8
BAB II Tinjauan Pustaka
Sebelum membahas lebih luas mengenai strategi pengelolaan utang luar negeri sebuah Negara serta kebijakan yang diberikan oleh Negara pemberi utang, tinjauan pustaka penelitian ini menjelaskan 6 poin penting. Pertama mengenai pentingnya menentukan strategi pengelolaan utang luar negeri yang dimiliki suatu negara. Kedua, pada perencanaannya, beberapa indikator utang luar negeri pun dihitung dan dianalisis terlebih dahulu guna menentukan arah strategi dan kebijakan yang akan diambil pemerintah. Ketiga, penentuan tepat atau tidaknya strategi yang diambil pemerintah ditentukan oleh beberapa kriteria. Keempat, membahas faktor pendorong dan faktor penghambat di dalam strategi pengelolaan yang baik. Kelima, menjelaskan perbedaan strategi pengelolaan utang Negara Maju dan Negara Sedang Berkembang dapat dijadikan acuan dan perhatian lebih oleh sebuah negara dalam mengembangkan strategi pengelolaan utangnya.
Terakhir, mengupas bagaimana Negara dalam menentukan strategi dan
mengambil kebijakan pengelolaan utangnya terkadang dibingungkan pada kedaulatan yang dibuat dengan intervensi dari Negara pemberi utang.
Pentingnya Sebuah Strategi dan Kebijakan Pengelolaan Utang Luar Negeri
Menentukan sebuah strategi pengelolaan utang sebuah negara itu penting. Mengapa? Karena alasan yang pertama, ini akan menjadikan semua pihak yang berkepentingan dalam penyelenggaraan keuangan negara yakin, bahwa utang yang dimiliki akan dikelola dengan proses pengelolaan utang yang transparan, akuntabel dengan baik dan bertanggung jawab (Carbaugh, 2013). Kedua, hal ini bertujuan untuk meminimalisasi biaya pada tingkat risiko yang terkendali. Krisis yang terjadi baik itu bersifat lokal, regional maupun global menjadi tugas berat untuk Negara sebagai pengelola utang. Sehingga dengan penentuan strategi dan kebijakan yang benar mampu mengatasi krisis dan mengendalikan biaya yang harus dikeluarkan. Ketiga, utang negara yang tidak ditujukan untuk memperbaiki daya saing negara melalui peningkatan produktivitas hanya akan membebani perekonomian (Krugman, 2008), artinya utang yang dimiliki harus benar-benar digunakan sesuai dengan kebutuhan yang sudah direncanakan seperti
9
meningkatkan infrastruktur dan pengembangan untuk pasar dalam negeri (investasi khususnya). Ketika utang luar negeri malah disalahgunakan oleh para oknum yang tidak bertanggung jawab, maka akibatnya semakin besar juga utang yang Negara harus tanggung. Keempat, Daya saing yang rendah dan perkiraaan pertumbuhan ekonomi yang rendah bagi beberapa negara mempersulit kemampuannya untuk membayar utang (Carbaugh, 2013). Dengan begitu, investor asing enggan untuk melakukan kerjasama dan berinvestasi di dalam negeri dan dampaknya dapat menurunkan pendapatan Negara yang pada akhirnya utang dimiliki lebih susah untuk dikembalikan karena tidak adanya pendapatan Negara untuk menutupi utang yang ada. Akibatnya, pengelolaan utang luar negeri yang baik meningkatkan daya saing dan juga pertumbuhan ekonomi yang baik.
Indikator Utang Luar Negeri Penentu Arah Strategi dan Kebijakan Pengelolaan
Hitungan dan analisis dari indikator ini menjadi penting karena menghasilkan data yang dapat dijadikan acuan atau pedoman bagi pemerintah dalam membuat dan menentukan strategi dan kebijakan yang lebih tepat sasaran. Pada dasarnya utang luar negeri adalah berkelanjutan dan merupakan bagian penting dari strategi pemerintah di banyak negara (Perkins dkk, 2006), membantu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi seperti menghasilkan pendapatan yang nantinya sebagian persentasenya digunakan untuk mengembalikan utang kepada Negara pemberi utang. Dengan adanya indikator utang luar negeri, dapat dilihat seberapa besar rasio kemampuan sebuah negara dalam membayar kembali kewajiban utang yang dimiliki (baik pokok dan bunga utang luar negeri) dan beberapa aspek yang digunakan yaitu GDP, ekspor dan cadangan devisa.
Menurut (Perkins dkk, 2006) dalam buku Economic of Development, ada beberapa indikator utang luar negeri yang dapat dianalisis sebagai berikut:
1. Rasio utang terhadap GDP, membandingkan utang luar negeri yang dimiliki sebuah Negara dengan total kemampuan ekonomi menghasilkan sumber daya untuk membayar kembali dan hasil perhitungan menggunakan nilai bersih utang terhadap GDP. Ketika angka yang dihasilkan dari perhitungan melebihi pada kisaran persentase 30%-50%, maka analisis yang didapat adalah Negara cenderung mengalami kesulitan
10
dalam mengembalikan utang luar negerinya. Sebaliknya, ketika angkanya kurang dari 30% artinya Negara berada pada kondisi baik atau tidak kesulitan dalam utang. Rasio ini dapat mengecek kesehatan keuangan suatu Negara (Rachmadi, 2013).
2. Rasio utang terhadap ekspor, membandingkan total utang luar negeri yang dimiliki dengan kemampuan negara dalam menghasilkan devisa. Sehingga dapat diketahui seberapa besar pendapatan yang dihasilkan oleh ekspor negara disisihkan untuk dapat membayar kembali utang kepada negara pemberi utang. Kecenderungan untuk ekspor diharapkan lebih besar daripada nilai GDP. Nilai ambang batas atas rasio ini untuk sebuah negara antara 100-300%, biasanya sekitar 200%. Jika angka dari hasil perhitungan melebihi angka ambang batas atas rasio ini, maka dapat dikatakan bahwa pendapatan ekspor yang dihasilkan seluruhnya digunakan untuk membayar utang kepada Negara pemberi utang. Sebaliknya, jika angkanya kurang dari 100% maka hanya sebagian kecil dari pendapatan ekspor yang digunakan untuk membayar utang sedangkan sisanya untuk cadangan devisa.
3. Rasio utang terhadap ekspor bersih, membandingkan jumlah utang luar negeri yang dimiliki dengan kemampuan negara dalam menghasilkan devisa dari jumlah ekspor bersih yang telah diperoleh dari perhitungan ekspor dikurangi oleh impor. Dalam aktivitas perdagangan luar negeri tentunya yang diharapkan Negara adalah nilai ekspor lebih besar daripada nilai impornya karena mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri dan pada perhitungan rasio menghasilkan angka yang kecil, apabila nilai ekspor lebih kecil daripada nilai impornya justru akan membebani Negara dalam pengembalian utang karena cadangan devisa habis digunakan untuk membiayai aktivitas impor dan pada hasil perhitungannya nilai rasionya negatif.
4. Rasio utang terhadap cadangan devisa, membandingkan utang luar negeri yang dimiliki dengan kemampuan negara dalam menjaga jumlah cadangan devisanya yang tersedia. Cadangan devisa yang ada diharapkan tidak
11
digunakan dalam jumlah yang besar untuk membantu menyediakan dana pengembalian utang luar negeri. Negara akan mudah mengalami penarikan modal cepat dan terhindar dari krisis keuangan ketika perbandingan antara jumlah utang luar negeri dan cadangan devisa yang dimiliki adalah 1:1. Setelah melalui analisis dari perhitungan indikator utang luar negeri diatas, selanjutnya dapat dianalisis ketahanan utangnya. Analisis ini mengukur kemampuan sebuah Negara dalam mengelola, menjalankan kebijakan keuangan berikut dengan penyesuaian utang dan dapat menjadikan stabilitas makroekonomi dan kerjasama ekonomi berjalan dengan baik. Dalam Buku Public Sector Debt
Statistic ada 3 definisi yang dapat menjelaskan ketahanan utang, yaitu:
1. Pemerintah dikatakan mampu membayar utang (solvent) jika angka pengeluaran wajib baik sekarang maupun yang akan datang tidak lebih besar dari pendapatan Negara yang diterima sekarang ataupun yang akan datang.
2. Pemerintah dikatakan dapat memenuhi kebutuhan dana (liquid) jika mampu membayar kewajiban utang jatuh temponya secara berkala dan tepat waktu.
3. Ketahanan utang juga mengambil ide bahwa ada batas penyesuaian sosial dan politik dalam pengeluaran dan pendapatan yang menentukan kemampuan negara (berlawanan dengan kemampuan ekonomi) untuk membayar kembali utangnya.
Pada tahun 2005, Bank Dunia dan IMF (International Monetary Fund) bekerjasama memperkenalkan kerangka kerja ketahanan utang untuk negara berpendapatan rendah atau dikenal dengan DSF (Debt Sustainability Framework). DSF merupakan alat analisis pembuat kebijakan untuk menyeimbangkan tujuan pembangunan dan mempertahankan keberlanjutan utang luar negeri. Saat itu DSF menjadi alat yang efektif untuk analisis ketahanan utang untuk negara berpendapatan rendah. Didalam DSF terdapat 4 tingkatan distress utang luar negeri, dimana penentuan tingkatan berdasarkan pada perbandingan indikator utang luar negeri yang dimiliki dengan batas beban utang yang nantinya akan berdampak pada pengambilan kebijakan strategi oleh pemerintah.
12
Penentuan ambang batas pada DSF diukur oleh Indeks Kebijakan Negara dan Penilaian Kelembagaan atau yang dikenal dengan sebutan CPIA (Country Policy
and Institutional Assessment) Indeks yang disusun oleh Bank Dunia setiap tahun.
Dan 4 tingkatan tersebut diantaranya:
1. Low Risk, semua angka indikator utang luar negeri berada jauh dibawah ambang batas.
2. Moderate Risk, angka indikator utang luar negeri berada dibawah ambang batas saat sebelum dilakukan perhitungan, tetapi setelah dilakukan perhitungan angkanya melebihi ambang batas jika ada guncangan dari luar atau perubahan secara tiba-tiba pada kebijakan makro ekonomi.
3. High Risk, satu atau lebih indikator utang luar negeri angkanya melebihi ambang batas bawah.
4. Debt Distress, dalam keadaan ini Negara sudah mengalami kesulitan dalam pembayaran utang luar negerinya.
Bagaimana Mengatakan Strategi Pemerintah Sudah Tepat atau Tidak?
Dalam setiap strategi pengelolaan yang dirancang tentunya memiliki tujuan untuk dapat mengatasi permasalahan yang terjadi ataupun memperbaiki permasalahan yang sudah terjadi sebelumnya. Setelah mengetahui penilaian dari analisis sebelumnya mengenai indikator utang luar negeri, penelitian ini dapat memberikan kriteria untuk dapat mengatakan tepat atau tidaknya strategi yang sudah disusun pemerintah, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, yakni:
Strategi pemerintah dikatakan tepat jika:
- Pada indikator utang luar negeri, rasio utangnya low risk.
- Hasil analisis ketahanan utang, pemerintah berada pada keadaan
solvent dan liquid.
Strategi pemerintah dikatakan tidak tepat jika:
- Pada indikator utang luar negeri, rasio utangnya high risk bahkan debt
distress.
- Hasil analisis ketahanan utang, pemerintah berada pada kondisi
13
Faktor-faktor yang Mendorong dan Menghambat Pelaksanaan Strategi Pengelolaan Utang Luar Negeri
Buku Strategi Pengelolaan Utang Negara Tahun 2010-2014 menjelaskan bahwa Negara dalam melaksanakan sebuah strategi pengelolaan utang luar negeri dituntut memiliki beberapa faktor, baik itu faktor yang mendorong ataupun faktor yang menghambat.
Berhasil atau tidaknya pelaksanaan Strategi pengelolaan utang luar negeri dapat dilihat dari 2 faktor berikut:
Faktor Pendorong Strategi Pengelolaan Utang Luar Negeri
Adanya faktor pendorong ini, artinya Negara bisa menggunakan utang luar negeri yang dipinjam untuk membuka lapangan pekerjaan dan juga investasi dibidang pembangunan (Rachmadi, 2013).
Beberapa faktor pendorong yang bisa mendukung dalam pengelolaan utang dengan baik adalah sebagai berikut:
1. Kondisi ekonomi yang bagus. Menurut Badan Pusat Statistik dalam Berita Resmi Statistik mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I tahun 2013 sebesar 2,146.4 meningkat 1.41 persen dibandingkan triwulan IV tahun 2012 sebesar 2,095.7 dilihat dari kenaikan GDP atas harga konstan (Berita Resmi Statistik, 2013). Logikanya, ketika pertumbuhan ekonomi yang mengalami peningkatan dan diimbangi dengan peningkatan pendapatan Negara diharapkan nantinya Negara bisa mengumpulkan sedikit demi sedikit kelebihan uangnya untuk membayar utang yang dimiliki. Stabilitas dari ekonomi makro ini juga merupakan salah satu faktor yang penting dalam menarik negara-negara lain untuk terlibat hubungan kerjasama ekonomi dengan Indonesia (Bilateral Kementerian Keuangan RI, 2012). Seperti pada Februari 2012 yang lalu, ditengah kinerja ekonomi global yang menurun, Indonesia mengambil langkah antisipatif dengan menurunkan BI rate sebesar 25 Basis Point (bps) untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Negara (BI, 2013).
2. Aktivitas ekspor berjalan dengan baik. Meningkatnya aktivitas ekspor merupakan sebuah investasi yang bagus untuk lebih mendatangkan valas dan menambah pasokan valas untuk membayar utang luar negeri. Namun
14
yang harus diperhatikan adalah orientasi perdagangan Indonesia sekarang harus lebih mengarah kepada aktivitas ekspor dibandingkan impornya. 3. Review pada strategi yang telah disusun sebelumnya (Direktorat Jendral
Pengelolaan Utang, 2010). Dengan mengevaluasi dan memperhatikan lagi strategi mana yang sudah berhasil untuk dijadikan acuan ke depannya dan strategi yang belum berhasil untuk dikaji kembali. Lihat grafik berikut ini:
Grafik 1. Rasio Utang Indonesia terhadap GDP 2005-Juni 2010
Sumber: Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, 2010)
Dari Grafik 1. diatas ditunjukan bahwa terjadi penurunan rasio utang terhadap GDP dari tahun ke tahun. Strategi pengelolaan utang oleh DJPU pada tahun 2005-2010 menargetkan penurunan rasio utang dibawah 40 persen dan hasilnya sampai juni 2010, rasio utang terhadap GDP turun sebesar 27 persen. Ini menunjukan bahwa strategi meningkatkan GDP berhasil dijalankan pada 2010 lalu karena tambahan utang bersih cukup terkendali dan pertumbuhan utang lebih rendah bila dibandingkan dengan pertumbuhan GDP sendiri.
4. Peningkatan efisiensi. Upaya penurunan biaya utang dan upaya peningkatan bisnis pengelolaan utang (Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, 2010). Sampai sekarang upaya-upaya tersebut masih akan terus menerus dilakukan oleh pemerintah Indonesia agar tercapainya tujuan untuk menghindari default (gagal bayar) dengan bekerjasama dengan beberapa pihak terkait.
15
Faktor Penghambat Strategi Pengelolaan Utang Luar Negeri
Faktor penghambat pada bagian ini merupakan kegagalan sebuah Negara karena belum menemukan jalan keluar penyelesaian masalah utang luar negeri. Salah satunya adalah dalam menanggapi kasus-kasus yang terjadi di dalam negeri. Beberapa faktor penghambat yang dapat memperburuk Negara dalam pengelolaan utang luar negeri adalah sebagai berikut:
1. Tindak korupsi. Sudah sangat banyak kasus yang ditimbulkan dari penyimpangan utang Negara oleh oknum tidak bertanggung jawab dikarenakan Institusi yang korupsi, inefisien dan kurang transparan. Hal ini secara signifikan bertolak belakang dengan persyaratan kunci untuk menarik minat investor melakukan aktivitas investasi di dalam negeri (Bilateral Kementerian Keuangan RI, 2012). Berdasarkan survei oleh Bank Dunia, Indonesia menempati peringkat ke-61 dengan nilai 4 (skala 1-7) dalam hal institusi yang inefisien dan kurang transparan (Arifinsjah, 2012).
2. Infrastruktur yang tidak memadai (Bilateral Kementerian Keuangan RI, 2012). Salah satu kelemahan mendasar yang dimiliki Indonesia dan dapat menghambat perkembangan aktivitas perdagangan dan investasi yang seharusnya berjalan dengan baik. Infrastruktur yang tidak berkualitas, khususnya infrastruktur fisik seperti jalan, rel kereta api, pelabuhan dan juga sarana pelabuhan udara, jaringan telekomunikasi membuat harus lebih diperhatikan lagi. Dan untuk kualitas infrastrukturnya, Indonesia menempati peringkat ke-82 berdasarkan survei yang dilakukan oleh WEF (World Economic Forum) (Bilateral Kementerian Keuangan RI, 2012). Akibatnya, pengembangan infrastruktur dan pengembangan sarana publik dari pemerintah juga harus ditingkatkan lagi (Rachmadi, 2013).
3. Nilai tukar yang tidak stabil. Akibat terdepresiasi nilai tukar rupiah kita terhadap dolar AS merupakan sebuah tekanan untuk Negara sendiri. Ini disebabkan oleh ketidakpastian ekonomi global dan semakin melebarnya defisit transaksi berjalan (BI, 2013). Menurut data kurs referensi pada laporan Bank Indonesia, nilai tukar Rupiah terhadap Dolar pada Mei 2013
16
sempat berada pada angka Rp 9,700-an/US$ kemudian mulai mengalami kenaikan sedikit demi sedikit pada bulan-bulan berikutnya sampai pada awal Januari 2014 kurs Rupiah mencapai Rp 12,100-an/US$. Namun kenaikan itu hanya bertahan 1 bulan saja dan pada Februari-Agustus 2014, kurs rupiah mulai stabil pada kisaran angka Rp 11,200- Rp 11,700-an/US$. Dan akibat dari nilai tukar yang tidak stabil ini, Negara harus terus berusaha lebih keras untuk menjaga kestabilan mata uang khususnya untuk mata uang rupiah dari guncangan global agar pergerakannya dalam kurs intenasional tidak terlalu signifikan.
Perbedaan Strategi Pengelolaan Utang Negara Maju dan Negara Sedang Berkembang
Perbedaan strategi pengelolaan utang antara Negara Maju dan Negara Sedang Berkembang berpengaruh pada bagaimana cara suatu Negara mampu mengembalikan utang-utang yang mereka miliki kepada Negara pemberi utang dengan cara meningkatkan produktivitasnya dalam perdagangan maupun kerjasama investasi dengan Negara lain. Namun, tidak semua Negara Maju mampu mengelola utangnya dengan baik, begitupun dengan Negara Sedang Berkembang tidak sedikit juga yang mempunyai strategi pengelolaan utang yang baik. Perbedaan jumlah utang luar negeri yang dimiliki setiap negara menjadikan perbedaan pula dalam negara menerapkan strategi pengelolaan utang luar negerinya.
Perbedaan yang mendasar pada strategi pengelolaan utang diantara Negara Maju dan Negara Sedang Berkembang yaitu di Negara Maju, strategi pengelolaan yang dilakukan lebih memperhatikan pada bagaimana meningkatkan ekspor dengan melakukan pelonggaran nilai tukar mata uangnya. Dengan begitu, hal tersebut mempermudah dalam menjalin dan melakukan hubungan kerjasama dengan Negara lain.
Di Amerika, dalam mengelola utang luar negerinya tidak begitu mengalami kesulitan karena bentuk negaranya yang merupakan salah satu perekonomian terbesar di Dunia. Strateginya yaitu dengan meningkatkan aktivitas ekspornya ke sebagian besar negara-negara di Dunia dengan kebijakan pelonggaran nilai tukar dolar AS (Wangke, 2013). Strategi pengelolaan lainnya adalah pada aktivitas
17
investasi yang berjalan dengan baik sehingga utang yang dimiliki dengan mudah dapat terbayar dan para investor asing pun begitu menyukai AS sebagai Negara tujuan investasinya. Terbukti, pada tahun-tahun pasca krisis terakhir tahun 2008 yang lalu, berdasarkan data U.S Trust Corporation (salah satu Bank Swasta di Amerika) aliran dana masuk FDI (Foreign Direct Investment)1Amerika menembus angka US$ 736 miliar pada Juni 2013 yang lalu dan jumlah itu setara dengan 15% dari total pemasukan Dunia2.
Di Jepang, Pengelolaan utangnya lebih mengarah pada mengutamakan strategi manajemen fiskal dalam negeri untuk memperbaiki perekonomian karena kebijakan fiskal di Jepang merupakan kebijakan tertinggi (OECD, 2013). Strategi Jepang berupa gabungan kebijakan moneter yang tegas. Jepang juga melakukan pelonggaran nilai tukar yen agar ekspor manufaktur Jepang meningkat (Wangke, 2013).
Di Singapura, pertumbuhan pada pasar sekuritas pemerintah Singapura (SGS) menjadi pengelolaan utang Singapura (Monetary Authority Singapore, 2012). Sedangkan di Negara Berkembang, Indonesia, cenderung strategi pengelolaannnya lebih menitikberatkan pada peningkatan daya serap pada pasar SBN (Surat Berharga Negara)3 domestik dan juga pada kualitas unit pengelolaan utang sendiri (Direktorat Jendral Pengelolaan Utang, 2010). Strategi lainnya berupa kekuatan fiskal khususnya untuk refinancing dan memperbaiki kondisi pertumbuhan ekonomi dalam negeri (Kuncoro, 2011). Adapun strategi yang sudah pernah dijalankan dan cukup memberikan hasil yang baik dapat dilihat pada tabel 4.
1
Investasi yang dilakukan didalam suatu Negara oleh investor asing Negara lain.
2http://bisnis.liputan6.com/read/620148/rahasia-kenapa-amerika-selalu-merajai-ekonomi-dunia 23
Mei 2013
3 Surat utang Negara berbentuk sekuritas meliputi surat berharga konvensional dan surat berharga
18
Tabel 1. Pelaksanaan Debt Switch 2005-Juni 2010 (dalam juta Rupiah) Tahun Nilai Nominal ATM4 SBN yang Ditarik ATM SBN yang Diterbitkan 2005 5,673,000 1.62 14.94 2006 31,179,000 2.13 12.33 2007 15,782,000 3.79 20.12 2008 4,571,000 3.44 13.94 2009 2,938,000 2.52 12.84 2010 2,376,000 2.00 20.02 Jumlah 62,519,000 2.61 14.97 Sumber: Direktorat Jendral Pengelolaan Utang Negara, 2010
Dari Tabel 4. diatas, dapat dikatakan bahwa dengan program debt switch5 SBN pemerintah berusaha untuk dapat mengurangi resiko dari refinancing dan cukup mendapat sambutan baik dari para investor. Meskipun besaran utang ditahun 2008-2009 yang menjadi target untuk program ini relatif rendah bila dibandingkan dengan tahun-tahun yang sebelumnya, pemerintah tetap melakukan program ini dengan hati-hati dan dalam jumlah relatif kecil. Salah satu keberhasilan pengelolaan utang oleh Negara pada tahun 2005-2010 ini juga membuat Negara semakin yakin untuk strategi pengelolaan utang mendatang mampu menurunkan rasio utang terhadap GDP lebih rendah lagi dan akan lebih mudah dalam
refinancing.
4 Average Time Maturity, rata-rata utang jatuh tempo dengan satuan waktu tahunan. Untuk SBN
yang diterbitkan ditentukan ATM yang lebih lama daripada SBN yang ditarik.
5 Program restrukturisasi SBN, kaitannya erat dengan kondisi pasar keuangan dan merupakan
19
Pengelolaan Utang: Kedaulatan atau Intervensi?
Menentukan Strategi dan kebijakan pengelolaan utang tidak terlepas juga dari pengaruh kedaulatan negara sendiri dan intervensi dari negara pemberi utang. Pengelolaan utang Negara yang berdasarkan pengaruh kedaulatan mengarah pada kewenangan dan hak Negara untuk memilih variabel apa yang dipakai untuk mengelola utang berdasarkan variabel ekonomi dan variabel non ekonomi berkaitan dengan pendapatan dan pengeluarannya. Prinsip yang harus dipegang oleh kedaulatan ini adalah bagaimana cara Negara mengelola dan memaksimalkan setiap kekuatan sumber daya yang dimiliki agar tidak terus terjebak dalam utang luar negeri6.
Pengaruh berdasarkan intervensi mengarah pada reaksi yang dilakukan oleh Negara pemberi utang kepada Negara yang diberi utang. Artinya, bisa dikatakan bahwa dalam pemberian kebijakan utang kepada Negara yang diberi utang biasanya berdasarkan pada penerapan dari pengalaman Negara pemberi utang dalam mengelola utangnya. Intervensi dari Negara pemberi utang dirasa semakin terlihat ketika dana-dana asing berupa utang dan juga hibah luar negeri banyak yang diterima oleh pemerintah. Menurut Dani Setiawan selaku Ketua KAU (Koalisi Anti Utang), utang Negara juga menimbulkan intervensi pada kebijakan-kebijakan pemerintah dan UU nasional seperti UU migas, UU penanaman modal dan juga UU ketenagakerjaan7.
Dari ketiga Negara pemberi utang kepada Indonesia, Jepang salah satu Negara pemberi utang terbesar pada tahun 2012 (Bilateral Kementerian Keuangan RI, 2012). Sehingga sebagian besar intervensi dalam kebijakan yang diberlakukan untuk pengelolaan utang di Indonesia berasal dari Negara Jepang.
6
Penyataan Budiman Sudjatmiko, Ketua Umun REPDEM (Relawan Perjuangan Demokrasi).
http://economy.okezone.com/reas/2008/05/19/212/110599/membebaskan-dari-jeratan-utang 19 Mei 2008
7http://www.ipotnews.com/Utang-Luar-Negeri-Meningkat-Asing-Intervensi-Kebijakan-Ekonomi/