• Tidak ada hasil yang ditemukan

Civil Society Pasca Negara Birokratik Otoritarian Orde Baru. Ainur Rofieq. Abstract

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Civil Society Pasca Negara Birokratik Otoritarian Orde Baru. Ainur Rofieq. Abstract"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Latar Belakang

Perbincangan mengenai civil society di Indonesia mulai berkembang sejak dekade 1970 bersamaan dengan mulai maraknya lembaga swadaya masyarakat di Indonesia. Maraknya wacana civil society juga dipengaruhi oleh berbagai peristiwa politik dunia yang mendesak proses demokrasi ke berbagai belahan dunia. Desakan demokratisasi dan redemokratisasi ini oleh Huntington (1995) dinilai sebagai “gelombang demokrasi ketiga”. Ciri dari gelombang demokratisasi ketiga ini diantaranya adalah perubahan lebih bersifat global dari sebelumnya, dan sebagai konsekuensinya mempengaruhi lebih banyak negara, terutama negara-negara berkembang yang bersifat otoritarian dan totaliter. Dengan kata

Civil Society Pasca Negara Birokratik Otoritarian

Orde Baru

Ainur Rofieq

Abstract

Democratization process in Indonesia cannot be separated from the role of civil society which develops through nongovernmental organization. After the collapse of New Order bureaucracy regime, the process seems like apparent death. The confusion over the emergence of ‘the anti-democracy wave’ is increasingly filed through. Therefore, the hope for the raise of civil society as driving force for democratization process emerges, so that the inversion to the new authoritarianism cannot be happened.

(2)

lain, menurut Falk (1995:104) demokrasi merupakan suatu sistem politik yang bersifat keharusan.

Faktor yang mempengaruhi terjadinya pergeseran dari rezim otoritarian dan totaliter ke demokrasi, menurut Liddle (2005:17) adalah, pertama, krisis legitimasi: kebijakan penguasa otoriter dianggap oleh masyarakat telah gagal mencapai tujuannya. Kedua, dorongan dari bawah: sebagian masyarakat yang makin hari makin besar dan kuat mendesak penguasa otoriter untuk memberikan hak partisipasi politik.

Indonesia juga tidak terhindar dari proses demokratisasi yang sedang berlangsung saat itu. Indikatornya adalah antara lain tumbangnya Soeharto sebagai diktator dan pemimpin rezim otoriter Orde Baru, pemilu dengan multi partai dan partisipasi politik warga yang tinggi, desentralisasi dan otonomi daerah, pengamandemenan UUD ‟45, desakralisasi lembaga kepresidenan, penyeretan mantan maupun pejabat yang masih berkuasa yang diduga korupsi, penguatan masyarakat sipil (civil society) yang ditandai dengan gerakan unjuk rasa baik di tingkat nasional maupun protes-protes dengan skala lokal, penguatan solidaritas horizontal dalam rangka menggalang kekuatan untuk menekan pemerintah, dan lain-lain (Heru Nugroho dalam Markoff, 2002:xii).

Namun proses demokratisasi itu tidak berlangsung lama karena ternyata harus berhadapan dengan kendala internal dalam masyarakat, yang oleh Vaclav Havel (1995) disebut sebagai “pascatotaliter” yang dicirikan penuh kebohongan dan manipulasi. Fenomena politik yang paling mengkhawatirkan dalam kehidupan bermasyarakat adalah munculnya konflik elite penguasa yang tidak berkesudahan yang berujung pada munculnya social and political distrust, tindak kekerasan massa, premanisme yang dilakukan oleh tokoh-tokoh politik, aparat dan agamawan, dan sebagainya, yang menegaskan bahwa proses civilizing justru menjauh, padahal hal itu merupakan tahapan awal untuk meraih tatanan politik yang demokratis (Heru Nugroho dalam Markoff, 2002:xiv). Dampaknya, menurut Markoff (2002) akan terjadi “gelombang anti demokrasi” yang tidak menutup kemungkinan munculnya kembali tatanan politik otoritarianisme.

(3)

Teorisasi tentang Civil Society dan Negara Birokratik Otoritarian Civil society diterjemahkan dengan berbagai macam pengertian seiring dengan perkembangan politik dan ilmu pengetahuan. Ada yang mengartikan civil society sebagai masyarakat madani, masyarakat kewargaan atau masyarakat warga, masyarakat sipil, masyarakat beradab atau masyarakat berbudaya (Culla, 2002:3). Di Indonesia sendiri civil society identik dengan masyarakat madani, masyarakat kewargaan, masyarakat warga atau masyarakat sipil. Masyarakat madani identik dengan “masyarakat beradab” karena istilah madani diambil dari kata “madinah” berasal dari bahasa Arab “madaniyah” yang berarti peradaban atau kota sehingga dapat diartikan juga masyarakat madani sebagai masyarakat kota (Madjid, 1999).

Dalam sejarah tercatat, pemikiran masyarakat madani sejak awal di Barat disebabkan karena tumbuhnya masyarakat kota atau negara-kota (city-state) sebagai bentuk masyarakat beradab. Pada perkembangannya kemudian masyarakat madani dikaitkan dengan munculnya golongan borjuasi pada masyarakat-masyarakat industri, lalu kemudian masyarakat madani menunjukkan pada adanya kelompok-kelompok sosial yang otonom terhadap negara. Kelompok-kelompok sosial yang terdapat pada organisasi/asosiasi yang dibuat oleh masyarakat di luar pengaruh negara seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial dan keagamaan, paguyuban dan juga kelompok-kelompok kepentingan (interest groups) (Hikam, 1999).

Civil society sebagai salah satu unsur ancaman pada negara-negara otoriter birokratik, karena dapat mempengaruhi proses politik. Negara takut atau khawatir terhadap politik massa rakyat, oleh sebab itu negara tampil sebagai sebuah kekuatan politik yang dominan untuk melakukan pengawasan yang kuat terhadap civil society untuk mencegah massa rakyat di bawah dari keterlibatan politik yang terlampau aktif agar tidak mengganggu akselerasi industrialisasi. Dampaknya negara tumbuh berkembang menjadi kekuatan raksasa yang terpadu, dinamis menyebar, represif, birokratis dan teknokratis (Hikam, 1999:14).

Seluruh kehidupan masyarakat baik sosial budaya, politik formal, ekonomi di seluruh wilayah negara sampai pada inidividu-individu dipengaruhi dan diawasi oleh negara sampai dengan cara-cara kekerasan dan mekanisme korporatisasi negara, yaitu suatu sistem penyingkiran sektor massa lewat pengawasan-pengawasan, depolitisasi serta

(4)

tekanan-tekanan yang memungkinkan terciptanya stabilitas jangka pendek dan kemungkinan stabilitas jangka panjang yang dapat diprediksi pada hubungan-hubungan sosial yang diperlukan oleh pola-pola baru dalam menunjang pertumbuhan ekonomi.

Model negara birokratik otoritarian (bureaucratic authoritarianism) pertama kali dikemukakan oleh Dwight Y. King. Model ini semula digunakan oleh Juan Linz dalam studinya mengenai Spanyol, yang kemudian dikembangkan oleh Guillermo O‟Donnell untuk memahami realitas masyarakat-masyarakat yang sedang melakukan pembangunan ekonomi-politik terutama di kawasan Amerika Latin (Mahfud MD, 2003:116).

Rezim birokratik otoritarian ini bertujuan membuat keputusan yang sederhana, tepat, tidak bertele-tele, dan efisien yang tidak memungkinkan adanya proses bargaining yang lama, melainkan mencukupkan diri pada pendekatan „teknokratik-birokratik‟ dengan pertimbangan semata-mata „efisiensi‟. Rezim ini didukung oleh unsur-unsur yang dapat mendukung proses pembangunan yang efisien, yaitu militer, teknokrat sipil, dan pemilik modal (Mahfud MD, 2003:117).

Menurut Mohtar Mas‟oed terdapat lima macam karakteristik rezim ini yang juga disebut sebagai rezim hegemonik birokratik: pertama, pemerintah dipimpin oleh militer sebagai lembaga yang bekerja sama dengan teknokrat sipil; kedua, pemerintah didukung oleh pemilik modal; ketiga, pendekatan kebijakan lebih didominasi pendekatan teknokratik; keempat, adanya mobilisasi massa; dan kelima, adanya tindakan represif untuk mengontrol kekuatan oposisi (Mahfud MD, 2003: 117).

Peranan Civil Society dalam Negara Birokratik Otoritarian Orde Baru Sepanjang sejarah Indonesia ternyata selalu terjadi tolak-tarik atau dinamika antara konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter (nondemokratis). Demokrasi dan otoriterisme muncul secara bergantian dengan kecenderungan linear di setiap periode pada konfigurasi otoriter (Mahfud MD, 2003). Pada era itu banyak identifikasi teoritis yang diberikan oleh para sarjana untuk menjelaskan realitas perpolitikan Orde Baru: patrimonialisme, beamtenstaat pasca kolonial, bureaucratic polity, rezim birokratis otoriter, statis dan organis korporatisme, dan sebagainya (Mahfud MD, 2006:73).

(5)

Civil society memiliki peran yang penting dalam proses maupun perubahan sistem politik. Pada masa awal pemerintahan Orde Baru terjadi proses rekstrukturisasi politik, ekonomi dan sosial mendasar yang berdampak pada perkembangan civil society. Pada sektor sosial ekonomi, akselerasi pembangunan melalui industrialisasi dapat mewujudkan pertumbuhan ekonomi dan mendorong terjadinya perubahan pada struktur sosial masyarakat yang ditandai dengan tergesernya pola-pola kehidupan masyarakat agraris. Kelas-kelas sosial baru dalam masyarakat bermunculan, terutama pada munculnya kelas menengah yang ada di wilayah urban (Uhlin, 1999; Tanter dan Young, 1993). Namun kelas menengah yang muncul sangat bergantung kepada negara, seperti kelas kapitalis yang perkembangannya karena faktor kedekatan dengan negara dan elit penguasa, yang oleh Yoshihara Kunio (1990) disebut sebagai „kelas kapitalis semu‟ (ersatz capitalism).

Pada sektor politik, rezim Orde Baru juga memperkuat posisi negara di segala bidang. Partisipasi dan kemandirian politik anggota masyarakat tidak diterapkan. Tidak ada kebebasan berpolitik. Hal tersebut berdampak pada kondisi civil society yang tidak berkembang sebagaimana mestinya. Lembaga-lembaga Masyarakat (LSM) dan Organisasi-organisasi Masyarakat (Ormas) sangat lemah ketika akan berhadapan dengan kekuasaan negara. Ormas yang ingin survive harus bergabung dengan kooptasi negara. Demikian pula halnya dengan pers yang tidak diberikan ruang kebebasan yang akan menstimulir wacana kreatif dan dialog-dialog bebas bagi warga masyarakat (Hikam, 1999:6). Sehingga civil society pada masa rezim Orde Baru tetap lemah dan tidak dapat menjadi kelompok kekuatan penyeimbang dari kekuatan negara. Prospek Civil Society Pasca Negara Birokratik Otoritarian Orde Baru

Pasca jatuhnya kekuasaan Orde Baru, timbul sejumlah masalah muncul sebagai kristalisasi rezim otoriter yang telah membelenggu kompetisi, partisipasi dan kebebasan civil society di Indonesia selama ini. Dalam proses transisi demokrasi seharusnya terjadi penguatan dan konsolidasi kekuatan civil society. Namun yang terjadi adalah terjadinya disorientasi para pelaku civil society tersebut.

Tokoh-tokoh civil society kini banyak terlibat dalam posisi-posisi puncak negara, baik pada lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, sehingga mereka menjadi bagian integral negara. Ironisnya, mereka

(6)

mengalami disorientasi – jika tidak “pembusukan” – dengan melakukan hal-hal yang justru bertentangan dengan nilai-nilai civil society yang dulu pernah mereka perjuangkan. Fragmentasi dan konflik politik di antara mantan pemimpin dan tokoh civil society ini hanya semakin memperburuk pertumbuhan demokrasi (Azra, 2001).

Sedangkan di pihak lain, berbagai individu, kelompok, dan organisasi civil society yang sangat instrumental bagi aktualisasi civil society itu sendiri juga mengalami disorientasi. Sebagian mereka tetap berusaha menjadi bagian dari civil society yang genuine dan otentik, berperan sebagai “mitra kritis” negara (critical partners of the state). Namun, mereka sudah terlalu lemah untuk bisa memainkan peran secara efektif. Sebagian unsur civil society lainnya justru terekrut – baik langsung maupun tidak – ke dalam negara. Mereka bukan hanya terkooptasi, tapi lebih jauh lagi, menjadi perpanjangan tangan politik kekuasaan (Azra. 2001).

Melihat kondisi itu, transisi Indonesia menuju demokrasi akan berlangsung lebih lama, karena seperti dibahas dalam World Forum on Democracy tentang Democracy in Transition, diperlukan tiga prasyarat pokok bagi terwujudnya demokrasi, pertama, adanya negara yang kuat; kedua, adanya civil society yang kuat; dan ketiga, sektor ekonomi yang kuat (Azra, 2001). Dan kesemuanya tidak muncul dalam proses transisi itu.

Kondisi ini sejajar dengan konsep yang dikembangkan George Sorensen yang dikutip oleh Heru Nugroho (dalam Markoff, 2002:xvii) tentang „demokrasi beku‟ atau frozen democracy, untuk menggambarkan suatu kondisi masyarakat di mana sistem politik demokrasi yang sedang berkembang menjadi mati karena berbagai kendala yang ada. Akibatnya proses perubahan politik tidak menuju pada pembentukan tatanan sosial politik yang demokratis tetapi malahan menyimpang atau berlawanan arah dengan yang dicita-citakan.

Indikator yang dikembangkan Sorensen seperti dikutip oleh Heru Nugroho (dalam Markoff, 2002:xix) yang mendasari berjalannya konsep demokrasi beku meliputi, pertama, pondasi ekonomi yang lemah baik di tingkat nasional maupun lokal; kedua, berhentinya proses pembentukan civil society; ketiga, konsolidasi sosial politik yang tidak pernah mencapai soliditas namun cenderung semu; dan keempat, penyelesaian masalah-masalah sosial, politik, dan hukum yang tidak pernah tuntas yang

(7)

diwariskan oleh rezim-rezim pendahulu (seperti pelanggaran HAM, KKN, kekejaman aparat birokrasi dan militer, penegakan hukum, dan lain-lain). Apabila menyimak indikator-indikator yang dikembangkan oleh Sorensen tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat kita sedang berada pada satu tahapan demokrasi beku.

Bila dikaitkan dengan perkembangan civil society menunjukkan bahwa sebenarnya proses demokratisasi yang terjadi pada kenyataannya tidak ditopang oleh civil society, melainkan oleh elite yang “terdorong” atau “terpaksa” mengalah kepada desakan demokratisasi. Dinamika demokratisasi yang terjadi terutama di negara-negara berkembang lebih banyak diakibatkan oleh dinamika eksternal (desakan global) daripada dinamika internal (kebutuhan domestik). Sebagaimana dikatakan Adam Przeworski bahwa kelompok elite akan mendukung demokrasi jika mereka merasa yakin bahwa kepentingan mereka akan tercapai dalam kondisi yang lebih demokratis (dalam Wrihatnolo dan Nugroho D, tt).

Oleh karena itu untuk mewujudkan civil society yang kuat ada baiknya belajar dari pengalaman Ghana, dimana untuk berperannya civil society harus didukung oleh kekuasaan kehakiman yang kuat, independen dan professional, serta memiliki kejujuran dan integritas yang pada akhirnya mampu memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai demokratis (Adjei, 2008:46). Selain itu pintu partisipasi dibuka seluas mungkin agar peran civil society dapat berjalan seperti diungkapkan berikut ini:

“Civil society participation has been particularly pronounced in the preparation and implementation of Ghana Poverty Reduction Strategy (GPRS), which focuses on private-sector development, good governance and civic responsibility, as well as human resources development, anchored by macroeconomic stability and the development of infrastructure. The process involves cross-sector planning groups which meet with stakeholders such as parliament, government ministries, departments and agencies, donor partners and civil society groups”(Adjei, 2008:47).

Dengan demikian dengan melihat keberhasilan Ghana dalam memperkuat civil society dalam proses demokratisasi, maka sudah sepantasnya pula bahwa terdapat optimisme terjadinya penguatan civil society di Indonesia. Dan ini terbukti dari munculnya berbagai gerakan dukungan yang mencoba berhadapan dengan penguasa. Seperti Gerakan

(8)

Dukungan terhadap Bibit-Chandra, Gerakan Dukungan Prita Mulyasari, Gerakan Dukungan Susno Duadji, dan sebagainya. Meskipun masih berskala kecil namun dampak yang ditimbulkan menunjukkan bahwa masyarakat mulai berani menyampaikan aspirasinya sekalipun itu bertentangan dengan rezim penguasa.

Penutup

Pada negara-negara berkembang atau negara-negara pasca kolonial civil society tidak tumbuh dan berkembang kuat sebagai penyeimbang kekuatan negara. Karena negara menciptakan kekuatan dalam segala bidang kehidupan masyarakat dan menekan adanya partisipasi dari rakyat. Oleh karenanya civil society tidak dapat tumbuh kuat dan berkembang memberikan kontribusi pada perubahan sistem politik karena dihambat oleh kekuatan negara. Civil society yang tumbuh pada masa Orde Baru tidak identik dengan civil society di negara Barat, karena faktor ketergantungan dengan negara sangat kuat bagi civil society di Indonesia. Pertumbuhan dan perkembangannya pun karena campur tangan negara.

Dalam perkembangannya civil society pasca jatuhnya rezim Orde Baru masih belum menunjukkan peran yang sebenarnya karena masih berkutat pada permasalahan internal dan eksternal yang ada. Namun arah menuju penguatan civil society tampak jelas dengan makin independennya warga dari negara. Meski demikian mengutip Albert Hirschman bahwa selalu terdapat blessing in disguise, unanticipated consequences, and one-way sequences that work in reverse dalam penguatan civil society itu. Alih-alih bukannya terjadi demokratisasi malahan yang terjadi adalah otoritarianisme baru.

(9)

Adjei, Akwasi Osei, “Windows of Opportunity – The Ghana Experience” dalam IDEA, Democracy and Development in Globalized World, Stockholm: IDEA, 2008

Azra, Azyumardi, “Civil Society dan Demokrasi Revisited”, Koran Tempo, 18 Juni 2001.

Culla, Adi Suryadi, Masyarakat Madani, Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2002.

Falk, Richard, On Human Government, Toward a New Global Politics. Pennsylvania: Pennsylvania State University Press, 1995.

Havel, Vaclav, Menata Negeri dari Kehancuran: Pemikiran tentang Demokrasi, Kekuasaan dan Kebudayaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995. Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES, 1999. Huntington, Samuel, Gelombang Demokratisasi Ketiga, Jakarta: Grafiti, 1995. Kunio, Yoshihara, Kapitalisme Semu Asia Tenggara, Jakarta: LP3ES, 1990. Liddle, R William, Revolusi dari Luar: Demokratisasi di Indonesia, Jakarta:

Nalar, 2005.

Madjid, Nurcholis, Cita-cita Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999. Mahfud MD, Moh., Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia: Studi tentang

Interaksi Politik dan Kehidupan Ketatanegaraan, Jakarta: Rineka Cipta, 2003.

Mahfud MD, Moh., Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Jakarta: LP3ES, 2006.

Markoff, John, Gelombang Demokrasi Dunia: Gerakan Sosial dan Perubahan Politik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002.

Tanter, Kenneth dan Richard Young, Politik Kelas Menengah Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1993.

Uhlin, Anders, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998.

Wrihatnolo, Rendy R. dan Riant Nugroho D, Demokrasi bagi Negara-negara Berkembang, Makalah, tt.

Referensi

Dokumen terkait

Pada tahap ini akan dilakukan analisis lebih dalam mengenai kebutuhan bisnis dan informasi yang diharapkan oleh manajemen perusahaan. Data yang telah dikumpulkan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan di atas, perolehan dari bahan ajar (LKS) konsep diferensial untuk siswa kelas XI berbasis konflik kognitif dan perangkat

pembelajaran yang baik. Metode pembelajaran yang dilakukan oleh guru mempunyai peranan yang sangat penting dalam mengoptimalkan keberhasilan belajar

Metode bagian adalah pendekatan mengajar yang efektif untuk memudahkan siswa memahami suatu gerakan teknik dasar dengan cara memilah – milah sehingga menjadi

Mahasiswa mampu menjelaskan pengertian dan sejarah perkembangan sosiologi dan antropologi pendidikan dengan baik. Yang harus dikerjakan dan

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala penyertaan dan kasih Karunia-Nya yang telah diberikan kepada penulis dalam proses penyusunan skripsi yang berjudul

Menurut Sarwono, 1994, Patofisiologi dari kehamilan mola hidatidosa yaitu karena tidak sempurnanya peredaran darah fetus, yang terjadi pada sel telur patologik yaitu : hasil

Nilai Return On Assets yang semakin mendekati 1 (satu), berarti semakin baik profitabilitas perusahaan karena setiap aktiva yang ada dapat menghasilkan laba. Dengan kata