebunan PT. Lonsum menimbulkan dampak positif dan negatif dari aspek sosial maupun ekonomi; 3) Dialektika konflik agraria yang terjadi di Kabupaten Bulukumba telah berkembang dari konflik yang cenderung tertutup (laten), kemudian mencuat dan selanjutnya menjadi konflik manifest akibat tindakan agresif pihak perusahaan yang mendorong terjadinya tindakan perlawanan yang didasari oleh pertimbangan moralitas melalui protes, perlawanan, bahkan revolusi petani sebagai suatu tindakan defensif melawan kapitalisme yang mengancam keamanan subsistensi masyarakat, dan pertimbangan rasionalitas melalui kesepakatan melakukan perlawanan yang dinilai sebagai cara yang efektif dan efisien dalam menuntut hak-hak mereka; 4) Berbagai ikhtiar rekonsiliasi yang telah dilakukan dijadikan modal dalam mewujudkan penyelesaian konflik secara menyeluruh dan permanen sebagai wujud bentuk resolusi konflik yakni melalui konsultasi publik, negosiasi, mediasi dan arbitrasi.

Persamaan kedua penelitian di atas dengan penelitian yang akan peneliti lakukan adalah mengkaji tentang Konflik agrarian, metode yang digunakan dua

(24)

penelitian di atas dengan yang peneliti gunakan juga sama, sama-sama menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, berdasarkan teknik pengumpulan data melalui observasi, wawancara dan dokumentasi, persamaan metode penelitian juga terdapat dalam teknik pengambilan sampel Purposive Sampling.

Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang akan peneliti lakukan terletak pada lokasi penelitian dan rumusan masalahnya, lokasi penelitian ini adalah di kota Surabaya, desa Sendang Ayu, kemudian penelitian kedua lokasi penelitiannya di Kabupaten Bulukumba. Sementara lokasi penelitian yang akan peneliti lakukan di Kabupaten Manggarai Barat.

2. Konsep Mengenai Konflik Sosial

Konflik terjadi akibat perbedaan perepsi, berlainan pendapat dan karena ketidaksamaan kepentingan, perbedaan latar belakang kedua belah pihak hingga terjadi konflik, perbedaan kepentingan diantara individu dalam kelompok/ masyarakat yang kesemuanya saling terkait dalam realita sosial yang kompleks. Wahyudi (2015).

Dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 2 Tahun 2015 menyebutkan, konflik sosial, yang selanjutnya disebut konflik, adalah perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional. Secara Sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara 2 orang

(25)

atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya.

Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi, perbedaan-perbedaan tersebut diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan dan dan lain sebagainya. Konflik bertentangan dengan integrasi,seperti yang di kemukakan oleh Nurjana dalam Wahyudi (2015) “Konflik adalah suatu situasi proses, yaitu proses interaksi antara dua atau lebih indvidu atau kelompok, dalam memperebutkan objek yang sama, demi kepentinggannya.

Konflik dan integrasi berjalan sebagai sebuah sirkus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik. Konflik merupakan warisan kehidupan sosial yang boleh berlaku dalam berbagai keadaan akibat dari pada berbangkitnya keadaan ketidak setujuan, kontroversi dan pertentangan diantara dua pihak atau lebih secara berterusan. Menurut Kilman dan Thomas dalam Wahyudi, (2015), konflik merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang ingin dicapai, baik yang ada dalam diri individu maupun dalam hubungannya dengan orang lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat mengganggu bahkan menghambat tercapainya emosi atau stres yang mempengaruhi efisiensi dan produktivitas kerja Wiyono dalam Wahyudi, (2015)

(26)

Lebih jauh lagi misalnya seperti apa yang di kemukakan oleh Wood, Walace, Zeffane, Schermerhom, Hunt dan Osbon, (2010) konflik (dalam ruang lingkup organisasi) adalah:

a. Timbul pertentangan antara dua pihak secara perorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memainkan peran dan ambigius atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.

b. Munculnya interaksi yang sering ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi dan menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti: status, jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik: sandang-pangan, materi dan keejahteraan atau tunjangan-tunjangan tertentu: mobil, rumah, bonu, atau pemenuhan kebutuhan sosio-psikologis seperti: rasa aman, kepercayaan diri, kasih, penghargaan dan aktualisasi diri.

c. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat pertentangan yang berlarut-larut.

d. Munculnya ketidakseimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, pretise dan sebagainya.

Meskipun makna yang diperoleh definisi itu berbeda-beda, beberapa tema umum mendasari sebagian besar dari konflik tersebut. Konflik harus disarankan oleh pihak-pihak yang terlibat, apakah konflik itu ada atau tidak ada merupakan persoalan persepsi, jika tidak ada yang menyadari akan adanya konflik, secara umum lalu disepakati konflik tidak ada. Kesamaan lain

(27)

dari definisi-definisi tersebut adalah pertentangan atau ketidakselarasan dan bentuk-bentuk interakis, beberapa faktor ini menjadi kondisi yang merupakan titik awal proses konflik.

Berdasarkan definisi dari para ahli, untuk sementara dapat kita simpulkan bahwa konflik terjadi karena adanya kontroversi atau pertentangan antara kedua belah pihak atau lebih atau juga antara individu atau kelompok yang saling bergantung untuk merasakan adanya suatu tujuan yang saling bertentangan dan saling mengganggu satu sama lain dalam mencapai suatu tujuan.

3. Agraria dan Pertanahan

Secara etimologis kata agraria berasal dari bahasa Latin ager yang artinya sebidang lahan (bahasa Inggris acre), lapangan atau pedusunan. Kata bahasa Latin agrarius meliputi arti: yang ada hubungannya dengan tanah; pembagian atas tanah terutama tanah-tanah umum; bersifat rural (Wiradi, 1984). Agraria merupakan hal-hal yang terkait dengan pembagian, peruntukan, dan pemilikan lahan.

Agraria sering pula disamakan dengan pertanahan. Dalam banyak hal, agraria berhubungan erat dengan pertanian (dalam pengertian luas, agrikultur), karna pada awalnya, keagrariaan muncul karna terkait dengan pengelolaan lahan. (https://id.wikipedia.org/wiki/Agraria). Kata agraria mempunyai arti yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan bahasa yang lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kataager dan agrarius. Kata ager berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata

(28)

agrarius mempunyai arti sama dengan perladangan, persawahan, pertanian. Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti urusan tanah pertanian, perkebunan. Sedangkan bahasa Inggris kata agraria diartikan agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanahan.

Agraria dalam UUPA menganut arti luas yaitu, bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Batasan agraria dalam arti luas yang dianut dalam UUPA bermakna bahwa pengaturan/hukum mengenai agraria dan tidak hanya mengatur satu bidang hukum saja, tapi merupakan kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-masingnya berkaitan dengan penguasaan sumber daya alam, diantaranya mencakup tanah, kehutanan, perkebunan, air dan sumber daya alam lainnya, Harsono (1999).

Tanah adalah karunia dari Tuhan Yang Maha Esa kepada umat manusia di muka bumi. Tanah menjadi kebutuhan dasar manusia, sejak lahir sampai meninggal dunia, manusia membutuhkan tanah untuk tempat tinggal dan sumber kehidupan.Tanah merupakan salah satu kebutuhan manusia yang sangat absolute dan vital. Artinya kehidupan manusia di pengaruhi dan di tentukan oleh eksistensi tanah. Hartanto (2015). Sebutan "tanah" dalam bahasan ini dapat dipahami dengan berbagai arti, maka penggunaannya perlu diberi batasan agar diketahui dalam arti apa istilah tersebut digunakan. Dalam hukum tanah sebutan istilah "tanah" dipakai dalam arti yuridis, sebagai suatu pengertian yang telah diberi batasan resmi oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).

(29)

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) dinyatakan bahwa; "Atas dasar hak menguasai dari Negara, ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah yang dapat diberikan dan dipunyai oleh orang-orang.". Tanah dalam pengertian yuridis mencakup permukaan bumi sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Ayat(1) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hak tanah mencakup hak atas sebagian tertentu yang berbatas di permukaan bumi. Tanah diberikan kepada dan dipunyai oleh orang dengan hak-hak yang disediakan oleh Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) untuk digunakan atau dimanfaatkan.

Diberikannya dan dipunyai tanah dengan hak-hak tersebut tidak akan bermakna jika penggunaannya terbatas hanya pada tanah sebagai permukaan bumi saja, untuk keperluan apa pun tidak bisa tidak, pasti diperlukan juga penggunaan sebagai tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang angkasa yang ada di permukaan bumi. Oleh karena itu, dalam Pasal 4 Ayat (2) Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), dinyatakan bahwa hak-hak atas tanah bukan hanya memberikan wewenang untuk menggunakan sebagian tertentu permukaan bumi yang bersangkutan yang disebut "tanah", tetapi juga tubuh bumi yang ada di bawahnya dan air serta ruang angkasa yang ada di atasnya, dengan demikian yang dipunyai dengan hak atas tanah adalah tanahnya, dalam arti sebagian tertentu dari permukaan bumi, tetapi wewenang menggunakan yang bersumber dengan hak tersebut diperluas hingga meliputi

(30)

juga penggunaan sebagian tubuh bumi yang ada di bawah tanah, air serta ruang yang ada di atasnya, Harsono, (2002: 18).

4. Konflik Agraria

Dalam masyarakat agraris tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber penghidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Tanah mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi dan politik, serta mencerminkan hubungan dan klasifikasi sosial, Falsafah Jawa sadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi pati menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia dengan tanah yang dimilikinya. Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga.

Konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi selama tanah masih menjadi sumber kehidupan masyarakat. Menurut Wiradi (2000), konflik agraria sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antar dua orang/kelompok atau lebih yang masing-masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama seperti tanah, air, tanaman, tambang, udara yang berada di atas tanah yang besangkutan.

Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga nilai filosofis, sosial, cultural dan eklogis. Tak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit.

(31)

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masyarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi.

Konflik pertanahan di Indonesia merupakan puncak gunung es dari berbagai masalah agraria yang menyejarah sejak zaman kolonial Belanda dan tidak terselesaikan secara mendasar sampai pada saat ini. Masalah pertanahan di Indonesia tidak bisa di tangani dan diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum saja, melainkan dengan pendekatan holistik (komperhensif) seperti politik, sosial budaya, ekonomi (kesejahteraan) dan ekologi. Yang tidak kalah penting adalah penanganan dan penyelesaian konflik dilapangan harus didukung oleh kelembagaan pertanahan yang kuat dan berwibawa, koordinasi antar instansi pemerintah yang efektif, administrasi pertanahan yang berbasis teknologi dan penerapan prinsip-prinsip good government good governance, manajemen konflik yang efektif efisien, strategi penanganan dan penyelesaian yang cepat, tepat dan efektif ditopang sumber daya manusia yang handal dengan kemampuan terlatih, baik di pusat maupun di daerah. Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri

(32)

Negara kemudian merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi filosofis substansial didalam Konstitusi Pasal 33 ayat (3) Undangundang dasar 1945 sebagai berikut : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat”

Masalah pertanahan muncul ketika kewenangan (hak menguasai negara) diperhadapkan dengan hak asasi warga negara, khususnya hak milik individu dan hak komunal (tanah ulayat). Mencermati konflik pertanahan di Indonesia yang terus meningkat, akar masalahnya terletak pada benturan antara Hak Menguasai Negara (HMN) dengan Hak Asasi Warga Negara yang memiliki kewenangan tunggal yang sangat besar untuk mengelolah pembagian, penguasaan, pemanfaatan dan peruntukkan tanah harus berhadapan dengan hak hak asasi yang melekat pada rakyatnya sendiri.

Sengketa konflik pertanahan yang semakin semarak dan kompleks belakangan ini terlihat sangat jelas. Konflik agraria merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi sebagai bagian atau cara dari pengaruh kebijakan yang diberlakukan pemerintah. Ada tiga kelompok yang biasanya tercakup dalam masalah agraria, yaitu pemerintah, pengusaha, (perusahaan swasta dan negara), dan masyarakat. Sitorus dan Wiradi, (1999). Menurut Christodoulou dalam Astuti (2008:53), Konflik agraria adalah konflik yang berhubungan dengan pengontrolan sumber-sumber agraria. Konflik agraria menurut Christoulou biasanya melibatkan masyarakat, pemerintah, dan bisnis yang kesemuanya memperebutkan sumber-sumber agraria. Masyarakat melakukan perlawanan terhadap negara dan bisnis

(33)

untuk menuntut apa yang menurut mereka adalah haknya. Sedangkan negara dan pengusaha juga berusaha melakukan perlawanan dan penekanan terhadap masyarakat untuk mempertahankan hak-haknya atas sumber-sumber agraria, dimana keduanya pada umumnya memiliki bukti-bukti yuridis.

Menyoal konflik agrarian di Negara ini bukanlah suatu yang baru, dalam tinjauan sejarah misalnya seperti yang diungkapkan Suhendar (1996) bahwa setidaknya konflik agraria di Indonesia telah terjadi dalam empat periode yakni :

Periode pertama. 1870, periode ini di tandai dengan keluarnya Undang-Undang Agraria 1870 oleh pemerintah Hindia Belanda yang secara jelas berusaha menarik investasi asing dengan memberikan kemudahan mengakses tanah dengan fasilitas selama 75 tahun kepada investor swasta. Hal ini memicu gelombang penolakan dari masyarakat baik dari kelompok elit (kelas bangsawan) maupun masyarat biasa. Konflik agraria pada masa ini, menurut Scott dalam Suhendar (1996) pada akhirnya berkembang dari hanya sekedar respon masyarakat terhadap pengambil alihan lahan secara paksa oleh pihak perkebunan dan atau pemerintah Hindia Belanda, sampai pada area psikologi dan sosiologis yang dalam yakni perwujudan eksistensi masyarakat terhadap berbagai pemerasan dan penghisapan yang berlebihan baik yang dilakukan oleh aparat Kolonia, pemilik modal maupun kerja sama antar keduanya. Perlawanan ini bertumpu pada subsistensi petani yang terganggu oleh berbagai aturan Kolonial yang memberatkan mereka.

Kedua, periode 1967 - 1973.Periode ini disebut oleh Suhendar sebagai periode eksploitasi, yang ditandai dengan “dibekukannya” Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Wiradi (2008) meyebut, ada dua faktor yang menjadi penyebab

(34)

utama pembekuan tersebut. Pertama kondisi objektif yang berupa situasi yang rawan (dilihat dari segi politik dan keamanan) dalam masa setelah kejadian politik tahun 1965. Kedua, adanya pergeseran pendekatan kebijakan pembangunan pasca runtuhnya orde lama dan lahirnya pemerintahan orde baru dari kebijakan yang populis (pro rakyat) menjadi kebijakan yang berpihak pemilik modalatau sering disebut sebagai “developmentalisme”.

Sejak Soeharto dan orde baru (1966) berkuasa ada begitu banyak produk undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang pokok agraria bahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Berbagai produk yang menegasikan Undang-Undang pokok agraria ini menurut Husken, (1998.), terjadi semata-mata untuk mendukung dan memberikan ruang pada investasi skala besar yang notabene adalah anak kandung developmentalisme.

Melalui Undang-undang Penaman Modal Asing (Undang-undang No.1/1967) dan Penamaman Modal Dalam Negeri (Undang-Undang No.6/1968) misalnya pemerintah memberikan kewenangan pada perusahan-perusahaan asing maupun dalam negeri untuk melakukan ekploitasi pada sumberdaya alam Indonesia, serta menyokong usaha-usaha modal besar tersebut untuk mencerabut petani dari tanah, dengan memanfaatkan tidak adanya jaminan hukum positif pada petani atas tanah yang mereka kuasai. Kelompok-kelompok baik petani atau pun di luar petani yang menentang kebijakan tersebut dicap sebagai kelompok makar, suversif, neokomunisme, leninisme kemudian dikriminalisasi, dipenjara, bahkan ada sebagain darimereka yang di tembak mati.

(35)

Ketiga, periode 1973-1983. Periode ini disebut sebagai periode peningkatan produktivitas tanpa penataan struktur kepemilikan tanah. Untuk mencapai swasembada pangan pada periode 1973-1983 Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan revolusi hijau, namun tidak diikuti dengan rekstrukrisasi kepemilikan tanah seperti amanat Undang-Undang Pokok Agraria No 5/1960, sehingga terjadi akumulasi penguasa tanah pertanian di pedesaan.

Suhendar menyatakan, kepemilikan tanah pada segelintir orang berdampak pada semakin massifnya potensi konflik agraria, dalam 50 tahun setelah Undang-Undang pokok agraria badan pertanahan nasional menginventaris lebih dari 7.491 sengketa lahan di seluruh Indonesia yang menelan korban lebih dari 1.000.000 orang. Hal senada diungkapkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik agraria yang bersifat struktural pada tahun 2001 saja mencapai 1753 dan terjadi di 2834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di286 daerah Kabupaten/Kota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha, dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.

Dari keseluruhan konflik tersebut, garis besarnya adalah: 344 kasus (19.6%) terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar termasuk di dalamnya PTPN. 243 kasus (13.9%) dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 232 kasus(13.2%) akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 141 kasus (8.0%) merupakan konflik tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi;115 kasus (6.6%) merupakan konflik akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 77 kasus (4.4%) konflik akibat pembangunan

(36)

bendungan (largedams) dan sarana pengairan; dan 73 kasus (4.2%) adalah konflik yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf.

Keempat periode 1983-2000, yaitu periode dimana pemerintah melakukan deregulasi terhadap peraturan Perundang-Undangan yang dianggap menghambat perolehan tanah untuk kepentingan investasi. Dengan mengeluarkan Undang-Undang No 18/2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang-Undang-Undang No 25/2007 tentang Penanaman modal, Undang No 22/2001 Tentang Migas Serta Undang-Undang No41/1999 Tentang Ketentuan Pokok Kehutanan.

Empat periode ini menurut Suhendar memiliki roh yang sama yakni demi dan atas nama keuntungan yang maksimal pada negara (berupa devisa dan pertumbuhan ekonomi) pemerintah memberikan ruang yang sangat terbuka bagi investasi untuk mengakses dan mengeksploitasi tanah dan kekayaan yang terkandung didalam, kemudian disisi yang lain mereduksi petani dari asset produksi.

Menurut Sitorus dalam Suhendar (1996) Mengidentifikasi paling tidak ada lima faktor yang mempengaruhi eskalasi konflik agraria;

3. Pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata.

4. Ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan nonpertanian.

5. Tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah (wong cilik).

(37)

7. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam proses pembebasan tanah.

Secara garis besar peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu; a). Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang diterlantarkan dan lain-lain; b). Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan landreform; c). Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan; d). Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; e). Masalah yang berkenaan dengan Hak Ulayat masyarakat hukum adat. Meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru.

Tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata melainkan juga sebagai alat ekonomi. Sekarang ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat komoditi perdagangan yang dapat diperjualbelikan meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru, tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata melainkan juga sebagai alat ekonomi. sekarang ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat komoditi perdagangan yang dapat diperjualbelikan seperti apa yang kemudian di ungkapkan oleh Marzuki dalam Suhendar (1996) dari dekade 1980-hingga akhir orde baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa.

(38)

Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian orde baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan melindung kepentingan rakyat yang sedang berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rakyat melindungi pemilik modal.

5. Hubungan Masyarakat dan Investor

Dalam dunia keuangan Investor adalah orang perorangan atau lembaga baik domestik atau non domestik yang melakukan suatu investasi (bentuk penanaman modal sesuai dengan jenis investasi yang dipilihnya, baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. Terkadang istilah "investor" ini juga digunakan untuk menyebutkan seseorang yang melakukan pembelian properti, mata uang, komoditi derivatif, saham perusahaan, ataupun aset lainnya dengan suatu tujuan untuk memperoleh keuntungan dan bukan merupakan profesinya serta hanya untuk suatu jangka pendek saja. (https://id.wikipedia.org/wiki/Investor).

Dari kutipan pernyataan diatas maka untuk sementara dapat kita simpulkan bahwa investor adalah orang atau pelaku dalam hal ini baik itu lembaga atau organisasi yang melakukan penanaman modal atau investasi. Sementara Investasi bisanya berkaitan dengan berbagai aktifitas. Teori ekonomi mengartikan atau

(39)

mendefenisikan investasi, sebagai pengeluaran untuk membeli barang-barang modal dan peralatan- peralatan produksi dengan tujuan untuk mengganti dan terutama menambah barang-barang dan jasa di masa depan. Menginvestasikan sejumlah dana pada aset real seperti tanah, emas, mein atau bangunan maupun aset finansial deposito, saham atau obligasi merupakan aktifitas investasi. Menurut Wood, Walace dan Tadelilin, (2010). Investasi adalah komitmen atas sejumlah dana atau sumberdaya lainnya yang di lakukan pada saat ini dengan tujuan memperoleh keuntungan dimasa mendatang. Sementara menurut Malinda dalam Chandra, (2009), bahwa investasi merupakan bentuk penundaan konsumsi masa sekarang untuk memperoleh konsumsi di masa yang akan datang, dimana di dalamnya terkandung unsur resiko ketidak pastian, sehingga di butuhkan konpensasi atas penundaan tersebut.

Investasi merupakan penanaman modal untuk satu atau lebih aktifitas yang di dan biasanya berjangka waktu lama dengan harapan mendapatkan keuntungan di masa yang akan datang. Sunariah dalam Sodik dan Nuryadin (2005).

Dalam tinjauan teori ekonomi di sepakati bahwa investasi merupakan suatu aktifitas berupa penanaman modal dengan tujuan memperoleh keuntungan. Investasi disepakati menjadi salahsatu kata kunci dalam setiap pembicaraan tentang konsep ekonomi. Wacana pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerjabaru, serta penanggulangan kemiskinan pada akhirnya menempatkan investasi sebagai pendorong utama mengingat perekonomian yang digerakkan oleh konsumsi diakui amat rapuh terutama sejak 1997. Dalam teori neo-klasik dikemukakan untuk

(40)

membangun kinerja perekonomian suatu negara maka dibutuhkan akumulasi kapital. Kuncoro,(2000).

Negara berkembang lebih memerlukan investasi terutama asing karena pada umumnya tingkat tabungan domestik rendah. Sadli, (2002). Maka tidak heran apa bila indonesia sebagai negara berkembang kemudian di banjiri oleh investor asing yang tersebar di berbagai daerah tidak terkecuali Manggarai Barat.

Semenjak di nobatkan sebagai salah satu daerah destinasi pariwisata prioritas nasional banyak investor asing maupun lokal yang kemudian berupaya memanfaatkan kesempatan ini, melalui pemerintah dengan dalil percepatan pembangunan dan kemakmuran rakyat, pemerintah dengan tangan terbuka memberi ruang gerak yang bebas bagi investor untuk menanam modal di Manggarai Barat. Seperti pernyataan Bupati Manggarai Barat di salah satu media nasional dalam rilisnya“Bupati Manggarai Barat terpilih Agustinus Ch Dula mengatakan pada tahun pertama masa jabatannya akan lebih fokus membangun dan mengembangkan potensi pariwisata yang dimiliki kabupaten tersebut. "Saya tidak ingin berjanji yang muluk-muluk, saya ingin mengembangkan potensi pariwisata yang ada di Kabupaten yang saya pimpin," katanya kepada wartawan.

Agustinus mengatakan saat ini banyak investor sudah menanamkan modalnya di Manggarai Barat untuk membangun sejumlah daerah pariwisata yang diharapkan membantu peningkatan kesejahteraan masyarakat Manggarai Barat. Oleh karena itu, menurut Agustinus, untuk membantu dan memberikan kenyamanan kepada para investor, dirinya bertekad membantu menjaga situasi dan kondisi di Manggarai Barat yang aman dan kondusif. Kami juga memberikan

(41)

kesempatan kepada para investor untuk datang dan menanamkan modalnya dalam bidang pariwisata”, ujarnya. Agustinus mengakui untuk menumbuhkembangkan potensi pariwisata di Manggarai Barat perlu peran pihak swasta. Kalau hanya berharap dari pemerintah akan berjalan lambat, namun jika ditangani oleh investor maka akan berjalan lebih lancar."Manggarai Barat membutuhkan investor yang bisa membantu mempromosikan pariwisata." (Kompas.com. Manggarai Barat fokus Bangun pariwisata, 18.02.016, 11:38 WIB).

Rencana pembangunan sektor pariwisata yang masif tersebut mengimpili-kasikan dua hal. Pertama, pembangunan itu akan memperparah pencaplokan atau pengambilalihan penguasaan dan kontrol atas sumber daya publik seperti air, laut, pulau-pulau, pesisir, pantai, dan tanah di Labuan Bajo, faktanya bahwa Sudah cukup lama masyarakat Manggarai Barat bergumul dengan persoalan-persoalan pencaplokan sumber daya terkait dengan turisme dan pembangunan pada umumnya; di mana masyarakat setempat terancam kehilangan kepemilikan, akses dan manfaat dari sumber daya seperti tanah, air, pantai/kawasan pesisir, ekosistem laut, dan lahan pertanian. Pencaplokan itu tidak semata-mata terjadi lewat kekerasan dan pemaksaan, tetapi lewat klaim-klaim kepemilikan, jual beli, dan lewat pengaturan hukum, dan privatisasi sumber daya publik. Seperti pernyataan salah satu media dalam rilisnya bahwa “Investor asing saat ini menguasai sejumlah pulau kecil di Kabupaten Manggarai Barat, ujung barat Pulau Flores.

Selain investor asing, para investor dalam negeri yang melakukan kegiatan investasi di wilayah pesisir Manggarai Barat juga akan di tertibkan” (Antara. Com.

(42)

Gubernur NTT akan melakukan penertiban terhadap investor asing, Jumat, 9 Sepember 2016 | 11:45 WIB)

Sengketa lahan di Kabupaten Manggarai Barat bukan hanya seketa yang bersifat hukum perdata bahkan dalam beberapa kasus sudah mengarah pada sengketa perdata, dan menimbulkan korban jiwa salah satunya yang di kutip dalam salah satu media Nasional bahwa“Sengketa lahan antar warga Manggarai dan Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur di Desa Tanjung Boleng, Kecamatan Boleng, Manggarai Barat menyebabkan dua warga Desa Pong La'o, Kecamatan Ruteng, Manggarai tewas. Korban meninggal setelah ditebas parang oleh sekelompok orang tak dikenal saat sedang membersihkan lahan, Selasa, 17 Januari 2017. Korban tewas ialah Donatus, 50 tahun dan Aloysius, 45 tahun. Keduanya bekerja sebagai buruh harian untuk merapikan lahan mlik seorang warga asal Makasar, Sulawesi Selatan, yang berada di Kampung Rangko.” (Tempo. Com. Konflik lahan di Manggarai Barat, 2 orang di bunuh, 18 Januari 2017. 06:09 WIB). Saat ini bentang tanah di Kota Labuan Bajo sepanjang 30 kilometer sudah berpindah tangan ke investor. Termasuk para artis pun mulai berinvestasi di Labuan Bajo, mulai pesisir Pantai Rangko di Kecamatan Boleng hingga Warloka di Kecamatan Komodo.

Tidak ada patokan harga jual tanah di sana. Semua tergantung tawar-menawar antara penjual dan pembeli. Menurut pernyataan salah satu media Lokal “ Harga paling murah biasanya Rp 400 ribu per meter persegi hingga Rp1 juta per meter persegi. Siapa saja pemilik lahan strategis di Labuan Bajo? Ada Eden Beach milik warga Prancis, Sylvia Hotel dan Wae Cicu Beach dari Indonesia, kemudian

(43)

ada enam hotel dikuasai warga Inggris yakni La Prima, New Badjo Beach, Puri Sari, Bintang Flores, Jayakarta, dan Komodo Eco Lodge. Tidak ketinggalan ada tiga pulau yang disewakan ke orang asing seperti Pulau Bidadari dikelola Ernest Lewandowski sejak 2001 dengan nilai investasi US$382,2 juta. Kemudian pulau Kanawa dikelola investor Italia bernama Stefano Plaza pada 2010. Di pulau tersebut dibangun hotel dan restoran dengan nilai investasi US$35 juta. Begitu pula Pulau Sebayur dikelola warga Italia bernama Ed sejak 2009 dengan nilai investasi US$2,5 juta.

Ada pula investor asal Belanda yang kini membuka jasa wisata tirta di Pulau Rinca dan Komodo. Selain itu, masih ada resor-resor megah yang kini sedang dalam tahap penyelesaian pembangunan, ditambah puluhan hotel melati, homestay, dan restoran yang tersebar di dalam kota hingga punggung Bukit Waringin. Tenaga kerja lokal yang direkrut mendapat gaji sesuai upah minimum Rp 1.050.000 per bulan. “Masih banyak investor yang sudah berniat menanamkan modal mereka di usaha pariwisata. Mereka baru sampai pada tahap membeli tanah,” kata Kepala Kantor Penanaman Modal Manggarai Barat Bernadus Ndandur. dan di tangan orang asing. Sama halnya pembangunan pariwisata di Bali. Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia Manggarai Barat Silvester Wanggel membenarkan terjadi aksi beli tanah luar biasa tinggi di Kota Labuan Bajo” (Lensa. NTT. Cengkraman Asing di Labuan Bajo, Jumat, 22 November, 2013. 01:38)P

Hadirnya Investor boleh terbukti mendorong pertumbuhan ekonomi, namun gagal meningkatkan kualitas hidup masyarakat secara umum, kebijakan yang tidak subtantif dalam konteks memberikan ruang gerak yang bebas bagi investor untuk

(44)

mengakses sumberdaya publik dalam hal ini tanah memicu kemarahan dan perlawanan dari masyarakat dan meningalkan jejak ketimpangan dan ketidak adilan sosial.

6. Kebutuhan Akan Pertanahan

Lahan atau kawasan yang terdiri dari air dan udara, merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia sebab setiap orang memerlukan lahan atau kawasan (tanah, air dan udara) untuk kehidupannya. Luas lahan atau kawasan yang tersedia dan bisa dimanfaatkan manusia sangat terbatas, sedangkan jumlah manusia yang memerlukan lahan atau kawasan semakin bertambah untuk berbagai keperluan. Terkait pemanfaatan lahan atau kawasan sebagian akhli mengatakan di dunia ini lahan yang dapat dihuni manusia sekita 1/3 dari luas dunia, dan hanya sekitar 1/3 dari luas tersebut yang dapat dihuni. Oleh karena itu semakin lama terasa seolah-olah lahan atau kawasan (tanah, air dan udara) itu menjadi semakin sempit. Ketidakseimbangan antara persediaan lahan atau kawasan dengan kebutuhan, maka banyak menimbulkan berbagai persoalan yang semakin komplek.

Tanah merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan bagi kehidupan manusia dalam mencukupi segala kebutuhannya. Dari awal manusia lahir di dunia sampaimanusia meninggal dunia untuk disemayamkan. Hal ini menjadi amat penting bagi manusia disebabkan karena tanah sebagai tempat bermukim, untuk berkembangnya tumbuhan dan hewan yang bisa dimanfaatkan manusia, juga tempat manusia melakukan kegiatan dalam mensejahterahkan hidupnya dan serta sebagai tempat dikebumikannya

(45)

manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan manusia sangat bergantung terhadap sumber daya alam yang satu ini. Sumber daya alam dalam bidang tanah yang sangat terbatas ketersediannya yang tidak sebanding dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan tanah tersebut, maka perlu adanya campur tangan dari Pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah agar sesuai dengan peruntukannya sehingga menciptakan pembangunan yang efisien serta berkelanjutan.Pemerintah Indonesia membuat peraturan mengenai tata guna tanah yang diamanatkan dalam Konstitusi Negara Indonesia yang terdapat pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat”. Akan tetapi seringkali dalam pelaksanaan tata guna tanah yang harusnya di peruntukkan demi kemakmuran rakyat Indonesia justru jauh dari apa yang telah di cita – citakan oleh konstitusi tersebut. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketertiban mengenai penggunaan tataguna tanah demiterciptanya keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah

(46)

di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik. Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik.

(47)

Beberapa ahli seperti Singarimbun dan Penny (1983) mengatakan bahwa hampir setiap aspek kehidupan petani akan dipengaruhi oleh akses mereka terhadap tanah tersebut. Dalam kaitannya dengan aspek politik dikatakan bahwa dinamika penguasaan tanah di daerah pedesaan dapat menjadi barometer baik harmonis ataupun ketegangan sosial politik ditingkat lokal. Begitu juga menurut Karsono (2008) menurutnya tanah masih merupakan faktor penting dalam perekonomian pedesaan. Luas penguasaan lahan mempengaruhi besarnya pendapatan rumah tangga petani tersebut. Dengan semakin pentingnya tanah tersebut untuk dijadikan lahan pertanian memunculkan berbagai macam persoalan seperti konflik akibat perampasan ruang.

Disamping kegiatan pertanian memerlukan tanah, pertambahan penduduk akan menyebabkan timbulnya kecendrungan semakin berkurangnya tanah untuk digarap, sehingga akan menimbulkan permasalahan-permasalahan dibidang sosial dan sebagainya. Seperti di Jawa dikenal dengan istilah kemiskinan bersama oleh Geertz Celifford, (1976) yang disebabkan pertambahan penduduk yang tinggi sedangkan luas lahan tetap.

Di kabupaten Manggarai Barat sendiri, ada ironi yang tengah berlangsung hingga saat ini?

Karut marut pengelolaan pulau dan kawasan pesisir di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo masih menjadi persoalan yang serius belakangan ini. Latarnya beragam, mulai dari sengkarut managemen

(48)

pengelolaan sampai pada proses peminggiran masyarakat lokal dalam kawasan dan sekitarnya. Dari antara semua soal tersebut beberapa hal yang menguat belakangan ini adalah perihal jual beli pulau, pengklaiman orangpribadi atas tanah dan pulau dalam kawasan TNK dan sekitarnya serta proses perizinan pengelolaan sebagian lahan dalam kawasan yang terkesan ditutup-tutupi. Dalam catatan ini kami sertakan empat fakta sebagai contoh kasus, menyusul beberapa pokok analisis yang dapat dijadikan sebagai refrensi kajian lebih lanjut. Dalam logika sederhana, pembangunan semestinya didesain, diputuskan, dan dikerjakan dengan melibatkan publik untuk memenuhi kebutuhan publik. Namun, rencana pengelolaan Pantai Pede lebih banyak didesain dan diputuskan oleh Pemerintah Provinsi NTT (melalui privatisasi yang dilakukan PT SIM) dan kini difasilitasi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Rakyat Manggarai Barat yang juga adalah rakyat NTT, dalam banyak cara “dipaksakan” untuk menerima semuanya dengan dalih bahwa pembangunan untuk kesejahteraan rakyat, dalam kenyataan ini, pemerintah dan kaki tangannya menjadi subjek dan rakyat “dipaksa” menjadi objek saja.

Sejak awal, mulai tahun 2012, rencana privatisasi Pantai Pede dengan seluruh dalilnya sudah ditentang masyarakat sipil Labuan Bajo. Memang di tahun 2016, rencana pembangunan hotel berbintang di Pantai Pede itu kemudian dimodifikasi menjadi taman rekreasi dan jasa publik berbayar agar memberi kesan bahwa tuntutan publik diakomodasi. Namun tetap saja logika di balik modifikasi itu adalah privatisasi. Tidak heran, rencana itu tetap

(49)

ditolak. Dan hingga kini, gelombang penolakan itu bahkan makin meluas.Semua itu adalah bentuk-bentuk pernyataan kehendak dan aspirasi rakyat terhadap posisinya dalam pembangunan. Rakyat ingin terlibat dan mengawal proses-proses pembangunan untuk memastikan bahwa pembangunan itu memang sungguh-sungguh menjawab kebutuhannya. Rakyat ingin menjadi subjek, bukan objek. Namun, meski rakyat sudah menyatakan protes publik terhadap rencana privatisasi itu lewat berbagai cara dan media, Pemerintah Provinsi NTT juga melalui berbagai cara tetap saja memaksakan privatisasi itu. Pembangunan fisik oleh PT SIM yang kini sedang berlangsung di Pantai Pede adalah buktinya. Dinamika ini kemudian memperjelas posisi pemerintah yang tidak ingin agar rakyat menjadi subjek bersama dalam mendesain dan memutuskan model pembangunan macam apa yang benar-benar menjawab kebutuhan rakyat. Dan dalam pertentangan ini, Pantai Pede adalah sebuah contoh pertaruhan sosial terhadap posisi rakyat dalam seluruh proses pembangunan yang sedang dan akan berlangsung dengan sangat masif di Manggarai Barat.

7. Landasan Teori Sosiologis

Dalam penelitian ini digunakan sebuah pendekatan teori dari tokoh sosiologis kedua teori tersebut di buat oleh Karl Marx, teori yang digunakan adalah teori konflik sosial yang di kemukakan oleh Karl Marx yang menekankan bahwa teori konflik muncul sebagai reaksi dari munculnya teori struktural fungsional Pemikiran yang paling berpengaruh atau menjadi dasar dari teori konflik ini adalah pemikiran Kalr Marx Pada tahun 1950-an dan

(50)

1960-an, teori konflik mulai merebak. Teori konflik menyediakan alternatif terhadap teori struktural fungsional. Teori struktural fungsional ini adalah sebuah sudut pandang luas dalam sosiologi yang berupaya menafsirkan masyarakat sebagai sebuah struktur dengan bagian-bagian yang saling berhubungan, Soyomukti (2010). Pada saat itu Marx mengajukan konsepsi mendasar tentang masyarakat kelas dan perjuangannya. Marx tidak mendefinisikan kelas secara panjang lebar tetapi ia menunjukkan bahwa dalam masyarakat, pada abad ke- 19 di Eropa di mana dia hidup, terdiri dari kelas pemilik modal (borjuis) dan kelas pekerja miskin sebagai kelas ploretar. Pendekatan teori kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemikir sosial Jerman yaitu Max Weber yang mungkin adalah orang yang di zamannya paling merasa tertantang oleh determinisme ekonomi Marx yang memandang segala sesuatu dari sisi politik ekonomi. Berbeda dengan Marx, Weber dalam karya-karyanya menyentuh secara luas ekonomi, sosiologi, politik, dan sejarah teori sosial. Weber menggabungkan berbagai spektrum daerah penelitiannya tersebut untuk membuktikan bahwa sebab-akibat dalam konflik sosial tak selamanya didasarkan atas motif-motif ekonomi belaka. Weber berhasil menunjukkan bahwa ide-ide religius dan etis justru memiliki pengaruh yang sangat besar dalam proses pematangan kapitalisme di tengah masyarakat Eropa, sementara kapitalisme agak sulit mematangkan diri di dunia bagian timur oleh karena perbedaan religi dan filosofi hidup dengan yang di barat lebih dari pada sekadar faktor-faktor kegelisahan ekonomi atas

(51)

penguasaan modal sekelompok orang yang lebih kaya. Kegelisahan teoretis yang sama, bahwa marxisme

B. Kerangka Pikir

Kerangka Pikir yang di arahkan dalam penelitian ini adalah bahwa tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber penghidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Tanah mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi dan politik, serta mencerminkan hubungan dan klasifikasi sosial. konflik agraria yang terjadi di Kabupaten Manggarai Barat tidak terjadi begitu saja, semenjak Kabupaten Manggarai Barat di menjadi salah satu destinasi wisata prioritas nasional banyak investor asing maupun lokal yang berdatangan untuk menanamkan modalnya dalam bidang pariwisata, atas nama percepatan pembangunan, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat pemerintah dengan tangan terbuka memberikan ruang gerak yang bebas bagi para investor yang ingin menanamkan modalnya, akibatnya akses masyarakat terhadap sumberdaya dan ruang publik menjadi terbatas, kehadiran investor di anggap gagal dan tidak mampu menjawab kebutuhan masyarakat lokal dalam hal kesejahteraan sosial, pencaplokan dan klaim hak milik atas tanah oleh investor menimbulkan gesekan di masyarakat baik itu antara masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan pemangku kebijakan maupun masyarakat dengan investor dan muaranya terjadi konflik sosial agraria.

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir

(52)

BAB III

METODE PENELITIAN

C. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Metode penelitian kualitatif sering disebut metode penelitian naturalistik karena penelitiannya yang dilakukan pada setting dan objek alamiah (Sugiyono. 2012).

Penelitian kualitatif dipilih karena fenomena yang di teliti perlu pengamatan terbuka dan lebih mudah berhadapan dengan realitas, kedekatan emosional antara peneliti dan responden sehingga didapatkan data yang mendalam. Penelitian

Masyarakat Lokal Tanah Milik Negara Konflik Sosial Investor Calo Tanah

(53)

kualitatif memiliki tujuan untuk mengeksplorasi kekhasan pengalaman seseorang ketika mengalami suatu fenomena sehingga fenomena tersebut dapat dibuka dan sehingga dicapai suatu pemahaman yang ada.

D. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilaksanakan di Wilayah Labuan Bajo Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai Barat Flores, Nusa Tenggara Timur.

E. Fokus Penelitian

Fokus dalam penelitian ini adalah konflik sosial agraria pada kasus jual beli tanah antara masyarakat dan investor di Kabupaten Manggarai Barat. Guna mendalami fokus tersebut, penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif.

F. Teknik Penentuan Informan Penelitian

Informan dalam penelitian adalah orang atau pelaku yang benar-benar tahu dan menguasai masalah, sertater libat lansung dengan masalah penelitian. Dengan mengunakan metode penelitian kualitatif, maka peneliti sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor kontekstual, jadi dalam hal ini sampling dijaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai sumber.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik purposive sampling. Purposive sampling adalah teknik pengambilan sample sumber data dengan pertimbangan tertentu (Sugiyono 2016: 218-219). Seperti yang dijelaskan oleh Lincoln dan Guba (1985) dalam buku Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D yang ditulis oleh Sugiyono (2016), teknik purposive sampling memiliki beberapa ciri atau karakteristik diantaranya:

(54)

2. Serial selection of sample units / menggelinding seperti bola salju (snowball). 3. Continous adjustment or ‘focusing’ of the sample / disesuaikan dengan

kebutuhan.

4. Selection to the point of redundancy / dipilih sampai jenuh.

Dengan teknik ini peneliti memilih informan yang sudah ditentukan kriterianya dan dianggap mampu memberikan informasi paling lengkap kepada peneliti dalam hal memenuhi data penelitian. Peneliti memilih informan sesuai kebutuhan dan ketika informasi yang didapatkan sudah jenuh atau tidak didapatkan pembaruan informasi maka peneliti menghentian penggalian data karena informasi yang didapatkan sudah jenuh.

Yang menjadi informan pada penelitian ini adalah masyarakat Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat dan akan dispesifikkan masyarakat yang dekat dengan wilayah yang dipermasalahkan dalam penelitian.

Dalam hal ini peneliti menentukan informan utama dengan kriteria sebagai berikut:

• Untuk Masyarakat :

7. Merupakan penduduk asli Kabupaten Manggarai Barat atau telah menetap disana sebelum konflik agrarian itu ada.

8. Tempat tinggalnya berada di wilayah konflik agrarian itu terjadi.

9. Pernah terlibat secara langsung dalam konflik atau setidaknya memiliki hubungan dekat dengan pihak masyarakat yang berkonflik.

Gambar

Gambar 2.1 Bagan Kerangka Pikir  MANGGARAI BARAT
Tabel Migrasi Masuk Penduduk Per Kecamatan Semester 1 (Januari -  Juni) 2017

Referensi

Dokumen terkait

Bermacam-macam obat topikal dapat digunakan untuk pengboatan selulitis. Obat topical anti mikrobial hendaknya yang tidak dipakai secara sistemik agar kelak tidak terjadi resistensi

[r]

Pariwisata merupakan salah satu sektor penting dalam ekonomi Indonesia, dimana pariwisata menjadi salah satu kontributor terbesar terhadap devisa negara. Sektor

Sesuai dengan SK Menkes Nomor 1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang standar pelayanan rumah sakit bahwa pelayanan farmasi rumah sakit adalah bagian yang tidak terpisahkan dari

Parfum Laundry Gunungsitoli Selatan Beli di Toko, Agen, Distributor Surga Pewangi Laundry Terdekat/ Dikirim dari Pabrik.. BERIKUT INI JENIS PRODUK

Hasil penelitian ini menunjukan secara simultan pajak daerah, retribusi daerah, dana alokasi umum, dana alokasi khusus berpengaruh signifikan terhadap pengalokasian belanja modal,

Atas segala Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Pengaruh Kesadaran Wajib Pajak dan Inovasi Pelayanan

Berdasarkan penelitian yang telah dilaksanakan, dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan sikap demokratis dan prestasi belajar PKn melalui metode Simulasi di