• Tidak ada hasil yang ditemukan

Oleh : MUHAMMAD FIKRILLAH SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Untuk mencapai derajat S-1 pada Program Studi Ilmu Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Oleh : MUHAMMAD FIKRILLAH SKRIPSI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan Untuk mencapai derajat S-1 pada Program Studi Ilmu Hukum"

Copied!
65
0
0

Teks penuh

(1)

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI DELIK LANJUTAN DITINJAU DARI PASAL 3 PASAL 4 PASAL 5 SERTA PASAL 69

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG

Oleh :

MUHAMMAD FIKRILLAH 617110135

SKRIPSI

Untuk memenuhi sebagian persyaratan Untuk mencapai derajat S-1 pada

Program Studi Ilmu Hukum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MATARAM MATARAM

(2)

HALAMAN PENGASAHAN DOSEN PEMBIMBING

TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG SEBAGAI DELIK LANJUTAN DITINJAU DARI PASAL 3 PASAL 4 PASAL 5 SERTA PASAL 69 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN

DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

Oleh:

Muhammad Fikrillah 617110135

Menyetujui

Pembimbing Pertama Pembimbing Kedua

DR. Rina Rohayu, SH., MH DR. Ufran Trisa, SH.,MH

(3)

DEWAN PENGUJI

- (Ketua) (…………..)

DR. Rina Rohayu, SH., MH (Anggota I) (…………...) NIDN : 0830118204

DR. Ufran Trisa, SH.,MH (Anggota II) (……….…..) NIDN : 0020058203

Mengetahui Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Mataram Dekan

Rena Aminwara, S.H.,M.Si NIDN: 0828096301

(4)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA TULIS ILMIAH Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muhammad Fikrillah

Nim : 617110135l

Tempat/Tanggl Lahir : Kota Bima, 25 Oktober 1999

Jurusan : Ilmu Hukum

Fakultas : Hukum

Alamar : Pagasangan Barat jl. Darussalam No 6 Judul : Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai

Delik Lanjutan Ditinjau Dari Pasal 3 Pasal 4 Pasal 5 Serta Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Menyatakan dengan sesungguhnya dan penuh kesadaran bahwa benar tulisan ini hasil karya sendiri. Jika dikemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat atau dibuat oleh orang lain maka skripsi dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Mataram, 24 Desember 2020

(5)
(6)
(7)

MOTTO HIDUP

Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

(8)

PRAKATA

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Dengan segala rasa syukur atas kehadirat, rahmat, dan kasih sayang ALLAH SWT yang maha pengasih lagi maha penyayang, yang telah memberikan kemudahan bagi penyusun untuk menyelesaikan skripsi ini. Salam dan shalawat kepada Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabat-sahabatnya. Sekalipun penyusun menyadari bahwa di dalamnya masih banyak kekurangan-kekuarangan, karena keterbatasan penyusun. Oleh karena itu, penyusun sangat mengharapkan berbagai masukan atau saran dari para penguji untuk penyempurnaan nya.

Dalam masa studi sampai hari ini, penyusun sudah sampai pada tahapan akhir penyelesaian studi, terdapat banyak halangan dan rintangan yang telah penyusun lalui, perjuangan untuk menuntut ilmu memang berat. Namun berkat sebuah cita-cita dan dengan harapan yang orang tua dan keluarga titipkan kepada penyusun, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan ini studi dengan impian akan kembali ke tanah kelahiran dengan gelar SH dibelakang nama penyusun.

Segala kemudahan yang penyusun tempuh salama menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan, dan kepedulian yang luar biasa dari dosen bagian hukum pidana, serta pegawai akdemik dan kemahasiswaan. Maka dari itu dengan segala kerendahan hati penyusun mengucapakan rasa terimakasih

(9)

yang sebesar- besarnya, hanya Allah SWT yang mampu membalasnya, lebih khusus kepada:

1. Bapak DR. Arsyad Abdul Gani, MPd, selaku Rektor Universitas Muhammadiyah Mataram yang telah memberikan kesempatan kepada penyusun untuk menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram.

2. Ibu Rena Aminwara SH., MSi selaku dekan Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram yang telah memberikan izin dalam hal penyusunan skripsi ini.

3. Ibu DR. Rina Rohayu SH., MH selaku pembimbing pertama dan sekaligus anggota tim penguji I yang telah memberikan kontribusi yang besar baik beruapa, saran, bimbingan, motivasi dan kemudahan bagi penyusun sehingga penyusun, dapat menyelesaikan skripsi ini.

4. Bapak DR. Ufran Trisa SH.,MH selaku pembimbing kedua sekaligus sebagai anggota tim penguji II yang telah meluangkan waktu untuk memberi masukan, saran dan dorongan positif bagi penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.

5. Bapak Fahrurozzi SH., MH selaku ketua bagian hukum pidana yang telah memberikan semangat, pantang menyerah serta saran dan masukannya kepada penyusun sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Anies Primadewi SH., MH selaku ketua program studi yang telah

memberikan kemudahan bagi penyusun dalam proses pengjuan judul skripsi ini.

(10)

7. Kedua orang tua yang menjadi alasan penyusun untuk tetap hidup, satu-satunya alasan mengapa hari ini terus berjuang, yaitu ibu Sri Erna, yang sudah memberikan cinta yang amat sangat luar biasa, didikan, kasih sayang serta bapak Adnan Jamal yang senantiasa memberikan motivasi, dukungan, sikap tanggung jawab, dan kasih sanyang yang luar biasa. Dan tidak lupa untuk kakak satu-satunya, Ana Rahmatyar yang turut serta memberikan dukungan kepada penyusun, sehingga penyusun dapat menyelesaikan skripsi ini.

8. Teman-teman, sahabat, saudara yang mengisi hari-hari penyusun terkhusus mereka yang hadir dalam setiap perjuangan (Akbar Fanis, Indra, Teguh, Rahman, Dafa, dan sindi ).

(11)

ABSTRAK

TINDAK PIDANA PENCUCIAN SEBAGAI DELIK LANJUTAN DITINJAU DARI PASAL 3 PASAL 4 PASAL 5 SERTA PASAL 69

UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA

PENCUCIAN UANG Oleh : Muhammad Fikrillah Pembimbing Pertama: Rina Rohayu

Pembimbing Kedua: Ufran Trisa

Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius, korupsi, penghindaran pajak, judi, penyeludupan dan lain-lain, yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang tampak sah agar dapat digunakan secara aman. Indonesia baru melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang pada April 2002, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Setelah itu pada tahun 2010, ketentuan anti pencucian uang direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Undang-undang tindak pidana pencucian uang. tindak pidana pencucian uang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis kejahatan pada umumnya, terutama bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda (double crimes). Undang- undang tindak pidana pencucian uang tidak memberikan definisi yang pasti terkait tindak pidana pencucian uang apakah sebagai delik lanjutan atau berdiri sendiri, hal ini menimbulaka perdebatan di kalangan akademisi maupun praktisi hukum terkait tindak pidana pencucian uang apakah delik berdiri sendiri atau delik lanjutan. Rumusan pasal yang menjadi dasar perdebatan tersebut adalah Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 serta Pasal 69 tindak pidana pencucian uang.

Jenis penelitian yang dilakukan adalah peneliti normatif, pendekatan yang diganakan adalah pendekatan undang-undang dan pendekatan koseptual, bahan hukum yang digunakan berasal dari literatur-literatur, juranal dan perundang undangan, tehnik pengumpulan data yaitu menggunakan studi dokumen, analisis bahan hukum yaitu dengan menggunakan penafsiran.

Simpulan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan tindak bidana lanjutan, artinya uang yang dicuci oleh pelaku tidak lain dan tidak bukan berasal dari tindak pidana asal , sehingga tindak pidana pencucian uang tindak mungkin terjadi tanpa didahului terjadinya tindak pidana asal.

(12)
(13)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

LEMBAR DEWAN PENGUJI ... iii

LEMBAR PERYATAAN ... iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ... v

SURAT PERNYATAAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... vi

MOTTO HIDUP ... vii

PRAKATA ... viii

ABSTRAK ... xi

ABSTRACT ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana ... 9

1. Pengertian Tindak Pidana ... 9

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana ... 11

B. Pertanggungjawaban Pidana ... 12

C. Jenis-Jenis Sanksi Pidana ... 14

(14)

1.Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang ... 16

2.Tindak Pidana Pencucian Uang ... 19

3. Tindak Pidana Asal ... 20

4. Jenis Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang ... 22

5. Praktik Pencucian uang di Indonesia ... 24

6. Objek Pencucian Uang ... 27

7.Tahap-Tahap dan Proses Pencucian Uang... 28

8. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang ... 30

9. Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang ... 33

10. Modus Operandi Pencucia Uang ... 35

11. Penyidikan Dan Penuntutan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 36

12. Peran Polisi, Jaksa, Dan Para Hakim Dalam Penanggulangan Tindak pidana Pencucian Uang ... 38

13. Dakwaan Tindak Pidana Pencucian Uang ... 42

14. Pembuktian Terbalik dalam Tindak Pidana Pencucian Uang ... 44

BAB III METODE PENELITIAN…... ... 46

1. Pendekatan Penelitian ... 46

2. Jenis Penelitian ... 46

3. Metode Pendekatan ... 47

4 Sumber dan Jenis Bahan Hukum ... 48

1. Sumber Bahan Hukum ... 48

2. Jenis Bahan Hukum ... 48

(15)

6. Analisis Bahan Hukum ... 50

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 51

A. Tindak Pidana Pencucian Uang Merupakan Tindak Pidana Berdiri Sendiri atau Tindak Pidana Lanjutan Berdasarkan Dengan Pasal 69 Serta Pasal 3, Pasal 4 Dan Pasal 5 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang ... 51

1. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Delik Berdiri Sendiri .... 52

2. Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Delik Lanjutan ... 56

3. Analisis Penyusun terkait tidak pidana pencucian uang sebagai sendiri atau delik lanjutan ... 59

B. Impilikasi Hukum Yang Ditimbulkan Dari Pasal 69 Tindak Pidana Pencucian Uang ... 63

1. Pertimbangan Tetap Mempertahankan Pasal 69 Tindak Pidana Pencucian Uang ... 64

2. Alasan Untuk Menghapus Rumusan Pasal 69 Tindak Pidana Pencucian Uang ... 65

3. Analisis Penyusun Terkait Implikasi Hukum Yang Ditimbulakan Dari Rumusan Pasal 69 Tindak Pidana Pencucian Uang ... 59

BAB V PENUTUP ... 70

A. Kesimpulan ... 70

B. Saran ... 71 DAFTAR PUSTAKA

(16)

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Membahas mengenai tindak pidana pencucian uang tentu tidak mungkin tanpa memahami filosofis, dan untuk tujuan apa ketentuan anti pencucian uang itu dilahirkan. Munculnya rezim pencucian uang bukan lahir dari semangat satu negara saja, tetapi muncul atas prakarsa berbagai negara melalui lahirnya suatu konvensi internasioanal. Agar kita bisa memahami terutama untuk kepentingan penegakan hukum, maka penting pula dipahami sejarah pembentukan lahirnya semangat regulasi anti pencucian uang tersebut. Pencucian uang atau money laundering secara sederhana diartikan sebagai suatu proses menjadikan hasil kejahatan (proceed of crimes) atau disebut sebagai uang kotor (dirty money) misalnya hasil dari obat bius, korupsi, penghindaran pajak, judi, penyeludupan dan lain-lain, yang dikonversi atau diubah ke dalam bentuk yang tampak sah agar dapat digunakan secara aman.1

Terdapat berbagai rumusan tindak pidana pencucian uang, selain itu dinyatakan bahwa tidak ada definisi tindak pidana pencucian uang secara universal, artinya setiap negara boleh mendefinisikan sendiri sesuai dengan kondisi negaranya, terutama dalam menentukann jenis kejahatan asalnya.2.

1

Yenti Garnasih, Penegakan Hukum Anti Pencucian Uang, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2016, hal. 1.

2

(17)

Indonesia baru melakukan kriminalisasi terhadap perbuatan pencucian uang pada April 2002, dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003. Setelah itu pada tahun 2010, ketentuan anti pencucian uang direvisi lagi dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Pola yang dilakukan para penjahat dalam menikmati, menyamarkan, atau menyembunyikan hasil kejahatan bermacam-macam. Dilihat dari sudut teori sampai saat ini, terdapat dua cara pencucian uang yaitu cara moderen dan cara tradisional. Walaupun dikatakan bahwa tidak ada dua sistem pencucian uang yang sama, namun pada umumnya proses pencucian uang modern terdiri dari tiga tahap, yaitu placement, layering dan integration. Ketiga langkah itu dapat terjadi dalam waktu bersamaan. Langkah-langkah tersebut dimaksudkan untuk menempatkan dana illegal ke dalam sistem keuangan, dengan tujuan agar tidak mengundang kecurigaan dari pihak yang berwenang.3

Seperti disampaikan di atas bahwa tindak pidana pencucian uang mempunyai karakteristik yang berbeda dengan jenis kejahatan pada umumnya, terutama bahwa kejahatan ini bukan merupakan kejahatan tunggal tetapi kejahatan ganda (double crimes).4 Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Pasal 2 UU TPPU yang menyebutkan 25 jenis kejahatan dan juga seluruh kejahatan yang diancam pidana 4 tahun ke atas. Dari sudut teori, 25 kejahatan

3 Ibid, hal. 4. 4

(18)

tersebut dikenal dengan istilah predicate crime atau kejahatan asal, maka dari itu tidak mungkin ada tindak pidana pencucian uang kalau tidak didahului terjadinya tindak pidana asal, sehingga ada sebagian yang beranggapan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan delik berdiri sendiri, tetapi ada pula sebagian yang branggapan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan delik lanjutan.

Kongkritisasi dari pemaknaan bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan sebuah independent crime dapat dipahami dari Pasal 69 dan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU. Ketentuan Pasal 69 UU TPPU yang tidak mewajibkan aparatur penegak untuk membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal dalam menyelidik, menyidik, menuntut, serta memeriksa perkara tindak pidana pencucian uang di persidangan. Hal inilah yang menunjukkan keberadaan Independent Crime dari perspektif pembuktian delik, ketentuan ini juga sering dijadikan dasar untuk menyatakan bahwa dalam keadaan tertentu, terhadap pembuktian tindak pidana pencucian uang tidak perlu menunggu inkrach nya tindak pidana asal, bahkan dapat juga tanpa adanya pembuktian tindak pidana asal terlebih dahulu.5

Banyak ahli hukum pidana yang berpendapat bahwa Pasal 69 tersebut bertujuan agar mencegah pelaku untuk secara cepat mengalihkan harta yang berasal dari tindak pidana tersebut. Jika terlebih dahulu harus membuktikan tindak pidana asalnya, dianggap akan memakan waktu yang lama sehingga

5

Afdal Yanuar, Diskursus Antara Kedudukan Delik Pencucian Uang, Jurnal Konstitusi,Volume 16, No 4, Priode 2 Desember 2019, hal. 724-729.

(19)

berpotensi harta tersebut sudah dialihkan atau disembunyikan. Oleh karena itu Pasal 69 tersebut, dibutuhkan untuk mencegahnya terjadinya hal tersebut. Hal tersebut, senada dengan apa yang dikemukakan oleh Marjono Reksodiputro sebagai berikut:

Ditetapkannya Pasal 69 untuk penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tidak wajib membuktikan tindak pidana asal. Penjelasan Pasal ini sebaiknya merujuk kepada Pasal 480 KUHP dan yaitu tentang penadahan. Intinya bertujuan mencegah seseorang menarik keuntungan dari tindak pidana orang lain. Oleh karena itu maka tindak pidana penadahan dapat dituntut di pengadilan tanpa harus dibuktikan bahwa barang tersebut adalah barang curian, asal saja bahwa orang tersebut mengetahui atau patut diduga bahwa barang tersebut diperoleh dari kejahatan.6

Selain Pasal 69, rumusan delik yang memperkuat kedudukan tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana berdiri sendiri adalah Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU yang selalu menggunakan frasa “diketahui atau patut diduga” uang tersebut berasal dari kejahatan. Pantja Astawa berpendapat terkait frasa “mengetahui atau patut diduga” sebagai berikut:

Frasa “diketahui atau patut diduga” menunjukan kedudukan tindak pidana asal tidak harus benar-benar ada, cukup patut diduga saja bahwa sebelumnya telah terjadi tindak pidana asal yang menghasilkan harta kekayaan yang kemudian dicuci, tindak pidana asal (predicate crime) tidak benar-benar harus menjadi sebab terjadinya tindak pidana pencucian uang, maksudnya predicate crime itu boleh ada boleh juga tidak ada, cukup patut diduga saja keberadaannya, jadi kedudukan predicate crime dalam tindak pidana pencucian uang bukan merupakan syarat mutlak. Dengan demikian tindak pidana asal predicate crime kedudukannya tidak urgent karena ia boleh ada boleh juga tidak, cukup patut diduga saja bahwa harta tersebut didapatkan dari tindak pidana.7

6 Risalah sidang, Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang dengan Pakar, hal. 12.

7

Risalah Sidang, Perkara Nomor 77/PUU-XII/2014 Prihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, hal. 39.

(20)

Bagi para ahli yang berpendapat tindak pidana pencucian uang sebagai tindak pidana lanjutan, karena tindak pidana pencucian uang dapat terjadi setelah adanya kejahatan asal (predicate crime). Hal ini, diakui pula oleh Mahkamah Konstitusi dalam putusan Mahamah Konstitusi No 90/PUU-XIII/2015 yang mengatakan bahwa „‟tindak pidana pencucian uang adalah tindak pidana lanjutan (follow up crime) yang merupakan kelanjutan dari tindak pidana asal, sebagai upaya untuk menyembunyikan atau menghilangkan jejak sehingga tidak dapat diketahui bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari tindak pidana. Sedangkan tindak pidana asal (predicate crime) merupakan tindak pidana yang menghasilkan uang/harta kekayaan yang kemudian dilakukan proses pencucian. Jadi, tidaklah mungkin ada tindak pidana pencucian uang tanpa adanya tindak pidana asalnya terlebih dahulu.”

Bertolak dari putusan Mahkamah Konstitusi di atas, Pasal 69 yang membolehkan aparatur menyelidik, menyidik dan memeriksa perkara tindak pidana pencucian uang tanpa membuktikan tindak pidana asal, tidak sesuai dengan kedudukan tindak pidana pencucian uang sebagai lanjutan dari tindak pidana asal.8 Yenti Garnasih salah satu ahli yang keberatan terhadap Pasal 69 UU TPPU. Yenti Garnasih mengatakan Seharusnya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal harus dibuktikan secara bersama-sama di pengadilan. Jika tindak pidana asal tidak dibuktikan, dakwaaan satunya apa kalau dakwaan duanya pencuciaan uang, karena pencucian uang harus berada

8

(21)

dalam dakwaan dua, karena tidak mungkin ada pencucian uang kalau tidak ada kejahatan asalnya, jika seseorang didakwa pencucian uang dari hasil tindak pidana, hasil tindak pidana apa kalau tidak dibuktikan kejahatan asalnya, jadi tidak bisa serta merta begitu saja seseorang diduga melakukan kejahatan sementara kejahatan asalnya tidak dibuktikan.9 Sedangkan terkait rumusan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 yang dianggap merupakan rumusan pasal yang menandakan tindak pidana pencucian uang sebagai delik lanjutan, Eddy Hiariej berpendapat sebagai berikut:

Tindak pidana pencucian uang bukan merupakan tindak pidana yang mandiri dan juga bukan delik yang independent, tetapi TPPU adalah delik lanjutan karena ketentuan Pasal 3, 4 dan 5 UU TPPU selalu di-juncto dengan Pasal 2 mengenai tindak pidana asalnya (predicate crime), itu menandakan tindak pidana pencucian uang bukan merupakan tindak pidana berdiri sendiri. Sedangkan mengenai rumusan “ mengetahui atau patut diduga” tersebut bukan berarti menandakan tindak pidana pencucian uang berdiri sendiri tetapi berdasarkan tafsir resmi dari memorie van toelichting frasa “mengetahui atau patut diduga” atau proparte dolus proparte culpa yang berarti sebagian kesengajaan dan sebagian kealpaan, bertujuan untuk memudahkan Jaksa Penuntut Umum untuk membuktikan dakwaannya, artinya jangankan kesengajaan, kealpaan pun bisa menjadi dasar untuk menjerat pelaku dengan rumusan pasal tersebut.10

9 Risalah sidang, Rancangan Undang-Undang Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak

Pidana Pencucian Uang, hal.13.

10 Risalah Sidang, Perkara Nomor 77/PUU-XII/2014 Prihal Pengujian Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945, hal. 49.

(22)

Bertolak dari berbagai perbedaan pendapat di atas serta masih ambigunya ketentuan peraturan perundang-undangan tindak pidana pencucian uang, terkait tindak pidana pencucian uang sebagai delik lanjutan atau delik berdiri sendiri, maka dari itu penyusun mengangkat masalah tersebut sebagai bahan penulisan hukum yang berjudul “Tindak Pidana Pencucian Uang Sebagai Delik Lanjutan Ditinjau Dari Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 Serta Pasal 69 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.”

B. Rumusan Masalah

1) Apakah tindak pidana pencucian uang merupakan tindak pidana berdiri sendiri atau tindak pidana lanjutan jika dikaitkan dengan Pasal 69, serta Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU ?

2) Apa implikasi hukum yang ditimbulkan dari Pasal 69 UU TPPU?

C. Tujuan dan manfaat penelitian

1. Tujuan penelitian

a. Untuk mengetahui bagaimana konsep tindak pidana pencucian uang, apakah merupakan tindak pidana berdiri sendiri atau tindak pidana lanjutan berdasarkan Pasal 69 serta Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal 5 UU TPPU.

b. Untuk mengetahui bagaimana implikasi hukum yang ditimbulkan dari Pasal 69 UU TPPU.

(23)

2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Akademis

Secara akademis merupakan persyaratan untuk mencapai S1 pada program studi ilmu hukum Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram.

b. Manfaat teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam pengembangan hukum pidana khususnya penerapan pidana, bagi tindak pidana pencucian uang.

c. Manfaat praktis

Penelitian ini diharapkan bermanfaat dalam pengambilan kebijakan pemerintah atau aparatur penegak hukum, dalam mengambil keputusan berkaitan dengan penerapan pidana terhadap tindak pidana pencucian uang.

(24)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana dipakai sebagai terjemahan dari istilah strafbaar feit tetapi di dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dikenal dengan istilah yang tidak seragam dalam menerjemahkan strafbaar feit, adapun beberapa istilah yang dipergunakan dalam bahasa Indonesia diantaranya sebagai berikut.11

Tindak pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum, sebagai istilah yang dibentuk dengan kesadaran dalam memberikan ciri tertentu pada peristiwa hukum pidana. Tindak pidana mempunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa yang konkrit dalam lapangan hukum pidana, sehingga tindak pidana haruslah diberi arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan dengan jelas, untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan masyarakat.

Para pakar hukum pidana menggunakan istilah tindak pidana, perbuatan pidana atau peristiwa pidana dengan istilah :

(25)

1. Strafbaar feit adalah peristiwa pidana.

2. Strafbare handlung diterjemahkan dengan perbuatan pidana, yang digunakan oleh para sarjana hukum pidana Jerman.

3. Criminal act diterjemahkan dengan istilah perbuatan kriminal.

Delik yang dalam bahasa Belanda disebut Strafbaar feit, terdiri atas 3 kata yaitu Straf, baar dan feit, yang masing-masing memiliki arti :

1. Straf diartikan sebagai pidana dan hukum. 2. Baar diartikan sebagai tepat dan boleh.

3. Feit diartikan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran, dan perbuatan.

Jadi istilah Strafbaar feit adalah peristiwa yang dapat dipidana atau perbuatan yang dapat dipidana. Sedangkan delik dalam bahasa asing disebut delict yang artinya suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman atau pidana. Andi Hamzah dalam bukunya asas-asas hukum pidana memberikan definisi mengenai delik yaitu suatu tindakan perbuatan yang terlarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang pidana. Moeljatno mengartikan Strafbaar feit sebagai berikut, Strafbaar feit itu sebenarnya adalah kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan.

Jonkers merumuskan bahwa:

Strafbaar feit sebagai peristiwa pidana yang diartikan sebagai suatu melawan hukum (wederrechtelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.

(26)

Pompe berpendapat bahwa:

Sebagai suatu pelanggaran norma atau gangguan terhadap tertib hukum yang dengan sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku, dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi terpeliharanya tertib hukum.12

2. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana selalu mengatur tentang tindak pidana, untuk mengetahui adanya tindak pidana maka pada umumnya dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan pidana tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dan disertai dengan sanksi. Dalam rumusan tersebut ditentukan beberapa unsur atau syarat yang menjadi ciri atau sifat khas dari larangan tadi sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari perbuatan lain yang tidak dilarang. Perbuatan pidana menunjuk kepada sifat perbuatannya saja yaitu dapat dilarang dengan ancaman pidana kalau dilanggar.

Menurut Simons unsur-unsur tindak pidana adalah

a) Perbuatan manusia positif atau negatif, berbuat atau tidak berbuat. b) Diancam dengan pidana (strafbaar gesteld).

c) Melawan hukum (onrechtmatig).

d) Dilakukan dengan kesalahan (met schuld in verband stand) oleh orang yang mampu bertanggungjawab.

12

Amir Ilyas, Asas-Asas Hukum Pidana Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban

(27)

Simons juga menyebutkan adanya unsur objektif dan unsur subjektif dari tindak pidana (strafbaar feit) sebagi berikut:

Unsur-unsur objektif meliputi:13

a) Perbuatan Orang.

b) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu.

c) Mungkin ada keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu seperti dalam Pasal 281 KUHP sifat openbaar atau di muka umum.

Unsur- unsur subjektif meliputi:

a) Orang yang mampu bertanggung jawab. b) Adanya kesalahan (dolus atau culpa).

c) Perbuatan harus dilakukan dengan kesalahan, kesalahan ini dapat berhubungan dengan akibat dari perbuatan atau dengan keadaan mana perbuatan itu dilakukan.

Sementara menurut Moeljatno unsur-unsur perbuatan pidana:

a) Perbuatan manusia .

b) Yang memenuhi rumusan dalam undang-undang. c) Bersifat melawan hukum.

B. Pertanggungjawaban Pidana

Pada bagian terdahulu telah dijelaskan bahwa pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang tersebut memiliki kesalahan.14 Pertanggungjawaban pidana mau tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana, sebab

13 Ibid, hal. 38-40. 14

Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal. 165.

(28)

seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil jika tiba-tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.15

Konsep pertanggungjawaban itu merupakan konsep sentral yang dikenal dengan ajaran kesalahan dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty, unless the mind is legally blameworthy. Berdasarkan asas tersebut ada dua syarat yang harus dipenuhi untuk dapat memidana sesesorang, yaitu ada perbutan lahiriah yang terlarang/perbutan pidana (actus reus), dan sikap batin jahat /tercela (mens rea). 16

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan objektif yang ada pada perbuatan pidana, dan secara subjektif yang memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatan itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidana membuat adalah asas kesalahan. Ini berarti pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana, jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut, kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan yang

15 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Aksara Baru, Jakarta,

2008, hal. 20-23.

16

Hanafi, Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum, Vol.6 No. 11 Tahun 1999, hal. 27.

(29)

menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu, pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah tindak pidana yang dilakukannya, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.17

Adapun unsur-unsur Pertanggungjawaban pidana menurut Van Hamel meliputi18

1. Pelaku menyadari perbuatan dan akibat.

2. Pelaku betul-betul memahami bahwasanya perbuatan tersebut melanggar ketertiban umum.

3. Pelaku melakukan suatu perbuatan tersebut dalam kebebasan berkehendak.

C. Jenis-Jenis Sanksi Pidana

Dalam sistem hukum pidana ada dua jenis sanksi yang keduanya mempunyai kedudukan yang sama, yaitu sanksi pidana dan sanksi tindakan. Kedua sanksi tersebut berbeda baik dari ide dasar, landasan filosofis yang melatarbelakanginya. Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah melakukan perbuatan pidana.19 Sanksi diartikan sebagai

17 Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, 2006, hal. 68. 18 Eddy O.S. Hiariej, Prinsip Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta, 2014,

hal. 163.

19

(30)

tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa orang menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang. Sanksi juga berarti bagian dari aturan hukum yang dirancang secara khusus untuk memberikan pengamanan bagi penegakan hukum dengan mengenakan sebuah ganjaran atau hukuman bagi seseorang yang melanggar aturan hukum itu, atau memberikan suatu hadiah bagi yang mematuhinya. Jadi, sanksi itu sendiri tidak selalu berkonotasi negatif. Sedangkan tindakan diartikan sebagai pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi mendidik dan mengayomi. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat dan memperbaiki pembuat.20 Jenis –Jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP.

1. Pidana pokok meliputi:21 a) Pidana Mati

Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang paling tua, setua umat manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik dikaji oleh para ahli karena memiliki nilai kontradiksi atau pertentangan yang tinggi antara yang setuju dan tidak setuju. Kalau di negara lain satu persatu menghapus pidana mati,maka sebaliknya yang terjadi di Indonesia, semakin banyak delik yang diancam pidana mati. b) Pidana Penjara

Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan bergerak dari seseorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang tersebut di Lembaga Pemasyarakatan yang menyebabkan orang tersebut harus menaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar. Pidana penjara dalam KUHP bervariasi dari pidana penjara 1 hari samapai pidana penjara seumur hidup.

c) Pidana Kurungan

Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua tujuan, pertama, sebagai costudia hunesta untuk delik yang tidak menyangkut kejahatan kesusilaan, yaitu beberapa delik culpa dan beberapa delik dolus seperti Pasal 182 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396 KUHP tentang pailit sederhana, pidana kurungan hakikatnya lebih

20 Ibid, hal. 202. 21

(31)

ringan dari pidana penjara dalam hal penentuan masa hukuman kepada seseorang.

d) Pidana Denda

Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara luas di dunia, dan bahkan di Indonesia. Pidana ini diketahui sejak zaman Majapahit dikenal sebagai pidana ganti kerugian. Menurut Andi Hamzah, pidana denda merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua dari pidana penjara, mungkin setua pidana mati.

e) Pidana Tutupan

Andi Hamzah menyatakan bahwa pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan ideologi yang dianutnya. Namun demikian, dalam praktik peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan pidana tutupan diterapkan.

D. Tinjauan Umum Tentang Pencucian Uang

1. Sejarah Tindak Pidana Pencucian Uang

Pada tahun 1920-an para mafia di Amerika Serikat mengakuisisi atau memberi, usaha Laundromats (mesin pencuci otomatis) dengan uang dalam jumlah besar. Uang yang digunakan untuk pembelian tersebut berasal dari hasil kegiatan pemerasan, prostitusi, perjudia, serta penjualan minuman beralkohol serta perdagangan narkotika. Selanjutnya, usaha Laundromats dimanfaatkan untuk menyamarkan hasil kejahatannya dengan memasukkan uang hasil kejahatan dimaksud ke dalam usaha Laundromats. Istilah tersebut pun masih menjadi perdebatan istilah pencucian uang (money laundering) dikenal demikian, karena dengan jelas melibatkan tindakan penempatan uang haram atau tidak sah melalui suatu rangkaian transaksi atau dicuci, sehingga uang tersebut keluar menjadi seolah-olah uang sah atau bersih.22

(32)

Fokus dunia barat yang cukup besar terhadap praktik pencucian uang sebagai suatu tindak kejahatan, pada awalnya muncul akibat maraknya kejahatan perdagangan gelap obat bius (drug trafficking). Kejahatan tersebut selain memiliki dampak negatif akibat penyalahgunaan obat bius di kalangan masyarakat, tetapi juga berimplikasi secara luas terhadap perekonomian karena melibatkan dana yang sangat besar. Lebih lanjut penggunaan dana dari hasil kejahatan yang sedemikian besar tersebut, dapat mengkontaminasi dan menimbulkan distorsi di segala aspek baik pemerintahan, ekonomi, politik dan sosial. Peredaran obat terlarang di beberapa negara dan wilayah perbatasan internasional, telah memberikan kontribusi yang besar terhadap internasionalisasi kejahatan. Selain menggunakan pendekatan konvensional dengan pengejaran pelaku kejahatan, begitu besarnya hasil kejahatan perdagangan obat-obatan terlarang, sehingga memberikan perhatian serius untuk mengejar dan merampas harta hasil kejahatan, agar pelaku tidak dapat menikmati uang haram hasil penjualan obat-obat terlarang tersebut. 23

Perhatian negara-negara di dunia terhadap kejahatan perdagangan gelap obat bius tersebut, kemudian melahirkan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Substance, pada tahun 1988, yang dikenal dengan Vienna Convention atau Konvensi Wina. Konvensi United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Substance merupakan titik puncak keprihatinan

(33)

masyarakat atas kejahatan perdagangan gelap obat bius, yang sekaligus menjadi tonggak sejarah dalam menetapkan rezim hukum internasional anti pencucian uang, untuk memerangi hasil kejahatan (proceeds of crime). Metode baru untuk memerangi kejahatan ini dapat dimengerti, mengingat objek yang diperangi adalan organized crime yang memiliki struktur organisasi yang solid dengan pembagian wewenang yang jelas, sumber pendanaan yang sangat kuat, dan memiliki jaringan kerja yang melintasi batas negara. Namun demikian, konvensi ini masih terbatas pada peredaran narkoba dan bahan-bahan psikotropika sebagai tindak pidana asal (predicate crimes) sementara itu, money laundering merupakan proses yang melibatkan proceeds of crime dari beberapa predicate offences yang lebih kompleks seperti korupsi, penyelundupan, perdagangan manusia, tindak pidana di bidang perpajakan, tindak pidana perbankan, dan tindak pidana yang digolongkan sebagai tindak pidana berat (serious offences). Atas dasar itulah nampaknya Vienna Convention 1988 belum cukup menjadi dasar hukum yang komprehensif, untuk mengatasi kejahatan money laundering yang berdimensi luas.24

Upaya merespon kebutuhan dalam memerangi pencucian uang, pada tahun 2000 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengeluarkan The International Convention Againts Transnational Organized Crimes, yang dikenal dengan Palermo Convention, yang memberikan pengaturan standar dalam upaya mencegah dan memberantas pencucian uang. Konvensi ini

(34)

memperluas predicate crimes tindak pidana pencucian uang meliputi seluruh tindak pidana berat (serious crime), yang diartikan dengan tindak pidana yang diancam dengan hukuman minimal empat tahun. 25

2. Tindak Pidana Pencucian Uang

Pencucian uang adalah suatu peroses atau perbuatan yang bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau harta kekayaan yang diperoleh dari hasil tindak pidana, yang kemudian diubah menjadi harta kekayaan yang seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah. Istilah pencucian uang berasal dari bahasa Inggris, yakni money laundering. Istilah money laudering memang tidak ada definisi yang universal karena baik negara-negara maju maupun negara- negara dari dunia ketiga, masing-masing mempunyai definisi sendiri berdasarkan prioritas dan prespektif yang berbeda. Namun para ahli hukum di Indonesia telah sepakat mengartikan money laundering dengan pencucian uang.26

Definisi tindak pidana pencucian uang dalam rumusan peraturan-peraturan di berbagai negara tidak sama persis, tetapi ada prinsip tertentu yang selalu sama, yaitu bahwa tindakpidana pencucian uang adalah suatu perbutan terkait dengan menikmati atau mempergunakan hasil kejahatan (who ever enjoy his fruit of crime). Jadi yang paling penting adalah, ada hasil kejahatan dan ada perbuatan yang menikmati atau menggunakan hasil kejahatan tersebut (money

25

Ibid, hal.5.

(35)

laundering offence).27 Perlu juga ditekankan di sini bahwa hasil kejahatan tidak harus uang, yang namanya hasil kejahatan bisa berbentuk apa saja, sepanjang ada nilai ekonomis dan oleh karenanya dalam peraturan perundangan dikatakan sebagai harta kekayaan bukan sekedar uang. Dalam tindak pidana pencucian uang terdiri dari kejahatan asal (predicate crime), yang kemudian hasil dari kejahatan asal itu dilakukan perbuatan apapun, seperti ditransfer, dibelanjakan, dihadiahkan atau ditukarkan. Secara yuridis definisi pencucian uang dalam UU TPPU adalah suatu perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana dalam undang-undang ini.28

3. Tindak Pidana Asal

Tindak pidana pencucian uang memiliki karakteristik yang berbeda dengan kejahatan pada umumnya, hal ini dapat dilihat dari proses terjadinya tindak pidana pencucian uang, yang didahului dengan terjadinya tindak pidana asal. Tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana asal sangat memiliki hubungan yang erat antara satu dengan yang lainnya, karena tindak pidana pencucian uang tidak mungkin terwujud tanpa adanya tindak pidana asal. Tindak pidana asal adalah tindak pidana yang secara tegas disebutkan dalam Pasal 2 ayat (1) UU TPPU meliputi:

a. Korupsi. b. Penyuapan. c. Narkotika. d. Psikotropika.

e. Penyelundupan tenaga kerja.

27

Yenti Garnasih, Penegakan Hukum Anti Pencucian, Op.Cit, hal. 16.

(36)

f. Penyelundupan migran. g. Di bidang perbankan. h. Di bidang pasar modal. i. Di bidang perasuransian. j. Kepabeanan.

k. Cukai.

l. Perdagangan orang.

m. Perdagangan senjata gelap. n. Terorisme. o. Penculikan. p. Pencurian. q. Penggelapan. r. Penipuan. s. Pemalsuan uang. t. Perjudian. u. Prostitusi. v. Di bidang perpajakan. w. Di bidang kehutanan.

x. Di bidang kelautan dan perikanan.

y. Tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau diluar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia

Tindak pidana asal sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) adalah syarat atau sebab terjadinya tindak pidana pencucian uang, artinya uang yang diperoleh dari tindak pidana asal itulah yang kemudian akan dilakukan proses pencucian, baik dengan mentransfer, membelanjakan, membawa keluar negeri dll. Kedudukan tindak pidana asal sangatlah penting dalam proses terwujudnya tindak pidana pencucian uang, maka sudah sepatutnya dalam melakukan proses penyidikan perkara TPPU, penyidik dapat sekaligus menyidik TPPU dan tindak pidana asal secara bersamaan, hal ini didasari rumusan Pasal 75 UU TPPU yang membolehkan penyidik dalam melakukan penyidikan TPPU, dapat dilakukan secara bersamaaan dengan tindak pidana asal. Hal ini bertujuan untuk memudahkan penyidik dalam mengidentifikasi

(37)

harta kekayaan yang dicuci tersebut, apakah diperoleh dari kejahatan asal atau tidak, karena tidak semua harta kekayaan yang diperoleh dari kejahatan, kemudian dilakukan prosese pencucian oleh pelaku, dapat dijerat dengan UU TPPU. Pelaku yang dapat dijerat dengan UU TPPU hanyalah pelaku yang melakukan pencucian harta yang diperoleh dari 25 kejahatan asal sebagaimana yang diamksud dalam Pasal 2 ayat (1), serta kejahatan lain yang diancam 4 tahun ke atas. Jadi manakala harta tersebut, bukan diperoleh dari 25 kejahatan sebagaiman dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), dan kejahatan yang ancamanya dibawah 4 tahun, maka pelaku tidak bisa dijerat dengan UU TPPU.

4. Jenis Pelaku Tindak Pidana Pencucian Uang

Tindak pidana pencucian uang adalah kejahatan ganda yang berarti bahwa dalam tindak pidana pencucian uang terdiri dari predicate offence (kejahtan asal), dan pencucian uang itu sendiri yang justru menempati kedudukan sebagai kejahatan lanjutan (follow up crime), maka, dalam tindak pidana ini juga dibagi dalam dua tipe pelaku, yaitu pelaku aktif dan pasif. Pelaku aktif adalah pelaku yang melakukan perbuatan secara aktif mengalirkan hasil kejahatan, sedangkan pelaku pasif yang mana mereka yang menerima hasil kejahatan. Pelaku aktif adalah barangsiapa yang mengalirkan hasil kejahatan seperti orang yang mentransfer, membelanjakan, mengirimkan, mengubah bentuk, menukarkan atau perbuatan apapun atas harta kekayaan yang berasal dari kejahatan, dan orang tersebut tahu atau paling tidak patut menduga bahwa

(38)

harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan, hal ini sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 4.29

Berkaitan dengan tipe pelaku aktif terbagi dalam dua kriteria, yaitu pertama yang dikenal dengan istilah principle violater (pelaku utama). Principle violater adalah pelaku yang mana dia melakukan kejahatan asal dan juga dia mengalirkan dana hasil kejahatan baik dengan cara transfer, membelanjakan atau perbuatan apapun. Untuk pelaku aktif principle violater inilah bentuk pelaku pencucian uang yang sesungguhnya, yaitu akan dikenakan dua ketentuan undang-undang, yaitu dia melakukan kejahatan asal (predicate offence) dan pencucian uang (follow up crime). Bagi principle violater harus dikenakan dakwaan yang disusun secara kumulatif, atau sebagai pelaku concrusus (perbarengan tindak pidana) 30

Pelaku aktif yang kedua dikenal dengan istilah aider, yaitu perbuatan aktif seperti mentransfer, membelanjakan dan sebagainya, tetapi pelaku ini hanya dikenakan tindak pidana pencucian uang saja, karena memang mereka tidak terlibat kejahatan asalnya, tetapi mereka tahu atau paling tidak patut menduga harta kekayaan yang dialirkan tersebut berasal dari kejahatan. Pelaku aider ini hanya dikenakan satu tuntututan yaitu ketentuan Pasal 3 atau Pasal 4 dan tidak dikenai ketentuan kejahatan asalnya.31

29 Ibid, hal. 35. 30 Ibid. 31 Ibid.

(39)

Tipe pelaku kejahatan tindak pidana pencucian uang yang kedua adalah pelaku pasif. Dari kontruksi perbuatan tindak pidana pencucian uang, yang pada intinya adalah melarang dan memberikan pidana bagi barangsiapa yang melanggar larangan tentang menikmati hasil kejahatan, tipe pelaku pasif ini dikenal dengan istilah abettor, yaitu pelaku yang menerima pentransferan, menerima pembayaran, menerima hadiah dan lain-lain, yang mana dia tahu atau seharusnya patut menduga bahwa harta yang diterima berasal dari kejahatan. Perbuatan pelaku pasif ini diatur dalam Pasal 5, dan bagi pelaku pasif ini juga hanya dikenai satu ancaman kejahatan saja, yaitu ketentuan tindak pidana pencucian uang tanpa kejahatan asal, karena memang pelaku ini tidak terlibat kejahatan asal, tetapi yang bersangkutan tahu atau setidaknya patut menduga bahwa harta kekayaan tersebut berasal dari kejahatan.32

5. Praktik Pencucian Uang di Indonesia

Tren kejahatan pencucian uang, saat ini terkait adanya korelasi yang sangat kuat antara berbagai bentuk kejahatan terutama kejahatan transnasional, dan kejahatan bermotif ekonomi dengan harta kekayaan hasil kejahatan yang seharusnya diselesaikan secara simultan dalam proses penegakan hukum. Seiring meningkatnya gelombang globalisasi, jumlah dan modus kejahatan bidang ekonomi semakin meningkat pula. Pada tahun 2012, angkanya

(40)

sebanyak 923 perkara, namun meningkat 229,79% di tahun 2013 menjadi 2. 121 perkara.33

Praktik pencucian uang sebagian besar mengandalkan sarana lembaga keuangan, terutama perbankan dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.34 Sistem kerahasiaan bank dan lemahnya perangkat hukum di Indonesia juga merupakan sarana yang dimanfaatkan oleh para pelaku pencucian uang. Adanya pengaturan kerahasiaan ini membuat mereka merasa aman untuk menyimpan uang hasil kejahatannya tanpa harus takut dilacak oleh pihak yang berwenang. Selain itu kondisi yang membuat negara ini menjadi “surga” kegiatan pencucian uang, adalah karena Indonesia masih membutuhkan likuiditas, sehingga dunia perbankan Indonesia masih memandang pentingnya dana-dana asing untuk masuk dan diinvestasikan di Indonesia. Sementara ada pihak-pihak asing tertentu yang hanya setuju untuk melakukan investasi di Indonesia jika dijamin tidak diusut asasl-usul dananya.35

Tindak pidana pencucian uang disamping sangat merugikan masyarakat, juga sangat merugikan negara karena dapat memengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Dampak dari pencucian uang adalah sebagai berikut:36

1. Merongrong sektor swasta yang sah (undermining the legitimate private sectors)

2. Mengakibatkan rusaknya reputasi negara (reputation risk).

33 Agung Setya, Prespektif Penegakan Hukum Pencucian Uang Yang Memberi Harapan dan Rasa Keadilan, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 11

34 Ibid, hal. 15. 35

Ibid, hal.12.

(41)

3. Mengurangi pendapatan negara dari sumber pembayaran pajak (loss revenue).

4. Merongrong integritas pasar keuangan (undermining the integrity of finacial markets).

5. Membahayakan upaya privatisasi perusahaan negara yang dilakukan oleh pemerintah (risk of privatization efforts).

6. Menimbulkan biaya sosial yang tinggi (social cost).

7. Timbulnya distorsi dan ketidakstabilan ekonomi (economic distortion and instability).

8. Mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonominya (loos of control of economic policy).

9. Menimbulkan dampak makro ekonomi, yang mana pencucian uang telah mendistorsi data ekonomi dan mengkomplikasi upaya pemerintah untuk melakukan pengelolaan terhadap kebijakan ekonomi yang nantinya harus memainkan peranan dalam upaya anti money laundering, misalnya seperti pengawasan lalu lintas devisa (exchange control), pengawasan bank terhadap rambu kesehatan bank (prudential supervision), penagihan pajak (tax collection), pelaporan statistik (statistical reporting) dan perundang- undangan (legislation).

10. Mengakibatkan kurangnya kepercayaan kepada pasar dan terjadinya penipuan (fraud), serta penggelapan (embezzlement).

Sebegitu besarnya dampak negatif pencucian uang yang ditimbulkannya, berpengaruh terhadap perekonomian suatu negara, hal itu yang membuat negara-negara di dunia dan organisasi internasional merasa tergugah dan termotivasi untuk menaruh perhatian lebih serius terhadap pencegahan dan pemberantasan kejahatan pencucian uang. Hal ini tidak lain karena money laundering baik secara langsung maupun tidak langsung dapat mempengaruhi sistem ekonomi, dan pengaruhnya tersebut merupakan dampak negatif bagi perekonomian itu sendiri.37

37

Bismar Nasution, Rezim Anti Money Laundering di Indonesia, Books Terrace dan Libbary Pusat Informasi Hukum Indonesia, Bandung, 2005, hal. 1.

(42)

Kejahatan pencucian uang di Indonesia berkembang mengikuti hukum alam, bahwa kejahatan ini awalnya hanya bersifat lanjutan dari kejahtan asal. Namun, seiring dengan dinamika pada industri keuangan dan bisnis pada umumnya, membawa kejahatan ini masuk kedalam lingkaran yang semakin rumit. Hal itu juga beriringan dengan meningkatnya keterbukaan informasi publik, yang dapat mengaskes informasi apapun termaksud berbagai modus operandi, sampai pengakuan saksi maupun tersangka di persidangan kejahatan pencucian uang.38

6. Objek Pencucian Uang

Menurut sarah N. Welling money laundering dimulai dengan adanya uang haram atau uang kotor (dirty mone). Uang dapat menjadi kotor dengan dua cara, yakni melalui pengelakan pajak (tax evasion) dan cara melanggar hukum. Pengelakan pajak ialah memperoleh uang secara legal, tetapi jumlah yang dilaporkan kepada pemerintah untuk keperluan kepentingan pajak lebih sedikit dari yang sebenarnya diperoleh. Sedangkan dengan cara melanggar hukum teknik-teknik yang bisa dilakukan untuk hal itu, antara lain, penjualan obat-obatan terlarang, perdagangan narkotika secara gelap, perdagangan senjata, penyeludupan minuman keras, penyeludupan imigran gelap.39

38 Agung Setya, Prespektif Penegakan Hukum Pencucian Uang Yang Memberi Harapan dan Rasa Keadilan, Op. Cit, hal. 14.

(43)

Praktik-praktik money laundering memang mula-mula hanya terhadap uang yang diperoleh dari lalu lintas perdagangan narkotika dan obat-obatan sejenis itu, atau yang dikenal dengan istilah illegal drug trafficking. Namun, kemudian money laundering diperlukan pula untuk dilakukan terhadap uang yang diperoleh dari sumber kejahatan yang lain, seperti yang dikemukan di atas. Sebenarnya di antara beberapa kegiatan yang bersangkutan dengan pengumpulan uang haram secara internasional yang berasal dari drug trafficking, bukanlah sumber yang utama. 40

7. Tahap-Tahap dan Proses Pencucian Uang

Secara umum terdapat beberapa tahap dalam melakukan usaha pencucian uang yaitu;

a) Placement

Placement merupakan tahap pertama, yaitu pemilik uang tersebut menempatkan (mendepositokan) uang haram tersebut ke dalam sistem keuangan. Pada tahap placement tersebut, bentuk dari uang hasil kejahatan harus dikonversi untuk menyembunyikan asal-usul yang tidak sah dari uang itu. Misal, hasil dari perdagangan narkoba uangnya terdiri atas uang-uang kecil dalam tumpukan besar dan lebih berat dari narkobanya, lalu dikonversi ke dalam nominasi uang yang lebih besar. Lalu didepositokan ke dalam rekening bank, dan dibelikan ke

40

(44)

instrumen-instrumen moneter seperti cheques, money orders dan lain-lain. Bentuk kegiatan ini, antara lain: 41

a. Menempatkan dana pada bank (lebih dari satu) diikuti dengan pengajuan kredit/pembiayaan.

b. Menyetorkan uang pada bank atau perusahaan keuangan lain sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail. c. Menyelundupkan uang tunai dari suatu negara ke negara lain. d. Membiayai suatu usaha yang seolah-olah sah atau terkait dengan

usaha sah berupa kredit/pembiayaan.

e. Membeli barang-barang berharga yang bernilai tinggi untuk keperluan pribadi atau sebagai hadiah kepada pihak lain yang pembayarannya dilakukan melalui bank atau perusahaan keuangan lainnya.

b). Layering

Layering adalah memisahkan hasil tindak pidana dari sumbernya, yaitu tindak pidananya melalui beberapa tahap transaksi keuangan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompl untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak dana tersebut. Bentuk kegiatan ini antara lain:42

1. Transfer dari satu bank ke bank lain dan antara wilayah atau negara.

2. Penggunaan simpanan tunai sebagai agunan untuk mendukung transaksi yang sah.

3. Memindahkan uang tunai lintas batas negara, baik melalui jaringan kegiatan usaha yang sah maupun shell company.

41 Ibid, hal. 18-19. 42 Ibid, hal.19-20.

(45)

c) Integration

Integration adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke berbagai bentuk kekayaan materil atau keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, maupun untuk membiayai kembali tindak pidana. Dalam melakukan pencucian uang, pelaku tidak terlalu mempertimbangkan hasil yang diperoleh dan besarnya biaya yang harus dikeluarkan, karena tujuan utamanya adalah untuk menyamarkan asal usul uang sehingga hasil akhirnya dapat dinikmati dan digunakan secara aman.43

8. Unsur-Unsur Tindak Pidana Pencucian Uang

Dari definisi pencucian Uang sebagaimana dijelaskan diatas, maka tindak pidana pencucian uang mengandung unsur-unsur sebagai berikut :

1. Pelaku.

2. Perbuatan (transaksi keuangan atau finansial ) dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan dari bentuknya yang tidak sah ( ilegal ).

3. Merupakan hasil tindak pidana.

Secara garis besar unsur pencucian uang terdiri dari unsur objektif (actus reus) dan unsur subjektif (mens rea). Unsur objektif (actus reus) dapat dilihat dengan adanya kegiatan menempatkan, mentransfer, membayarkan atau membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lain atas harta

43

(46)

kekayaan yang diketahui atau patut diduga berasal dari kejahatan. Sedangkan unsur subjektif (mens rea) dilihat dari perbuatan seseorang yang dengan sengaja mengetahui atau patut diduga bahwa harta kekayaan berasal dari kejahatan dengan maksud untuk menyembunyikan atau menyamarkan harta tersebut.44

Ketentuan yang ada dalam UU TPPU terkait perumusan tindak pidana pencucian uang menggunakan frasa setiap orang, di mana dalam Pasal 1 angka 9 bahwa setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam Pasal 1 angka 10, dalam pasal ini disebutkan bahwa korporasi adalah kumpulan orang dan kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum atau bukan badan hukum. Sementara itu, yang dimaksud transaksi keuangan diartikan sebagai transaksi untuk melakukan atau menerima penempatan, penyetoran, penarikan, pemindahbukuan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan dan atau kegitan lain yang berhubungan dengan uang. Transaksi keuangan yang menjadi unsur tindak pidana pencucian uang adalah, transaksi keuangan yang mencurigakan atau patut dicurigai baik transaksi dalam bentuk tunai maupun melalui proses pentransferan/ memindahbukukan 45

44

Agung Setya, Prespektif Penegakan Hukum Pencucian Uang yang Memberi Harapan dan Rasa

Keadilan, Op. Cit, hal. 41. 45 Ibid, hal. 42.

(47)

Transaksi mencurigakan menurut ketentuan yang tertuang pada Pasal 1 angka 5 UU TPPU adalah, transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan.

1. Transaksi keuangan oleh pengguna jasa keuangan yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh penyedia jasa keuangan sesuai ketentuan undang-undang ini.

2. Transaksi keuangan yang dilakukan maupun yang batal dilakukan dengan menggunakann harta kekayaan yang diduga berasal dari tindak pidana.

3. Transaksi keuangan yang diminta oleh PPATK untuk dilaporakan oleh pihak pelapor karena melibatkan harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.

Perlu dijadikan catatan bahwa dalam pembuktian tindak pidana pencucian uang nantinya hasil tindak pidana merupakan unsur delik yang harus dibuktikan, pembuktian apakah benar atau tidaknya harta kekayaan tersebut merupakan hasil tindak pidana adalah dengan membuktikan adanya hasil tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan tersebut.46

Ketentuan sebagaimana yang disebutkan pada Pasal 3 UU TPPU, teridentifikasi beberapa tindakan yang dapat dikualifikasikan ke dalam bentuk tindak pidana pencucian uang, yakni tindakan atau perbutan dengan sengaja:47

46

Ibid, 42-43.

(48)

a) Menempatkan harta kekayaan ke dalam penyedia jasa keuangan baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain, padahal diketahui atau patut diduga harta tersebut diperoleh dari tindak pidana . b) Mentransfer harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga

merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, dari suatu penyedia jasa keuangan ke penyedia jasa keuangan lain, baik atas nama sendiri atau atas nama orang lain.

c) Membelanjakan atau menggunakan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari tindak pidana. Baik atas nama dirinya sendiri atau atas nama pihak lain. d) Menghibahkan atau menyumbangkan harta kekayaan yang

diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh dari hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri ataupun atas nama pihak lain.

e) Menitipkan harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta yang diperoleh berdasarkan tindak pidana, baik atas namanya sendiri atau pihak lain.

f) Membawa keluar negeri harta yang yang diketahui atau patut diduga merupakan harta diperoleh dari tindak pidana.

g) Menukarkan atau perbuatan lainya terhadap harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan harta hasil tindak pidana dengan mata uang atau dengan surat berharga lainya, dengan tujuan untuk menyembunyikan /menyamarkan asal-usul harta kekayaan tersebut.

9. Faktor Pendorong Terjadinya Tindak Pidana Pencucian Uang

Seperti telah diuraikan di awal bahwa tindak pidana pencucian uang merupakan sebuah tindakan guna menyamarkan atau menyembunyikan asal-usul harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana, dengan tujauan seolah-olah harta tersebut diperoleh dengan cara yang legal. Faktor pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang akibat kemajuan teknologi, misalnya di bidang informasi, yaitu dengan mudahnya internet yang memperlihatkan kemajuan yang luar biasa.48

48

Lukmanul hakim, Abraham Yazid Martin, Tindak Pidana Pencucian Uang dan Modusnya Dalam Prespektif Hukum Bisnis, Jurnal De Rechstaat, Vo. 1, No. 1, 2015, hal.7.

(49)

Dengan kemajuan teknologi informasi tersebut, batas negara tidak berarti lagi, dunia menjadi satu kesatuan tanpa batas. Akibatnya, kejahatan-kejahatan teroganisir (organized crime) yang diselenggarakan organisasi-organisasi kejahatan menjadi mudah dilakukan melewati lintas batas negara. Pada saat ini, organisasi-organisasi kejahatan dapat secara mudah dan cepat memindahkan jumlah uang yang sangat besar dari satu yurisdiksi ke yurisdiksi lainya. Selain kemajuan teknologi yang merupakan faktor pendorong terjadinya tindak pidana pencucian uang, ada beberapa faktor lain misalanya:49

a) Ketentuan Rahasia Bank yang Sangat Ketat

Berkaitan dengan reformasi di bidang perpajakan (tax reform), negara-negara Uni Eropa misalnya Inggris melakukan pertemuan dengan Menteri keuangan, untuk menghimbau menghapuskan ketentuan rahasia bank yang ketat tersebut. Dalam memerangi tindak pidana pencucian uang, maka harus mempertimbangkan penghapusan ketentuan rahasia bank.

b) Kerahasiaan Hubungan Antara Lawyer dan Klien

Dana simpanan di bank sering mengatasnamakan kantor pengecara, sementara hubungan antara klien dan lawyer dilindungi oleh undang-undang. Oleh karena itu lawyer yang menyimpan dana di bank atas nama kliennya tidak dapat dipaksa oleh otoritas yang berwenang untuk mengungkapakan identitas kliennya

c) Negara-Negara Tidak Sungguh-Sungguh Melakukan Kerja Sama dalam Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Penyebab masih maraknya praktik pencucian uang karena kurangnya kerja sama antar negara dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang, hal tersebut karena negara yang bersangkutan memang sengaja membiarkan praktik pencucian uang berlangsung. Karena negara tersebut mendapat keuntungan dengan ditempatkan dana haram di lembaga keuangan di negara tersebut. Keuntungan dari dana yang terkumpul di lembaga perbankan sangat diperlukan untuk membiayai pembangunan atau dengan dana tersebut memungkinkan perbankan memperoleh

(50)

banyak keuntungan dari penyaluran dana, lebih lanjut akan memberi kontribusi yang besar bagi negaranya

10. Modus Operandi Pencucian Uang

Melihat sejarah perjalanan para pelaku tindak pidana pencucian uang yang baru-baru ini terjadi, baik yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Tipikor maupun yang masih dalam proses penyidikan oleh KPK. Kasus-kasus tersebut anatara lain, misalnya kasus Djoko Susilo, Melinda Dee, Ahmad Fatonah, Tubagus Chaeri Wardana, Gubenur Banten Ratu Atut Choisyah dan Akil Muhtar. Dapat dikatakan bahwa modus operandi kejahatan pencucian uang umumnya dilakukan melaui cara-cara antara lain:50

a) Melalui kerja sama modal.

Uang hasil kejahatan secara tunai dibawa ke luar negeri. Uang tersebut kembali dalam bentuk kerja sama modal (joint venture project), keuntungan investasi bentuk tersebut diinvestasikan lagi dalam berbagai usaha lain. Keuntungan usaha lain ini dinikmati sebagai uang yang sudah bersih karena tampaknya diolah secara legal, bahkan sudah dikenakan pajak.

b) Melalui Agunan Kredit.

Uang tunai diseludupkan ke luar negeri, lalu disimpan di bank negara tertentu yang prosedur perbankanya termasuk lunak. Dari Bank tersebut ditransfer ke bank Swiss dalam bentuk deposito, kemudian dilakukan pinjaman ke satu bank di Eropa dengan jaminan deposito tersebut. Uang hasil kredit ditanamkan kembali ke negeri asal uang haram tadi.

c) Melalui Perjalanan Luar Negeri.

Uang tunai di transfer ke luar negeri melalui bank asing yang ada di negaranya, lalu uang tersebut dicairkan kembali dan dibawa kembali ke negara asalnya oleh orang tertentu, seolah-olah uang tersebut berasal dari luar negeri.

d) Melalui Penyamaran Usaha Dalam Negeri.

Dengan uang tersebut didirikanlah perusahaan samaran, tidak dipermasalahkan apakah uang tersebut berasal dari mana atau halal

50

Alfitra, Modus Operandi Pidana Kkusus Di Luar KUHP, Raih Asa Sukses, Jakarta, 2014, hal. 54-55.

Referensi

Dokumen terkait

pelaku usaha melakukan efisiensi dan mampu bersaing dengan pelaku usaha lainnya. Fakta yang terjadi untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat di negara

Daun Kersen (Muntingia calabura L.) dan Waru (Hibiscus tiliaceus L.) merupakan salah satu tumbuhan yang tersebar luas di Indonesia.Pemanfaatan daun dari

Dewan direksi yaitu dewan yang dipilih oleh pemegang saham, bertugas mengawasi pekerjaan yang dilakukan oleh manajemen dalam mengelola perusahaan, dengan

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji hubungan antara minat dan motivasi terhadap hasil belajar siswa pada mata pelajaran Proses Industri Kimia di SMTI

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai pengaruh Loan to Deposit Ratio (LDR), Capital Adequacy Ratio (CAR), Ukuran Perusahaan, dan Biaya

Karakterisasi terhadap larutan asam fulvat hasil elektrolisis dilakukan menggunakan spektrofotometer UV-Visibel untuk melihat seberapa besar persen dekolorisasi

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka terdapat simpulan sebagai berikut: 1) Penyebab produk yang berlabel tidak bahasa Indonesia masih beredar di Indonesia

Berdasarkan hasil interpretasi data resistivitas yang diperoleh dari pengolahan program progress 3.0 dengan nilai resistivitas batuan dari buku Telford tahun 1976