BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Uraian Tanaman Pala 2.1.1 Sistematika Tanaman Kingdom : Plantae Subkingdom : Tracheobionta Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Subkelas : Magnoliidae Ordo : Magnoliales Famili : Myristicaceae Genus : Myristica
Spesies : Myristica fragrans Houtt (Agusta, 2000).
2.1.2 Jenis Jenis Tanaman Pala
Di Indonesia ada beberapa jenis pala yang dikenal, diantaranya : Myristica
fragrans, yang merupakan jenis utama dan mendominasi jenis lain dalam segi
mutu maupun produktivitas. Tanaman ini merupakan tanaman asli pulau Banda.
Myristica argenta Warb, lebih dikenal dengan nama Papuanoot asli dari Papua,
khususnya di daerah kepala burung. Tumbuh di hutan-hutan, mutunya dibawah pala Banda. Myristica scheffert Warb, terdapat di hutan-hutan Papua. Myristica
speciosa, terdapat di pulau Bacan. Jenis ini tidak mempunyai nilai ekonomi. Myristica succeanea, terdapat di pulau Halmahera. Jenis ini tidak mempunyai
nilai ekonomi (Rismunandar, 1992).
2.1.3 Karakteristik Umum
Pohon pala dapat tumbuh di daerah tropis pada ketinggian di bawah 700 m dari permukaan laut, beriklim lembab dan panas, curah hujan 2.000 - 3.500 mm tanpa mengalami periode musim kering secara nyata. Tanaman pala umumnya dibudidayakan di Kepulauan Maluku, khususnya Ambon dan Banda. Ditanam dalam skala kecil di kepulauan lainnya sekitar Banda, Manado, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan Papua. Dalam perdagangan, salut biji pala dinamakan fuli, atau dalam bahasa Inggris disebut mace, dalam istilah farmasi disebut myristicae arillus atau macis. Daging buah pala dinamakan myristicae fructus cortex (Lutony, 2002).
Tumbuhan ini berumah dua (dioecious) sehingga dikenal pohon jantan dan pohon betina. Daunnya berbentuk elips langsing. Bunga pala berwarna kuning pucat, lunak dan berbau harum. Buah pala berwarna kuning hijau, tekstur keras, diameter bervariasi antara 3 - 9 sentimeter. Bila buah masak maka daging buahnya akan terbuka, sehingga terlihat biji yang berwarna coklat dan tertutup oleh arilis berwarna merah cerah dan berbentuk seperti jala atau berlubang-lubang. Selaput merah ini jika telah kering disebut fulu (mace). Biji pala kering bewarna coklat berbentuk bulat telur, panjang kira-kira 1.5 - 4.5 cm dan tebal 1 - 2,5 cm (Rismunandar, 1992).
Cara memperbanyak tanaman pala, dilakukan dengan system penyemaian biji yang kemudian dipindahkan ke tanah yang mempenuhi syarat. Tetapi tanah yang paling baik adalah tanah yang berasal dari gunung berapi, tumbuh subur pada daerah pantai. Karena itu pertumbuhan tanaman tersebut sangat baik pada pulau kecil. Pohon pala mulai berbuah pada umur 8 - 10 tahun, dan hasil maksimum diperoleh pada umur 25 tahun, dan dapat menghasilkan buah hingga umur 60 sampai 70 tahun. Pemanenan dapat dilakukan 3 kali setahun hasil 1000 buah dari pohon pala yang telah tua (Lutony, 2002).
Sebelum dipasarkan, biji pala dijemur hingga kering setelah dipisah dari fulinya. Pengeringan ini memakan waktu enam sampai delapan minggu. Bagian dalam biji akan menyusut dalam proses ini dan akan terdengar bila biji digoyangkan. Cangkang biji akan pecah dan bagian dalam biji dijual sebagai biji pala, yang dikenal di pasaran dengan sebutan pala itu sendiri. Biji pala mengandung minyak atsiri 7-14%. Minyaknya dapat dipakai sebagai campuran parfum atau sabun (Lutony, 2002).
2.1.4 Kandungan Kimia
Daging buah pala seberat 100 g kira-kira terkandung air 10 g, protein 7 g, lemak 33 g, minyak yang menguap dengan komponen utama mono terpene hydrocarbons (61 - 88% seperti alpha pinene, beta pinene, sabinene), asam monoterpenes (5 - 15%), aromatik eter (2 - 18% sepertimyristicin, elemicin). Daging buah pala kering mengandung minyak atsiri 8,5%. Pada arillus terdapat minyak atsiri, minyak lemak, zat samak dan zat pati. Pada bijinya terdapat minyak
atsiri, minyak lemak, saponin, miristisin, elemisi, enzim lipase, pektin, hars, zat samak, lemonena, dan asam oleanolat. Kulit buah mengandung minyak atsiri dan zat samak. Setiap 100 g bunga kira-kira mengandung air 16 g, lemak 22 g, minyak yang menguap 10 g, karbohidrat 48 g, fosfor 0,1 g, zat besi 13 mg. Warna merah dari fulinya adalah lycopene yang sama dengan warna merah pada tomat (Santoso, 1993).
2.1.5 Kegunaan dan Manfaat
Diketahui bahwa senyawa aromatik myristicin, elimicin, dan safrol sebesar 2 - 18% yang terdapat pada biji dan bunga pala bersifat merangsang tidur berkhayal (halusigenik) sehingga dapat mengatasi gangguan tidur. Di beberapa negara Eropa, biji pala di gunakan dalam porsi sedikit sebagai bumbu masakan daging dan sup. Fulinya (kulit pembungkus biji pala) lebih disukai digunakan dalam penyedap masakan, acar dan kecap. Minyak yang mudah menguap dari biji, fuli, kulit, kayu, daun dan bunga hasil sarinya sebagai oleoresins sering digunakan dalam industri pengawetan minuman ringan dan kosmetik (Rismunandar, 1992).
Minyak pala secara luas digunakan sebagai bahan penyedap pada produk makanan dengan dosis yang dianjurkan sekitar 0,08%. Minyak ini memiliki kemampuan mematikan serangga (insektisidal), antijamur (fungisidal) dan antibakteri. Sebagai obat, pala berkhasiat sebagai bahan perangsang (stimulan), mengeluarkan angin (karminatif) dan menciutkan selaput lendir atau pori-pori (Lutony, 2002).
2.2 Minyak Atsiri
Minyak atsiri adalah zat berbau atau biasa disebut dengan minyak esential, minyak eteris karena pada suhu kamar mudah menguap di udara terbuka tanpa mengalami penguraian. Istilah esential atau minyak yang berbau wangi dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman penghasilnya. Dalam keadaan murni dan segar biasanya minyak atsiri umumnya tidak berwarna atau kekuning-kuningan dengan rasa dan bau yang khas. Namun dalam penyimpanan lama minyak atsiri dapat teroksidasi dan membentuk resi serta warnanya berubah menjadi lebih gelap (Agusta, 2000).
Sumber minyak atsiri dapat diperoleh dari setiap bagian tanaman seperti daun, bunga, buah, biji, batang, akar ataupun rimpang. Selain itu dapat larut baik dalam etanol dan pelarut organik, namun sukar larut dalam air dan kurang larut dalam etanol yang kadarnya kurang dari 70%. Umumnya zat organik pada minyak atsiri tersusun dari unsur C, H dan O berupa senyawa alifatis atau aromatis meliputi kelompok hidrokarbon, ester, eter, aldehid, keton, alkohol dan asam (Agusta, 2000).
Minyak atsiri merupakan salah satu hasil sisa proses metabolisme dalam tanaman, yang terbentuk karena reaksi antara berbagai persenyawaan kimia dengan adanya air. Minyak tersebut di sintesis dalam sel kelenjar pada jaringan tanaman dan ada juga yang terbentuk dalam pembuluh resin, misalnya minyak terpentin dari pohon pinus (Guenther, 1990).
2.2.1 Keberadaan Minyak Atsiri dalam Tanaman
Minyak atsiri terkandung dalam berbagai organ, seperti di dalam rambut kelenjar (pada famili Labiatae), di dalam sel-sel parenkim (misalnya famili Piperaceae), di dalam saluran minyak seperti vittae (famili Umbelliferae), di dalam rongga-rongga skizogen dan lisigen (pada famili Pinaceae dan Rutaceae), terkadang dalam semua jaringan (pada famili Conaferae). Pada bunga mawar, kandungan minyak atsiri terbanyak terpusat pada mahkota bunga, pada kayu manis banyak ditemui pada kulit batang (korteks), pada famili Umbelliferae banyak terdapat pada perikarp buah, pada Menthae sp., terdapat dalam rambut kelenjar batang dan daun serta pada jeruk terdapat dalam kulit buah dan helai daun (Guenther, 1987).
2.2.2 Sifat - Sifat Minyak Atsiri
Adapun sifat-sifat minyak atsiri diterangkan sebagai berikut : 1. Tersusun oleh bermacam-macam komponen senyawa.
2. Memiliki bau khas, umumnya bau ini mewakili bau tanaman asalnya.
3. Bau minyak atsiri satu dengan yang lain berbeda-beda, sangat tergantung dari macam dan intensitas bau dari masing-masing komponen penyusun.
4. Mempunyai rasa getir, kadang-kadang berasa tajam, menggigit, memberi kesan hangat sampai panas, atau justru dingin ketika sampai dikulit, tergantung dari jenis komponen penyusunnya.
5. Dalam keadaan murni (belum tercemar oleh senyawa-senyawa lain) mudah menguap pada suhu kamar sehingga bila diteteskan pada selembar kertas
maka ketika dibiarkan menguap, tidak meninggalkan bekas noda pada kertas yang ditempel.
6. Bersifat tidak bisa disabunkan dengan alkali dan tidak bisa berubah menjadi tengik (rancid). Ini berbeda dengan minyak lemak yang tersusun oleh asam-asam lemak.
7. Bersifat tidak stabil terhadap pengaruh lingkungan, baik pengaruh oksigen udara, sinar matahari (terutama gelombang ultra violet), dan panas karena terdiri dari berbagai macam komponen penyusun.
8. Pada umumnya bersifat optis aktif dan memutar bidang polarisasi dengan rotasi yang spesifik karena banyak komponen penyusun yang memiliki atom C asimetrik.
9. Pada umumnya tidak dapat bercampur dengan air, tetapi cukup dapat larut hingga dapat memberikan baunya kepada air walaupun kelarutannya sangat kecil.
10. Sangat mudah larut dalam pelarut organik. 11. Indeks bias umumnya tinggi.
(Sastrohamidjojo, 2004).
2.2.3 Parameter Minyak Atsiri
Beberapa parameter yang biasanya dijadikan standar untuk mengenali kualitas minyak atsiri meliputi bobot jenis, indeks bias, putaran optik dan kelarutan dalam etanol (Sastrohamidjojo, 2004).
2.2.3.1 Bobot Jenis
Bobot jenis merupakan salah satu kriteria penting dalam menentukan mutu dan kemurnian minyak atsiri. Penentuan bobot jenis menggunakan alat piknometer. Bobot jenis minyak atsiri umumnya berkisar antara 0,800-1,180. Nilai bobot jenis minyak atsiri didefinisikan sebagai perbandingan antara bobot minyak dengan bobot air pada volume air yang sama dengan volume minyak pada yang sama pula. Berat jenis sering dihubungkan dengan fraksi berat komponen-komponen yang terkandung didalamnya Semakin besar fraksi berat yang terkandung dalam minyak, maka semakin besar pula nilai densitasnya. Biasanya bobot jenis komponen terpen teroksigenasi lebih besar dibandingkan dengan terpen tak teroksigenasi (Sastrohamidjojo, 2004).
2.2.3.2 Indeks Bias
Indeks bias merupakan perbandingan antara kecepatan cahaya di dalam udara dengan kecepatan cahaya didalam zat tersebut pada suhu tertentu. Indeks bias minyak atsiri berhubungan erat dengan komponen - komponen yang tersusun dalam minyak atsiri yang dihasilkan. Sama halnya dengan berat jenis dimana komponen penyusun minyak atsiri dapat mempengaruhi nilai indeks biasnya (Sastrohamidjojo, 2004).
Semakin banyak komponen berantai panjang seperti sesquiterpen atau komponen bergugus oksigen ikut tersuling, maka kerapatan medium minyak atsiri akan bertambah sehingga cahaya yang datang akan lebih sukar untuk dibiaskan. Hal ini menyebabkan indeks bias minyak lebih besar. Minyak atsiri dengan nilai
indeks bias yang besar lebih bagus dibandingkan dengan minyak atsiri dengan nilai indeks bias yang kecil (Sastrohamidjojo, 2004).
2.2.3.3 Putaran optik
Sifat optik dari minyak atsiri ditentukan menggunakan alat polarimeter yang nilainya dinyatakan dengan derajat rotasi. Sebagian besar minyak atsiri jika ditempatkan dalam cahaya yang dipolarisasikan maka memiliki sifat memutar bidang polarisasi ke arah kanan (dextrorotary) atau ke arah kiri (laevorotary). Pengukuran parameter ini sangat menentukan kriteria kemurnian suatu minyak atsiri (Sastrohamidjojo, 2004).
2.2.3.4 Kelarutan Dalam Alkohol
Kelarutan dalam alkohol merupakan nilai perbandingan banyaknya minyak atsiri yang larut sempurna dengan pelarut alkohol. Setiap minyak atsiri mempunyai nilai kelarutan dalam alkohol yang spesifik, sehingga sifat ini bisa digunakan untuk menentukan suatu kemurnian minyak atsiri. Minyak atsiri banyak yang mudah larut dalam etanol dan jarang yang larut dalam air, sehingga kelarutannya mudah diketahui dengan menggunakan etanol pada berbagai tingkat konsentrasi. Untuk menentukan kelarutan minyak atsiri juga tergantung pada kecepatan daya larut dan kualitas minyak atsiri tersebut. Kelarutan minyak juga dapat berubah karena lamanya penyimpanan. Hal ini disebabkan karena proses polimerisasi menurunkan daya kelarutan, sehingga untuk melarutkannya diperlukan konsentrasi etanol yang tinggi (Sastrohamidjojo, 2004).
Kondisi penyimpanan kurang baik dapat mempercepat polimerisasi diantaranya cahaya,udara, dan adanya air bisa menimbulkan pengaruh yang tidak baik. Minyak atsiri mempunyai sifat yang larut dalam pelarut organik dan tidak larut dalam air. Telah diketahui bahwa alkohol merupakan gugus OH. Karena alkohol dapat larut dengan minyak atsiri maka pada komposisi minyak atsiri yang dihasilkan tersebut terdapat komponen-komponen terpen teroksigenasi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Guenther bahwa kelarutan minyak dalam alkohol ditentukan oleh jenis komponen kimia yang terkandung dalam minyak (Guenther, 1987).
Pada umumnya minyak atsiri yang mengandung persenyawaan terpen teroksigenasi lebih mudah larut daripada yang mengandung terpen. Makin tinggi kandungan terpen makin rendah daya larutnya atau makin sukar larut, karena senyawa terpen tak teroksigenasi merupakan senyawa nonpolar yang tidak mempunyai gugus fungsional. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin kecil kelarutan minyak atsiri pada alkohol (biasanya alkohol 90%) maka kualitas minyak atsirinya semakin baik (Sastrohamidjojo, 2004).
2.2.4 Metode Penyulingan Minyak Atsiri
Metode penyulingan minyak atsiri dalam industri minyak atsiri dikenal tiga macam, yaitu metode penyulingan dengan air, metode penyulingan air dan uap dan metode penyulingan uap (Guenther, 1987).
2.2.4.1 Penyulingan Dengan Air
Pada metode ini, bahan yang akan disuling kontak langsung dengan air mendidih. Bahan tersebut mengapung di atas air atau terendam secara sempurna tergantung dari bobot jenis dan jumlah bahan yang disuling. Air dipanaskan dengan metode pemanasan yang biasa dilakukan, yaitu dengan panas langsung, mantel uap, pipa uap melingkar tertutup, atau dengan memakai pipa uap melingkar terbuka atau berlubang. Ciri khas dari metode ini ialah kontak langsung antara bahan dengan air mendidih. Beberapa jenis bahan (misalnya bubuk buah badam, bunga mawar, dan orange blossoms) harus disuling dengan metode ini, karena bahan harus tercelup dan bergerak bebas dalam air mendidih. Jika disuling dengan metode uap langsung, bahan ini akan merekat dan membentuk gumpalan besar yang kompak, sehingga uap tidak dapat berpenetrasi ke dalam bahan (Guenther, 1987).
2.2.4.2 Penyulingan Dengan Air Dan Uap
Pada metode penyulingan ini, bahan olah diletakkan di atas rak-rak atau saringan berlubang. Ketel suling diisi dengan air sampai permukaan air berada tidak jauh dari bawah saringan. Air dapat dipanaskan dengan berbagai cara yaitu dengan uap jenuh yang basah dan bertekanan rendah. Ciri khas dari metode ini adalah:
1. Uap selalu dalam keadaan basah, jenuh dan tidak terlalu panas.
2. Bahan yang disuling hanya berhubungan dengan uap dan tidak dengan air panas (Guenther, 1987).
2.2.4.3 Penyulingan Dengan Uap
Metode ketiga disebut penyulingan uap, atau penyulingan uap langsung dan prinsipnya sama dengan yang telah dibicarakan diatas, kecuali air tidak diisikan dalam ketel. Uap yang digunakan adalah uap jenuh atau uap kelewat panas pada tekanan lebih dari 1 atmosfer. Uap dialirkan melalui pipa uap melingkar yang berpori yang terletak dibawah bahan, dan uap bergerak keatas melalui bahan yang terletak di atas saringan (Guenther, 1987).
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang mendasar dari ketiga proses penyulingan. Tetapi bagaimanapun juga dalam prakteknya hasilnya akan berbeda bahkan kadang-kadang perbedaan ini sangat berarti, karena tergantung pada metode yang dipakai dan reaksi - reaksi kimia yang terjadi selama berlangsungnya penyulingan (Guenther, 1987).
2.2.5 Kandungan Kimia Minyak Atsiri
Tidak satupun minyak atsiri tersusun dari senyawa tunggal, tetapi merupakan campuran komponen yang terdiri dari tipe-tipe berbeda. Berdasarkan cara isolasinya, komponen penyusun minyak atsiri dapat dibedakan menjadi beberapa kelompok sebagai berikut :
1. Kelompok yang mengkristal pada suhu rendah, misalnya stearoptena.
2. Kelompok senyawa yang dapat dipisahkan melalui proses destilasi bertingkat. 3. Kelompok senyawa yang dipisahkan melalui proses kristalisasi bertingkat. 4. Kelompok senyawa yang pemisahannya dilakukan melaluikromatografi.
Dengan pesatnya kemajuan instrumentasi analitik, telah dapat dilakukan identifikasi yang tepat atas penyusun minyak atsiri, termasuk konstituen runutanya. Minyak atsiri sebagian besar terdiri dari senyawa terpen, yaitu suatu senyawa produk alami yang strukturnya dapat dibagi ke dalam satuan-satuan isopren. Satuan-satuan isopren (C5H8) ini terbentuk asetat melalui jalur biosintesis asam mevalonat dan merupakan rantai bercabang lima satuan atom karbon yang mengandung dua ikatan rangkap (Ketaren, 1985).
Terpen yang paling sering terdapat sebagai komponen penyusun minyak atsiri adalah monoterpen. Monoterpen banyak ditemui dalam bentuk asiklis, monosiklis, serta bisiklis sebagai hidrokarbon dan keturunan yang teroksidasi seperti alkohol, aldehid, keton, fenol, oksidasi, dan ester. Terpen lain di bawah monoterpen yang berperan penting sebagai penyusun minyak atsiri adalah seskuiterpen dan diterpen. Kelompok besar lain dari komponen penyusun minyak atsiri adalah senyawa golongan fenil propan. Senyawa ini mengandung cincin fenil C6 dengan rantai samping berupa propana C3 (Ketaren, 1985).
2.2.6 Penggolongan Minyak Atsiri
Walaupun minyak atsiri mengandung bermacam–macam komponen kimia yang berbeda, namun komponen tersebut dapat digolongkan kedalam 4 kelompok besar yang dominan menentukan sifat minyak atsiri, yaitu:
1. Terpen, yang ada hubungan dengan isopren atau isopentena 2. Persenyawaan berantai lurus, tidak mengandung rantai cabang 3. Turunan benzen
4. Bermacam-macam persenyawaan lainnya.
Contoh dari terpen asiklis dengan 3 ikatan rangkap dapat ditemui pada persenyawaan osimen dan mirsen. Pada alkohol siklik geraniol dan linaool, aldehid (sitronellal), dan pada asam dehidro geranat sering terjadi beberapa tingkat oksidasi dan reduksi hidrokarbon terpen (Guenther, 1990).
2.3 Minyak Pala
Minyak pala adalah minyak yang dihasilkan dari penyulingan biji pala jenis Myristica fragrans atau dikenal dengan sebutan Pala Banda. Jenis pala tersebut banyak dibudidayakan dan diolah di daerah Maluku, Sulawesi Utara, Aceh, Sumatera Barat, dan Pulau Jawa. Minyak pala merupakan salah satu minyak atsiri yang banyak diekspor Indonesia. Minyak pala banyak digunakan dalam formula obat-obatan, parfum, minuman, detergen, aromaterapi, dan lain-lain. Biji pala merupakan hasil utama yang memiliki nilai ekonomi tinggi dari tanaman pala (Lutony, 2002).
Penelitian terhadap minyak atsiri tanaman pala telah banyak dilakukan. Hal ini disebabkan karena fakta bahwa minyak atsiri mempunyai kandungan senyawa atau zat yang lebih banyak, sehingga banyak digunakan sebagai bahan baku industri. Selain itu, minyak atsiri mengandung senyawa yang mempunyai pengaruh sebagai psikotropika yang bersifat farmakologis. Minyak atsiri pala ini berupa cairan yang tidak berwarna atau kuning pucat serta memiliki rasa dan bau yang menyerupai pala, diperoleh dengan proses distilasi. Minyak ini dapat larut dalam alkohol, namun tidak larut dalam air pada suhu 250C, sensitif pada cahaya
dan udara, sehingga tempat penyimpanannya harus terlindung dari cahaya dan dalam wadah yang tertutup rapat. Komponen dalam biji dan fuli pala terdiri dari minyak atsiri, minyak lemak, protein, selulosa, pentosan, pati, resin dan mineral-mineral. Biji pala yang dimakan ulat mempunyai presentase minyak atsiri lebih tinggi daripada biji utuh karena pati dan minyak lemaknya sebagian dimakan oleh serangga (Harris, 1987).
2.3.1 Kandungan Utama Minyak Pala
Komponen utama minyak biji pala adalah terpen, terpen alcohol dan fenolik eter. Komponen monoterpen hidrokarbon yang merupakan komponen utama minyak pala terdiri atas β-pinene (23,9%), α-pinene (17,2%), dan limonene (7,5%). Sedangkan komponen fenolik eter terutama adalah myristicin (16,2%), diikuti safrole (3,9%) dan metil eugenol (1,8%). Selanjutnya Dorman et al., (2004) menyatakan terdapat 25 komponen yang teridentifikasi dalam minyak pala (sejumlah 92,1% dari total minyak) yang diperoleh dengan cara penyulingan (hydrodistillation) menggunakan alat penyuling minyak. Pada prinsipnya komponen minyak tersebut teridentifikasi sebagai α-pinen (22,0%) dan β– pinen (21,5%), sabinen (15,4), myristicin (9,4), dan terpinen–4-ol(5,7). Minyak fuli mengandung lebih banyak myristicin daripada minyak pala (Santoso, 1993).
2.3.2 Parameter Mutu Minyak Pala
Beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui standar mutu minyak pala meliputi, bobot jenis, indeks bias, penentuan kelarutan dalam etanol (Badan Standarisasi Nasional, 2006).
2.3.2.1 Bobot Jenis Minyak Pala
Prinsip bobot jenis minyak pala didasarkan pada perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume dan suhu yang sama. Cara penentuan bobot jenis minyak pala yaitu dengan menggunakan alat piknometer. Piknometer dicuci dan dibersihkan, kemudian dibasuh berturut-turut dengan etanol dan dietil eter. Bagian dalam piknometer dan tutupnya dikeringkan dengan arus udara kering dan sisipkan tutupnya. Didiamkan pinometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan ditimbang (m) (Badan Standarisasi Nasional, 2006).
Piknometer diisi dengan air suling yang telah dididihkan pada suhu 20°C. sambil menghindari adanya gelembung gelembung udara. Piknometer dicelupkan ke dalam penangas air pada suhu 20°C ± 0,2°C selama 30 menit sisipkan penutupnya kemudian dikeringkan piknometernya. Piknometer didiamkan dalam lemari timbangan selama 30 menit, kemudian ditimbang dengan isinya (m1). Piknometer tersebut dikosongkan, dan dicuci dengan etanol dan dietil eter. Kemudian dikeringkan dengan arus udara kering. Piknometer diisi dengan contoh minyak dan hindari adanya gelembung-gelembung udara. Piknometer dan penutupnya dimasukkan kembali dalam penangas air pada suhu 20°C ± 0,2°C selama 30 menit dan dikeringkan piknometer tersebut. Piknometer dibiarkan di
dalam lemari timbangan selama 30 menit kemudian ditimbang dengan isinya (m2) (Badan Standarisasi Nasional, 2006).
2.3.2.2 Indeks Bias Minyak Pala
Prinsip indeks bias minyak pala didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang dipertahankan pada kondisi suhu yang tetap (Badan Standarisasi Nasional, 2006). Cara penentuan indeks bias minyak pala yaitu dengan menggunakan alat refraktometer. Air dialirkan melalui refraktometer agar alat ini berada pada suhu dimana pembacaan akan dilakukan, suhu kerja harus diperhatikan dengan toleransi ± 0,2°C. Sebelum minyak tersebut diletakkan di dalam alat, minyak harus berada pada suhu yang sama dengan suhu dimana pengukuran akan dilakukan. Pembacaan dilakukan bila suhu sudah stabil (Badan Standarisasi Nasional, 2006).
2.3.2.3 Penentuan Kelarutan Minyak Pala dalam Etanol
Prinsip penentuan kelarutan minyak pala dalam etanol didasarkan pada prinsip kelarutan minyak pala dalam etanol absolut atau etanol yang diencerkan yang menimbulkan kekeruhan dan dinyatakan sebagai larut sebagian atau larut seluruhnya, berarti bahwa minyak tersebut membentuk larutan yang bening dan cerah dalam perbandingan - perbandingan seperti yang dinyatakan (Badan Standarisasi Nasional, 2006).
Cara penentuan kelarutan minyak pala dalam etanol sangat sederhana. Tempatkan 1 ml contoh dan diukur dengan teliti di dalam gelas ukur yang
berukuran 10 ml atau 25 ml, tambahkan etanol 90%, setetes demi setetes. Kocoklah setelah setiap penambahan sampai diperoleh suatu larutan yang sebening mungkin pada suhu 20°C, bila larutan tersebut tidak bening ,bandingkanlah kekeruhan yang terjadi dengan kekeruhan larutan pembandingan, melalui cairan yang sama tebalnya. Setelah minyak tersebut larut tambahkan etanol berlebih karena beberapa minyak tertentu mengendap pada penambahan etanol lebih lanjut (Badan Standarisasi Nasional, 2006).
2.3.3 Manfaat dan Kegunaan Minyak Pala
Kegunaan senyawa penyusun minyak atsiri pala antara lain senyawa camphene dan turunannya memiliki sifat antibakteri, antijamur, dan insektisida yang kuat, banyak digunakan dalam industri dan manufaktur. Camphene dapat dikonversi menjadi senyawa lain, digunakan dalam pembuatan kapur barus, obat dalam farmasi, dan camphene sendiri telah terbukti dapat mencegah atheromatosis pada aorta beberapa hewan (Harris, 1987).
Senyawa d-pinene digunakan dalam pembuatan kapur barus (kamper), pelarut, plastik, dasar parfum dan minyak pinus sintetis. Kemudian dipentene digunakan sebagai bahan pelarut, juga digunakan dalam pembuatan resin. Senyawa d-linalool juga disebut coriandrol dan geraniol paling utama digunakan dalam wewangian sedangkan senyawa d-borneol digunakan dalam pembuatan wewangian dan dupa. Kemudian i-terpineol dan safrol digunakan sebagai antiseptik, pembuatan parfum dalam sabun. Miristisin adalah senyawa pada pala
yang banyak dipelajari, karena sifat farmakologinya dan dapat menyebabkan efek halusinogen (Harris, 1987).
2.3.4 Penyulingan Minyak Pala
Penyulingan minyak atsiri pala bisa dilakukan dengan cara penyulingan uap (kohobasi dan destilasi) pada tekanan rendah, sedangkan penyulingan dengan tekanan tinggi bisa menyebabkan terbawanya minyak lemak sehingga akan menurunkan mutu minyak atsiri. Pada biji pala, terdapat dua bagian utama yaitu 30–45% minyak dan 45–60% bahan padat termasuk selulosa. Sedangkan untuk minyak pala terdiri atas dua jenis, yaitu minyak atsiri pala (essential oil) sebanyak 5–15% dari berat biji keseluruhan dan lemak (fixed oil) yang disebut nutmeg butter sebanyak 24-40% dari berat biji pala. Minyak atsiri pala lebih berperan penting sebagai perisa (flavouring agent) dalam industri makanan dan minuman, maupun dalam industri farmasi (Rismunandar, 1992).