k a a n
D
ig
it
a
l
P roje
ct
SEMIOTIKA ALQURAN
YANG MEMBEBASKAN
P
er
p us
t a
D
e
m
oc
ra c
y
Semiotika Alquran
yang Membebaskan
T
afsir klasik konvensionalseringkali dinilai hegemonik, mendominasi, anti-konteks, status-quois, mengkungkung
kebebasan, dan bahkan menindas. Dengan tujuan untuk mencapai pemaknaan tunggal yang dianggap benar, para ulama menuntut
model tafsir yang seragam.
Akibatnya, tafsir menjadi asosial, ahumanis, terpusat pada teks, dan mengabaikan unsur-unsur di luar teks.
k a a n
D
ig
it
a
l
P roje
ct
ranah kajian tafsir kontemporer menuntut adanya suatu model tafsir yang membebaskan. Tafsir yang tidak hanya didominasi oleh sebagian golongan tertentu, tetapi juga menampung aspirasi dan pendapat kelompok-kelompok yang selama ini tersubordinatkan. Ini dapat dilihat dari semakin maraknya kemunculan tafsir-tafsir yang menggunakan beragam pendekatan baru dengan bertujuan menggoyang kemapanan tafsir konvensional, seperti hermeneutika, pendekatan feminisme, teologi pembebasan, pendekatan sastra, pendekatan kontekstual, dan posmodernis. Dengan pertimbangan bahwa al-Quran, yang terdiri dari rangkaian huruf-huruf arab serta tersusun dalam untaian kata-kata dan
kalimat, merupakan media tempat carut- marutnya tanda-tanda, maka salah satu pendekatan yang agaknya menarik dan relevan
P
er
p us
t a
D
e
m
oc
ra c
y
digunakan sebagai metodologi tafsir adalah pendekatan semiotika yang mengkaji bagaimana cara kerja dan fungsi tanda-tanda dalam teks al-Quran.
Semiotika sebagai sebuah disiplin tentang tanda, cara berfungsinya, hubungannya dengan
tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya, dapat digunakan untuk memahami tanda-tanda yang terdapat dalam al-Quran. Semiotika berbeda dengan hermeneutika—ilmu tentang kebenaran makna atau makna-makna tersembunyi di balik teks-teks yang secara literer tampak tidak memuaskan atau dianggap superfisial.
Pendekatan hermeneutika
dalam tafsir al-Quran menuntut tiga fokus utama yang selalu dipertimbangkan, yaitu: dunia teks, pengarang, dan pembaca. Hermeneutika berbicara mengenai
k a a n
D
ig
it
a
l
P roje
ct
hampir semua hal yang berkaitan dengan ketiga hal tersebut.
Sedangkan semiotika membahas sesuatu yang lebih spesifik. Jika hermeneutika memberikan fokus cukup luas yang mencakup teks, pembacaan, pemahaman, tujuan penulisan, konteks, situasi historis, dan kondisi psikologis pembaca maupun pengarang teks. Maka, semiotika mempersempit wilayah kajian tersebut dengan hanya memberikan fokus pembahasan hanya tentang tanda, fungsi, dan cara kerjanya
***
Tokoh utama peletak dasar semiotika modern adalah Ferdinand de Saussure (1857-1913), seorang pengajar linguistik umum di Universitas Jenewa pada 1906. Dalam kumpulan catatan-catatan kuliahnya, Cours de Linguistique Général (1916), Saussure memperkenalkan
P
er
p us
t a
D
e
m
oc
ra c
y
ilmu analisis tanda atau studi tentang bagaimana sistem penandaan berfungsi dan cara kerjanya
Pada perkembangan selanjutnya, semiologi ala Saussure melahirkan lingkaran intelektual yang sangat berpengaruh antara 1950-an
sampai 1960-an. Mazhab tersebut disebut strukturalisme. Tesis utama strukturalis ialah bahwa alam dunia dapat dipahami
selama kita mampu mengungkap adanya struktur yang menjamin keteraturan, atau pola sistematika benda, kejadian, kata-kata, dan fenomena.
Pendekatan strukturalisme
melahirkan karya-karya tafsir yang tentu saja menuntut pemaknaan tunggal. Ayat-ayat al-Quran hanya dapat diungkap oleh satu macam arti. Alasannya adalah karena memang terdapat sistem yang mapan di balik tanda-tanda al-Quran. Hubungan antara teks di
k a a n
D
ig
it
a
l
P roje
ct
dunia nyata dengan maknanya di dunia ide adalah baku dan tidak dapat diganggu gugat. Teks al-Quran sebagai penanda telah dikaitkan dengan apa yang disebut Jacques Lacan sebagai points de capiton, kancing pengait. Tentu saja pertanyaan yang muncul kemudian adalah: siapakah yang mempunyai hak untuk menetapkan point de capiton tersebut? Dan siapa pula yang menegaskan kebakuan hubungan antara teks al-Quran dengan maknanya?
Semiotika post-strukturalis datang dengan konsep yang berkebalikan dari gagasan strukturalisme. Post-strukturalisme mengganggap petanda yang merupakan pusat dari struktur selalu bergeser terus-menerus. Dengan demikian, tak ada yang disebut dengan pusat dan tak ada asal usul yang pasti. Semuanya akan menuju ke suatu permainan petanda yang tak
P
er
p us
t a
D
e
m
oc
ra c
y
terbatas, karena penanda tidak mempunyai hubungan yang
pasti dengan petanda. Hubungan penanda-petanda adalah arbriter. Menurut Roland Barthes, petanda selalu mempunyai banyak arti (plus de sens). Tak ada hubungan intern antara konsep yang
ditunjukkan dengan bunyi yang menunjukkannya, sehingga tak ada petanda yang pasti bagi penanda. Penanda bersifat polisemi, bermakna ganda, dan petanda dapat bergeser terus menerus dari penandanya. Jacques Derrida, seorang
filosof aliran post-strukturalis, menyebutkan bahwa tak ada perbedaan eksistensial di antara berbagai jenis literatur yang
berlainan. Semua naskah memiliki ambiguitas fundamental yang merupakan akibat dari sifat
natural bahasa itu sendiri. Begitu juga dengan al-Quran. Derrida bersikukuh bahwa ada banyak cara untuk membaca dan memahami
k a a n
D
ig
it
a
l
P roje
ct
teks. Makna teks tidak lagi sama dengan apa yang dikehendaki oleh si pengarang. Yang tercatat dalam naskah bisa menimbulkan “multiple- understanding”
(keragaman pemahaman) pada saat yang sama.
Keinginan Derrida adalah membebaskan naskah. Naskah harus dibebaskan dari usaha pemaknaan tunggal resmi yang mungkin dikonstruk oleh budaya hegemonik atau oleh struktur-struktur kelembagaan formal yang menegaskan bentuk-bentuk wacana diskursif. Untuk tujuan tersebut, Derrida memperkenalkan konsep “dekonstruksi” yang
memiliki tugas membebaskan naskah, mengembangkan dan mengungkap ambiguitas terpendam, menunjukkan kontradiksi internal, dan
mengidentifikasi kelemahannya. Hal ini adalah kondisi yang
selalu mungkin (condition of possibilities) yang terdapat pada
P
er
p us
t a
D
e
m
oc
ra c
y
teks. Condition of possibilities merupakan kata kunci untuk memahami naskah al-Quran. Pada dasarnya, apakah yang sebenarnya berlaku dalam tafsir? Adakah struktur dibalik teks atau tidak. Jika memang teks dibangun di atas seperangkat sistem yang teratur, mengapa kemudian lumrah terjadi keberagamanpemahaman. Bahkan para sahabat pun kerapkali berselisih paham mengenai persoalan-persoalan keagamaan, terutama tafsir al-Quran.
***
Berkaitan dengan condition of possibilities teks yang berpotensi menimbulkan multi-pemahaman, Umberto Eco menyarankan agar bahasa diperlakukan seperti
ensiklopedia yang selalu dinamis, terbuka, dan memungkinkan masuknya entry-entry baru.
k a a n
D
ig
it
a
l
P roje
ct
Tidak seperti kamus yang mirip “pohon porphyri” (model definisi, terstruktur melalu genre, spesies, dan pembeda).
Eco menunjukkan adanya
perbedaan antara struktur kamus dan struktur ensiklopedia. Dalam linguistik konvensional, bahasa merupakan sebuah sistem yang statis dan tertutup. Model kamus pada bahasa tidak mampu
menangani, meminjam istilah Peirce, “semiosis tak terbatas”— hasil dari fakta bahwa tanda dalam bahasa terkait dengan tanda-tanda lain, dan suatu naskah selalu menawarkan
kesempatan penafsiran yang tak terhingga banyaknya. Sebaliknya, ensiklopedia akan sesuai dengan suatu jaringan tanpa pusat yang darinya tidak terdapat jalan
keluar, atau jalan ke suatu model tak berhingga yang memberi kesempatan bagi unsur-unsur baru.
P
er
p us
t a
D
e
m
oc
ra c
y
Agar bisa berfungsi dengan baik sebagai jaringan kata-kata yang memberikan kesempatan munculnya makna-makna baru, maka bahasa harus menjadi sistem dinamis yang terbuka dan mirip dengan ensiklopedia.
Begitu pula dengan tafsir.
Pemaknaan ayat-ayat al-Quran yang disusun seperti struktur kamus sudah pasti akan
menghasilkan sebuah sistem yang eksklusif, bersifat hegemonik, dan status-quois. Maka, alangkah baiknya jika pemaknaan
al-Quran dilandasi oleh semangat ensiklopedia yang terbuka,
inklusif, dinamis, dan memberikan kesempatan bagi pembebasan, baik pembebasan bagi makna itu sendiri maupun bagi masyarakat yang merasakan dampak positifnya secara langsung. []
k a a n
D
ig
it
a
l
P roje
ct
© 2012Kolom ini diterbitkan oleh Democracy Project,
Yayasan Abad Demokrasi. Untuk berlangganan, kunjungi www.abad-demokrasi.com Kode kolom: 046K-MDF001