• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kasus Jual Beli Tanah Antara Masyarakat Dan Investor Di Kabupaten Manggarai Barat

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

6. Kasus Jual Beli Tanah Antara Masyarakat Dan Investor Di Kabupaten Manggarai Barat

daerah yang berbasis masyarakat dan berwawasan lingkungan.

B. Hasil Penelitian

Data dari hasil penelitian ini didapatkan melalui wawancara yang dilakukan oleh Peneliti. Dimana seluruh informan yang melakukan wawancara adalah beberapa masyarakat, pihak investor dan pemerintah.

6. Kasus Jual Beli Tanah Antara Masyarakat Dan Investor Di Kabupaten Manggarai Barat.

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan peneliti terhadap informan mengenai penyebab konflik agraria antara masyarakat diperoleh hasil yang hampir serupa antar jawaban yang satu dengan jawaban lainnya dari masing-masing informan. Seperti hasil wawancara tentang sejak kapan konflik perebutan lahan terjadi antara masyarakat dan investor, yang dilakukan dengan Bapak AS (55 th) bahwa:

“Konflik lahan terjadi disini, awal mulanya saat warga mulai tau isu kalau akan dikembangkannya pariwisata di Manggarai Barat” (wawancara 11/10/2018).

Kemudian Peneliti lebih lanjut bertanya kepada Bapak AS apa yang ia ketahui mengenai konflik tersebut, bahwa :

“Masyarakat merasa direbut tanahnya dengan orang asing, padahal itu tanah mereka dari dulu warisan dari semacam kepala adat disini, tapi investor juga memiliki bukti secara resmi, susah melawan mereka (pemodal) karena mereka dekat dengan pemerintah ada juga yang bermasalah karena urusan pembayaran” (wawancara 11/10/2018).

Dari hasil wawancara tersebut, dapat kita tarik kesimpulan sementara bahwa penyebabnya adalah ketidakjelasan administrasi masyarakat dan permasalahan pembayaran dimana sang investor terlambat melunasi harga tanah. Namun pada informan lainnya menjelaskan bahwa penyebab utamanya adalah bersumber di proses pembagian tanah dahulu oleh kepala suku yang terkadang ada diberikan dua atau lebih orang untuk satu lahan serta batas yang tak jelas. Ini disampaikan oleh Bapak ZD (49 th) bahwa:

“Asing (Investor) membeli tanah kepada masyarakat lalu ada yang tak setuju/menggungat karena merasa dialah pemilik tanah, dan setelah kasusunya di tangani barulah ketahuan dulu ada kesalahan pembagian tanah yang dilakukan kepala suku terdahulu” (wawancara 12/10/2018).

Bapak ZD juga hampir sama dengan Bapak AS terkait jawabannya mengenai sejak kapan konflik ini bermula yaitu katanya sejak terkenalnya pulau komodo, yang mana maknaa yang bisa kita tarik adalah saat pariwisata manggarai barat sudah semakin di kenal orang banyak. Pada pertanyaan alasan apa yang melatar belakangi adanya perbutan lahan Bapak ZD menyakini bahwa karena pasar tanah, sebagaima lengkapanya dikatakan seperti berikut:

“Konflik ini di latarbelakangi mahalnya harga tanah karena banyaknya orang ingin membeli tanah untuk membuka bisnis pariwisata” (wawancara 12/10/2018).

Pernyataan di atas hampir sama juga dengan yang dikatakan Bapak AS bahwa:

“Karena bisnis pariwisata jadi orang berlomba-lomba punya tanah untuk dijual atau dikelola sendiri” (wawancara 11/10/2018).

Tidak hanya kedua informan diatas, salah satu informan lagi yaitu Bapak KY (35 th) memiliki jawaban yang serupa saat ditanya dengan pertanyaan yang sama, berikut kutipan penyataanya.

“Masyarakat yang bersangkutan merasa tanah yang diclaim pihak asing adalah tanah mereka dari pemberian dari orang tua dulu, kepala adat istilahnya. Tingginya harga tanah adalah penyebab konflik ini terjadi, bahkan ada yang memalsukan juga tanda tangan ketua adat untuk mendapatkan sertifikat tanah dari pemerintah” (wawancara 11/10/2018). Berbeda dari kedua informan diatas, Bapak KY tidak tau spesifiknya sejak kapan konflik semacam ini bermula.

Dari informan masyarakat diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa penyebab utama konflik adalah mahalnya harga tanah karena meningkatnya bisnis pariwisata.

Namun kasus berlanjut kemudian disebabkan adanya permasahan status kepemilikan tanah antara masyarakat yang diberikan kepala suku dahulu.

Dikarenakan sulitnya bertemu dengan para investor yang mana pernah atau sedang bermasalah dengan masyarakat, maka informan dalam peneliti ini hanya pihak yang mewakili dan masih berhubungan dekat dengan pemodal utama atau atasannya. Ada tiga informan yang peneliti jadikan narasumber pada pihak investor. Dari ketiga informan ini berasal dari pelaku bisnis yang berbeda. Namun semua hasil wawancara memiliki hampir kesamaan jawaban. Mereka semua menyimpulkan mereka telah menjalankan sesuai dengan aturan perizinan yang berlaku. Seperti yang dikatakan Bapak YH (44 th) saat ditanyakan apa yang melatarbelakangi konflik:

“Sejauh ini karena ketidakjelasan masalah administrasi tanah saja bagi masyarakat, banyak sertifikat ganda. Kita pihak investor sebenarnya aman-aman saja karena kita memiliki sesuai aturan yang berlaku dan kita selalu siap apabila di gugat dipengadilan” (wawancara 15/10/2018).

Lebih lanjut Bapak YH mengatakan bahwa konflik bermula saat 2010, saat mereka mulai membangun bisnisnya, tiba-tiba saja datang beberapa masyarakat yang mengklaim bahwa sebagian tanah yang kita miliki, itu adalah milik salah satu di antara mereka.

Hasil observasi juga menunjukkan bahwa bukti-bukti dimiliki pihak investor melakukan jual beli adalah sudah sesuai, dimana dan sama siapa ia membeli tanah. Sehingga melalui ini, peneliti bisa menyimpulkan bahwa secara adminsitratif pihak investor telah melakukan sebagaimana mestinya. Yang harus dipermasalahkan sesungguhnya dari pihak masyarakat dan pemerintah kenapa bisa timbulnya pengklaiman ganda untuk kasus yang sama.

Selanjutnya pada informan kedua Bapak BD (53 th) sebagai pihak investor juga menjelaskan hal yang serupa dengan Bapak YH terkait apa yang melatar belakangi konflik:

“Yang jadi latar belakang masalah adalah dokumen penggugat (Masyarakat) pada masa pembagian dulu tidak jelas” (wawancara 16/10/2018).

Lebih lanjut Bapak BD menegaskan mengenai status kepemilikan pihaknya sebagai berikut:

“Kami sudah membeli sesuai aturan yang berlaku. Kami punya bukti, dan saat mediasi kita juga selalu menang karena bukti kita memang cukup kuat” (wawancara 16/10/2018).

Peneliti kemudian mewancarai lagi pihak investor lain yang juga pernah bermasalah dengan masyarakat untuk memperkuat argument dari kedua informan sebelumnya. Jawaban dari informan berikut dimana bernama Bapak MG (47 th) tidak jauh berbeda dengan kedua informan sebelumnya. Berikut pernyataan lengkapnya:

“Karena urusan administrasi, pengkaliaman masyarakat secara tiba-tiba atas lahan yang sudah dibeli (wawancara 19/10/2018). Bapak MG juga mengatakan bahwa pihak mereka berinvestasi saat tahun 2009-2010 dan setelah 5 tahun kemudian ada masyarakat yang tiba-tiba datang mengaku kawasan ini adalah lahannya dan menuntut ganti rugi.

Dari hasil wawancara kepada pihak pemerintah semakin mempertegas bahwa penyebab konflik lahan antara masyarakat dan investor adalah ketidakjelasan administrasi oleh pihak penggugat dimana hal ini masyarakat.

Berikut penyataan ketua Bupati Manggari Barat saat ditanyakan siapa sesungguhnya pemilik lahan yang menjadi rebutan:

“Ada milik masyarakat, ada milik Negara, lalu kemudian sesuai kebutuhan/pertimbangan masyarakat atau pemerintah memutuskan menjual tanah kepada pihak investor sehingga tanah yang telah dijual menjadi milik pemodal” (wawancara 17/10/2018).

Kemudian informan tersebut mengatakan perebutan lahan terjadi saat sejak gencarnya dipromosikan Pulau Komodo.

“Faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik tersebut adalah efek bisnis pariwisata sehingga masyarakat berlomba-lomba menjual tanah.” (wawancara 17/10/2018).

Selain ketua Kepala Bupati, peneliti juga mewancarai pegawai Kepala BPN di Kabupaten Manggarai Barat sebagai pihak yang juga menjembatangi proses jual beli dan yang menerbitkan sertifikat bagi masyarakat.

“Masalah ini dipicu karena perebutan lahan, jadi banyak pihak yang mengaku ini lahannya, dan setelah di cek ternyata lebih sering kesalahan administrasi ada di pihak masyarakat sebagai penggungat, ini di buktikan dengan hasil persidangan. Kami selaku pihak pemerintah selalu siap dan selalu mengarahkan masyarakat untuk melaporkan jika merasa dirugikan. Faktor yang melatarbelakangi kasus semacam ini adalah banyaknya sertifikat ganda dan banyaknya yang mengklain tanah itu diberikan oleh kepala suku terdahulu atau tanah ulayat, sertifikat ganda terjadi karena proses penginputan data dan fasilitas dahulu masih manual sehingga rentan sekali terjadi kesahan sedangakan untuk pembagian tanah ulayat sendiri disebabkan oleh kepala suku dan tidak adanya saksi yang mendukung saat pemberian tanah”. (wawancara 18/10/2018).

Hasil wawancara dengan pihak pemerintah semakin menyimpulkan di sisi mana penyebab konflik terjadi yaitu salah satunya sistem administrasi yang tidak jelas di zaman dulu atau saat kepala adat membagikan lahan ke warga setempat.

Dokumen terkait