• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

6. Kebutuhan Akan Pertanahan

Lahan atau kawasan yang terdiri dari air dan udara, merupakan aspek yang penting dalam kehidupan manusia sebab setiap orang memerlukan lahan atau kawasan (tanah, air dan udara) untuk kehidupannya. Luas lahan atau kawasan yang tersedia dan bisa dimanfaatkan manusia sangat terbatas, sedangkan jumlah manusia yang memerlukan lahan atau kawasan semakin bertambah untuk berbagai keperluan. Terkait pemanfaatan lahan atau kawasan sebagian akhli mengatakan di dunia ini lahan yang dapat dihuni manusia sekita 1/3 dari luas dunia, dan hanya sekitar 1/3 dari luas tersebut yang dapat dihuni. Oleh karena itu semakin lama terasa seolah-olah lahan atau kawasan (tanah, air dan udara) itu menjadi semakin sempit. Ketidakseimbangan antara persediaan lahan atau kawasan dengan kebutuhan, maka banyak menimbulkan berbagai persoalan yang semakin komplek.

Tanah merupakan kebutuhan dasar yang diperlukan bagi kehidupan manusia dalam mencukupi segala kebutuhannya. Dari awal manusia lahir di dunia sampaimanusia meninggal dunia untuk disemayamkan. Hal ini menjadi amat penting bagi manusia disebabkan karena tanah sebagai tempat bermukim, untuk berkembangnya tumbuhan dan hewan yang bisa dimanfaatkan manusia, juga tempat manusia melakukan kegiatan dalam mensejahterahkan hidupnya dan serta sebagai tempat dikebumikannya

manusia. Tidak dapat dipungkiri bahwa kehidupan manusia sangat bergantung terhadap sumber daya alam yang satu ini. Sumber daya alam dalam bidang tanah yang sangat terbatas ketersediannya yang tidak sebanding dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan tanah tersebut, maka perlu adanya campur tangan dari Pemerintah untuk mengatur penggunaan tanah agar sesuai dengan peruntukannya sehingga menciptakan pembangunan yang efisien serta berkelanjutan.Pemerintah Indonesia membuat peraturan mengenai tata guna tanah yang diamanatkan dalam Konstitusi Negara Indonesia yang terdapat pada Pasal 33 ayat 3 UUD 1945: “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat”. Akan tetapi seringkali dalam pelaksanaan tata guna tanah yang harusnya di peruntukkan demi kemakmuran rakyat Indonesia justru jauh dari apa yang telah di cita – citakan oleh konstitusi tersebut. Hal ini bertujuan untuk menjaga ketertiban mengenai penggunaan tataguna tanah demiterciptanya keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia.

Pada negara-negara agraris seperti Indonesia, tanah merupakan faktor produksi sangat penting karena menentukan kesejahteraan hidup penduduk negara bersangkutan. Paling sedikit ada tiga kebutuhan dasar manusia yang tergantung pada tanah. Pertama, tanah sebagai sumber ekonomi guna menunjang kehidupan. Kedua, tanah sebagai tempat mendirikan rumah untuk tempat tinggal. Ketiga, tanah sebagai kuburan. Walapun tanah di negara-negara agraris merupakan kebutuhan dasar, tetapi struktur kepemilikan tanah

di negara agraris biasanya sangat timpang. Di satu pihak ada individu atau kelompok manusia yang memiliki dan menguasai tanah secara berlebihan namun di lain pihak ada kelompok manusia yang sama sekali tidak mempunyai tanah. Kepincangan atas pemilikan tanah inilah yang membuat seringnya permasalahan tanah di negara-negara agraris menjadi salah satu sumber utama destabilisasi politik. Tanah dan pola pemilikannya bagi masyarakat pedesaan merupakan faktor penting bagi perkembangan kehidupan sosial, ekonomi dan politik masyarakat pedesaan di samping kehidupan sosial, ekonomi, dan politik masing-masing warga desa itu sendiri. Negara agraris yang mengalami pola pemilikan tanahnya pincang dapat dipastikan mengalami proses pembangunan yang lamban, terjadi proses pemelaratan yang berat, terjadi krisis motivasi dan kepercayaan diri untuk membangun diri mereka sendiri. Pada bagian lain, ketimpangan pemilikan tanah yang memperlihatkan secara kontras kehidupan makmur sebagian kecil penduduk pedesaan pemilik lahan yang luas dengan mayoritas penduduk desa yang miskin merupakan potensi konflik yang tinggi karena tingginya kadar kecemburuan sosial dalam masyaralat itu. Hal tersebut sukar dihindarkan karena tanah selain merupakan aset ekonomi bagi pemiliknya juga merupakan aset politik bagi si pemilik untuk dapat aktif dalam proses pengambilan keputusan pada tingkat desa. Bagi mereka yang tidak memiliki tanah akan mengalami dua jenis kemiskinan sekaligus, yakni kemiskinan ekonomi dan kemiskinan politik.

Beberapa ahli seperti Singarimbun dan Penny (1983) mengatakan bahwa hampir setiap aspek kehidupan petani akan dipengaruhi oleh akses mereka terhadap tanah tersebut. Dalam kaitannya dengan aspek politik dikatakan bahwa dinamika penguasaan tanah di daerah pedesaan dapat menjadi barometer baik harmonis ataupun ketegangan sosial politik ditingkat lokal. Begitu juga menurut Karsono (2008) menurutnya tanah masih merupakan faktor penting dalam perekonomian pedesaan. Luas penguasaan lahan mempengaruhi besarnya pendapatan rumah tangga petani tersebut. Dengan semakin pentingnya tanah tersebut untuk dijadikan lahan pertanian memunculkan berbagai macam persoalan seperti konflik akibat perampasan ruang.

Disamping kegiatan pertanian memerlukan tanah, pertambahan penduduk akan menyebabkan timbulnya kecendrungan semakin berkurangnya tanah untuk digarap, sehingga akan menimbulkan permasalahan-permasalahan dibidang sosial dan sebagainya. Seperti di Jawa dikenal dengan istilah kemiskinan bersama oleh Geertz Celifford, (1976) yang disebabkan pertambahan penduduk yang tinggi sedangkan luas lahan tetap.

Di kabupaten Manggarai Barat sendiri, ada ironi yang tengah berlangsung hingga saat ini?

Karut marut pengelolaan pulau dan kawasan pesisir di dalam dan sekitar Taman Nasional Komodo masih menjadi persoalan yang serius belakangan ini. Latarnya beragam, mulai dari sengkarut managemen

pengelolaan sampai pada proses peminggiran masyarakat lokal dalam kawasan dan sekitarnya. Dari antara semua soal tersebut beberapa hal yang menguat belakangan ini adalah perihal jual beli pulau, pengklaiman orangpribadi atas tanah dan pulau dalam kawasan TNK dan sekitarnya serta proses perizinan pengelolaan sebagian lahan dalam kawasan yang terkesan ditutup-tutupi. Dalam catatan ini kami sertakan empat fakta sebagai contoh kasus, menyusul beberapa pokok analisis yang dapat dijadikan sebagai refrensi kajian lebih lanjut. Dalam logika sederhana, pembangunan semestinya didesain, diputuskan, dan dikerjakan dengan melibatkan publik untuk memenuhi kebutuhan publik. Namun, rencana pengelolaan Pantai Pede lebih banyak didesain dan diputuskan oleh Pemerintah Provinsi NTT (melalui privatisasi yang dilakukan PT SIM) dan kini difasilitasi Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat. Rakyat Manggarai Barat yang juga adalah rakyat NTT, dalam banyak cara “dipaksakan” untuk menerima semuanya dengan dalih bahwa pembangunan untuk kesejahteraan rakyat, dalam kenyataan ini, pemerintah dan kaki tangannya menjadi subjek dan rakyat “dipaksa” menjadi objek saja.

Sejak awal, mulai tahun 2012, rencana privatisasi Pantai Pede dengan seluruh dalilnya sudah ditentang masyarakat sipil Labuan Bajo. Memang di tahun 2016, rencana pembangunan hotel berbintang di Pantai Pede itu kemudian dimodifikasi menjadi taman rekreasi dan jasa publik berbayar agar memberi kesan bahwa tuntutan publik diakomodasi. Namun tetap saja logika di balik modifikasi itu adalah privatisasi. Tidak heran, rencana itu tetap

ditolak. Dan hingga kini, gelombang penolakan itu bahkan makin meluas.Semua itu adalah bentuk-bentuk pernyataan kehendak dan aspirasi rakyat terhadap posisinya dalam pembangunan. Rakyat ingin terlibat dan mengawal proses-proses pembangunan untuk memastikan bahwa pembangunan itu memang sungguh-sungguh menjawab kebutuhannya. Rakyat ingin menjadi subjek, bukan objek. Namun, meski rakyat sudah menyatakan protes publik terhadap rencana privatisasi itu lewat berbagai cara dan media, Pemerintah Provinsi NTT juga melalui berbagai cara tetap saja memaksakan privatisasi itu. Pembangunan fisik oleh PT SIM yang kini sedang berlangsung di Pantai Pede adalah buktinya. Dinamika ini kemudian memperjelas posisi pemerintah yang tidak ingin agar rakyat menjadi subjek bersama dalam mendesain dan memutuskan model pembangunan macam apa yang benar-benar menjawab kebutuhan rakyat. Dan dalam pertentangan ini, Pantai Pede adalah sebuah contoh pertaruhan sosial terhadap posisi rakyat dalam seluruh proses pembangunan yang sedang dan akan berlangsung dengan sangat masif di Manggarai Barat.

Dokumen terkait