• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 DASAR TEORI. Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

8

BAB 2

DASAR TEORI

Bab ini berisi rangkuman referensi dari studi literatur untuk pengerjaan penelitian ini. Menjelaskan tentang GPS, metode penetuan posisi, Precise Point Positioning, koreksi-koreksi yang berpengaruh dalam pengolahan data GPS.

2.1 GPS (Global Positioning System)

GPS adalah sistem satelit navigasi dan penentuan posisi menggunakan satelit.Sistem yang dapat digunakan oleh banyak orang sekaligus dalam segala cuaca ini, didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi yang teliti, dan juga informasi mengenai waktu, secara teliti di seluruh dunia (Abidin, 2007).

Pada dasarnya konsep dasar penentuan posisi dengan GPS adalah reseksi jarak, yaitu pengukuran jarak secara simultan ke beberapa satelit yang koordinatnya diketahui (Abidin, 2007).Ilustrasi dari prinsip penentuan posisi dengan GPS dapat dilihat pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)

Ketelitian posisi yang didapat dengan pengamatan GPS secara umum akan tergantung pada empat faktor yaitu: metode penentuan posisi yang digunakan, geometri dan distribusi dari satelit-satelit yang diamati, ketelitian data yang digunakan, dan strategi/ metode pengolahan data yang diterapkan. Masing-masing faktor tersebut mempunyai beberapa parameter yang berpengaruh pada ketelitian posisi yang akan

(2)

9 diperoleh dari GPS (Abidin, 2007). Contoh beberapa parameter tersebut diberikan pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1 Faktor dan parameter yang mempengaruhi ketelitian penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)

Faktor Parameter

Ketelitian data • Tipe data yang digunakan (pseudorange, fase)

• Kualitas receiver GPS • Level dari kesalahan dan bias

Geometri satelit • Jumlah satelit

• Lokasi dan distribusi satelit • Lama pengamatan

Metode penentuan posisi

• Absolut & differential positioning

• Static, rapid static, pseudo-kinematic, stop-and-go,

kinematic

• One & multi station referensis

Strategi pemrosesan data

• Real time & post processing

• Strategi eliminasi dan pengkoreksian kesalahan dan bias • Metode estimasi yang digunakan

• Pemrosesan baseline dan perataan jaringan • Kontrol kualitas

2.2 Metode Penentuan Posisi dengan GPS

Pada dasarnya tergantung pada mekanisme pengaplikasiannya metode penentuan posisi dengan GPS dapat dikelompokkan atas beberapa metode yaitu: absolute, differential, static, rapid static, pseudo-kinematic, dan stop-and-go, seperti ditunjukkan seccara skematik pada tabel berikut.

(3)

10 Tabel 2.2 Metode-metode penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)

Metode ABSOLUT DIFFERENSIAL Titik Receiver

STATIC   Diam Diam

KINEMATIK   Bergerak Bergerak

RAPID STATIC  Diam Diam (singkat)

PSEUDO-KINEMATIC

 Diam Diam dan

bergerak

STOP-AND-GO  diam Diam dan

bergerak

2.2.1 Metode Penentuan Posisi Absolut

Penentuan posisi secara absolut adalah metode penentuan posisi yang paling mendasar dari GPS.Bahkan dapat dikatakan bahwa metode ini adalah metode penentuan posisi dengan GPS yang direncanakan pada awalnya oleh pihak militer Amerika untuk memberikan pelayanan navigasi terutama bagi personil dan wahana militer mereka. Metode enentuan posisi ini, dalam moda statik dan kinemati, diiliustrasikan pada gambar berikut:

(4)

11 Berkaitan dengan penentuan posisi secara absolut, ada beberapa catatan yang perlu diperhatikan yaitu (Abidin, 2007):

• Metode ini kadang dinamakan juga metode point positioning, karena penentuan posisi dapat dilakukan per titik tanpa tergantung pada titik lainnya.

• Posisi ditentukan dalam sistem WGS-84 terhadap pusat massa bumi.

• Prinsip penentuan posisi adalah reseksi jarak ke beberapa satelit secara simultan. • Untuk penentuan posisi hanya memerlukan satu recceiver GPS, dan tipe receiver

yang umum digunakan untuk keperluan ini adalah tipe navigasi atau kadang dinamakan tipe genggam (hand held).

• Titik yang ditentukan posisi bisa dalam keadaan diam (moda statik) maupun dalam keadaan bergerak (moda kinematik) seperti ditunjukan pada gambar 1.2. • Biasanya menggunakan data psudeorange. Perlu juga dicatat bahwa dalam moda

statik, meskipun jarang sekali digunakan, data fase sebenarrnya juga bisa digunakan yaitu dengan mengestimasi ambiguitas fase bersama-sama dengan posisi.

• Ketelitian posisi yang diperoleh sangat tergatung pada tingkat ketelitian data serta geometri satelit.

• Metode ini tidak dimaksudkan untuk penentuan posisi yang teliti.

• Aplikasi utama dari metode ini adalahuntuk keperluan navigasi atau aplikasi-aplikasi lain yang memerlukan informasi posisi yang tidak perlu terlalu teliti tapi tersedia secara instan (real-time), seperti untuk keperluan reconnaissance dan ground truthing.

(5)

12 2.2.1.1 Metode Penentuan Posisi Absolut Teliti (Precise Point Positioning)

Metode penentuan posisi Precise Point Positioning adalah metode penentuan posisi yang berkembang belakangan ini. Metode ini pada dasarnya adalah metode penentuan posisi absolut yang menggunakan data one-way fase dan psedorange dalam bentuk kombinasi bebas ionosfer. Metode ini umumnya dioperasionalkan dalam metode stastik dan memerlukan data GPS dua frekuensi yang diamati menggunakan reciver GPS tipe geodetik.

Dalam penentuan posisi absolute suatu stasiun pengamatan, persaman pengamataan dari one-way fase dan pseudorange bebas ionosfer yang umumnya digunakan pada metode PPP dapat difomulasikan sebagai berikut [Gao and Shen, 2002, 2004; Kouba and Heroux, 2001]: Pif = k1.P1 - k2.P2 = ρ + dtrop + dt + MPif + ϑPif (2.1) Lif = k1.L1 - k2.L2 = ρ + dtrop + dt + MCif – ( k1. λ1.N1 – k2.λ2.N2 ) + ϑCif (2.2) Keterangan:

Pif = Pseudorange bebas ionosfer

Lif = Fase bebas ionosfer

P = Pseudorange pada frekuensi fi (m) L = Jarak fase pada frekuensi fi (m)

ρ = Jarak geometris antara pengamat (x,y,z) dengan satelit (m) dtrop = Bias yang disebabkan oleh refraksi troposfer(m)

dt = Kesalahan dan offset dari jam receiver dan jam satelit(m) MP, MC = Efek multipath pada hasil pengamatan (m)

(6)

13 Dimana faktor k1 dan k2 adalah fungsi dari frekuensi sinyal-sinyal GPS f1 dan f2 sebagai berikut: k1 = f12 f12-f22 = 2.54572778 (2.3) dan k2 = f22 f12-f22 = 1.54572778 (2.4)

Pada persamaan (2.1) dan (2.2) di atas, parameter kesalahan orbit serta kesalahan dan offset jam setelit tidak muncul dalam persamaan, dengan asumsi bahwa orbit teliti (Precise orbit) serta informasi jam satelit dari IGS akan digunakan [IGS, 2005]. Oleh sebab itu parameter yang ditentukan dalam pengolahan data metode PPP adalah: tiga komponen koordinat, offset jam reciver, bias troposfer basah di arah zenith, dua parameter gradient troposfer serta nilai real sejumlah ambiguitas fase dari data fase bebas ionosfer yang terlibat [Gao and Shen, 2004]. Kesalahan multipath harus direduksi dengan menggunakan antena GPS yang baik seta pemilihan lokasi yang memadai.

Disamping itu menurut [Kouba and Heroux, 2001], untuk penentuan posisi absolute menggunakan data fase, beberapa parameter koreksi tambahan harus diperhitungkan dalam pengolahan data, yaitu antara lain: efek pergerakan satelit (satellite attitude effects), efek pergerakan lokasi pengamatan (site displacement effects), serta pertimbangan kompatibilitas (compatibility considerations). Efek pergerakan satelit mencakup offset antenna satelit dan koreksi phase wind-up. Sedangkan efek pergeseran lokasi pengamat mencakup pasang surut Bumi (solid earth tides), pasang surut laut serta Earth Rotation Parameters (ERP) yang terdiri dri presisi, nutasi, pergerakan kutub dan perubahan panjang hari. Sedangkan pertimbangan kompatibilias mancakup pembobotan yang konsisten dari kesalahan orbit dan jam satelit serta model dan konvensi yang diimplementasikan dalam pengolahan data.

Metoda PPP sangat cocok bagi peneliti karena tidak membutuhkan dua atau lebih receiver GPS yang simultan. Hal ini tidak terbatas untuk keberhasilan solusi guna perhitungan panjang baseline dan cocok untuk penentuan posisi platform. Beberapa tim

(7)

14 peneliti telah menggunakan metoda ini untuk penentuan posisi orbit rendah [Bisnath dan Langley, 2002].

2.2.1.2 Komponen-komponen PPP (Precise Point Positioning)

Tidak seperti halnya pada penentuan posisi secara relative, beberapa bentuk kesalahan atau bias tidak dapat dihilangkan pada penentuan posisi absolute teliti atau Precise Point Positioning (PPP). Pergerakan stasiun atau receiver yang merupakan hasil dari fenomena geofisik seperti pergerakan lempeng tektonik, pasang surut bumi dan pembebanan samudera. Pendekatan ini dikenal dengan nama Precise Point Positioning.

Gambar 2.3 Hasil dari GPS Precise Point Positioning (PPP), [El-Rabbany,2003] Untuk mendapatkan posisi yang teliti dari pengamatan GPS, maka dilakukan penghilangan dan perudiksaan dari beberapa bentuk kesalahan yang mempengaruhinya.. Penentuan posisi secara Precise Point Positioning lebih teliti daripada penetuan posisi geodetik secara absolut.

Dengan melakukan penentuan posisi secara Precise Point Positioning, maka dapat dilakukan pengeliminasian dan pereduksian bias dan kesalahan sehingga akan meningkatkan akurasi dan presisi data, dan selanjutnya akan meningkatkan tingkat akurasi dan presisi posisi yang diperoleh. Dalam penentuan posisi secara Precise Point Positioning ini terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi ketelitian posisi yang dihasilkan. Berikut faktor-faktor penentu dalam penentuan posisi secara Precise Point Positioning :

(8)

15 Tabel 2.3 Faktor –faktor yang mempengaruhi kesalahan data GPS (Abidin, 2007)

Kesalahan dan Bias Dapat

dieliminasi Dapat direduksi Tidak dapat dieliminasi/ reduksi Jam satelit Jam receiver Orbit (Ephimeris) Ionosfer Troposfer Multipath Noise (Derau) Selective Availability √ √ 1. Geometri satelit.

Geometri satelit dilihat dari aspek kekuatan geometri satelit yang dapat dilihat dari distribusi satelit selama pengamatan. Distribusi satelit yang baik adalah terdistribusi merata pada empat kuadran di titik pengamatan. Untuk merefleksikan kekuatan geometri dari konstelasi satelit, digunakan suatu bilangan yang disebut dengan Dilution of Precision (DOP). Nilai DOP yang kecil akan menunjukkan geometri satelit yang baik dan begitu sebaliknya. Ilustrasi dari geometri satelit terhadap nilai DOP dapat dilihat pada Gambar 2.2 berikut.

Gambar 2.4 Ilustrasi Geometri Satelit Terhadap Kualitas DOP (http://lazarus.elte.hu/tajfutas/magyar/archiv/dg/3.htm)

Karena satelit GPS selalu bergerak, maka konstelasi geometri satelit akan berubah yang mengakibatkan nilai DOP akan bervariasi secara spasial maupun temporal. Terdapat beberapa jenis DOP , yaitu [Abidin, 2006]:

(9)

16 a. GDOP = Geometrical DOP (posisi 3D dan waktu)

b. PDOP = Positional DOP (posisi 3D)

c. HDOP = Horizontal DOP (posisi horizontal) d. VDOP = Vertical DOP (posisi vertikal) e. TDOP = Time DOP (waktu)

f. RDOP = Relative DOP (posisi 3D secara diferensial)

Pada penelitian ini dilakukan pengamatan GPS secara diferensial, maka DOP yang perlu diperhatikan adalah RDOP. Pengamatan GPS secara diferensial akan mengeliminasi kesalahan jam sehingga pada RDOP tidak terdapat DOP untuk komponen waktu. Nilai dari RDOP dapat diestimasi sebelum pengukuran dilaksanakan. Nilai RDOP dihitung berdasarkan matrik ko-faktor dari parameter yang diestimasi melalui matriks desain pengamatan (A). Komponen dari matriks A dihitung menggunakan koordinat pendekatan dari pengamat serta koordinat pendekatan satelit yang umumnya dihitung menggunakan data almanak satelit. Jika matriks A telah dibentuk, maka dapat dihitung matriks ko-faktor (Qxx) menggunakan persamaan 2.8 berikut.

Qxx = (ATA)−1 (2.8) Q𝑥𝑥𝑥𝑥 = � qxx qxy qxh qxy qyy qyh qxh qyh qhh � (2.9) Keterangan: Qxx = Matriks ko-faktor A = Matrik desain

Dari matriks Qxx diatas dapat dihitung nilai RDOP menggunakan persamaan (2.9) berikut.

(10)

17 RDOP = �qxx + qyy + qhh (2.10)

Penentuan nilai RDOP sangat bergantung dari hasil perhitungan matriks Qxx. Kualitas dari matriks Qxx dapat dilihat dari nilai condition number dari matriks tersebut. Nilai dari condition number dari sebuah matriks akan mengindikasikan kualitas dari pemecahan persamaan linear. Jika nilai condition number dari sebuah matriks bernilai besar, maka matriks tersebut badly conditioned dan jika nilainya kecil (mendekati satu) maka matriks tersebut well conditioned. Nilai condition number ini akan terkait dengan nilai RDOP. Nilai RDOP akan bernilai kecil jika nilai condition number-nya juga bernilai kecil dan sebaliknya. Nilai RDOP yang bernilai besar mengindikasikan bahwa matriks Qxx yang dihasilkan close to

singular akibat dari geometri satelit yang tidak baik. Geometri satelit yang direpresentasikan dalam RDOP untuk penentuan posisi GPS diferensial akan mempengaruhi kualitas dari perataan dalam melakukan estimasi parameter.

2. Multipath

Permukaan yang dapat memantulkan sinyal GPS dapat mengakibatkan sinyal GPS mencapai antena dimana sinyal tersebut tidak berada pada jalur langsung antara satelit dan antena. Hal ini mengakibatkan jarak pengamatan antara satelit ke antena menjadi lebih panjang dari seharusnya. Adanya kesalahan data pengamatan akan mempengaruhi kualitas parameter posisi horizontal maupun vertikal. Efek dari multipath dapat mencapai level desimeter secara bidang 3 dimensi [Higgins,1999]. Sampai saat ini belum ada suatu model matematis umum yang dapat memodelkan efek multipath. Beberapa investigasi menunjukkan bahwa kesalahan pada komponen tinggi yang disebabkan oleh multipath, dapat mencapai besar sekitar 15 cm [Geordiadou & Kleusberg, 1988,1990; Seber, 1992, pada Abidin 2006]. Efek multipath pada data pengamatan bersifat periodik mengikuti pola sinusoidal, sehingga efek multipath ini dapat direduksi dengan menggunakan data yang perioda pengamatannya lebih besar daripada periode multipath. Oleh sebab itu,

(11)

18 metoda pengamatan survey statik dengan lama pengamatan yang panjang dapat dilakukan untuk meminimalkan efek multipath pada hasil estimasi posisi. Selain itu penggunaan antena GPS yang memiliki stabilitas pusat fase (phase center) yang tinggi serta “daya tolak” terhadap multipath juga dapat digunakan. Ada beberapa jenis antena GPS yang dikenal, yaitu [Seeber, 1993 pada Abidin, 2006]: monopole atau dipole, quadrifilar helix, spiral helix, microstrip, dan choke ring.

3. Bias Atmosfer

Bias yang disebabkan oleh lapisan atmosfer terjadi pada lapisan ionosfer dan troposfer. Bias ini mempengaruhi jarak ukuran dimana bias ini dapat memanjang-mendekkan jarak ukuran dari satelit ke stasiun pengamat. Bias dari lapisan ionosfer akan memperlambat pseudorange dan mempercepat fase, sedangkan bias pada lapisan troposfer akan memperlambat pseudorange dan fase. Jika dikaitkan dengan frekuensi sinyal, bias karena refraksi ionosfer akan bergantung pada frekuensi sinyal sedangkan bias karena refraksi troposfer tidak bergantung pada frekuensi sinyal. Dengan sifat ini, penggunaan dual frekuensi akan dapat digunakan untuk mereduksi bias ionosfer. Penggunaan data dari dual frekuensi (L1 dan L2) dapat dikombinasikan untuk memperoleh suatu kombinasi bebas ionosfer. Sedangkan untuk bias karena refraksi troposfer tidak dapat direduksi dengan menggunakan kombinasi data dari dual frekuensi karena bias troposfer tidak tergantung terhadap frekuensi sinyal.

a. Bias Ionosfer

Ionosfer adalah bagian dari atmosfer yang berada pada ketinggian 50km hingga 1000km diatas permukaan bumi (Langley, 1998). Pada lapisan ini terdapat sejumlah elektron dan ion bebas yang dapat mempengaruhi perambatan gelombang radio. Satelit GPS berada kira-kira 20.000 km, sehingga sinyal dari satelit GPS harus melewati lapisan ionosfir untuk dapat mencapai permukaan bumi. Propagasi dari sinyal GPS akan terpengaruhi oleh elektron bebas yang ada di lapisan ionosfir yang mengakibatkan berubahnya kecepatan, arah, polarisasi, dan kekuatan dari sinyal GPS dimana akan mempengaruhi jarak ukuran.

(12)

19 Besarnya efek ionosfer pada perambatan sinyal GPS tergantung dari jumlah elektron sepanjang lintasan sinyal. Jumlah elektron ini dinamakan Total Electron Content (TEC) yang dinyatakan dalam unit elekton/m2 dan frekuensi dalam unit Hertz. Efek dari ionosfir bervariasi secara spasial dan temporal. Pada daerah ekuator, bias ionosfir umumnya mempunyai nilai yang relatif besar tetapi relatif stabil [Abidin, 2006]. Efek ionosfer yang bersifat harian, secara empirik didapatkan sesuai dengan aktifitas matahari yang direpresentasikan dari nilai TEC. Nilai TEC terbesar biasanya terjadi pada tengah hari, dan nilai TEC relatif kecil pada pagi hari dan malam hari. Dalam kasus penentuan posisi dan survei dengan GPS ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mereduksi efek bias ionosfer, yaitu [Abidn,2006]:

a. Gunakan data GPS dari dua frekuensi, L1 dan L2. b. Lakukan pengurangan (differencing) data pengamatan. c. Perpendek panjang baseline pengamatan

d. Lakukan pengamatan pada pagi atau malam hari.

e. Gunakan model prediksi global ionosfer (untuk data GPS satu frekuensi) f. Gunakan parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem Wide Area

Differential GPS (WADGPS)

b. Bias troposfer

Lapisan troposfer adalah lapisan atmosfer terendah yang bersinggungan dengan permukaan bumi dan memiliki ketebalan 9-16 km diatas permukaan bumi. Lapisan troposfer dapat mengganggu perambatan sinyal GPS yang mengakibatkan berubahnya kecepatan (pseudorange dan fase diperlambat) dan arah dari sinyal GPS, sehingga mempengaruhi jarak ukuran. Akibatnya, komponen yang paling terpengaruh dalam penentuan posisi menggunakan GPS adalah komponen tinggi geodetik. Ketebalan troposfer yang paling tinggi terdapat di daerah katulistiwa, yaitu sebesar 16 km dan ketebalan paling kecil terjadi di daerah kutub yaitu 9 km [Prawirowardoyo, 1996 pada Soetriyono, 2006]. Tingginya lapisan troposfer di daerah katulistiwa menyebabkan bias

(13)

20 troposfer yang ada di Indonesia menjadi lebih besar dari bias troposfer di lintang menengah atau di daerah kutub.

Bias troposfer pada pengamatan GPS merupakan fungsi dari ketinggian lokasi titik dan ketinggian zenith dari satelit, serta bergantung dari beberapa faktor, seperti tekanan atmosfer, suhu, dan kelembaban [Satirapod, 2004]. Bias troposfer umumnya dipisahkan menjadi komponen kering dan komponen basah, dimana komponen kering memberikan kontribusi bias sekitar 90% dari bias total dan komponen basah memberikan kontribusi sekitar 10% dari bias total. Komponen basah memang memberikan kontribusi bias yang kecil dari total bias dibandingkan komponen kering, akan tetapi magnitude dari komponen basah umumnya lebih sulit diestimasi dari komponen kering. Komponen basah dari bias troposfir bergantung dari jumlah kandungan uap air sepanjang lintasan diatas stasiun pengamatan. Untuk dapat mengestimasi komponen basah secara baik, dapat digunakan peralatan WVR (Water Vapour Radiometer) yang dapat mengukur kandungan uap air diatas stasiun pengamat. Berikut karakteristik dari komponen kering dan basah dalam bias toposfer pada Tabel 2.4

.

Tabel 2.4 Karakteristik Komponen Kering dan Komponen Basah dari Bias Troposfer (El-Arini, 2008)

Keterangan Komponen Kering Komponen Basah

Total bias (dari total bias) 90% 10%

Penyebab Utama N2 dan O2 Uap air

Magnitude ≈2.3 m <=0.8 m Variasi bias Fungsi dari T (suhu) dan P (tekanan) Bervariasi 10-20% dalam beberapa jam

Ketelitian estimasi

ketelitian estimasi ≈ ± 1%

dalam beberapa jam

ketelitian estimasi rendah

(14)

21 Tidak seperti halnya bias ionosfer, bias troposfer tidak dapat dieliminasi menggunakan kombinasi linear L1 dan L2 karena magnitude dari bias troposfer tidak tergantung pada frekuensi sinyal GPS. Akibatnya, penggunaan dual frekuensi tidak dapat mengestimasi besarnya magnitude dari bias troposfer. Bias troposfer dapat direduksi dengan melakukan diferensial, tetapi akan masih terdapat bias troposfer untuk baseline yang panjang karena proses diferensial tidak dapat mereduksi bias troposfer secara optimal untuk baseline yang panjang. Untuk melakukan koreksi terhadap bias troposfer tersebut, umumnya digunakan beberapa model koreksi standar troposfer dalam melakukan pengolahan data GPS seperti model Niell, Saastamoinen, Hopfield, dan lain sebagainya. Dari beberapa model tersebut yang cukup banyak digunakan dalam pengolahan data GPS adalah model Hopfield dan Saastamoinen [Abidin,2006]. Pada penelitian ini digunakan model troposfer global Niell, Saastamoinen, dan Hopfield. Pada umumnya, model koreksi standar troposfer diperoleh secara empirik dari ketersediaan data radiosone yang kebanyakan diambil di daerah Eropa dan Amerika Utara [Satirapod, 2004].

Pada persamaan diatas, mf (e) merupakan mapping function dengan sudut elevasi e. Koefisien a, b, dan c dianggap cukup dalam memetakan zenith delays dibawah elevasi 3°. Koefisien ini ditentukan dari raytracing dimana parameter yang dimasukkan adalah berupa nilai sudut elevasi, nilai tinggi stasiun diatas geoid, suhu, tekanan, dan tekanan uap air. Untuk menghitung bias troposfer menggunakan model Saastamoinen dapat menggunakan persamaan 2.11 berikut [El-Arini, 2008].

(15)

22 dtrop = 0.002277(1 + D) sec(z) �p + �1255T + 0.005� e − Btan2z� + δR (2.11)

Keterangan.:

dtrop = Koreksi delay troposfir (m)

p = Tekanan atmosfer (mbar)

e = Tekanan parsial dari uap air (mbar) T = Temperatur (° K)

B dan δR = Koreksi dari fungsi ketinggian pengamat (tabel koreksi) Z = sudut zenit

E = sudut elevasi

D = 0.0026 cos (2z) + 0.00028 h, dimana h = ketinggian pengamat

Untuk formula matematis dari model Hopfield dapat dilihat pada Tabel 2.5. Tabel 2.5 Formula Matematis Model Hopfield (Abidin, 2006).

Bias Troposfer: dtrop = ddry + dwet

Komponen Kering Komponen Basah

ddry = mfd. ddryz ddryz = (10-6/5). Ndry,0 . hd Ndry,0 = (77,64) . (p/T) hd = 40136 + 148,72 (T-273,16) mfd = 1/[sin(E2 + 6,25)0.5] Dwet = mfw. dwetz Dwetz = (10-6/5). Nwet,0 . hw Nwet,0 = - (12,96) . (e/T) + (3,718.105)(e/T2) hw = 11000 m mfw = 1/[sin(E2 + 2,25)0.5]

p = tekanan atmosfer (mbar) T = Temperatur (°K) e = Tekanan parsial dari uap air (mbar) E = sudut elevasi (derajat) mfd dan mwf = mapping function untuk komponen kering dan basah hd dan hw = ketinggian lapisan kering dan basah

Ndry,0 dan Nwet,0 = refraktivitas kering dan basah di permukaan bumi

Bias troposfer sangat mempengaruhi perjalanan sinyal sehingga akan mempengaruhi jarak ukuran yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam

(16)

23 penentuan posisi, terutama komponen tingginya. Dalam konteks penentuan posisi atau survey dengan GPS, ada beberapa cara yang dapat diterapkan untuk mereduksi besarnya efek troposfer, yaitu [Abidin, 2006]:

a. Lakukan differencing hasil pengamatan. b. Perpendek panjang baseline.

c. Usahakan kedua stasiun pengamat berada pada ketinggian serta kondisi meteorologis yang relatif sama.

d. Gunakan model koreksi standar troposfer seperti model Hopfield dan Saastamoinen.

e. Gunakan model koreksi lokal troposfer.

f. Gunakan pengamatan Water Vapour Radiometer (WVR) untuk mengestimasi besarnya komponen basah.

g. Estimasi besarnya parameter bias troposfer, biasanya dalam bentuk zenith scale factor untuk setiap lintasan satelit.

h. Gunakan parameter koreksi yang dikirimkan oleh sistem Wide Area Differential GPS (WADGPS).

4. Kesalahan ephemeris (orbit)

Kesalahan orbit mengakibatkan adanya kesalahan dalam pelaporan posisi satelit GPS dan berakibat pada hasil pengolahan data GPS. Kesalahan ini akan mempengaruhi ketelitian dari koordinat yang ditentukan. Dalam penentuan posisi secara relatif, semakin panjang baseline yang diamati maka efek bias ephemeris satelit akan semakin besar. Efek kesalahan orbit pada panjang vektor baseline dapat dilakukan dengan rumus pendekatan (rule-of-thumb) berikut [Abidin,2006]:

db = �br� . dr (2.12) dimana: dr = besarnya kesalahan orbit

(17)

24 db = besarnya efek kesalahan orbit pada panjang baseline

b = panjang vektor baseline

r = jarak rata-rata pengamat ke satelit (≈20.000km).

Besarnya kesalahan orbit akan tergantung dari jenis orbit yang digunakan. Berikut beberapa jenis informasi serta nilai tipikal kesalahan orbit, Tabel 2.6.

Tabel 2.6 Nilai Tipikal Kesalahan Orbit GPS [IGS 2008]

Ephemeris Ketelitian Latency Update

Almanak beberapa km Real time -

Broadcast (SA off) ≈160 cm Real time -

Ultra Rapid (predicted half) ≈10 cm Real time empat kali sehari Ultra Rapid (observed half) <5cm 3 jam empat kali sehari

Rapid <5cm 17 jam harian

Precise <5cm ≈13 hari mingguan

5. Tinggi antena GPS

Adanya kesalahan pada pengukuran tinggi antena GPS akan mempengaruhi nilai koordinat dalam pengolahan data GPS, terutama dalam hal nilai tinggi. Adanya kesalahan dalam melakukan input tinggi antena akan mengakibatkan adanya offset (pergeseran vertikal) antara tinggi geodetik titik sebenarnya terhadap tinggi geodetik titik yang didapatkan. Akibatnya nilai tinggi geodetik yang dihasilkan tidak sesuai dengan nilai tinggi geodetik titik yang sebenarnya. Kesalahan ini ini dapat dihindari dengan melakukan pengukuran tinggi antena yang teliti oleh surveyor sewaktu pengatamatan GPS dilakukan dan melakukan pemotretan ketika pengukuran tinggi dilakukan sebagai dokumentasi agar tidak terjadi kesalahan dalam memasukkan tinggi antena.

Gambar

Gambar  2.1 Prinsip dasar penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)
Tabel 2.1 Faktor dan parameter yang mempengaruhi ketelitian   penentuan posisi dengan GPS (Abidin, 2007)
Gambar  2.2 Metode penentuan posisi absolut
Gambar  2.3 Hasil dari GPS Precise Point Positioning (PPP), [El-Rabbany,2003]
+5

Referensi

Dokumen terkait

Model pembelajaran CTL ( Contextual Teaching and Learning) adalah model yang melibatkan siswa dalam belajar sehingga siswa dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuan

Setelah berdiri sendiri pada tanggal 10 Februari 2014 Unit Arsip IPB belum pernah dilakukan pengukuran untuk mengetahui tingkat kapabilitas baik dari sumber daya yang

Fokus penelitian yang akan dikaji yaitu bagaimana format pembelajaran metode talking stick yang tepat dalam membelajarkan materi pokok pemahaman puasa dan apakah

Hasil analisis menunjukkan bawah kedua perkuatan yang telah didesain tersebut aman, dengan nilai faktor keamanan (FK) perkuatan lebih besar dari nilai faktor keamanan

Materi ajar yang dipelajari siswa selama pertemuan pelaksanaan pembelajaran yang menggunakan RPP ini adalah: Pengertian konsep, sifat-sifat, pemecahan masalah tentang konsep

Adapun menurut Eddy Herjanto (2008:430) menjelaskan bahwa bagan/peta kendali mutu atau disebut dengan bagan kendali saja (control chart) ialah grafik yang dipergunakan

Klik kanan folder Assets yang ada di dalam tab project kemudian buatlah 5 (lima) folder yang diperlukan untuk project yaitu Audio, Prefab, Scene, Script, Sprite dengan cara

tu, maupun batu lainnya (Sukendar, 1986: 171). Masyarakat Jeneponto, rupanya su- dah sejak lama mengenal susunan batu ya- ng demikian itu. Ada yang dibuat untuk