TINJAUAN PUSTAKA
Bayam
Bayam merupakan salah satu jenis sayuran daun yang banyak diminati oleh berbagai kalangan masyarakat. Total luas panen bayam di Indonesia pada tahun 1992 mencapai 34 600 hektar atau menempati urutan ke-11 dari 18 jenis sayuran komersial yang dibudidayakan dan dihasilkan oleh Indonesia. (Hadisoeganda, 1996). Produksi bayam di Indonesia secara umum meningkat dari tahun ke tahun, hal ini dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Produksi Bayam di Indonesia Tahun 2000 – 2010 (Badan Pusat Statistik, 2010)
Peningkatan produksi bayam tersebut diduga disebabkan oleh pertambahan jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat akan pentingnya mengonsumsi sayuran. Bayam dapat menjadi sumber protein yang baik dan murah bagi para penduduk di daerah tropika, sub tropika, dan iklim sedang. Selain itu, tanaman bayam juga mengandung pro vitamin A, vitamin C, zat besi, tiamin, riboflavin, dan serat dalam jumlah yang cukup besar (Edmond et al., 1977)
Bayam merupakan tanaman setahun, monoecious, dan berumur pendek. Meskipun sistem perakaran bayam umumnya jarang, tetapi karena bayam merupakan tanaman C4, bayam toleran terhadap suhu tinggi dan kekeringan (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Tanaman bayam yang memiliki siklus hidup yang relatif singkat ini mampu menghasilkan biji dalam jumlah banyak berukuran kecil sehingga daya sebarnya luas (Hadisoeganda, 1996).
65.72 64.36 71.01 109.42 107.74 123.79 149.44 155.86 163.82 173.75 152.33 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 P ro d u k si B ay am ( 0 0 0 T o n ) Tahun
Tanaman yang termasuk genus Amaranthus ini memiliki spesies yang sangat bervariasi. Secara umum bayam dibagi dua yaitu bayam liar dan bayam budidaya. Bayam liar yang dikenal adalah bayam duri (Amaranthus spinosus L.) dan bayam tanah (Amaranthus blitum L.) (Fattah, 2008). Terdapat dua macam bayam yang biasa dibudidayakan, yaitu bayam cabut (Amaranthus tricolor L.) dan bayam petik (Amaranthus hybridus L.) (Supriati et al., 2008).
Budidaya Bayam
Di daerah tropis seperti Indonesia bayam dapat ditanam di dataran rendah maupun dataran tinggi. Tanah subur dengan aerasi dan drainase yang baik serta ber pH 6 – 7 sangat mendukung pertumbuhan bayam. Curah hujan sekitar 1 500 mm/tahun, suhu udara 16 – 20 °C, dan kelembaban udara antara 40 – 60 % merupakan iklim yang sesuai untuk pertumbuhan bayam (Hadisoeganda, 1996).
Populasi bayam menurut Rubatzky dan Yamaguchi (1999) umumnya berkisar 50 tanaman/m2, sedangkan menurut Rukmana (2005) berkisar 25 tanaman/m2. Varietas bayam yang biasa digunakan oleh para petani adalah Giti Hijau dengan produktivitas 5.6 ton/ha (Rukmana, 2005).
Bayam biasanya diperbanyak secara generatif melalui bijinya. Biji bayam ditanam secara alur ataupun disebar, sekitar 20 - 30 hari kemudian dijarangkan, dan kelebihan bibit digunakan untuk pindah tanam atau dikonsumsi sebagai sayuran hijau (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999). Menurut Susila (2006), selain ditanam di alur bayam juga bisa ditanam dengan cara disebar, benih bayam yang disebar terlebih dahulu dicampur abu dengan perbandingan benih : abu adalah 1 : 10.
Menurut Susila (2006), pada saat pengolahan tanah untuk tanaman bayam diperlukan pupuk anorganik yaitu Urea 56 kg (25.2 kg N), SP-36 250 kg (90 kg P2O5, dan KCl 90 kg (54 kg K2O) per ha per musim. Saat tanaman sudah berumur
3 minggu pemupukan dapat dilakukan kembali, yaitu pemberian Urea (45 % N) dan KCl (60 % K2O) dengan dosis yang sama seperti pada saat pengolahan tanah.
Penyakit yang biasa menyerang tanaman bayam adalah penyakit lodoh (mati bibit/damping off) disebabkan oleh Phytium sp., bercak daun disebabkan oleh Cercospora sp., dan karat putih yang disebabkan oleh Albugo. Serangga
penggerek dan nematoda juga merupakan penyebab kerusakan tanaman bayam (Rubatzky dan Yamaguchi, 1999).
Hidroponik
Hidroponik diartikan sebagai cara menumbuhkan tanaman tanpa menggunakan tanah tetapi menggunakan media inert, seperti kerikil, pasir, gambut, vermiculite, dan serbuk gergaji, yang diberi tambahan nutrisi yang mengandung seluruh unsur esensial yang dibutuhkan tanaman agar dapat tumbuh dan berkembang secara normal (Resh, 2004).
Tanaman yang biasa dibudidayakan secara hidroponik adalah tanaman hortikultura seperti tanaman hias, tanaman sayuran, dan tanaman buah. Golongan tanaman hias antara lain Philodendron, Dracaena, Aglaonema, dan Spatyphilum. Golongan sayuran yaitu paprika, tomat, mentimun, selada, sawi, kangkung, dan bayam. Adapun jenis tanaman buah yang dapat dibudidayakan secara hidroponik antara lain melon, jambu air, kedondong Bangkok, dan belimbing (Prihmantoro dan Indriani, 1998).
Hidroponik adalah salah satu teknik budidaya tanaman yang diharapkan dapat meningkatkan hasil dan kualitas tanaman (Wijayani dan Widodo, 2005). Budidaya tanaman dengan cara hidroponik memiliki beberapa keuntungan dibandingkan dengan budidaya tanaman secara konvensional dengan media tanah. Menurut Lingga (1985) beberapa keuntungan hidroponik adalah sebagai berikut: (1) produksi tanaman lebih tinggi, (2) tanaman lebih terjamin bebas dari serangan hama dan penyakit, (3) pemakaian pupuk lebih hemat, (4) proses penyulaman lebih mudah, (5) tenaga kerja yang dibutuhkan lebih sedikit, (6) budidaya tanaman tidak bergantung iklim, dan (7) lebih efisien karena dapat dilakukan di lahan yang sempit.
Berdasarkan jenis medianya hidroponik ada tiga macam yaitu, kultur air, kultur pasir, dan kultur bahan porous seperti kerikil dan pecahan genting ( Lingga, 1985). Karsono (2008) menyatakan terdapat enam tipe dasar dari sistem hidroponik, yaitu wick system (sistem sumbu), water culture (kultur air), nutrient film technique (NFT), aeroponic, ebb and flow (flood and drain), drip irrigation (irigasi tetes).
1. Wick System (Sistem Sumbu)
Sistem sumbu adalah sistem yang sederhana yang bersifat pasif. Pasif berarti tidak ada sistem yang bergerak. Larutan nutrisi diserap oleh sumbu menuju media tanam. Media tanam yang digunakan sangat beragam, di antaranya: perlite, vermiculite, sabut kelapa, arang sekam, dan pasir. Hidroponik sistem sumbu dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Hidroponik Sistem Sumbu (Karsono, 2008)
2. Water Culture (Kultur Air)
Kultur air juga termasuk sistem hidroponik yang pasif. Tanaman biasanya ditopang menggunakan styrofoam dan mengambang langsung di larutan nutrisi. Sebuah aerator juga dipasang untuk menyediakan oksigen bagi akar tanaman. Sistem kultur air sangat cocok untuk tanaman yang cepat pertumbuhannya dan sangat suka akan air seperti lettuce. Hidroponik kultur air dapat dilihat pada Gambar 3.
3. Nutrient Film Technique (NFT)
Pada sistem NFT larutan nutrisi dipompa ke dalam tempat penanaman dan mengaliri akar-akar tanaman, larutan nutrisi kemudian kembali ke dalam reservoir. Sistem NFT memiliki peredaran larutan nutrisi yang konstan, sehingga tidak diperlukan timer dalam memompa air. Air terus mengalir karena wadah tanaman dibuat dalam keadaan miring. Sistem NFT sangat rentan jika listrik mati dan kegagalan pompa terjadi. Akar tanaman akan mengering ketika peredaran larutan nutrisi terganggu. Hidroponik sistem NFT dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Hidroponik Sistem NFT (Karsono, 2008)
4. Aeroponic
Sistem aeroponic adalah sistem dengan teknologi yang tinggi. Media tanamnya adalah udara. Akar tanaman menggantung di udara dan diembuni dengan larutan nutrisi. Pengembunan biasanya dilakukan setiap beberapa menit sehingga diperlukan timer untuk pengaturannya. Jika proses pengembunan terganggu akar tanaman dapat cepat mengering seperti pada sistem NFT. Hidroponik aeroponic dapat dilihat pada Gambar 5.
5. Ebb and Flow atau Flood and Drain (Sistem Pasang Surut)
Sistem Ebb and Flow atau juga disebut sistem pasang surut. Sistem ini bekerja dengan membanjiri tempat penanaman dengan larutan nutrisi dan kemudian mengeringkan larutan tersebut kembali ke wadahnya (reservoir). Sistem pasang surut menggunakan pompa yang dihubungkan dengan timer. Timer digunakan untuk mengatur kapan air membanjiri tempat penanaman dan air surut dari tempat penanaman. Hidroponik Ebb and Flow dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Hidroponik Sistem Pasang Surut (Karsono, 2008)
6. Drip System (Irigasi Tetes)
Sistem irigasi tetes merupakan sistem yang paling banyak digunakan. Timer akan menggerakkan pompa dan larutan nutrisi akan menetes ke dasar dari setiap tanaman dengan garis tetesan yang kecil. Pada sistem tertutup (recovery drip), larutan nutrisi yang berlebih diserap kembali ke dalam reservoir untuk digunakan kembali. Pada sistem terbuka (non recovery drip) larutan nutrisi yang berlebihan akan dibuang, sehingga pemakaian air pada sistem tertutup lebih efisien. Pada sistem terbuka dibutuhkan timer yang akurat sehingga air yang diberikan tidak berlebihan. Hidroponik irigasi tetes dapat dilihat pada Gambar 7.
Populasi Tanaman
Populasi tanaman adalah jumlah satu jenis individu tanaman pada suatu areal dengan luas tertentu. Menurut Jumin (2005), kepadatan populasi bergantung pada jarak tanam, banyaknya benih tiap lubang, daya kecambah, kekuatan tumbuh benih, dan faktor-faktor luar yang dapat menimbulkan kematian pada tanaman. Kerapatan tanaman penting diketahui untuk menentukan sasaran agronomi, yaitu produksi maksimum.
Menurut Harjadi (1996) jarak tanam mempengaruhi populasi tanaman dan keefisienan penggunaan cahaya, juga mempengaruhi kompetisi antara tanaman dalam menggunakan air dan zat hara, sehingga akan mempengaruhi hasil. Populasi yang lebih besar juga akan mengefisienkan penggunaan pupuk karena tercapainya keefisienan penggunaan cahaya. Pada umumnya produksi per satuan luas yang tinggi tercapai dengan populasi yang tinggi pula, karena tercapainya penggunaan cahaya secara maksimum di awal pertumbuhan. Akan tetapi pada akhirnya, penampilan masing-masing tanaman secara individu menurun karena persaingan cahaya dan faktor-faktor tumbuh lainnya.
Pada penelitian Wijaya (2006), jumlah benih yang berbeda memberikan pengaruh yang berbeda terhadap jumlah daun, diameter batang daun, bobot segar, dan bobot segar per tanaman per petak pada tanaman bayam. Bobot segar per tanaman per petak tertinggi diperoleh pada perlakuan jumlah benih 300 benih/m2 yaitu sebesar 2.86 kg. Berdasarkan penelitian Hadie (1985), semakin kecil populasi tanaman jagung per hektar maka makin rendah tinggi tanaman, ILD, dan jumlah biji tiap tongkolnya. Akan tetapi, populasi yang kecil per hektar akan menghasilkan bobot 1 000 biji pipilan kering yang lebih besar.
Konsumsi air
Menurut Gardner et al. (1991), pada tanaman air berfungsi sebagai: (1) pelarut dan medium untuk reaksi kimia seperti fotosintesis dan proses hidrolisis, (2) medium untuk transportasi zat terlarut organik dan anorganik, (3) memberikan turgor pada sel tanaman, (4) hidrasi dan netralisasi muatan pada molekul-molekul koloid, dan (5) proses evaporasi untuk mendinginkan tanaman.
Konsumsi air suatu tanaman dapat didefinisikan sebagai jumlah air yang diperlukan untuk memenuhi kehilangan air melalui evapotranspirasi (Hedi, 2010). Evapotranspirasi terdiri atas dua proses yaitu evaporasi dan transpirasi. Jumlah evapotranspirasi kumulatif selama pertumbuhan tanaman yang harus dipenuhi oleh air irigasi, dipengaruhi oleh jenis tanaman, radiasi surya, sistem irigasi, lamanya pertumbuhan, hujan, dan faktor lainnya. Jumlah air yang ditranspirasikan tanaman bergantung pada jumlah lengas yang tersedia di daerah perakaran, suhu dan kelembaban udara, kecepatan angin, intensitas dan lama penyinaran, tahapan pertumbuhan, serta tipe daun (Satar, 2010). Menurut Sintia (2008) beberapa faktor yang mempengaruhi konsumsi air pada tanaman adalah jenis, bentuk, dan umur tanaman, lokasi dan kondisi sekitar tanaman, jenis media tanam, musim, dan ukuran pot.
(1) Jenis, Bentuk, dan Umur Tanaman
Beberapa jenis tanaman berdasarkan konsumsi airnya adalah tanaman yang perlu air dalam jumlah banyak, tanaman yang perlu air dalam jumlah sedang, dan tanaman yang perlu air dalam jumlah yang sedikit. Bentuk daun juga harus diperhatikan, jika daun besar dan tipis maka tidak tahan pada kondisi kering karena proses transpirasi yang tinggi, dan jika pada daun terdapat lapisan lilin maka tanaman tahan pada kondisi kering karena proses tranpirasi tertahan dengan lapisan lilin tersebut.
(2) Lokasi dan Kondisi Sekitar Tanaman
Tanaman yang ditanam di bawah naungan akan berbeda konsumsi airnya dengan tanaman yang ditanam langsung terkena sinar matahari.
(3) Jenis Media Tanam
Media adalah tempat menopangnya tanaman dan merupakan material yang langsung bersentuhan dengan akar. Oleh karena itu, penting mengetahui sifat media terhadap daya pegang air. Media tanam yang digunakan harus sesuai dengan jenis tanaman yang akan ditanam.
(4) Musim
Saat musim kemarau tentunya tanaman lebih banyak membutuhkan air dibandingkan saat musim hujan.
(5) Ukuran Pot
Hal ini terkait dengan kelembaban media dalam pot. Pot kecil akan mempunyai tingkat kelembaban yang lebih kecil jika dibandingkan dengan media pada pot yang besar. Pot besar juga mempunyai kelebihan dalam pertumbuhan akar tanaman. Banyaknya ruang yang tersedia dapat memberikan ruang yang cukup untuk bernafasnya akar, sehingga akar optimum untuk menyerap air.
Gandakoesoemah (1975) menyatakan ada empat cara penetapan kesatuan untuk menyatakan konsumsi air pada suatu kesatuan luas, yaitu: (1) menurut tinggi air yang dibutuhkan untuk sebidang tanah yang ditanami (banyaknya air = tinggi air x luas lahan), (2) volume air yang dibutuhkan pada kesatuan luas untuk sekali penyiraman atau untuk selama pertumbuhannya (m3/ha), (3) kesatuan pengaliran air yaitu kesatuan volume dalam kesatuan waktu pengalirannya untuk kesatuan luas (liter/detik/hektar), dan (4) menentukan luas tanaman yang dapat diairi oleh pengaliran air yang banyaknya tertentu (duty of water) (1 second food = 28.3 liter/detik untuk A ha).