• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENDAHULUAN Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENDAHULUAN Latar Belakang"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

1

Latar Belakang

Berkembangnya industri pangan dan non-pangan di Indonesia, telah menyebabkan kebutuhan bahan baku dan bahan penolong bagi industri tersebut menjadi hal yang sangat penting. Salah satu bahan baku dan bahan penolong yang banyak digunakan dalam industri pangan dan non-pangan adalah gelatin.

Gelatin merupakan protein hasil hidrolisis kolagen yang merupakan komponen utama protein penyusun jaringan hewan (kulit, tulang dan tendon), yang banyak digunakan untuk berbagai keperluan industri, baik industri pangan maupun non-pangan. Hal ini disebabkan gelatin memiliki sifat yang khas, yaitu dapat berubah secara reversibel dari bentuk sol ke gel, mengembang dalam air dingin, dapat membentuk film, mempengaruhi viskositas suatu bahan, dan dapat melindungi sistem koloid. Pada suhu 71°C gelatin mudah larut dalam air dan membentuk gel pada suhu 49°C. Gelatin memiliki sifat larut air sehingga dapat diaplikasikan untuk keperluan berbagai industri (Fardiaz 1989).

Industri yang paling banyak memanfaatkan gelatin adalah industri pangan. Dalam industri pangan, gelatin digunakan sebagai pembentuk busa (whipping agent), pengikat (binder agent), penstabil (stabilizer), pembentuk gel (gelling agent), perekat (adhesive), peningkat viskositas (viscosity agent), pengemulsi (emulsifier), finning agent, crystal modifier, thickener. Dalam bidang farmasi, gelatin dapat digunakan dalam bahan pembuat kapsul, pengikat tablet dan pastilles, gelatin dressing, gelatin sponge, surgical powder, suppositories, medical research, plasma expander, dan mikroenkapsulasi. Dalam industri fotografi, gelatin digunakan sebagai pengikat bahan peka cahaya. Dalam industri kertas, gelatin digunakan sebagai sizing paper. Beberapa contoh produk yang menggunakan gelatin adalah soft candy, whipping cream, karamel, selai, permen, yoghurt, susu olahan, sosis, hard capsule, soft capsule, pelapis vitamin, tablet, korek api, fotografi, pelapis kertas, pelapis kayu interior dan masih banyak yang lainnya (GMAP 2004).

Kebutuhan gelatin yang semakin meningkat menuntut peningkatan kuantitas maupun mutu produk gelatin tersebut. Sebagian besar kebutuhan gelatin di

(2)

Indonesia bergantung dari gelatin impor yang berasal dari Jepang, Amerika Serikat, Argentina dan Perancis. Bahan baku yang digunakan dalam agroindustri gelatin berasal dari kulit babi, kulit sapi (limbah industri penyamakan kulit) dan tulang. Di Amerika Serikat sumber bahan baku utama agroindustri gelatin adalah kulit babi yang diproses secara asam (GMIA,2006). Oleh karena itu gelatin impor tidak dapat dipastikan mutu dan kehalalannya.

Indonesia saat ini belum mempunyai perusahaan gelatin berskala besar, sehingga kebutuhan gelatin dipenuhi dari impor. Impor gelatin di Indonesia mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Sebagai gambaran pada tahun 2003 impor gelatin adalah 2.145.916 kg selanjutnya tahun 2008 impor gelatin mencapai 3.764.856 kg dengan nilai US$ 15.292.243 (Tabel 6). Secara ekonomis, ketergantungan terhadap impor dapat memberikan berbagai konsekuensi, di antaranya adalah harga gelatin yang relatif mahal serta kontrol mutu produk yang tidak memadai. Untuk itu, pengembangan agroindustri gelatin dalam negeri bukan hanya memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional dan pengendalian mutu kehalalan produk tetapi juga dapat membantu penyerapan tenaga kerja serta memberikan nilai tambah terhadap produk samping dari pemotongan hewan ternak. Selain itu pengembangan agroindustri gelatin juga dapat mengurangi substitusi dan alternatif produk gelatin halal.

Bahan baku pembuatan gelatin adalah kulit babi, kulit sapi, dan tulang. Sebagian besar gelatin diproduksi dengan bahan baku kulit babi yang menempati persentase terbesar di dunia yaitu sebesar 45,80%. Gelatin yang menggunakan kulit sapi sebesar 28,40% dan gelatin dari tulang sebesar 24,20% (GME 2006). Untuk mendapatkan gelatin dengan mutu yang baik dan halal maka bahan baku yang dipilih adalah dari kulit sapi atau tulang. Namun karena ketersedian tulang yang kurang memadai dan rendemen gelatin yang dihasilkannya juga relatif rendah, maka pengembangan gelatin menggunakan bahan baku kulit sapi. Hal ini didasarkan pada potensi bahan baku kulit sapi yang cukup dengan tersedianya industri penyamakan kulit yang besar di Indonesia. Disamping itu dengan menggunakan bahan baku kulit sapi split dapat dilakukan pengembangan agroindustri gelatin yang terintegrasi dengan industri penyamakan kulit untuk mengefisienkan investasi dan kepastian pasokan bahan baku.

(3)

Indonesia mempunyai potensi bahan baku yang cukup melimpah untuk mengembangkan agroindustri gelatin. Populasi sapi potong di Indonesia pada tahun 2009 sebanyak 12.603.160 ekor dengan jumlah pemotongan sapi sebesar 2.043.947 ekor (Statistik Peternakan, 2009). Bobot kulit sapi adalah sekitar 20 kilogram (BPS, 2001), dengan tingkat persentase kulit split sebesar 11,5% dari kulit sapi utuh (Winter 1984), maka kulit sapi split di Indonesia tersedia sebanyak 4.701 ton per tahun. Jumlah sebesar itu mampu mencukupi pemenuhan bahan baku kulit sapi split untuk produksi gelatin. Namun dalam penyediaan bahan baku agroindustri gelatin dari kulit sapi terdapat beberapa kendala untuk mendapat produk bermutu, yaitu adanya variasi mutu pasokan bahan baku kulit sapi, belum adanya proses penanganan pasca panen yang terstandar untuk setiap pemasok bahan baku, belum adanya informasi penelusuran asal usul bahan baku dan adanya beberapa Rumah Pemotongan Hewan (RPH) liar yang belum bersertifikasi mutu, sehingga menyulitkan proses pembuatan sertifikasi mutu produk gelatin terutama aspek kehalalannya.

Konsep halal dapat dipandang dari dua perspektif (Che-Man 2008) yaitu perspektif agama sebagai hukum makanan sehingga konsumen muslim mendapat hak untuk mengkonsumsi makanan sesuai keyakinannya, dan perspektif industri dapat ditelaah sebagai suatu peluang bisnis. Hal ini membawa konsekwensi adanya perlindungan konsumen dan adanya jaminan kehalalan akan meningkatkan nilai produk. Untuk mengantisipasi kendala-kendala tersebut di atas dan dikaitkan dengan mulai berlakunya Undang-Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999 maka sangat penting dibentuk sistem kelembagaan jaminan mutu pasokan bahan baku menetapkan standar, kriteria dan prosedur kegiatan sertifikasi mutu pasokan bahan baku gelatin.

Dalam konteks penyediaan produk yang bermutu halal, terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi yaitu ditinjau dari segi jenis bahan atau zat (materinya), cara penyiapannya dan usaha untuk mendapatkannya (Santoso 2009). Produk gelatin yang dikaji merupakan produk gelatin dari kulit sapi, tetapi produk tersebut tidak dapat langsung dianggap sebagai produk halal tanpa melalui proses penelusuran dan standarisasi halal yang berlaku di Indonesia, walaupun dari asal-usul bahan baku produk tersebut tidak menyalahi persyaratan halal. Untuk

(4)

melakukan penelusuran bahan baku produk gelatin dibutuhkan suatu sistem yang efektif agar memudahkan pihak pengguna dalam mendapatkan informasi asal-muasal bahan baku dan proses penanganan bahan tersebut dalam setiap tahapan proses dari bahan baku mentah sampai ke produk jadi. Sistem penelusuran (traceability system) melibatkan berbagai pihak yang mempunyai kebutuhan dan tujuan yang berbeda dalam proses penyediaan bahan baku gelatin. Oleh karena itu perlu adanya rekayasa sistem kelembagaan yang dapat mengatur dan menjembatani proses penelusuran dan pengadaan bahan baku gelatin sehingga terjamin asal usul bahan baku dan memudahkan pihak industri maupun pihak pengguna gelatin untuk membuat standarisasi mutu seperti standarisasi halal.

Beberapa kajian yang berkaitan dengan sistem penelusuran bahan baku suatu produk makanan untuk menjamin mutu dan keamanan produk telah dilakukan oleh Mousavi dan Sarhadi (2002), Kehagia et al. (2007), Rijswijk dan Frewer (2008) dan Starbird et al. (2008). Penelitian model kelembagaan agroindustri telah dilakukan oleh Didu (2000) yang mengkaji kelembagaan perkebunan inti-plasma dalam agroindustri kelapa sawit, Adiarni (2007) yang mengkaji kelembagaan jaringan pemasok agroindustri jamu, sedangkan penelitian yang berkaitan dengan sistem kontrak dan hubungan pemasok dengan pembeli yang berkaitan dengan jaminan mutu produk telah dilakukan oleh Rabade dan Alfaro (2006) dan Starbird dan Amanor-Boadu (2007). Tetapi kajian mengenai sistem kelembagaan proses penelusuran penyediaan bahan baku produk gelatin untuk menjamin mutu dengan standarisasi halal belum dilakukan.

Kebaruan dari penelitian ini adalah tersedianya model kelembagaan jaminan mutu pasokan bahan baku gelatin dari kulit sapi split yang dapat digunakan untuk mempermudah proses pengurusan sertifikasi halal dan penelusuran mutu bahan baku. Selain itu kebaruan dari penelitian ini dapat dilihat dari aplikasi sistem kelembagaan dalam pengembangan agroindustri gelatin yang dapat diintegrasikan dengan industri penyamakan kulit, sehingga proses investasinya menjadi lebih efisien.

Penelitian ini juga berusaha menjawab beberapa permasalahan yang berkaitan dengan pengembangan agroindustri gelatin, terutama dalam kaitan dengan proses jaminan mutu produk yang memenuhi standarisasi halal yaitu:

(5)

(1) model kelembagaan pasokan bahan baku agroindustri gelatin yang menjamin mutu produk dengan kepastian asal-usul bahan baku dan proses produksinya (2) model kerangka implementasi kelembagaan pasokan bahan baku agroindustri gelatin yang efisien, (3) strategi pengembangan agroindustri gelatin yang menjamin mutu produk dan (4) kelayakan ekonomi dan finansial pendirian agroindustri gelatin yang dapat tumbuh dan berkembang sebagai substitusi impor. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memudahkan proses pembuatan standarisasi jaminan mutu dan kehalalan produk gelatin yang dapat digunakan oleh konsumen

Tujuan Penelitian

Secara umum tujuan penelitian ini adalah untuk menghasilkan model kelembagaan jaminan mutu dan penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin yang tepat berdasarkan berbagai kriteria dan penilaian dari pakar, sedangkan secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

1. Menghasilkan peta jaringan pasokan kulit sapi pada industri penyamakan kulit untuk pengembangan agroindustri gelatin.

2. Menghasilkan sistem kelembagaan penyediaan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin mutu produk dengan konsep kepastian asal-usul bahan baku dan proses produksinya serta model kelembagaan untuk mengimplementasikannya.

3. Menghasilkan strategi pengembangan sistem kelembagaan jaminan mutu pasokan bahan baku agroindustri gelatin dengan kinerja yang efisien.

4. Menghasilkan hasil analisis tekno-ekonomi agroindustri gelatin untuk memberikan gambaran tentang kelayakan pendirian pabrik gelatin sebagai diversifikasi produk pada industri penyamakan kulit dengan memanfaatkan limbah kulit split sebagai bahan baku.

Manfaat Penelitian

Model kelembagaan yang dihasilkan dalam penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para pengambil keputusan untuk menyusun kebijakan pengembangan agroindustri gelatin sehingga memudahkan dalam pengurusan sertifikasi mutu. Disamping itu model kelembagaan dan sistem penelusuran

(6)

pasokan tersebut akan menjamin kepastian asal-usul bahan baku sehingga mutu produk halal yang dihasilkan dapat meningkatkan nilai jual produk gelatin karena kepastian asal-muasal bahan. Adanya sistem yang terbangun akan memudahkan pihak manajemen untuk membuat perencanaan dan pengembangan industri lebih lanjut karena jaminan asal usul bahan baku dan keterkaitan usaha yang pasti dengan pemasoknya. Dengan terciptanya strategi pengembangan agroindustri gelatin yang terintegrasi dengan industri penyamakan kulit, maka akan diperoleh strategi alternatif yang dapat digunakan oleh investor dalam melakukan pilihan investasi dan diversifikasi usaha penyamakan kulit.

Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini difokuskan untuk merancang model kelembagaan dan sistem penelusuran pasokan bahan baku agroindustri gelatin untuk menjamin asal-usul bahan baku ditinjau dari proses pengadaannya dan proses produksinya di beberapa tempat pemotongan hewan sebagai penyedia kulit yang terdapat di Jabodetabek, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Model kelembagaan yang dikaji terbatas pada bagaimana memastikan asal usul bahan baku diproses dengan baik oleh pemasok dan keterkaitan antara pemasok dengan agroindustri gelatin sehingga mutu dan jaminan ketersediaan bahan baku terjaga. Agroindustri gelatin yang digunakan sebagai obyek studi dalam penelitian ini adalah PT. Muhara Dwi Tunggal Laju Tannery yang merupakan industri penyamakan kulit yang saat ini sedang mengembangkan produk diversifikasi untuk mengolah kulit split menjadi gelatin. Disamping itu juga dilibatkan beberapa orang pakar dalam bidang jaminan mutu produk dari akademisi dan praktisi standarisasi mutu. Studi ini menekankan pada model kelembagaan bagi pemasok bahan baku sehingga terjamin kontinuitas pasokan bahan baku kulit sapi ke agroindustri gelatin. Dengan dukungan model kelembagaan jaminan mutu pasokan bahan baku, kemudian disusun suatu studi kelayakan pengembangan agroindustri gelatin dari kulit sapi split yang diintegrasikan dengan industri penyamakan kulit, sehingga diperoleh suatu alternatif strategi pengembangan agroindustri gelatin.

Referensi

Dokumen terkait

Namun tidak semua rencana program berjalan dengan lancar, dalam program Tahfizh ini ada beberapa permasalahan, diantaranya banyaknya siswa yang mengikuti program Tahfizh namun

Hasil uji Fisher menunjukkan bahwa variabel kelompok pola grinding oklusal sleep bruxism pada sisi mediotrusive mempunyai hubungan yang bermakna dengan tingkat

PANITIKAN: “Walang Sugat” ni Severino Reyes WIKA/GRAMATIKA: Kaantasan ng Pang-uri SANGGUNIAN: K12 TEACHING GUIDE pp. KAGAMITAN: sipi ng magiging proyekto URI

Hukum Konstitusi, sebagai ilmu, adalah Hukum cabang atau spesialisasi Hukum Tata Negara yang mempelajari konstitusi sebagai obyek material dan hukum dasar sebagai

Aplikasi Microsoft Visual Basic 6.0 dalam Pembuatan Basis Data Sistem Penjualan di Swalayan Gloria, Tugas Akhir, Jurusan Ilmu komputer FMIPA Univesitas Sumatera

a) Mengembangkan sistem keterkaitan antara sarana dan prasarana kawasan yang menunjang pertumbuhan ekonomi dan pergerakan sosial masyarakat. Sistem keterkaitan sarana

Berdasarkan hasil analisis leverage diperoleh 7 atribut yang sensitif terhadap nilai indeks keberlanjutan dimensi ekologi, yaitu: (1) ketersediaan instalasi pengelolaan limbah

Luasnya pengembangan perkebunan kelapa sawit dengan target area 676.337 ha dan sudah ada 14 pabrik yang beroperasi menghasilkan limbah yang bisa dimanfaatkan sebagai pakan ternak