• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kelapa Sawit

Kelapa sawit (Elaeis guinensis JAQC) adalah tanaman berkeping satu yang termasuk dalam familia palmae. Nama genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani yaitu Elaeis atau minyak, sedangkan nama spesies Guinensis berasal dari kata

guinea, yaitu tempat dimana Seorang Ahli bernama Jaqcuin menemukan taman kelapa sawit pertama kali di pantai Guinea.

Kelapa sawit didasarkan atas bukti-bukti fosil, Sejarah, dan Linguistik

yang ada diyakini berasal dari Afrika Barat. Di tempat asalnya ini, Kelapa sawit (yang pada saat lalu dibiarkan tumbuh liar di hutan - hutan) sejak awal telah dikenal sebagai tanaman pangan yang penting. Oleh penduduk setempat

kelapa sawit telah diproses secara amat sederhana menjadi minyak dan tuak sawit. Di luar Benua Afrika, kelapa sawit mulai diperhitungkan sebagai tanaman komoditas (penghasil produk pangan) Sejak Revolusi Industri bersaing keras di Eropa. Saat itu, di Eropa mulai bermunculan Industri atau pabrik (anatara lain Industri sabun dan margarin) yang membutuhkan bahan mentah / baku untuk operasionalnya. Minyak sawit dan minyak inti sawit yang muncul kemudian adalah dua produk yang antara lain dibutuhkan untuk bahan mentah / baku tersebut. Maka jadilah minyak dibutuhkan oleh pasar Eropa (Tim Penulis,1997).

Kelapa sawit dapat tumbuh dengan baik pada Daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm / tahun dan kisaran suhu 22 – 32 °C. Dimana daerah

(2)

penanaman kelapa sawit di Indonesia adalah Jawa Barat (Lebak dan Tangerang), Lampung, Riau, Sumatera Utara, dan Aceh. Negara penghasil kelapa sawit di Indonesia adalah Malaysia, Amerika Tengah dan Nigeria. Berdasarkan ketebalan tempurung dan daging buah, dikenal lima varietas kelapa sawit, yaitu :

1. Dura

Tempurung cukup tebal antara 2 -8 mm dan tidak terdapat lingkaran sabut pada bagian luar tempurung dan daging buah relative tipis dengan persentase daging buah terhadap buah bervariasi antara 35 – 50 %. Kernel (daging biji) biasanya besar dengan kandugan minyak yang rendah. Dalam persilangan varietas Dura dipakai sebagai phon induk betina.

2. Psifera

Ketebalan tempurung sangat tipis, bahkan hampir tidak ada, tetapi daging buahnya

tebal. Persentase daging buah terhadap buah cukup tunggi, sedangkan daging biji sangat tipis. Jenis Psifera tidak dapat diperbanyak tanpa menyilangkan dengan jenis yang lain. Oleh sebab itu, dalam persilangan dipakai pohon induk jantan. Penyerbukan silang antara Psifera dengan Dura akan

menghasilkan Varietas Tenera.

3. Tenera

Varietas ini mempunyai sifat – sifat yang berasal dari kedua induknya, yaitu Dura dan Psifera. Varietas inilah yang banyak ditanamkan di perkebunan saat ini. Tempurung sudah disekelilingnya. Persentase daging buah terhadap tinggi antara

(3)

60 - 96 %. Tandan buah yang dihasilkan oleh Tenera lebih banyak daripada Dura tetapi ukuran tandannya relative lebih kecil.

4. Macro Carya

Tempurung sangat tebal, sekitar 5 mm, sedang daging buahnya tipis sekali.

5. Diwikka-Wakka

Varietas ini mempunyai ciri khas dengan adanya dua lapis daging buah. Wakka dapat dibedakan menjadi wakkadura,

Diwikka-wakkapsifera dan Diwikka-wakkatenera. Perbedaan ketebalan daging buah kelapa sawit menyebabkan perbedaan persentase atau rendemen minyak

yang dikandungnya. Rendemen minyak tertinggi terdapat pada varietas Tenera yaitu 22 - 24 % sedangkan pada varietas. Dura antara 16 - 18 %. Sehingga tidak heran jika lebih banyak perkebunan yang menanam kelapa sawit dari varietas Tenera (Tim Penulis,1992 ).

2.2 Minyak Kelapa Sawit

Buah kelapa sawit menghasilkan dua jenis minyak. Minyak yang berasal dari

daging buah (mesokarp) berwarna merah. Jenis minyak inini dikenal sebagai minyak kelapa sawit kasar atau Crude Palm Oil ( CPO ). Sedangkan minyak yang

kedua adalah berasal dari inti kelapa sawit, tidak berwarna dikenal sebagai minyak inti kelapa sawit atau Palm Kernel Oil (PKO). Minyak kelapa sawit kasar (Crude

Palm Oil) mengandung sekitar 500-700 ppm β-carotene dan merupakan bahan

pangan sumber karoten alami terbesar. Oleh karena itu CPO berwarna merah

(4)

dari mesokarp buah kelapa sawit melalui ekstraksi dan mengandung sedikit air serta serat halus, yang berwarna kuning sampai merah dan berbentuk semi solid pada suhu ruang. Adanya serat halus dan air pada sawit kasar tersebut menyebabkan minyak sawit kasar tidak dapat dikonsumsi langsung sebagai bahan pangan maupun non pangan (Ketaren, 1986 ).

2.2.1 Komposisi Minyak Sawit

Kelapa sawit mengandung lebih kurang 80 % pericarp dan 20 %buah yang dilapisi kulit yang tipis ; kadar minyak dalam pericarp sekitar 30 – 40 %. Minyak kelapa sawit adalah lemak semi padat yang mempunyai komposisi yang tetap zat warna yang terdapat dalam CPO terdiri dari zat warna alamiah dan zat warna dari hasil degradasi zat warna alamiah. Zat warna alamiah seperti ά dan β-karoten, xanthofil, khlorofil, gossyfil, dan anthocyanin yang menyebabkan minyak berwarna kuning, kuning coklat, kehijau-hijauan dan kemerah-merahan. Sedangkan zat warna dari hasil degradasi zat warna alamiah biasanya menyebabkan CPO berwarna gelap (Ketaren, 1986).

Minyak yang berkualitas bagus dan digunakan untuk menggoreng adalah minyak yang memiliki daya tahan tinggi dan tidak membentuk lapisan keras jika dibiarkan mengering di udara. Syarat mutu minyak goreng menurut Standar Industri Indonesia (SII) terdapat pada Tabel 2.1

(5)

Tabel 2.1 Syarat Mutu Minyak Goreng

Komponen Maksimum

Kadar air 0,3%

Angka peroksids 1 mg oksigen/100g minyak

Asam lemak bebas dsebagai asam terlarut 0,03% Logam bahaya (Pb, Cu, Hg dan Arsen) Negatif

Bau, warna dan rasa Normal

2.2.2 Sifat Fisika – Kimia Minyak Kelapa Sawit

Sifat Fisika- Kimia minyak kelapa sawit meliputi warna, bau dan flavor,

kelarutan, titik cair dan polymorphism, titik didih (boiling point), titik pelunakan, slipping point, shot melting point, bobot jenis, indeks bias,

titik kekeruhan (turbidity point), titik asap, titik nyaladan titik api. Beberapa sifat fisika – kimia dari kelapa sawit nilainya dapat

dilihat pada Tabel 2.2

Tabel 2.2 Nilai Sifat Fisika – Kimia Minyak Sawit dan Minyak Inti Sawit Sifat Minyak Sawit MinyakInti Swit Bobot jenis pada suhu kamar 0,900 0,900-0,913 Indeks bias D 40 °C 1,4565-1,4585 1,495-1,415 Bilangan Iod 48 - 56 14 - 20 Bilangan Penyabunan 196 - 205 244 – 254

(6)

Warna minyak ditentukan oleh adanya pigmen yang masih tersisa setelah proses

pemucatan, karena asam – asam lemak dan gliserida tidak berwarna. Warna Orange atau kuning disebabkan adanya pigmen karoten yang

larut dalam minyak. Bau dan flavor dalam minyak terdapat secara alami,

juga terjadi akibat adanya asam-asam lemak berantai pendek akibat kerusakan minyak. Sedangkan bau khas minyak kelapa sawit

ditimbulkan oleh persenyawaan Beta ionone. Titik cair minyak sawit berada dalam nilai kisaran suhu, karena minyak kelapa sawit mengandung beberapa macam asam lemak yang mempunyai titik cair yang

berbeda-beda ( Ketaren,1986)

2.3 Proses Pengolahan Minyak Sawit Mentah ( CPO )

Minyak sawit yang keluar dari pemerasan atau pengepresan masih berupa minyak sawit kasar, karena masih mengandung kotoran dan serabut serta air sebesar 40 - 45%. Agar diperoleh minyak sawit yang bermutu baik, minyak sawit kasar tersebut mengalami pengolahan lebih lanjut. Minyak sawit yang masih kasar kemudian dialairkan kedalam tanki minyak kasar (Crude Oil Tank). Dan setelah melalui pemurnian atau klarifikasi yang bertahap, maka akan dihasilkan minyak sawit mentah (Crude Palm Oil). Proses penjernihan dilakukan untuk menurunkan kandungan air di dalam minyak. Untuk memperoleh minyak yang bermutu baik ini harus dimurnikan kembali dari bahan – bahan atau kotoran yang terdapat didalamnya (Tim Penulis, 1997).

Minyak yang baik, tidak berbau dan enak rasanya, jernih dan sukai warnanya, stabil pada cahaya dan tahan terhadap panas. Minyak sawit mempunyai

(7)

sifat yang menguntungkan untuk dijadikan minyak goreng dengan mutu yang baik. Melalui proses refinery dan fraksinasi dapat dihasilkan minyak jernih dan bebas dari kotoran (Seto,2001)

Tidak seperti minyak lain, minyak kelapa sawit terutama mengandung gliserida dan hanya memiliki sebagian kecil komponen non gliserida yang porsinya bervariasi. Dalam rangka menghasilkan minyak minyak yang bisa di konsumsi, komponen non tri gliserida ini harus dibuang atau dikurangi sampai tingkat yang porsinya bervariasi. Dalam istilah kemudahan larut, gliserida memiliki dua tipe utama, yaitu gliserida tidak larut dalam minyak dan gliserida yang larut dalam minyak. Kotoran yang tidak dapat larut dalam minyak seperti serat buah, cangkang dan air yang dapat dengan mudah dihilangkan. Tujuan utama pemurnian minyak sawit adalah merubah minyak sawit kasar menjadi minyak sawit yang berkualitas secara efisien dengan membuang kotoran – kotoran yang tidak diinginkan sampai pada tingkat yang dapat diterima. Hal ini berarti juga bahwa kerugian pada komponen yang diinginkan di usahakan tetap minimal (Iyung, 2006).

Tahap pemurnian meliputi 4 tahap antara lain Degumming, Netralisasi, Bleaching, dan Deodorisasi.

2.3.1. Degumming

Degumming merupakan proses pemisahan getah atau lendir – lendir yang terdiri dari fosfatida, protein, residu, karbohidrat, air dan resin, tanpa mengurangi jumlah asam lemak bebas dalam minyak. Biasanya proses ini dilakukan

(8)

dengan cara dehidrasi gum atau kotoran lain agar bahan tersebut lebih mudah

terpisah dari minyak kemudian disusul dengan proses pemusingan (sentrifugasi).

Caranya ialah dengan melakukan uap air panas kedalam minyak disusul dengan pengaliran air dan selanjutnya disentrifugasi sehingga bain lendir

terpisah dari air

2.3.2 Netralisasi

Minyak atau lemak, dengan cara mereaksikan asam lemak bebas dengan basa atau pereaksi lainnya sehingga membentuk sabun (soap stock). Pemisahan asam lemak bebas dapat juga dilakukan dengan istilah deasidifkasi.

a. Netralisasi dengan basa (NaOH)

Netralisasi dengan kaustik soda banyak dilakukan dalam skala industri, karena lbih efisien dan lebih murah dibandingkan dengan cara netralisasi lainnya. Selain itu menggunakan kaustik soda. Membantu dalam mengurangi zat warna dan kotoran yang Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan zat warna dan kotoran seperti fosfatida dan protein. Dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifusi.

b. Netralisasi dengan Natrium Karbonat (Na2CO3)

Keuntungan menggunakan persenyawaan karbonat adalah karena trigliserida tidak ikut tersabunkan. Sehingga nilai refining factor dapat diperkecil. Suatu kelemahan dari pemakaian senyawaa ini adalah karena sabun yang terbentuk sukar dipisahkan. Hal ini disebabkan karena gas CO2 yang dibebaskan dari karbonat akan menimbulkan busa dalam minyak. Pada umumnya netralisasi

(9)

minyak menggunakan natrium karbonat dilakukan dibawah suhu 50°C, sehingga seluruh asam lemak bebas yang bereaksi dengan natrium karbonat akan membentuk sabun dan asam karbonat, Pada pemanasan. Asam karbonat yang terbentuk akan terurai menjadi gas CO2 dan H2O. gas CO2 yang dibebaskan akan membentuk busa dalam sabun yang terbentuk dan mengapungkan partikel sabun di atas permukaan minyak.

c. Netralisasi Minyak dalam bentuk “miscella”

Cara netralisasi ini digunakan pada minyak yang diekstrak dengan menggunakan pelarut menguap (solvent extraction). Hasil ekstraksi merupakan campuran antara pelarut dan minyak disebut miscella. Asam lemak bebas dalam miscella dapat di neteralkn dengan menggunakan kaustik soda atau natrium karbonat.

d. Netralisasi dengan Etanol Amin dan Amonia

etanol amin dan amino dapat digunakan untuk netralisasi asam lemak bebas. Pada proses ini asam lemak bebas dapat di netralkan tanpa menyabunkan trigliserida. Sedangkan amonia yang digunakan dapat diperoleh kembali dari soap stock dengan cara penyulingan dalam ruangan vakum.

2.3.3 Deodorisasi

Deodorasi adalah suatu tahap proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa ( flavor) yang tidak enak dalam minyak. Prinsip proses deodorisasi yaitu penyulingan minyak dengan uap panas dalam tekanan atmosfer atau keadaan vakum. Proses deodorisasi perlu dilakukan terhadap minyak yang digunakan untuk bahan pangan. Beberapa jenis minyak

(10)

yang baru di ekstrak mengandung faveor yang baik untuk tujuan bahan pangan, sehingga tidak memerlukan proses deodorisasi misalnya lemak susu, lemak cokelat, dan minyak olive. Dalam penggunaan minyak dan lemak diperusahaan pembuatan margarine dibutuhkan minyak dan lemak yang tidak mempunyai rasa dan bau. Oleh karena itu sering perlu dilakukan penghilangan bau dan cita rasa yang ada. Penghilangan dengan uap sanagat banyak digunakan yaitu, perlakuan minyak atau lemak dengan uap akan menguapkan bahan - bahan pembentuk cita rasa dan bau dari lemak bersama – sama dengan uap (Buckle, 1987).

2.3.4 Bleaching

Pemucatan ialah suatu tahap proses pemurnian untuk menghilangkan zat-zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan

dengan mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben. Seperti tanah serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay) dan arang aktif

atau dapat juga menggunakan bahan kimia. Adsorben yang digunakan untuk memucatkan minyak terdiri dari tanah pemucat (bleaching

earth) dan arang (bleaching carbon). Zat warna dalam minyak akan diserap oleh

permukaan adsorben dan juga menyerap suspensi koloid (gum dan resin) serta hasil degradasi minyak, mislnya peroksida.

Adsorben yang biasa digunakan untuk memucatkan minyak terdiri dari bleaching clay, arang dan arang aktif. Bleaching clay (bleaching earh) Bahan pemucat ini merupakan sejenis tanah liat dengan komposisi utama terdiri

(11)

dari SiO2, Al2O3, air terikatseta ion kalsium, magnesium oksida dan besi oksida. Perbandingan komposisi antara 2 jenis bleaching clay dapat dilihat pada Tabel 2.3

Tabel 2.3 Komposisi kimia adsorben “Landau Raw Clay” dan “Florida Clay”

Komponen kimia (%) Jenis adsorben

Landau raw clay Florida Clay 8

SiO2 59,0 56,5 Al2O3 22,9 11,6 Fe2O3 3,4 3,3 CaO 0,9 3,1 MgO 1,2 6,3

Bleaching clay pertama kali ditemukan pada abad ke-19 di Inggris dan Amerika. Dalam perdagangan bleaching clay mempunyai nama dan komposisi kimia yang berbeda. Sebagai contoh ialah bleaching clay yang berasal dari Amerika dikenal

dengan nama Floridin, sedangkan yang berasal dari Rusia, Kanada, dan Jepang dikenal dengan nama gluchower kaolin. Jumlah adsorben yang dibutuhkan untuk menghilangkan warna minyak tergantung dari macam dan tipe warna dalam minyak dan sampai berapa jauh warna tersebut akan

dihilangkan.

Daya pemucatan bleaching clay disebabkan karena ion Al3 pada permukaan partikel adsorben dapat mengadsorbsi partikel zat warna. Daya pemucatan

(12)

tersebut tergantung dari prbandingan komponen SiO2 dan Al2O3 dalam bleaching clay. Adsorben yang terlalu kering menyebabkan daya kombinasi dengan air telah hilang. Sehingga mengurani daya penyerapan terhadap zat warna. Arang (bleaching carbon) arang merupakan bahan padat yang berpori-pori dan umumnya diperoleh dari hasil pembakaran kayu atau bahan yang mengandung unsur carbon (C). umumnya arang mempunyai daya adsorbsi yang rendah terhadap zat warna dan dan daya adsorbsi tersebut dapat diperbesar dengan cara mengaktifkan arang menggunakan uap atau bahan kimia. Komposisi kimia arang kayu keras dapat dilihat pada Tabel 2.4 (Ketaren,1989).

Tabel 2.4 Komposisi Kimia Arang Kayu Keras

Kompnen (%) Kering Udara Kering Oven

Air 9,9 -- Bahan Menguap 8,1 9,0 Abu 2,0 2,2 “Fixed carbon” 80,0 88,9

Sumber lain dari arang berasal dari bahan nabati dan hewani antara lain

serbuk gergaji, ampas tebu, tempurung, tongkol jagung, dan tulang. Pada umumnya pengarangan dilakukan dengan suhu 300 – 500°C. pada proses pengarangan akan terjadi penguapan air disusul dengan pelepasan gas CO2 dan selanjutnya terjadi peristiwa ekosistematis yang merupakan tahap permulaan proses pengarangan. Arang aktif (activated carbon) aktivasi karbon bertujuan untuk memperbesar luas permukaan

(13)

arang dengan membuka pori – pori yang tertutup, sehingga memperbesar

kapasitas adsorbsi terhadap zat warna. Pori – pori dalam arang biasanya diisi oleh hidrokarbon dan zat – zat organik lainnya yang terdiri dari fixed karbon, abu, air,

persenyawaan yang mengandung nitrogen dan sulfur.

2.3.4.1. Spent Bleaching Earth

Spent bleaching earth (SBE) atau bleaching earth bekas merupakan limbah

yang dihasilkan pada industri refining CPO (Gambar 1).

Gambar 2.1 Diagram proses refining CPO di industri.

Pada industri ini, melalui beberapa tahapan proses Crude Palm Oil (CPO) atau minyak sawit mentah diolah menjadi minyak goreng antara lain, proses penghilangan gum/getah (degumming), proses penghilangan asam lemak

bebas (netralisasi), proses pemucatan warna (bleaching), dan proses penghilangan Degumming CPO H2PO4 Bleaching filtration Bleaching clay Spent clay Steam Volatiles Deodoration RBDPO

Palm Fatty Acid distilation

(14)

bau (deodorisasi). Bleaching earth bekas atau SBE merupakan limbah terbesar pada industri tersebut.

Pada umumnya industri refinery minyak nabati akan menimbun SBE pada suatu lahan tertentu, karena berdasarkan PP No. 18 tahun 1999 limbah ini dapat dikategorikan sebagai limbah Bahan Buangan Berbahaya (limbah B3). Akan tetapi limbah ini masih mengandung 20-30% minyak nabati dan merupakan bahan yang sangat potensial untuk dimanfaatkan kembali. Minyak yang terkandung pada adsorben bekas ini dapat diperoleh kembali dengan proses recovery minyak, dan minyak hasil recovery dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan biodiesel (metil ester). Selain itu, limbah ini dapat di-regenerasi sehingga dapat dimanfaatkan kembali sebagai bleaching agent dalam proses bleaching CPO. Pada penelitian ini, bleaching earth bekas atau spent bleaching earth (SBE) yang digunakan diperoleh dari PT.SMART.Tbk. Limbah ini bersifat lunak dengan tingkat kekerasan satu pada skala Mohs, berat jenisnya berkisar antara 1,7 – 2,7; mudah berderai. karena ukuran partikel koloidnya sangat kecil dan memiliki kapasitas permukaan yang tinggi, mudah mengembang di dalam air, karena adanya penggantian isomernya pada lapisan oktohedral (ion Mg oleh ion Al). Adanya gaya elektrolisis yang mengikat kristal pada jarak 4,5 Å dari permukaan unit-unitnya, dan akan tetap menjaga unit itu untuk tidak saling merapat. Pada pencampuran bleaching earth bekas dengan air, adanya proses pengembangan membuat jarak antara setip unit makin melebar dan lapisannya menjadi bentuk serpihan, serta mempunyai permukaan luas jika dalam zat pengsuspensi. Oleh karena sifatnya ini, dapat dijadikan bleaching agent atau adsorben.

(15)

Namun yang pada umumnya yang digunakan dalam industri refinery minyak nabati adalah pemucatan dengan menggunakan adsorben, dengan tanah pemucat (bleaching earth) disertai pemanasan dan pada kondisi vakum. Proses refining CPO di industri dilakukan baik secara fisika maupun kimia. Pada proses pemurnian CPO secara fisika sebanyak 20% CPO 40 – 60°C dari tangki penyimpan (storage tank) dialirkan ke dalam slurry tank. Didalam tank slurry CPO dicampur dengan bleaching earth (BE) 6-12 kg/ton CPO, campuran diaduk sampai terbentuk slurry. Kemudian, slurry tersebut dialirkan ke bleaching tank untuk diolah secara kimia dengan menggunakan asam fosfat (H3PO4). Pada waktu yang sama, 80 % CPO ditambahkan asam fosfat 0,35 -0,45 kg/ton campuran ini diaduk secara intensif agar getah/gum terendapkan didalam mixer static. Dalam bleaching tank, 20 % slurry CPO dan 80 % CPO dari mixer static dicampur. Proses bleaching yang optimum terjadi selama 30 menit pada kondisi; suhu dalam tank 100-130°C, serta steam dengan tekanan rendah dialirkan kedalam bleaching tank untuk menggerakkan campuran slurr lurry ini dilewatkan filter niagara agar bebas dari partikel spentbleaching earth. Bleached palm oil (BPO) keluar dari filter tersebut dan melalui rangkaian sistem pengembalian panas (heat recovery

system. Bleached palm oil (BPO) dari hasil filtra i ini dipompa menuju tank buffer

yang berfungsi sebagai tangki penyimpanan sementara sebelum proses lebih lanjut. BPO panas dari spiral heat exchanger kemudian diproses ke tahap selanjutnya dimana FFA dan warna dikurangi dan lebih penting, menghilangkan bau menghasilkan produk yang stabil dan bau yang berkurang

(16)

2.3.4.2. Proses Recovery Minyak Pada Spent Bleaching Earth

Pada umumnya industri minyak akan membuang spent bleaching earth (SBE) pada suatu lahan. Tingginya kandungan minyak nabati pada spent bleaching earth sangat potensial untuk dimanfaatkan sehingga perlu dilakukan recovery selain itu spent bleaching earth dapat dilakukan proses regenerasi

untuk digunakan kembali dalam proses pemurnian minyak nabati. Limbah dari proses pemucatan minyak terdiri dari dua komponen utama yaitu minyak

dan bentonit. Adapun minyak hasil recovery dapat digunakan menjadi

metil ester (biodiesel), hal tersebut dikarenakan minyak sudah tidak lagi food grade artinya minyak sudah rusak. Pemanfaatan tersebut

sangat baik karena potensi limbah yang sangat tinggi dengan seiring perkembangan industri pemurnian minyak sawit.

Kheang et.al (2006) telah melakukan penelitian mengenai proses

pengambilan minyak dari spent bleaching earth dengan dua metode yaitu solvent extraction (n-heksan) dan supercritical extraction. Penelitian tersebut menunjukan bahwa kandungan minyak yang didapatkan

dengan metode solvent extraction lebih besar dibanding supercritical extraction (SC-CO2) yaitu sebesar 30%. Pemanfaatan limbah industri. Pemurnian minyak sangat penting dilakukan terkait dengan besarnya potensi limbah yang dihasilkan dan semakin pesatnya pertumbuhan industri pemurnian

minyak. Rendemen minyak yang dihasilkan dari proses recovery dengan 2 jenis pelarut organik berkisar antara 16 sampai 21.74 % dari bobot limbah.

(17)

Kepolaran pelarut organik selain berpengaruh terhadap rendemen juga berpengaruh terhadap kejernihan minyak. Nilai transmitten minyak (faktor pengenceran 100 kali) pada panjang gelombang 500 nm

untuk minyak yang dihasilkan dari ekstraksi dengan menggunakan isopropanol

berkisar antara 15.85 sampai 27.9 % sedangkan pada minyak hasil ekstraksi dengan n-heksan berkisar antara 87.45 sampai 93.55 %. Kadar asam lemak bebas

pada minyak hasil recovery ini berkisar antara 13.15 – 20.9 % untuk semua jenis perlakuan. Bilangan peroksida minyak tidak terdeteksi untuk semua

jenis perlakuan. Kadar abu yang terdapat pada minyak hasil recovery umumnya sangat kecil, untuk keseluruhan perlakuan bernilai kurang dari 1%. Nilai pH SBE setelah recovery berkisar antara 3.21 sampai 3.43. Bleach power bentonit hasil recovery ditunjukan dengan nilai % T pada minyak yang dipucatkan oleh bentonit tersebut. Nilai transmitten minyak (faktor pengenceran 50 kali) pada panjang gelombang 500 nm pada bentonit hasil recovery dengan isopropanol memiliki nilai antara 77.05 sampai 80 % sedangkan bentonit hasil recovery dengan n-heksan berkisar antara 60.35 sampai 63.5 %.

Pada prinsipnya spent bleaching earth memiliki kemampuan adsorpsi

yang rendah, tetapi jika di-regenerasi dengan cara pemanasan, dan penambahan media daya adsorpsinya akan meningkat. Proses regenerasi pada SBE dapat dilakukan secara fisika dan kimia. Proses daur ulang secara fisika dapat dilakukan dengan cara mengaktivasi spent bleaching earth

tersebut dengan metode pemanasan, dan proses daur ulang secara kimia

dapat dilakukan dengan bantuan media activator, seperti asam phospat (H3PO4), hydrogen peroksida (H2O2). Spent bleaching earth

(18)

pada dasarnya merupakan campuran antara bleaching earth

dengan senyawa hidrokarbon yang berasal dari CPO. Senyawa hidrokarbon ini dengan proses pemanasan akan menjadi arang (coke). Arang yang terbentuk dengan bantuan asam phospat dapat meningkatkan permukaan aktif bleaching

earth bekas yang diregenerasi. Dalam hal ini, bleaching earth bekas adalah

kalsium-bentonit yang terdiri dari lebih 80% mineral monmorillonit mempunyai struktur bertingkat dan kapasitas pertukaran ion yang aktif di bagian dasar. Oleh karena itu, strukturnya dapat diganti seperti struktur bagian dasar dengan cara penambahan media pengaktif seperti H3PO4 atau H2O2. Bahan kimia terseb akan menyebabkan penggantian ion-ion K+, Na+ dan Ca+2 dengan H+ dalam ruang interlamelar, serta akan melepaskan ion-ion Al+3, Fe+3 dan Mg+2 dari kisi strukturnya sehingga menjadi lempung aktif. Aktivitas permukaan aktif adsorben bekas ini dipengaruhi oleh konsentrasi bahan kimia pengaktif, biasany dipakai H3PO4. Selain pengaruh konsentrasi bahan kimia pengakti perlu diperhatikan sifat dasar, distribusi ukuran partikel, pH, dan nilai SiO2 atau Al2O3. Selain hal tersebut, beberapa faktor yang mempengaruhi proses regenerasi atau re-aktivasi yaitu suhu pemanasan, waktu pemanasan dan tekanan (Wambu,2009).

A. Pengaruh suhu Pemanasan

Pada proses pemucatan warna CPO dengan bleaching earth sebagai adsorbennya memperlihatkan bahwa adsorben ini mulai aktif menyerap warna pada suhu 80°C-130°C. Kenaikan tingkat kejernihan warna minyak tidak begitu signifikan setelah suhu 140°C-150°C, bahkan tingkat kejernihan warna cenderung menurun.

(19)

bleaching earth sebagai adsorbennya memperlihatkan bahwa adsorben ini

mulai aktif menyerap warna CPO jika diaktivasi pada suhu diatas 100°C. Pada proses bleaching CPO bentonit berfungsi sebagai bleaching earth, yang diperoleh dengan aktivasi pada kondisi asam. Pada prinsipnya daya jerap bleaching earth bekas akan semakin meningkat bila diaktif (Al Quinabait, 2005).

Biasanya proses bleaching dilakukan dengan menggunakan suhu yang relatif tinggi (100 - 120°C). Akan tetapi dengan suhu sedemikian tinggi tersebut dapat menyebabkan CPO menjadi mudah teroksidasi, sehingga warnanya semakin gelap. Proses oksidasi minyak bisa diminimalisasi atau bahkan

dihindari dengan mengkondisikan set alat bleaching dalam kondisi vakum untuk mencegah adanya oksigen atau sebelum dilakukan proses bleaching

oksigen yang ada dalam set alat bleaching diusir terlebih dahulu dengan gas nitrogen (Yusnimar, 2006).

B. Pengaruh Waktu Pemanasan

Pengontrolan proses daur ulang bleaching earth bekas dengan cara fisika maupun

kimia sangat dipengaruhi oleh waktu kontak antara media pengaktif dengan spent bleaching earth . Pada kondisi suhu, tekanan, dan jumlah

spent bleaching earth sama memperlihatkan bahwa hasil penghilangan

warna CPO maksimum pada pemanasan suhu 55°C dan kemudian cenderung menurun bila waktu kontak diperpanjang. Penurunan pemucatan

(20)

C. Pengaruh Tekanan

Daya penghilangan warna dari bleaching earth dipengaruhi juga oleh luas

permukaan adsorben ini yang dikontakkan dengan minyak. Dengan menurunkan tekanan pori dalam adsorben pada tekanan atmosfir, adsorben

akan terdearasi, sehingga luas permukaannya akan lebih besar. Tekanan yang umum dipakai di industri-industri adalah 5.077 mmHg.

2.4. Pengukuran Warna.

Untuk keperluan industri dan pemakaian secara umum, pengukuran warna dilakukan dengan alat Lovibond – Tinto meter. Warna merah dan kuning

dari minyak kelapa sawit disesuaikan dengan gelas-gelas berwarna merah dan kuning dari alat Lovibond, dengan sel 5,25 inci. Gelas-gelas berwarna merah dan

kuning distandarisasi dengan “The National Bureau of Standards dalam istilah skala warna Priest Gibson "N”(9, 10) . Kemajuan dalam industri minyak kelapa

sawit mendorong industri pembuatan alat Lovibond-Tintometer, sehingga lama-kelamaan timbul pembuatan gelas-galas merah dan kuning dari alat Lovibondyang menyimpang sedikit demi sedikit dari warna semula. Untuk menertibkan hal ini maka The Americans Oil Chemist's Society (AOCS),

menyesuaikan warna gelas dari Lovibond-Tintorneter dengan warna yang di ukur oleh alat spektrofotometer. Stanandar spesipikasi yang Oleh PT.SMART Tbk dilihat dalam Tabel 2.5.

(21)

Tabel 2.5 Standart Mutu Spesifikasi di PT.SMART.Tbk

Kandungan Spesipikasi oleh PT.SMART Tbk. Asam lemak bebas (%) 1 –2

Kadar air (5) < 0,1 Pengotoran (%) < 0,02 Besi (ppm) < 10 Tembaga (ppm) 0,5 Bilangan iodium 53 + 1,5 Karotena (ppm) + 500 Tokoperol (ppm) + 800 Pemucatan : merah (R) dan Kuning (y) maks 15,5R - 20R

Gambar

Gambar 2.1 Diagram proses refining CPO di industri.

Referensi

Dokumen terkait

Ada 3 macam pengujian yang dilakukan, yang pertama pengujian tegangan DSSC terhadap waktu ketika tidak diberi rangkaian untuk mengetahui kestabilan tegangan DSSC, yang

Observasi selama kegiatan layanan berlangsung dengan menggunakan check list sebagai berikut : ASPEK YANG DIOBSERVASI SANGAT BAIK (5) BAIK (4) CUKUP (3) KURANG BAIK (2) TIDAK

Hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: (1) Kekuatan pelaksanaan microteaching di FMIPA Unesa adalah (a) dosen FMIPA sendiri yang melakukan shooting

Tingginya nilai persentase aktivitas memperhatikan penjelasan guru di kelas eksperimen terjadi pada tahap kegiatan kelompok dalam pembagian tugas. Pada tahap ini

Seandainya Pemilihan Gubernur Provinsi Sumatera Utara dilakukan hari ini, dari 3 pasangan calon berikut ini telah didukung oleh partai politik 1). Pasangan DJAROT

Kualitas pelayanan reliability dengan indicator memberikan informasi yang benar menunjukkan angka tertinggi pada criteria cukup baik yaitu sejumlah 47 (47%) responden

SKS  mata  kuliah  sesuai  dengan  kurikulum.  Penentuan  bobot  sks  pada  masing‐masing  PT  bisa  sangat  bervariasi  tergantung  pada  kebijakan  di  PT 

Dalam evaluasi keberhasilan hydraulic fracturing dengan menggunakan data produksi, data reservoir dan geometri rekah, akan dilihat model rekahan, indeks produktivitas yang