• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perlindungan Hukum bagi Konsumen Obat-Obatan terhadap Apoteker yang Lalai dalam Memberikan Obat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perlindungan Hukum bagi Konsumen Obat-Obatan terhadap Apoteker yang Lalai dalam Memberikan Obat"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

59

Perlindungan Hukum bagi Konsumen Obat-Obatan terhadap Apoteker

yang Lalai dalam Memberikan Obat

Selviana Teras Widy Rahayu Universitas Pamulang dosen02107@unpam.ac.id

Abstrak

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini memberikan perkembangan terhadap berbagai aspek kehidupan termasuk beraneka ragamnya kebutuhan hidup manusia, salah satunya obat. Obat merupakan salah satu unsur penting dalam pelayanan kesehatan. Konsumen harus mendapatkan pelayanan yang sesuai terkait informasi yang terkandung dalam obat, baik penggunaannya ,aturan minumnya dan efek samping yang ditimbulkan serta masa kadaluarsa obat tersebut. Konsumen obat-obatan bisa mendapatkan obat yang mereka perlukan langsung ke apotek, toko obat, dan klinik . Apotek adalah suatu tempat dilakukannya pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat. Tugas apoteker tidak terlepas dengan apotek. Dalam kehidupan sehari-hari masih ada ditemukan konsumen yang mengalami kerugian akibat dari kelalaian apoteker dalam menjalankan tugasnya, maka dari itu konsumen harus mendapatkan perlindungan hukum agar ke depannya apoteker dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kode etik. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu tujuan dari perlindungan konsumen adalah meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sehingga, jika ada pasien yang merasa dirugikan karena kelalaiannya, dapat meminta ganti rugi sesuai dengan Pasal 19 sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen , dan dalam Pasal 62 ayat (1) dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada pihak berwajib untuk diproses secara pidana selain itu dalam Pasal 52 dapat melakukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yakni badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Tapi jarang kita temui konsumen yang melakukan upaya hukum jika apoteker lalai dalam memberikan obat, yang sering kita lihat justru pemberitaan terkait upaya hukum pasien terhadap malpraktik dokter.

Kata kunci: Perlindungan hukum, Konsumen, Apoteker

Abstract

Advances in sciensce and technology today provide developments in various aspects of life including the diversity of human life needs, one of which is medicine. Medicine is an important element in health services. Consumers must get appropriate services related to the information contained in the drug, both its use, the rules for taking it and the side effects that are caused and the expiration period of the drug. Drug consumers can get the drugs they need directly from pharmacies, drug stores and clinics. Pharmacy is a place for pharmaceutical work, distribution of pharmaceutical preparations and other medical supplies to the public. The pharmacist’s job is inseparable from the pharmacy. In everyday life there are still consumers who experience losses due to negligence of pharmacists in carrying out their duties, therefore consumers must get legal protection so that in the future pharmacists can carry out their duties in accordance with the code of ethics. Based on Article 3 of Law No. 8 of 1999 concerning Consumer Protection, one of the objectives of consumer protection is to improve the quality of goods and / or services that ensure the continuity of the business of producing goods and /or services, health, comfort, security and consumer safety. So, if there are patient who feel aggrieved due to their negligence, they can ask for compensation in accordance with Article 19 in accordance with Law Number 8 of 1999 concerning Consumers Protection , and in Article 62 paragraph (1) can report the pharmacist concerned to the authorities for processing in addition to that in Article 52, a lawsuit may be filed against the Consumer Dispute Settlement Agency,

(2)

60

namely the agency in charge of handling and settling disputes between business actors and consumers. But rarely do we see consumers who take legal action if pharmacists are negligent in administering drugs, what we often see is in the news related to patients’ legal attempts against doctor malpractice.

Kewords: Legal Protection. Consumers, Pharmacists

PENDAHULUAN Latar Belakang

Setiap orang pasti ingin hidup di dunia ini dalam kondisi sehat, baik kesehatan jasmani maupun rohani. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini berupaya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia dari segi kesehatan. Masyarakat yang sehat akan dapat meningkatkan investasi sumber daya manusia yang mampu menghasilkan karya sehinga diperlukan peranan pemerintah untuk menyelenggarakan upaya kesehatan yang merata bagi masyarakat. Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, pengertian Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.

Peningkatan kesehatan dipenuhi dengan ditunjangnya tersedianya obat-obatan yang menjawab keinginan masyarakat yang semakin sadar akan pentingnya kesehatan, sehingga menuntut pelayanan kesehatan yang berkualitas baik dari segi obatnya dan tenaga kesehatannya. Konsumen dapat membeli sediaan farmasi di apotek, toko obat, klinik, dan instalasi farmasi rumah sakit. Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari masih sering diketemukan kasus apoteker lalai dalam memberikan obat ,bisa terkait pemberian obat yang sudah kadaluarsa, keliru dalam memberikan obat , memberikan informasi tentang pemakaian obat yang tidak sesuai dan masih banyak kasus lainnya.. Dalam menjalankan profesinya, seorang apoteker wajib berpegang pada Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Republik

Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, yakni berupa pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan pelayanan kefarmasiannya.

Di samping itu, profesi apoteker juga mengacu pada Kode Etik Apoteker Indonesia yang apabila apoteker lalai dalam melaksanakan kewajiban dan tugasnya dalam hal ini termasuk lalai dalam memberikan obat, maka apoteker tersebut dapat dikenakan sanksi oleh Ikatan Apoteker Indonesia sesuai dengan Pasal 9 Kode Etik Apoteker Indonesia .

Kelalaian apoteker tersebut dapat mengancam keselamatan dan kesehatan konsumen yang dapat menyebabkan kerugian terhadap kehidupan konsumen. Seperti yang masuk dalam pemberitaan ibu hamil diberi obat kedaluwarsa karena kelalaian apoteker dan akhirnya dilaporkan ke pihak berwajib (Azhari, 2019). Konsumen harus mendapatkan perlindungan hukum agar ke depannya apoteker dapat melaksanakan tugasnya sesuai dengan kode etik. Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu tujuan dari perlindungan konsumen adalah meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen. Sehingga, jika ada pasien yang merasa dirugikan karena kelalaiannya, dapat meminta ganti rugi sesuai dengan Pasal 19 sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen , dan dalam Pasal 62 ayat (1)dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada pihak berwajib untuk diproses secara pidana selain itu dalam Pasal 52 dapat melakukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yakni badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.

Jarang kita temui konsumen yang melakukan upaya hukum jika apoteker lalai dalam memberikan obat, yang sering kita lihat

(3)

61

justru pemberitaan terkait upaya hukum pasien terhadap malpraktik dokter. Bisa jadi karena konsumen belum paham bentuk perlindungan hukumnya bagi si konsumen dan upaya hukum yang dilakukan ketika menemui permasalahan apoteker yang lalai dalam memberikan obat, padahal jelas sudah ada seperangkat hukum yang mengatur perlindungan hukum bagi konsumen.

Berdasarkan latar belakang tersebut penulis akan memaparkan permasalahan yang akan dibahas dalam rumusan masalah berikut ini:

1. Bagaimanakah bentuk perlindungan hukum bagi konsumen obat-obatan terhadap apoteker yang lalai dalam memberikan obat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

2. Bagaimakah upaya hukum bagi konsumen obat-obatan terhadap apoteker yang lalai dalam memberikan obat- obat sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen?

Tujuan dari penelitian ini adalah memecahkan permasalahan yang tercantum dalam latar belakang dan rumusan masalah. Tujuan yang hendak dicapai sebagai berikut: a. Mengetahui bentuk perlindungan hukum

bagi konsumen obat-obatan terhadap apoteker yang lalai dalam memberikan obat.

b. Mengetahui upaya hukum konsumen obat-obatan terhadap apoteker yang lalai dalam memberikan obat.

METODE

Metode dalam penelitian ini berguna untuk menerangkan cara data dikumpulkan data yang ada itu dianalisis sehingga akan menghasilkan tulisan. Penelitian hukum dan hakikatnya sebagain penelitian ilmiah,dalam arti harfiahnya metode berarti “ cara”. Penelitian adalah sebuah kata istilah dalam bahasa Indonesia yang dipakai sebagai kata terjemahan apa yang ada di dalam bahasa Inggris disebut research. Barangkali lebih tepat kiranya apabila kata istilah research ini diterjemahkan “penyelidikan” sekalipun istilah itu dikenal sebagai istilah kepolisian untuk

mengganti kata Belanda „reserse” ( yang pada gilirannya berasal dari kata Perancis “rechercher” yang juga berarti mencari) (Irianto & Shidarta, 2009).

Pendekatan masalah yang penulis gunakan di penelitian ini yaitu dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang dilakukan dengan cara mengkaji kaidah-kaidah hukum pidana, peratuan perundang-undangan, serta peraturan-peraturan lainnya yang relevan dengan permasalahan dengan permasalahan yang diteliti. Pendekatan yuridis empiris adalah pendekatan yang dilakukan dengan dengan melakukan penalaran hukum dalam menganalisa kenyataan di lapangan atau berdasarkan fakta yang didapat secara obyektif di lapangan baik berupa data, informasi dari wawancara dan pendapat yang didasarkan pada identifikasi hukum dan efektifitas hukum, yang didapat melalui wawancara dengan akademisi yang berkompeten terkait dengan masalah yang penulis angkat dalam penelitian ini sehingga dapat memberikan pemecahan atas masalah yang sedang diteliti ini sehingga ke depannya bisa memberikan kepastian hukum bagi konsumen dan peningkatan kompetensi apoteker yang selalu dinamis mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ditunjang dengan selalu diadakan diskusi bersama untuk membahas permaasalahan antara konsumen dan apoteker yang bekerja tidak sesuai dengan kode etiknya. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam kegiatan penelitian ini penulis mendapatkan penemuan setelah melakukan interaksi langsung dengan masyarakat dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada mereka dan melakukan pengamatan. Deskripsi dari penemuan tersebut antara lain:

4.1 Penemuan

Kesadaran akan pentingnya wawasan tentang perlindungan konsumen obat-obatan

Kesadaran memang sangat diperlukan setiap masyarakat dalam hal apapun termasuk kesadaran akan perlindungan konsumen obat-obatan dengan selalu belajar tentang aturan hukum dan kritis dalam menanyakan terkait

(4)

62

informasi obat agar bisa dirasakan manfaatnya dalam kehidupannya agar terhindar dari kelalaian apoteker.

Tabel 4.1 Kesadaran akan pentingnya wawasan tentang perlindungan konsumen obat-obatan. N o Kegiatan Respon masyarakat 1 Penulis menanyakan: Mengapa perlindungan hukum konsumen sangat penting Mereka menjawab: 1.Agar mendapat kepastian hukum 2. Supaya terlindungi 3. Supaya mendapat ganti rugi jika ada kerugian 2

Penulis menanyakan: Bagaimana bentuk upaya hukum yang dapat dilakukan jika mendapati apoteker yang lalai dalam memberikan obat

Mereka menjawab: 1.Minta ganti rugi 2.Lapor polisi 3 Penulis menanyakan ke apoteker: Bagaimana upaya meningkatkan pelayanan masyarakat yang sesuai dengan standar Mereka menjawab : 1.Selalu aktif mengikuti kegiatan seminar kefarmasian 1.Berhati-hati dalam menjalankan tugasnya

A. Bentuk Perlindungan Hukum bagi Konsumen Obat-Obatan terhadap Apoteker yang Lalai dalam Memberikan Obat

Pasien sebagai konsumen karena pasien menggunakan jasa atau barang dari tenaga kesehatan yaitu tenaga kesehatan bagian kefarmasian yaitu berupa obat. Perlindungan hukum adalah perlindungan akan harkat dan martabat, serta pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia yang dimiliki oleh subyek hukum berdasarkan ketentuan hukum dari kesewenangan atau sebagai kumpulan

peraturan atau kaidah yang akan dapat melindungi suatu hal dari hal lainnya. Berkaitan dengan konsumen, berarti hukum memberikan perlindungan terhadap hak-hak pelanggan dari sesuatu yang mengakibatkan tidak terpenuhinya hak-hak tersebut ( Hadjon, 2011). Menurut Philipus M. Hadjon, bahwa sarana perlindungan Hukum ada dua macam yaitu :

1. Sarana Perlindungan Hukum Preventif Pada perlindungan hukum preventif ini, subyek hukum diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Tujuannya adalah mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif sangat besar artinya bagi tindak pemerintahan yang didasarkan pada kebebasan bertindak karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersifat hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada diskresi. Di Indonesia belum ada pengaturan khusus mengenai perlindungan hukum preventif.

2. Sarana Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Penanganan perlindungan hukum oleh Pengadilan Umum dan Pengadilan Administrasi di Indonesia termasuk kategori perlindungan hukum ini. Prinsip perlindungan hukum terhadap tindakan pemerintah bertumpu dan bersumber dari konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hakasasi manusia karena menurut sejarah dari barat, lahirnya konsep-konsep tentang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia diarahkan kepada pembatasan-pembatasan dan peletakan kewajiban masyarakat dan pemerintah. Prinsip kedua yang mendasari perlindungan hukum terhadap tindak pemerintahan adalah prinsip negara hukum. Dikaitkan dengan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia mendapat tempat utama dan dapat dikaitkan dengan tujuan dari negara hukum. Negara hukum Indonesia adalah Negara pengurus (Verzonginstaat) ( Indrati, 1998 ). Apabila dicermati konsep Negara

(5)

63

hukum ini hampir sama dengan Negara hukum kesejahteraan. Hal tersebut juga dijelaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada alinea IV. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004, bahwa pelayanan kefarmasian meliput Secara umum, standar-standar pelayanan Kefarmasian itu antara lain adalah:

a. Peran Apoteker dituntut untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku agar dapat melaksanakan interaksi langsung dengan pasien. Bentuk interaksi tersebut antara lain adalah pemberian informasi obat dan konseling kepada pasien yang membutuhkan.

b. Apoteker harus memahami dan menyadari kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan (medication error) dalam proses pelayanan dan mengidentifikasi, mencegah, serta mengatasi masalah terkait Obat (drug

related problems), masalah

farmakoekonomi, dan farmasi sosial (sociopharmaco economy).

Standar pelayanan kefarmasian atau yang khususnya dikenal sebagai pelayanan farmasi klinik yang wajib dipatuhi apoteker adalah:

1. Pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis.

2. Dispensing terdiri dari penyiapan, penyerahan dan pemberian informasi obat. 3. Pelayanan Informasi Obat (PIO).

4. Konseling.

5. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care). 6. Pemantauan Terapi Obat (PTO).

7. Monitoring Efek Samping Obat (MESO)

Penegakan hukum yang bersifat preventif berarti bahwa pengawasan aktif dilakukan terhadap kepatuhan kepada peraturan tanpa

kejadian langsung yang menyangkut pristiwa konkrit yang menimbulkan sangkaan bahwa peraturan hukum telah dilanggar ( Rangkuti, 2005 ). Instrumen bagi penegakkan hukum preventif adalah penyuluhan, pemantauan dan penggunaan kewenangan yang sifatnnya pengawasan. Pejabat/aparat pemerintah yang berwenang memberi izin dan mencegah terjadi kelalaian terhadap apoteker. Upaya represif adalah segala tindakan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum sesudah terjadinya tindak pidana seperti penyelidikan, penyidikan lanjutan, penuntutan dan seterusnya sampai dilaksanakan putusan pidananya ( Soedarto, 1986). Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, salah satu tujuan dari perlindungan konsumen adalah meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan, dan keselamatan konsumen.

A. Upaya Hukum Konsumen Obat-Obatan terhadap Apoteker yang Lalai dalam Memberikan Obat.

Jika ada pasien yang merasa dirugikan karena kelalaiannya, dapat meminta ganti rugi sesuai dengan Pasal 19 sesuai Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen , dan dalam Pasal 62 ayat (1) dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada pihak berwajib untuk diproses secara pidana selain itu dalam Pasal 52 dapat melakukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen yakni badan yang bertugas menangani dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melibatkan pengadilan atau pihak ketiga yang netral. Penyelesaian sengketa konsumen melalui cara-cara damai dapat mengacu pada ketentuan Pasal 1851 sampai Pasal 1864 Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Pasal-pasal tersebut mengatur tentang pengertian, syarat-syarat dan ketentuan hukum dan mengikat perdamaian. Pasal 45 ayat (2) UUPK menyatakan “setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum”. Pasal 48 UUPK menentukan bahwa penyelesaian sengketa

(6)

64

tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan Pasal 45 di atas. 1. Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan hanya hanya dimungkinkan apabila:

a) Para pihak belum memilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan;

b) Upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, dinyatakan tidak berhasil salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.

2. Penyelesaian sengketa kosnumen di luar pengadilan umum atau melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyebutkan, jika telah dipilih penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya hanya dapat ditempuh jika upaya itu dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau para pihak yang lain yang bersengketa. Wewenang BPSK, memberikan 3 (tiga) macam cara penyelesaian sengketa, yaitu: mediasi, arbitrase, dan konsilasi. Ketiga macam cara penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut merupakan bentuk atau cara penyelesaian sengketa yang dibebankan menjadi tugas Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.

1. Arbitrase

Arbitrase merupakan cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para pihak yang bersengketa. Penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase ini dapat dilakukan oleh para pihak yang bersengketa. Kelebihan dari penyelesaian sengketa melalui peradilan arbitrase ini karena putusnnya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak. Putusan arbitrase ini memiliki kekuatan eksektutorial, sehingga apabila pihak yang dikalahkan tidak memenuhi putusan secara sukarela, maka pihak yang menang dapat meminta eksekusi ke pangadilan.

2. Konsiliasi

Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan

perantara BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak Konsiliasi merupakan salah satu alternatif penyelesaian sengketa yang juga bisa ditemuh diluar pengadilan. Konsiliasi ini juga dimugkinkan sebagai alternatif penyelesaian sengketa konsumen berdasarkan UndangUndang Perlindungan Konsumen.

3. Mediasi

Mediasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian sengketa diluar pengadilan, disamping sudah dikenal dalam perundang-undangan di Indonesia, juga merupakan salah satu pilihan terbaik diantara sistem dan bentuk ADR yang ada.

Penyelesaian sengketa melalui mediasi harus didahului dengan kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketannya melalui mediasi. Jadi bagi pasien yang telah dirugikan atas kelalaian apoteker yang bersangkutan, pasien dapat melaporkan apoteker yang bersangkutan kepada pihak berwajib untuk diproses atau melakukan gugatan kepada Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK)

KESIMPULAN

1. Perlindungan hukum bagi pasien terhadap apoteker yang melakukan kesalahan dan kelalaian dalam pelayanan kefarmasian, baik dalam proses peracikan obat maupun dalam pemberian obat sehingga dapat menimbulkan kerugian terhadap pasien, bentuk perlindungan hukum yang dapat ditempuh pasien adalah perlindungan hukum yang bersifat preventif dan perlindungan hukum yang bersifat represif 2. Upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pasien selaku korban kelalaian apoteker dalam penyelesaian sengketa tersebut, dapat ditempuh melalui pengadilan (litigasi) maupun luar pengadilan (non litigasi).

Saran

1. Untuk Apoteker

1) Memperhatikan dengan teliti setiap resep dokter yang masuk di apotek demi menjaga keselamatan dan keamanan pasien dalam mengkonsumsi obat agar pihak apoteker dapat lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya.

(7)

65

2) Seorang Apoteker harus selalu aktif menginformasikan pada pasien mengenai dosis, aturan konsumsi atau aturan pakai pada setiap obat yang diberikan supaya pasien tidak melakukan kesalahan saat mengkonsumsi. 2. Untuk masyarakat

Menanyakan dengan teliti setiap membeli obat terkait aturan minumnya, masa berlaku obat hingga efek samping obat kepada apoteker serta selalu menambah wawasan dan kesadaran terkait perlindungan hukum konsumen jika membeli suatu produk terutama obat termasuk melakukan upaya hukum jika mendapatkan permasalahan yang merugikan hingga mengancam nyawa.

DAFTAR PUSTAKA A.Buku

Ahmadi Miru & Sutarman Yodo. (2017).

Hukum Perlindungan Konsumen.

Jakarta: Rajawali Press.

Asikin Zainal. (2012). Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Az Nasution. (2011). Hukum Perlindungan

Konsumen Suatu Pengantar. Jakarta: Diadit Media.

Celina Tri Siwi Kristiyanti. (2009). Hukum Perlindungan Konsumen. Jakarta: Sinar Grafika.

Depkes RI. (2010). Buku Pedoman Pengelolaan Perbekalan Farmasi di Rumah Sakit. Jakarta.

Janus Sidabalok. (2010). Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti.

H.A. Syamsuni. (2007). Ilmu Resep. Jakarta: EGC.

Husni Syawali & Neni Sri. (2000). Hukum Perlindungan Konsumen. Bandung: PT. Mandar Maju.

Sanjaya, A.W. (2015). Kewenangan penyidikan tindak pidana pencucian uang yang dilakukan oleh anggota Tentara Nasional Indonesia. Jember: Tesis Program Studi Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember.

Sardjipto Rahardjo. (2003). Sisi-Sisi Lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas. Setiono. (2004). “Rule of Law”. Surakarta: Disertasi S2 Fakultas Hukum, Universitas Sebelas. Surakarta: Disertasi S2 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

Susanti Adi Nugroho. (2015). Penyelesaian Sengketa Arbitrase dan Penerapan Hukumnya. Jakarta: Kencana.

Ujang Sumarwan. (2011). Perilaku Konsumen, Jakarta: Ghalia Indonesia.

Wahyu Sasongko. (2007).

Ketentuan-Ketentuan Pokok Hukum

Perlindungan Konsumen. Bandar

Lampung: Universitas Lampung. Yustina. (2010). Apotek Ulasan Beserta

Naskah Peraturan

Perundang-undangan Terkait Apotek Rakyat. Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma.

B. Peraturan Perundang- Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan

Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Kode Etik Apoteker Indonesia, 2009, Jakarta: Kongres Nasional XVII Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.

Gambar

Tabel  4.1  Kesadaran  akan    pentingnya  wawasan  tentang  perlindungan  konsumen  obat-obatan

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai β model gravitasi sebagai indikator sensitivitas perjalanan penduduk, mengidentifikasi guna lahan zona bangkitan dan tarikan

Faktor Peluangnya adalah: 1) Melalui pengembangan agroindustri serat sabut kelapa berkaret (sebutret) akan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat petani (kelapa dan karet),

a) Jalur pedestrian dengan lebar 1,8 m termasuk jalur untuk penyandang cacat. b) Jalur sepeda yang terpisah dari badan jalan dengan lebar 2,2 m untuk dua arah. c) Pada

Berdasarkan penelitian tentang kajian efek samping obat antiretroviral pada pasien HIV rawat jalan menggunakan algoritma Naranjo dapat disimpulkan bahwa efek samping yang paling

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui positioning empat merek cosmetic lokal berlabel halal yang terkenal yaitu, Wardah Cosmetics, La Tulipe, Zoya Cosmetics, dan Sari

In this case, ‘Abd al-Ra’ūf had employed various approaches like establishing Islamic learning centre, developing fields of Islamic religious sciences as well as

masyhur, yang diriwayatkan oleh dua atau tiga orang bahkan lebih.. c) Aqwalus Shahabah (Perkataan Sahabat). Mazhab Hanafi paling banyak menggunakan qiyas sehingga mereka

Berdasarkan data sekunder nomor 1.2.1 tentang pengamanan dan penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan, data sekunder nomor 1.3.1 tentang persyaratan mutu, keamanan,