• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

4. Konflik Agraria

Dalam masyarakat agraris tanah mempunyai arti yang sangat penting, baik sebagai sumber penghidupan maupun sebagai penentu tinggi rendahnya status sosial dalam masyarakat. Tanah mencerminkan bentuk dasar kemakmuran sebagai sumber kekuasaan ekonomi dan politik, serta mencerminkan hubungan dan klasifikasi sosial, Falsafah Jawa sadhumuk bathuk sanyari bumi, yen perlu ditohi pati menunjukkan betapa eratnya hubungan antara manusia dengan tanah yang dimilikinya. Setiap jengkal tanah merupakan harga diri yang akan dipertahankan mati-matian dengan seluruh jiwa raga.

Konflik perebutan dan perjuangan atas tanah akan selalu terjadi selama tanah masih menjadi sumber kehidupan masyarakat. Menurut Wiradi (2000), konflik agraria sebagai suatu gejala sosial merupakan proses interaksi antar dua orang/kelompok atau lebih yang masing-masing memperjuangkan kepentingan antar objek yang sama seperti tanah, air, tanaman, tambang, udara yang berada di atas tanah yang besangkutan.

Dalam sejarah peradaban umat manusia, tanah merupakan faktor yang paling utama dalam menentukan produksi setiap fase peradaban. Tanah tidak hanya memiliki nilai ekonomis yang tinggi, tetapi juga nilai filosofis, sosial, cultural dan eklogis. Tak mengherankan jika tanah menjadi harta istimewa yang tak henti-hentinya memicu berbagai masalah sosial yang kompleks dan rumit.

Tanah merupakan kebutuhan hidup manusia yang sangat mendasar. Manusia hidup serta melakukan aktivitas di atas tanah sehingga setiap saat manusia selalu berhubungan dengan tanah. Dapat dikatakan hampir semua kegiatan hidup manusia baik secara langsung maupun tidak langsung selalu memerlukan tanah pun pada saat manusia meninggal dunia masih memerlukan tanah untuk penguburannya. Begitu pentingnya tanah bagi kehidupan manusia, maka setiap orang akan selalu berusaha memiliki dan menguasainya. Dengan adanya hal tersebut maka dapat menimbulkan suatu sengketa tanah di dalam masyarakat. Sengketa tersebut timbul akibat adanya perjanjian antara 2 pihak atau lebih yang salah 1 pihak melakukan wanprestasi.

Konflik pertanahan di Indonesia merupakan puncak gunung es dari berbagai masalah agraria yang menyejarah sejak zaman kolonial Belanda dan tidak terselesaikan secara mendasar sampai pada saat ini. Masalah pertanahan di Indonesia tidak bisa di tangani dan diselesaikan dengan menggunakan pendekatan hukum saja, melainkan dengan pendekatan holistik (komperhensif) seperti politik, sosial budaya, ekonomi (kesejahteraan) dan ekologi. Yang tidak kalah penting adalah penanganan dan penyelesaian konflik dilapangan harus didukung oleh kelembagaan pertanahan yang kuat dan berwibawa, koordinasi antar instansi pemerintah yang efektif, administrasi pertanahan yang berbasis teknologi dan penerapan prinsip-prinsip good government good governance, manajemen konflik yang efektif efisien, strategi penanganan dan penyelesaian yang cepat, tepat dan efektif ditopang sumber daya manusia yang handal dengan kemampuan terlatih, baik di pusat maupun di daerah. Menyadari nilai dan arti penting tanah, para pendiri

Negara kemudian merumuskan tentang tanah dan sumber daya alam secara ringkas tetapi filosofis substansial didalam Konstitusi Pasal 33 ayat (3) Undangundang dasar 1945 sebagai berikut : “ Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar besar kemakmuran rakyat”

Masalah pertanahan muncul ketika kewenangan (hak menguasai negara) diperhadapkan dengan hak asasi warga negara, khususnya hak milik individu dan hak komunal (tanah ulayat). Mencermati konflik pertanahan di Indonesia yang terus meningkat, akar masalahnya terletak pada benturan antara Hak Menguasai Negara (HMN) dengan Hak Asasi Warga Negara yang memiliki kewenangan tunggal yang sangat besar untuk mengelolah pembagian, penguasaan, pemanfaatan dan peruntukkan tanah harus berhadapan dengan hak hak asasi yang melekat pada rakyatnya sendiri.

Sengketa konflik pertanahan yang semakin semarak dan kompleks belakangan ini terlihat sangat jelas. Konflik agraria merupakan sebuah konsekuensi yang harus dihadapi sebagai bagian atau cara dari pengaruh kebijakan yang diberlakukan pemerintah. Ada tiga kelompok yang biasanya tercakup dalam masalah agraria, yaitu pemerintah, pengusaha, (perusahaan swasta dan negara), dan masyarakat. Sitorus dan Wiradi, (1999). Menurut Christodoulou dalam Astuti (2008:53), Konflik agraria adalah konflik yang berhubungan dengan pengontrolan sumber-sumber agraria. Konflik agraria menurut Christoulou biasanya melibatkan masyarakat, pemerintah, dan bisnis yang kesemuanya memperebutkan sumber-sumber agraria. Masyarakat melakukan perlawanan terhadap negara dan bisnis

untuk menuntut apa yang menurut mereka adalah haknya. Sedangkan negara dan pengusaha juga berusaha melakukan perlawanan dan penekanan terhadap masyarakat untuk mempertahankan hak-haknya atas sumber-sumber agraria, dimana keduanya pada umumnya memiliki bukti-bukti yuridis.

Menyoal konflik agrarian di Negara ini bukanlah suatu yang baru, dalam tinjauan sejarah misalnya seperti yang diungkapkan Suhendar (1996) bahwa setidaknya konflik agraria di Indonesia telah terjadi dalam empat periode yakni :

Periode pertama. 1870, periode ini di tandai dengan keluarnya Undang-Undang Agraria 1870 oleh pemerintah Hindia Belanda yang secara jelas berusaha menarik investasi asing dengan memberikan kemudahan mengakses tanah dengan fasilitas selama 75 tahun kepada investor swasta. Hal ini memicu gelombang penolakan dari masyarakat baik dari kelompok elit (kelas bangsawan) maupun masyarat biasa. Konflik agraria pada masa ini, menurut Scott dalam Suhendar (1996) pada akhirnya berkembang dari hanya sekedar respon masyarakat terhadap pengambil alihan lahan secara paksa oleh pihak perkebunan dan atau pemerintah Hindia Belanda, sampai pada area psikologi dan sosiologis yang dalam yakni perwujudan eksistensi masyarakat terhadap berbagai pemerasan dan penghisapan yang berlebihan baik yang dilakukan oleh aparat Kolonia, pemilik modal maupun kerja sama antar keduanya. Perlawanan ini bertumpu pada subsistensi petani yang terganggu oleh berbagai aturan Kolonial yang memberatkan mereka.

Kedua, periode 1967 - 1973.Periode ini disebut oleh Suhendar sebagai periode eksploitasi, yang ditandai dengan “dibekukannya” Undang-Undang Pokok Agraria No. 5/1960. Wiradi (2008) meyebut, ada dua faktor yang menjadi penyebab

utama pembekuan tersebut. Pertama kondisi objektif yang berupa situasi yang rawan (dilihat dari segi politik dan keamanan) dalam masa setelah kejadian politik tahun 1965. Kedua, adanya pergeseran pendekatan kebijakan pembangunan pasca runtuhnya orde lama dan lahirnya pemerintahan orde baru dari kebijakan yang populis (pro rakyat) menjadi kebijakan yang berpihak pemilik modalatau sering disebut sebagai “developmentalisme”.

Sejak Soeharto dan orde baru (1966) berkuasa ada begitu banyak produk undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang pokok agraria bahkan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara. Berbagai produk yang menegasikan Undang-Undang pokok agraria ini menurut Husken, (1998.), terjadi semata-mata untuk mendukung dan memberikan ruang pada investasi skala besar yang notabene adalah anak kandung developmentalisme.

Melalui Undang-undang Penaman Modal Asing (Undang-undang No.1/1967) dan Penamaman Modal Dalam Negeri (Undang-Undang No.6/1968) misalnya pemerintah memberikan kewenangan pada perusahan-perusahaan asing maupun dalam negeri untuk melakukan ekploitasi pada sumberdaya alam Indonesia, serta menyokong usaha-usaha modal besar tersebut untuk mencerabut petani dari tanah, dengan memanfaatkan tidak adanya jaminan hukum positif pada petani atas tanah yang mereka kuasai. Kelompok-kelompok baik petani atau pun di luar petani yang menentang kebijakan tersebut dicap sebagai kelompok makar, suversif, neokomunisme, leninisme kemudian dikriminalisasi, dipenjara, bahkan ada sebagain darimereka yang di tembak mati.

Ketiga, periode 1973-1983. Periode ini disebut sebagai periode peningkatan produktivitas tanpa penataan struktur kepemilikan tanah. Untuk mencapai swasembada pangan pada periode 1973-1983 Pemerintah Indonesia menjalankan kebijakan revolusi hijau, namun tidak diikuti dengan rekstrukrisasi kepemilikan tanah seperti amanat Undang-Undang Pokok Agraria No 5/1960, sehingga terjadi akumulasi penguasa tanah pertanian di pedesaan.

Suhendar menyatakan, kepemilikan tanah pada segelintir orang berdampak pada semakin massifnya potensi konflik agraria, dalam 50 tahun setelah Undang-Undang pokok agraria badan pertanahan nasional menginventaris lebih dari 7.491 sengketa lahan di seluruh Indonesia yang menelan korban lebih dari 1.000.000 orang. Hal senada diungkapkan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), jumlah konflik agraria yang bersifat struktural pada tahun 2001 saja mencapai 1753 dan terjadi di 2834 desa/kelurahan, 1.355 kecamatan di286 daerah Kabupaten/Kota, dengan mempersengketakan tanah seluas 10.892.203 ha, dan mengakibatkan 1.189.482 KK menjadi korban.

Dari keseluruhan konflik tersebut, garis besarnya adalah: 344 kasus (19.6%) terjadi akibat diterbitkannya perpanjangan HGU atau diterbitkannya HGU baru untuk usaha perkebunan besar termasuk di dalamnya PTPN. 243 kasus (13.9%) dari jumlah kasus merupakan sengketa akibat pengembangan sarana umum dan fasilitas perkotaan; 232 kasus(13.2%) akibat pengembangan perumahan dan kota baru; 141 kasus (8.0%) merupakan konflik tanah di dalam kawasan yang ditetapkan sebagai hutan produksi;115 kasus (6.6%) merupakan konflik akibat pengembangan pabrik-pabrik dan kawasan industri; 77 kasus (4.4%) konflik akibat pembangunan

bendungan (largedams) dan sarana pengairan; dan 73 kasus (4.2%) adalah konflik yang terjadi akibat pembangunan sarana pariwisata, hotel-hotel dan resort, termasuk pembuatan lapangan-lapangan golf.

Keempat periode 1983-2000, yaitu periode dimana pemerintah melakukan deregulasi terhadap peraturan Perundang-Undangan yang dianggap menghambat perolehan tanah untuk kepentingan investasi. Dengan mengeluarkan Undang-Undang No 18/2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang-Undang-Undang No 25/2007 tentang Penanaman modal, Undang No 22/2001 Tentang Migas Serta Undang-Undang No41/1999 Tentang Ketentuan Pokok Kehutanan.

Empat periode ini menurut Suhendar memiliki roh yang sama yakni demi dan atas nama keuntungan yang maksimal pada negara (berupa devisa dan pertumbuhan ekonomi) pemerintah memberikan ruang yang sangat terbuka bagi investasi untuk mengakses dan mengeksploitasi tanah dan kekayaan yang terkandung didalam, kemudian disisi yang lain mereduksi petani dari asset produksi.

Menurut Sitorus dalam Suhendar (1996) Mengidentifikasi paling tidak ada lima faktor yang mempengaruhi eskalasi konflik agraria;

3. Pemilikan atau penguasaan tanah tidak seimbang dan merata.

4. Ketidakselarasan penggunaan tanah untuk sektor pertanian dan nonpertanian.

5. Tidak berpihaknya politik kebijakan agraria kepada masyarakat ekonomi lemah (wong cilik).

7. Lemahnya posisi tawar masyarakat pemegang hak atas tanah dalam proses pembebasan tanah.

Secara garis besar peta permasalahan tanah dapat dikelompokkan menjadi 5 yaitu; a). Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal perkebunan, kehutanan, proyek perumahan yang diterlantarkan dan lain-lain; b). Masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan landreform; c). Ekses-ekses dalam penyediaan tanah untuk keperluan pembangunan; d). Sengketa perdata berkenaan dengan masalah tanah; e). Masalah yang berkenaan dengan Hak Ulayat masyarakat hukum adat. Meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru.

Tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata melainkan juga sebagai alat ekonomi. Sekarang ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat komoditi perdagangan yang dapat diperjualbelikan meski demikian perlu disadari bahwa sengketa pertanahan sesungguhnya bukanlah hal baru, tanah tidak saja dipandang sebagai alat produksi semata melainkan juga sebagai alat ekonomi. sekarang ini kelihatannya tanah sudah menjadi alat komoditi perdagangan yang dapat diperjualbelikan seperti apa yang kemudian di ungkapkan oleh Marzuki dalam Suhendar (1996) dari dekade 1980-hingga akhir orde baru, permasalahan tanah berkembang menjadi persoalan antara pemilik modal besar dan atau pemerintah melawan pemilik tanah setempat, baik yang ada di desa maupun di kota, serta antara pemerintah dan pemilik tanah di kota atau di desa.

Isu yang memicu konflik juga berubah; dari akses seseorang atau kelompok orang atas sebidang tanah, ke konflik yang dipicu oleh penghargaan atau ganti rugi yang seharusnya diterima pemilik tanah yang tanahanya akan digunakan oleh pemilik modal dan atau pemerintah. Pada dekade tersebut, pola konflik pertanahan sangat diwarnai oleh peran dominan kekuasaan otoritarian orde baru yang bersama pemilik modal menjadi pelaku ekonomi yang terus menerus mengambil tanah-tanah rakyat dalam jumlah besar atas nama pembangunan. Pemerintah bukan melindung kepentingan rakyat yang sedang berhadapan dengan pemilik modal, tetapi sebaliknya, menekan rakyat melindungi pemilik modal.

Dokumen terkait