• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

B. Hasil Penelitian

7. Peran Pemerintah Untuk Meminimalisir Konflik Sosial Agraria

Peran pemerintah dalam menyelesaikan masalah konflik sangatlah dominan, Pasalnya, pemerintah dalam hal ini pemda dinilai tahu betul kondisi lapangan di daerahnya khususnya dalam transaksi jual beli tanah. Maka dari itu peneliti mencari tahu kepada masyarakat, investor dan pemerintah sendiri untuk menemukan dari jawaban ini terkait upaya pemerintah dalam menyelesaikan masalah konflik.

Hasil wawancara dari ketiga masyarakat yaitu Bapak AS, ZD dan KY lagi-lagi memiliki hampir kesamaan jawaban. Berikut kutipan hasil wawancaranya berturut-turut.

“Sejauh ini yang saya tau, mereka dipertemukan masing-masing seperti musyawarah untuk mencapai kesepakatan” (wawancara 16/10/2018). “Mediasi yang difasiliasi oleh pemerintah daerah” (wawancara 16/10/2018). Sedangkan dari pihak investor juga mejawab hal yang sama. Saat ditanyakan mengenai apa upaya pemerintah dalam menyelesaikan konflik. Seperti yang dijawab oleh Bapak YH:

“Pemerintah hanya melaksanakan sesuai aturan hukum, seperti mediasi dan mendampingi masyarakat hingga pengadilan, itu yang kami lihat” (wawancara 16/10/2018).

Hal ini dipertegas juga oleh Bapak BD sebagi pihak investor:

“Mediasi yang paling sering dilakukan, jika tidak ada kesepakatan pemerintah menyarankan untuk lanjut kepengadilan bagi pihak yang di rugikan” (wawancara 17/10/2018).

Berbeda dengan yang dijelaskan kedua informan diatas dari pihak investor, Bapak MG mengatakan:

“Saya kurang tau peran pemerintah dalam menyelesaikan kasus semacam ini, karena saya sendiri tidak terlibat dalam urusan menangani konflik

tersebut, yang saya tahu kita menang dipengadilan” (wawancara 17/10/2018).

Untuk mempertegas pernyataan diatas kami menanyakan langsung ke pemerintah terkait soal konflik agraria, dan jawaban mereka masih sama dengan apa yang dikatakan dari pihak investor maupun masyarakat yaitu mediasi.

“Yang kami lakukan dari pihak pemerintah dari tingkat bawah sampai atas itu adalah pertama mediasi dan negosiasi, jika belum ditemukan solusianya, kita mengarahkan untuk lanjut kepersidangan, kadan kita juga kasihan sama masyarakat yang harus menempuh jalur hukum, tapi mau bagaimana lagi hal inilah jalan satu-satunya.” (wawancara 18/10/2018).

Ada kesulitan saat melakukan observasi di penelitian ini, sebab konflik-konflik yang terjadi sudah lama terjadi, jadi untuk mengumpulkan data-data lapangan selain informan sangat sulit, sehingga penulis lebih banyak menganalisi berkas-berkas yang ditunjukkan pemerintah sebagai bukti atau penguatan data hasil wawancara.

C. Pembahasan

a. Penyebab Konflik

Konflik merupakan perbedaan atau pertentangan antar individu atau kelompok sosial yang terjadi karena perbedaan kepentingan, serta adanya usaha memenuhi tujuan dengan jalan menentang pihak lawan disertai dengan ancaman atau kekerasan (Soekanto, 2006: 91). Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, konflik perebutan lahan antar masyarakat dengan investor dikarenakan karena bisnis pariwisata.

Seiring dengan pemekaran Manggarai Barat dari Kabupaten induk Manggarai pada tahun 2002, promosi Labuan Bajo sebagai destinasi parawisata

kian gencar. Paling besar adalah lewat acara Sail Komodo pada 2013 yang memakan biaya hingga Rp 3,7 triliun. Sebagian dari upaya tersebut boleh dikatakan cukup berhasil, dalam artian meningkatkan jumlah para wisatawan (Afioma,2015). Pada tahun 2012 setahun sebelum Sail Komodo jumlah wisatawan melonjak tajam, yakni 16.768 orang, naik sekitar 4 ribu wisatawan dari tahun sebelumnya. Dan pada tahun 2014 melonjak menjadi 80.626 wisatawan. Namun kenyataanya yang terjadi Masyarakat dengan corak kehidupan agraria dan nelayan rupanya belum siap melihat perubahan yang drastis. Labuan Bajo hanya berubah menjadi lahan bisnis parawisata yang potensial bagi para investor. Kebutuhan akan hotel, restoran, dan resort meningkat tajam. Permintaan tanah pun melonjak tajam dengan harga mahal. Sementara masyarakatnya tak mengalami perubahan signifikan. Sejumlah data berikut mempertegas kesimpulan demikian.

Berdasarkan tingginya hasrat investor untuk membangun sebuah bisnis di lokasi pariwisata mau tidak mau akhirnya memicu beberapa kejadian seperti kasus agraria, perebutan lahan antara investor atau pemodal dengan masyarakat. Masyarakat berdalil hak kepemilikan tersebut di dasari oleh tanah ulayat sedangkan sebaliknya pihak investor mengklaim mereka memiliki tanah tersebut dengan dilakukan sesuai administrasi yang berlaku dan memiliki kekuatan hukum. Di tengah peliknya persoalan lahan, masyarakat menyadari pentingnya sertifikasi lahan. Memiliki sertifikat akan memudahkan pengalihan kepemilikan tanah kepada pembeli. Awal seperti inilah yang kemudian membuat tensi konflik terus meningkat.

Semua konflik pasti memiliki akar penyebabnya. Akar konflik biasanya bersembunyi dan mendorong terjadinya konflik sosial dalam masyarakat (Inayah, 2017). Akar konflik biasanya kurang terlalu muncul di permukaan. Dalam beberapa kasus konflik, yang sering muncul dipermukaan hanyalah sebab dan akibatnya saja, sedangkan akarnya kadang tertutup dan membutuhkan usaha yang sangat serius untuk menggalinya.

Jika kita berbicara lebih jauh tentang sejarah Kabupaten Manggarai Barat itu sendiri. Terlepas dari bisnis pariwisata, akar konflik permasalahannya sebabnya bukan pariwisata itu sendiri tetapi ada pada ketua adat yang dahulu mempunyai wewenang membagi-bagikan tanah, ketidak konsistetan ketua adat tersebut dalam memberikan tanah kepada satu pihak saja tetapi ada juga diberikan ke dua orang dengan lahan yang sama atau singkatnya ketidakjelasan batas administrasi pertahanan dimasa lalu dan perjanjian kepemilikan dianata pihak terkait. Akhirnya kemudian tanah yang dulu tak pernah menjadi soal karena posisinya yang tidak terlau di butuhkan masyarakat. Namun setelah pemerintah mempromosikan Kabupaten Manggarai Barat sebagai pusat pariwisata orang kemudian berlomba-lomba menjual tanah tersebutkepada investor dengan harga yang sangat tinggi, hingga akhirnyalah investor yang kemudian bermasalah dengan salah satu masyarakat yang mana mengklaim tanah tersebut sebagai tanah ulayat yang juga diberikan kepadanya namun perihal historis ini rata-rata terkuak saat di pengadilan. Gencarnya kasus jual beli lahan di karenakan juga bagi para investor, harga tanah setinggi langit tak menjadi masalah. Yang terpenting punya aset untuk menjalankan roda bisnis. Sekarang misalnya, berdasarkan hasil penelitian tim riset

Sunspirit for Justice and Peace, harga tanah berkisar Rp 400 ribu hingga 1 juta per meter persegi. Meskipun sangat mahal, sebagian besar tanah di Labuan Bajo sudah jatuh ke tangan orang asing atau pemodal. Maka tak heran, wilayah pesisir pantai di Labuan Bajo saja sebagian besar sudah jatuh kepada kepemilikan pribadi. Panjang pesisir pantai yang seluruhnya 30 km di sebelah utara, barat, dan selatan, kini hanya tersisa di sebelah barat, yaitu Pantai Pede yang panjangnya hanya sekitar 1 km.Demikian pula dengan pulau-pulau di sekitar kota Labuan Bajo, ada sekitar 264 pulau. Di luar itu, masih ada banyak tanah yang bersertifikat ganda. Yang paling potensial di persoalkan adalah tanah yang berada di sekitar wilayah Pantai Wae Cicu, Batu Cermin, Bukit Cinta, atau Kawasan Ujung Bandara Udara dan Kawasan Menjerite.

Kerumitan itu berbuntut pada sertifikasi tanah. Agus Kalbu ketika masih menjabat sebagai Kepala Desa Batu Cermin mengatakan bahwa di Labuan Bajo banyak sekali sertifikat ganda. “Ada sekitar 90 sertifikat ganda yang bila ditelusuri tidak punya atas hak untuk terbit sebagai sertifikat,” katanya. Menjerite termasuk daerah yang paling rawan dengan sertifikat ganda. Agus mengatakan, sertifikat ganda muncul saat pembagian tanah mulai diinvertensi pemerintah. Yang membagi tanah bukan lagi fungsionaris adat yang berafiliasi dengan struktur adat tetapi fungsionaris adat yang dibentuk pemerintah.

“Sebenarnya tidak semua tanah di Labuan Bajo bermasalah. Rata-rata tanah yang bermasalah merupakan yang dulu pernah dibagi oleh pemerintah. Dalam perjalanan waktu tanah itu sebagian disertifikat oleh badan pertanahan tanpa

memeriksa asal usul tanah sehingga terjadi tupang tindih kepemilikan dan lain-lain” katanya.

Camat Komodo menambahkan, sebagian besar tanah bermasalah sekarang ini karena pembagian tanah pada era 1990-an.“Rata-rata tanah yang bermasalah sekarang merupakan hasil pembagian tahun 1990- yang mana dibagikan oleh dari ketua adat dan di saksisan pemerintah setempat. Banyak tanah yang digugat, sertifikat digugat, pejabat-pejabat digugat, ada surat pelepasan ganda.” jelasnya.

Sementara itu, Ndeo, Kakanwil Badan Pertahanan Nasional Mabar (tahun 2015) mengatakan banyak yang mengklaim tanahnya dibagi secara ada tetapi batasnya tidak jelas. “Bagaimana dibilang tanah adat, sementara batas tanah tidak jelas. (Contoh kasus) di Golo Mori ada tanah yang di komplain warga dari desa lain,” ujarnya. Ia juga menambahkan, banyaknya sertifikat ganda disebabkan oleh sistem manual dan sederhana di badan pertahahan di masa lalu. Hal itu membuat urusan tanah rentan manipulasi dan kehilangan data-data terkait tanah. Kini, badan pertanahan terbantu dengan adanya sistem online sejak tahun 2013.

Usman (1999) menggambarkan terjadinya konflik pertanahan sebagai akibat dari dampak kegiatan industry yang berkaitan erat dengan bentuk hubungan sosial yang terjalin di antara para stakeholders: masyarakat, pemerintah, pihak pengusaha industry, serta instansi-instansi lain (termasuk lembaga swadaya masyarakat dan lembaga keagamaan) yang aktivitasnya tekait langsung dengan ketiganya. Sedangkan Muchsin menyatakan, sumber sengketa tanah yang terjadi secara umum dapat dibagi menjadi 5 kelompok.

Pemerintah orde baru menetapkan kebijakan berupa tanah sebagai bagian dari sumber daya agraria tidak lagi menjadi sumber produksi atau tanah tidak lagi untuk kemakmuran rakyat, melainkan tanah sebagai asset pembangunan demi mengejar pertumbuhan ekonomi yang bahkan kebijakan itu sangat merugikan kepentingan rakyat. Kebijakan pemerintah orde baru dapat menimbulkan sengketa penguasaan sumber daya agrarian antara pemilik sumber daya agrarian dalam hal ini rakyat dengan para pemilik modal yang difasilitasi oleh Pemerintah.

Kedua, Tumpang tindih Peraturan Perundang-undangan tentang Sumber Daya Agraria.

Undang-Undang Pokok Agraria sebagai induk dari sumber daya agrarian lainnya, namun dalam berjalan waktu dibuatlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sumber daya agraria yang tidak menempatkan UUPA sebagai UU induknya, bahkan justru menempatkan UUPA sejajar dengan UU agraria lainnya sebagai Undang-undang Sektoral (UU Kehutanan), UU Pertambangan, Minyak dan Gas bumi, UU lingkungan, dan UU Tata Ruang yang tidak mengacu pada UUPA.

Ketiga, Tumpang tindih penggunaan tanah

Tumpang tindih penggunaan tanah, terkait dengan kebijakan pemerintah dalam pemanfaatan tanah yaitu pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan rencana tata ruangnya, sebagai contoh pemberian ijin oleh Pemerintah Daerah setempat untuk berdirinya sebuah pabrik atau perumahan di atas sawah yang produktif, berdirinya pabrik ditengah-tengah perumahan, berdirinya perumahan ditengah-tengah kawasan industry.

Keempat, Kwalitas sumber daya manusia dari aparat pelaksana peraturan sumber daya agraria.

Dalam melaksanakan tugasnya, aparat pelaksana melakukan penyimpangan terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku timbulnya praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Aparat pelaksana lebih memperhatikan kepentingan para pemilik modal daripada kepentingan pemilik tanah atau mengacuhkan kelestarian lingkungan hidup.

Kelima, Berubahnya pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah

Terkait dengan tanah sebagai asset pembangunan, maka muncul perubahan pola pikir masyarakat terhadap penguasaan tanah, yaitu tidak lagi menempatkan tanah sebagai sumber produksi akan tetapi menjadikan tanah sebagai sarana untuk investasi atau komoditas ekonomi.

Akar permasalahan sengketa pertanahan dalam garis besarnya dapat ditimbulkan oleh hal-hal sebagai berikut:

a. Konflik kepentingan yang disebabkan karena adanya persaingan kepentingan yang terkait dengan kepentingan substansi.

b. Konflik structural yang disebabkan antara lain karena pola perilaku atau interaksi yang destruktif; kontrol pemilikan atau pembagian sumber daya yang tidak seimbang; kekuasaan kewenangan yang tidak seimbang, serta factor geografis, fisik atau lingkungan yang menghambat kerjasama;

c. Konflik nilai, disebabkan karena perbedaan kriteria yang digunakan untuk mengevaluasi gagasan atau perilaku, perbedaan gaya hidup, ideology atau agama/kepercayaan;

d. Konflik hubungan, yang disebabkan karena emosi yang berlebihan, persepsi yang keliru, komunikasi yang buruk atau salah, pengulangan perilaku yang negatif;

e. Konflik data, yang disebabkan karena informasi yang tidak lengkap, informasi yang keliru, pendapat yang berbeda tentang hal-hal yang relevan, interpretasi data yang berbeda, dan perbedaan prosedur penilaian.

Dari berbagai pendapat tentang akar permasalah tersebut di atas, maka secara komprehensif pada hakekatnya konflik yang akhirnya menjadi sengketa tanah terjadi di sebabkan oleh:

1. Kurang tertibnya administrasi pertanahan masa lalu. 2. Ketimpangan struktur penguasaan dan pemilikan tanah. 3. Masalah tumpang tindih ijin lokasi.

4. Meningkatnya kebutuhan tanah, sehingga harga tanah tidak dapat dikendalikan karena ulah mafia tanah.

5. Masalah batas dan letak bidang tanah. 6. Masalah pengadaan tanah dan ganti rugi. 7. Masalah tanah objek landreform.

8. Masalah tanah Hak Ulayat.

9. Peraturan perundangan saling tumpang tindih, baik secara horizontal maupun vertical, demikian juga substansi yang diatur.

10. Masih banyaknya terdapat tanah terlantar.

12. Kurang cermat Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam menjalani tugasnya.

13. Masalah pelaksanaan putusan pengadilan.

14. Belum terdapat persamaan presepsi atau interpretasi para penegak hukum khususnya hakim terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Masalah pelaksanaan putusan pengadilan.

b. Upaya Penyelesaian

Dalam meredam dan menyelesaikan gejolak yang berpotensi terhadap terjadinya konflik, pemerintah menggunakan cara yang sering digunakan dalam penyelesaian konflik yaitu dengan melakukan negosiasi, mediasi dan fasilitasi. Cara ini lazim di gunakan baik ditingkat lokal, nasional maupun dunia internasional dalam resolusi konflik. Pihak ketiga seperti pemerintah maupun pihak luar yag bukan terlibat dalam konflik akan berperan sebagai mediator dan fasilitator. Peranan pemerintah daerah dalam melakukan mediasi atau sebagai mediator dapat dilihat dari upaya mempertemukan berbagai pihak terkait dalam hal ini masyarakat (individu) dan pemodal atau investor dimana mereka bisa menyampaikan keluhan dan tuntutanya secara langsung, menggali informasi sebanyak banyaknya dari masing-masing pihak dalam pertemuan, mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan masing-masing pihak, mengetahui perbedaan-perbedaan dalam pertemuan, mencari kata sepakat dalam pertemuan baik lisan maupun tulisan dan menyusun rencana tindak lanjut dari hasil yang dicapai, termasuk agenda pertemuan berikutnya.

Upaya penyelesaian konflik dalam konflik perebutan lahan antara masyarakat dengan pemodal yang selalu dilakukan oleh pihak-pihak berkaitan hasilnya juga tidak sedikit gagal atau belum ada titik temu yang pas untuk menyelesaikan masalah ini. Masing-masing pihak mempertahankan aspirasinya bahwa tanah itu milik pemodal maupun milik masyarakat. Pemerintah tidak ada yang bertanggung jawab dalam menyelesaikan masalah tersebut. Hanya berapa dialog tetapi belum ada keputusan yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini. Dari hasil wawancara di temukan jika upaya pemerintah daerah untuk menyelesaikan masalah ini belum ada kejelasan. Dari pihak pemerintah belum berani memutuskan secara tegas bagaimana cara yang tepat untuk mengatasi masalah ini karena dibatasi oleh kata “bukan wewenag” dan juga keraguan untuk mengambil keputusan, karena dari masing-masing pihak ada yang pro dan ada yang kontra. Menyebabkan masalah tersebut sulit untuk diselesaikan.

Tidak hanya itu saja, dalam penyelesaian konflik ini juga pemerintah melakukan dengan cara kompromi (Compromise) atau negosiasi yaitu masing-masing memberikan dan menawarkan sesuatu pada waktu yang bersamaan, saling memberi dan menerima, saling mendukung satu sama lain serta saling kerja sama untuk menyelesaikan masalah ini. Solusi yang selalu ditawarkan pemerintah jika kepada yang bersengkata adalah menjual tanah sengketa lalu hasil dibagi dua, namun pihak yang merasa di rugikan selalu menolak usulan tersebut. Hal ini dikarenakan di masing-masing pihak merasa mereka mempunyai bukti yang kuat untuk mempertahankan keyakinannya. Oleh karena itu langkah terakhir yang di tempuh pemerintah jika mediasi

sudah cukup berulang dilaksanakan dan tetap saja berhasil sama yaitu mengusulkan untuk melanjutkan kepengadilan bagi pihak yang merasa dirugikan.

Selanjutnya jika sudah di berlanjut di pengadilan kasus tersebut otomatis di selesaikan sepenuhnya dipengadilan, dan apabila keputusan sudah keluar dimana dinyatakan ada yang kalah dan menang, pihak pemerintah tidak jarang melakukan pendekatan kembali kepada yang dinyatakan kalah untuk memberikan penguatan dan penegertian agar kasus benar-benar selesai dengan lapang.

74 BAB V

Dokumen terkait