• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEMIOTIKA ALQURAN YANG MEMBEBASKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEMIOTIKA ALQURAN YANG MEMBEBASKAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

SEMIOTIKA ALQURAN

YANG MEMBEBASKAN

(2)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

Semiotika Alquran

yang Membebaskan

T

afsir klasik konvensional

seringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung

kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut

model tafsir yang seragam.

Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.

(3)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis. Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan

kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan

(4)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.

Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan

tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.

Pendekatan hermeneutika

dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai

(5)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut.

Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya

***

Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan

(6)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya

Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an

sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami

selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.

Pendekatan strukturalisme

melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di

(7)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?

Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak

(8)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang

pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang

ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya. Jacques Derrida, seorang

filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang

berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat

natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami

(9)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding”

(keragaman pemahaman) pada saat yang sama.

Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang

memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan

mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang

selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada

(10)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

teks. Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagaman

pemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.

***

Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti

ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru.

(11)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).

Eco menunjukkan adanya

perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu

menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”— hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan

kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan

keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.

(12)

P

er

p us

t a

D

e

m

oc

ra c

y

Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.

Begitu pula dengan tafsir.

Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan

menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan

al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka,

inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung. []

(13)

k a a n

D

ig

it

a

l

P roje

ct

© 2012

Kolom ini diterbitkan oleh Democracy Project,

Yayasan Abad Demokrasi. Untuk berlangganan, kunjungi www.abad-demokrasi.com Kode kolom: 046K-MDF001

Referensi

Dokumen terkait

Oleh demikian adalah penting untuk memastikan bahawa keusahawanan diserapkan ke dalam pendidikan vokasional dan budaya keusahawanan dipupuk melalui sistem pendidikan teknik

[r]

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak etanol kulit akar Clerodendron serratum yang diberikan dosis tunggal terhadap gambaran

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kejadian gangguan fungsi paru akibat paparan debu, umur, masa kerja, status gizi, lama kerja, kebiasaan merokok,

Dapat disimpulkan bahwa risiko likuiditas, risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap CAR pada Bank

Hasil penelitian menunjukan bahwa peran pendidikan agama Islam dalam membentuk karakter religius peserta didik di SMPIT Harapan Ummat Purbalingga, peranannya begitu kuat

menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Team Games Tournament (TGT) dan Rotating Trio Exchange (RTE) pada siswa kelas VIII MTsN 5 Tulungagung. Manakah yang lebih

beberapa jenis tanaman, kandungan isoflavon yang lebih tinggi terdapat pada.. tanaman Leguminoceae, khususnya pada tanaman kedelai