• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KARAKTERISTIK BAHAN BAKU"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

4

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

KARAKTERISTIK BAHAN BAKU

2.1.1 Karakteristik Bagas

Ampas tebu atau disebut dengan bagas (Gambar 1) merupakan hasil samping dari proses ekstraksi (pemerahan) tebu di stasiun pengilingan. Bagas berupa serpihan lembut serabut batang tebu yang sudah hancur dan merupakan limbah padat yang paling besar dihasilkan dari proses pembuatan gula. Bagas ini juga merupakan salah satu hasil samping (by product) dari penggilingan tebu yang berupa limbah termanfaatkan. Limbah padat pabrik gula (PG) berpotensi besar sebagai sumber bahan organik yang berguna untuk kesuburan tanah. Menurut Kurniawan dan Hutasoit (1998), ampas tebu (bagas) adalah limbah padat industri gula tebu terdiri dari selulosa, pentosan dan lignin. Komposisi ketiga komponen bisa bervariasi pada varietas tebu yang berbeda.

Potensi bagas di Indonesia menurut Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI) tahun 2008, cukup besar dengan komposisi rata-rata hasil samping industri gula di Indonesia terdiri dari limbah cair 52,9 %; blotong 3,5 %; ampas (bagas) 32,0 %; tetes 4,5 %; dan gula 7,05 % serta abu 0,1 % (Budiono 2008). Diperkirakan setiap hektar tanaman tebu, setelah dilakukan pengolahan menjadi gula, menghasilkan bagas sebanyak 100 ton. Maka potensi bagas nasional yang dihasilkan industri pengolahan tebu dilihat dari total luas tanaman tebu mencapai 39,539,944 ton per tahun (Fauzi 2005).

Menurut Lavarack et al. (2002) bagas merupakan hasil samping proses pembuatan gula tebu (sugarcane) mengandung residu berupa serat, minimal 50% serat bagas diperlukan sebagai bahan bakar boiler, sedangkan 50% sisanya hanya ditimbun sebagai buangan yang memiliki nilai ekonomi rendah. Penimbunan bagas dalam kurun waktu tertentu akan menimbulkan permasalahan bagi pabrik. Mengingat bahan ini berpotensi mudah terbakar, mengotori lingkungan sekitar, dan menyita lahan yang cukup luas untuk penyimpanannya. Menurut Unus (2002), bagas tebu semula banyak dimanfaatkan oleh pabrik kertas, namun karena tuntutan dari kualitas kertas dan sudah banyak tersedia bahan baku kertas lain yang lebih berkualitas, sehingga pabrik kertas mulai jarang menggunakannya.

Menurut Budiono (2008), ampas (bagas) tebu mengandung 52,67% kadar air; 55,89% C-organik; 0,25%N-total; 0,16%P2O5;dan 0,38% K2O. Analisis terhadap unsur makro dan unsur mikro

bagas menurut Meunchang et al (2004) ditunjukan pada Tabel 1. Gambar 1. Bagas

(2)

5

Tabel 1. Komposisi kimia bagas

Parameter Satuan Hasil

Bahan organik % 71 ± 5 pH - 4,1 ± 0,1 C/N rasio - 100 ± 0,5 Total – N % 0,36 ± 0,03 Total – P % 0,03 ± 0,1 Total – K % 0,15 ± 0,1 Total – Ca % 0,08 ± 0,1 Total – Mg % 0,62 ± 0,1 Besi (Fe) mg/kg 273 ± 0,3 Zinc (Zn) mg/kg 10,4 ± 0,2 Mangan (Mn) mg/kg 43,0 ± 0,1 Tembaga (Cu) mg/kg 2,1 ± 0,1 Sumber : Meunchang et al. (2004)

2.1.2 Karakteristik Blotong

Blotong atau filter cake adalah endapan dari nira kotor pada proses pemurnian nira yang di saring di rotary vacuum filter. Blotong berupa endapan semi basah berwarna hitam berbentuk fisik seperti tanah. Komposisi blotong antara lain sabut, lilin dan lemak kasar, protein kasar, gula, total abu, SiO2, CaO, P2O5 , dan MgO, Selain kandungan bahan organik, blotong juga kaya dengan unsur

Ca (4-8 %), K (1,2-3,2 %) serta P (1,5-3,4 %). Komposisi blotong yang dihasilkan dari satu PG dengan PG lainnya berbeda-beda, bergantung dengan pola produksi dan asal tebu. Analisis terhadap unsur makro dan unsur mikro blotong menurut Meunchang et al (2004) ditunjukan pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi kimia blotong

Parameter Satuan Hasil

Bahan organik % 48 ± 3 pH - 7,7 ± 0,1 C/N rasio - 14 ± 1 Total - N % 1,8 ± 0,02 Total - P % 0,96 ± 0,3 Total - K % 0,39 ± 0,2 Total - Ca % 7,1 ± 0,1 Total - Mg % 0,40 ± 0,3 Besi (Fe) mg/kg 803 ± 14 Zinc (Zn) mg/kg 51,0 ± 1,7 Mangan (Mn) mg/kg 257 ± 9,6 Tembaga (Cu) mg/kg 1,9 ± 0,1 Sumber : Meunchang et al. (2004)

Blotong merupakan limbah yang bermasalah bagi pabrik gula dan masyarakat karena blotong yang basah menimbulkan bau busuk. Oleh karena itu apabila blotong dapat dimanfaatkan akan mengurangi pencemaran lingkungan. Umumnya blotong dimanfaatkan sebagai pupuk organik yang

(3)

6

digunakan untuk pupuk produksi tebu di wilayah tanam para petani tebu. Pupuk blotong dapat memperbaiki sifat fisik tanah, khususnya meningkatkan kapasitas menahan air, menurunkan laju pencucian hara dan memperbaiki drainase tanah. Pengolahan blotong menjadi pupuk organik tidak rumit yaitu dengan membiarkan blotong di areal terbukaselama beberapa minggu atau bulan, hal ini digunakan untuk mengurangi temperatur dan kandungan nitogen yang berlebihan pada blotong. Selain dimanfaatkan sebagai pupuk organik, blotong juga dapat dimanfaatkan sebagai briket ataupun pakan ternak.

2.2.

TEKNOLOGI PENGOMPOSAN

2.2.1 Pengomposan

Limbah padat pada industri gula mengandung banyak bahan organik dan sedikit bahan anorganik. Penanganan yang cocok untuk limbah padat adalah dengan pengomposan. Pengomposan

(composting) didefinisikan sebagai dekomposisi biologi dan stabilisasi dari bahan organik pada suhu

yang tinggi sebagai hasil produksi panas secara biologis, dengan hasil akhir berupa produk yang cukup stabil dalam bentuk padatan (agregat) komplek, dan apabila diberikan pada lahan tidak menimbulkan efek yang merugikan terhadap lingkungan (Haug 1980). Membuat kompos adalah mengatur dan mengontrol proses alami tersebut agar kompos dapat terbentuk lebih cepat. Proses ini meliputi membuat campuran bahan yang seimbang, pemberian air yang cukup, mengaturan aerasi, dan penambahan aktivator pengomposan. Kompos sendiri menurut Indrasti (2001) merupakan bahan yang dihasilkan dari proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme yang berguna bagi tanah seperti memperbaiki sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, sehingga produksi tanah pertanian menjadi tinggi.

Menurut Herdiyantoro (2010) dekomposisi atau pengomposan pada prinsipnya adalah proses biologi untuk menguraikan bahan organik menjadi humus oleh mikroorganisme menggunakan komponen residu sisa tanaman sebagai substrat untuk memperoleh energi yang dibentuk melalui oksigen senyawa organik dengan produk utama CO2 (lepas ke alam) dan

karbon (untuk sintesis sel baru). Kompos merupakan bahan yang dihasilkan dari proses degradasi bahan organik oleh mikroorganisme yang berguna bagi tanah seperti memperbaiki sifat kimia, fisika, dan biologi tanah, sehingga produksi tanah pertanian menjadi tinggi. Penguraian pada pengomposan dilakukan secara biologis oleh mikroba-mikroba dalam temperatur termofilik (tinggi), dimana mikroba memanfaatkan bahan organik sebagai sumber energi. Pengomposan memberikan efek yang baik bagi lingkungan dan ramah lingkungan (Indriani 1999). Menurut Murbandono (1983) dan Indriani (1999) menyatakan bahwa dalam proses pengomposan terjadi proses perubahan yaitu :

1. Karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak, dan lilin menjadi CO2 dan air

2. Protein, melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak, CO2, dan air

3. Peningkatan beberapa unsur hara di dalam tubuh mikroorganisme terutama nitrogen (N) disamping P, K, dan unsur lainnya yang terlepas kembali ketika mikroorganisme tersebut mati

4. Penguraian senyawa organik menjadi senyawa yang dapat diserap tanah.

Proses dekomposisi bahan organik menurut Setyorini (2006) terjadi secara biofisiko – kimia melibatkan kegiatan biologis mikroba dan mesofauna. Secara lebih rinci, proses dekomposisi tiap unsur organik yang terjadi selama pengomposan menurut Gaur (1983) seperti reaksi di bawah ini :

Gula [CH2O)x] x CO2 + H2O + energi

Protein [N-organik] NH4+ NH2- NO3- + energi

(4)

7

Fosfor organik H3PO4 Ca(H2PO4)2

Secara umum, proses dekomposisi biokimiawi secara aerobik dan anaerobik dapat dilihat pada reaksi sebagai berikut.

Secara aerobik :

Bahan organik + O2 H2O + CO2 + hara +humus + enersi

Secara anaerobik :

Bahan organik CH4 + hara +humus

Proses pengomposan berlangsung setelah bahan-bahan mentah dicampur. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap-tahap awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Demikian pula diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga di atas 50-70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu dan mikroba yang

aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada kondisi ini terjadi dekomposisi atau penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air,

dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume (bobot) awal bahan. Proses pengomposan dapat terjadi secara aerobik (menggunakan oksigen) atau anaerobik (tidak ada oksigen). Proses yang dijelaskan sebelumnya adalah proses aerobik, dimana mikroba menggunakan oksigen dalam proses dekomposisi bahan organik. Proses dekomposisi dapat juga terjadi tanpa menggunakan oksigen yang disebut proses anaerobik. Namun, proses ini tidak diinginkan selama proses pengomposan karena akan dihasilkan bau yang tidak sedap. Proses anaerobik akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap, seperti pada asam-asam organik (asam asetat, asam butirat, asam valerat,

puttrecine), amonia, dan H2S (Isroi 2007).

Menurut Herdiyantoro (2010), pada dasarnya proses pengomposan terdiri dari tiga tahapan dimana perubahan dari tiap tahapan tersebut ditandai dengan perubahan suhu. Tahapan tersebut yaitu :

1. Moesofilik

Merupakan tahap awal dan memiliki suhu proses naik di sekitar 40oC karena adanya

bakteri dan fungi pembentuk asam 2. Termofilik

Proses degradasi dan stabilisasi akan berlangsung secara maksimal (bakteri termofilik, aktinomisetes dan fungi termofilik)

3. Pendinginan

Pada fase ini terjadi penurunan aktivitas mikroba dan pergantian jenis mikroba dari mikroba termofilik ke mikroba mesofilik. Sel mikroba yang mati akan menjadi sumber substrat bagi mikroba yang hidup. Dinding sel fungi terdiri atas selulosa, kitin, dan chitosan. Dinding sel bakteri terdiri atas N-acetylglucosamin dan N-acetylmuramic yang terkandung dalam peptidoglikan yang merupakan substrat yang baik bagi mikroba lain. Mikroorganisme yang banyak digunakan dalam proses pengomposan adalah kapang, bakteri, dan actinomycetes. Kapang dan actinomycetes berperan dalam menguraikan senyawa-senyawa organik kompleks dan selulosa bahan organic dan fungsi bakteri akan mengurai senyawa golongan

Mikroba aerob N, P, K Mikroba anaerob

(5)

8

protein, lipid, dan lemak pada kondisi termofilik serta menghasilkan energi panas. (Metcalf dan Eddy,1991). Proses pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk yang tidak mengganggu baik selama penyimpanan maupun aplikasinya, seperti bau busuk, bakteri patogen. Selama proses pengomposan temperatur akan mencapai range pasteurization dari 50-70oC, sehingga bakteri patogen

dari sludge (jika dihsilkan dari pengolahan limbah domestik atau municipal) akan mati (Metcalf dan Eddy 1991).

2.2.2 Faktor Pengomposan

Dalam proses pendegradasian bahan organik pada proses pengomposan dibutuhkan kondisi yang sesuai. Apabila kondisinya sesuai maka organisme dekomposer akan dapat bekerja secara maksimal dalam menguraikan atau mengubah bahan organik tersebut. Namun apabila kondisinya tidak sesuai maka proses pendekomposisian bahan organik akan terhambat. Keberhasilan proses pendekomposisian itu dapat berhasil apabila faktor-faktor berikut terpenuhi :

1. Perbandingan nilai C dan N (C/N)

Nilai C/N merupakan faktor yang paling penting dalam proses pengomposan. Hal ini disebabkan dalam proses pengomposan, mikroba membutuhkan karbon sebagai sebagai sumber energi dan nitrogen sebagai zat pembentuk sel mikroorganisme. Akan tetapi jumlah nilai C/N ini tidak boleh terlalu tinggi atau terlalu rendah. Nilai C/N yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi akan menghambat proses dekomposisi. Menurut Isroi (2008) bahwa nilai C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30 - 40. Mikroorganisme akan memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 - 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein.

Apabila nilai C/N terlalu tinggi atau kandungan unsur N yang terlalu rendah maka proses pengomposan akan berlangsung menjadi lambat. Hal ini disebabkan mikroba kekurangan N yang berfungsi untuk sintesis protein. Apabila kandungan nilai C/N pada kompos terlalu rendah dapat menyebabkan terbentuknya amoniak pada kompos yang berujung pada hilangnya sebagian nitrogen ke udara dan menyebabkan bau tidak sedap.

Indrasti (2004) menambahkan bahwa mikroorganisme pendegradasi bahan organik membutuhkan zat arang (C) sebagai sumber tenaganya. Selain itu membutuhkan zat lemas (N) sebagai sumber makanan dan nutrisi untuk pertumbuhan. Kadar unsur tersebut harus tersedia dalam bahan baku dan jumlah yang sesuai. Jumlah optimal C dan N yang dibutuhkan mikroorganisme bervariasi sesuai dengan jenis substrat dan organisme yang ada. Biasanya satu bagian N dengan 15-30 bagian C. Jika nilai C/N di bawah 15, nitrogen akan hilang oleh proses amonifikasi yang ditandai dengan adanya bau amonia. Reaksi pembakaran C dan O pada mikroorganisme akan menghasilkan panas dan karbon dioksida yang dilepas dalam bentuk gas, sedangkan N yang terurai akan ditangkap oleh mikroorganisme. Pada saat mikroorganisme tersebut mati, maka unsur N tersebut akan tetap tinggal dalam kompos dan akan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman.

Indrasti (2004) menambahkan bahwa mikroorganisme pendegradasi bahan organik membutuhkan zat arang (C) sebagai sumber tenaganya. Selain itu membutuhkan zat lemas (N) sebagai sumber makanan dan nutrisi untuk pertumbuhan. Kadar unsur tersebut harus tersedia dalam bahan baku dan jumlah yang sesuai. Jumlah optimal C dan N yang dibutuhkan mikroorganisme bervariasi sesuai dengan jenis substrat dan organisme yang ada. Biasanya satu bagian N dengan 15-30 bagian C. Jika nilai C/N di bawah 15, nitrogen akan hilang oleh proses amonifikasi yang ditandai dengan adanya bau amonia. Reaksi pembakaran C dan O pada mikroorganisme akan menghasilkan panas dan karbon dioksida yang dilepas dalam bentuk gas, sedangkan N yang terurai akan ditangkap oleh

(6)

9

mikroorganisme. Pada saat mikroorganisme tersebut mati, maka unsur N tersebut akan tetap tinggal dalam kompos dan akan menjadi sumber nutrisi bagi tanaman. Adapun skema siklus nitrogen pada proses dekomposisi bahan pada proses co-composting dapat dilihat pada Gambar 2.

2. Aerasi

Pada proses pengomposan secara aerob, oksigen merupakan hal yang paling dibutuhkan oleh bakteri pengurai untuk hidup dan beraktivitas. Aerasi secara alami akan terjadi saat terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Apabila aerasi terhambat akan menyebabkan munculnya proses anaerob oleh bakteri anaerob sehingga terjadi keasaman dan pembusukan tumpukan sehingga menimbulkan bau tidak sedap dari hidrogen sulfida. Proses aerasi dapat ditingkatkan dengan cara pembalikan atau pengaliran udara ke dalam tumpukan kompos.

Menurut Dalzell et al. (1987) menyatakan bahwa dalam proses pengomposan diperlukan udara yang cukup ke semua bagian tumpukan untuk memasok oksigen pada mikroorganisme dan mengeluarkan karbondioksida yang dihasilkan. Aerasi dilakukan dengan beberapa cara yang berbeda tergantung dari sistem pengomposan yang digunakan, yaitu sistem pengadukan (agitation) di dalam wadah (windrow), tumpukan tetap yang teraerasi (force aeration), dan kombinasi pengadukan dengan tenaga misalnya aerated/agitated by system. Melalui ketiga sistem aerasi tersebut kebutuhan udara dalam sistem akan terpenuhi. Pereira-Neto et al. (1991) menyatakan bahwa forced aeration adalah proses aerasi atau suplai oksigen ke dalam tumpukan kompos melalui udara yag ditekan ke dalam sistem. Sistem ini lebih efektif dibandingkan sistem pembalikan. Forced aeration dilakukan melalui

fan berkapasitas tinggi dan head yang rendah (< 150 mm). Sistem aerasi ini terdiri atas 3 model, yaitu:

i. Blowing atau meniupkan udara ke dalam tumpukan bahan kompos (tekanan positif)

ii. Sucking atau pengisapan oleh tumpukan bahan kompos (tekanan negatif)

Gambar 2. Skema proses siklus nitrogen (Sitaresmi,2000)

(7)

10

iii. Hybrid atau kombinasi antara peniupan dan pengisapan

Sistem aerasi kompos dapat berupa aerasi aktif atau aerasi pasif. Aerasi aktif pada kompos memberikan aliran udara ke dalam bahan kompos melalui pipa. Proses aerasi pasif kompos tidak menggunakan langkah pemberian suplai udara melalui pipa atau pori-pori bahan kompos. Aerasi pasif merupakan tumpukan bahan organik yang didekomposisi dengan sedikit pengaturan dan pembalikan bahan. Secara umum metode ini digunakan untuk bahan yang memiliki porositas tinggi seperti dedaunan, karena suplai oksigen tergantung pada difusi pasif. Aerasi pasif masih perlu pembalikan secara berkala untuk meningkatkan aliran aerasi dan membangun porositas bahan. Keuntungan sistem aerasi aktif adalah waktu yang dibutuhkan lebih sedikit dibandingkan aerasi pasif. Proses pengomposan menggunakan aerasi pasif cenderung lambat dan memerlukan waktu berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun untuk mendapatkan kompos matang dan dimungkinkan akan menimbulkan bau karena laju aerasi rendah (AESA 2001).

3. Suhu

Aktifitas mikroorganisme dalam proses pengomposan berpengaruh terhadap perubahan suhu dalam tumpukan bahan tersebut. Panas dihasilkan oleh mikroorganisme saat proses pencernaan bahan organik. Pada saat kecepatan dekomposisi bahan organik di awal fase semakin cepat, maka panas yang ditimbulkan meningkat semakin cepat. Seiring dengan kecepatan dekomposisi yang mulai konstan, suhu berkurang perlahan-lahan. Di akhir proses pengomposan, bahan organik yang dicerna sudah habis sehingga terjadi penurunan suhu.

Peningkatan suhu dapat terjadi dengan cepat pada tumpukan kompos. Menurut Isroi (2008), suhu yang berkisar antara 30 – 600C menunjukkan aktivitas pengomposan yang cepat. Suhu yang

lebih tinggi dari 600C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba termofilik saja yang

akan tetap bertahan hidup. Suhu yang tinggi juga akan membunuh mikroba-mikroba patogen tanaman dan benih-benih gulma, sedangkan bila suhu relatif rendah mikroorganisme bekerja atau dalam keadaan dorman.

4. Derajat Keasaman (pH)

Pengaturan pH penting pada operasi pengomposan dan tetap harus dilakukan terutama pada proses yang tidak terlihat perkembangannya. Tingkat pH antara 6,5 – 7,5 merupakan nilai pH yang paling optimum untuk proses pengomposan. Setyorini et al. (2006) menambahkan bahwa bahan organik dengan nilai pH 3-11 dapat dikomposkan. Bakteri lebih menyukai pH netral, sedangkan fungi aktif pada pH sedikit asam. Pada pH yang tinggi, terjadi kehilangan nitrogen akibat volatilisasi (berubah menjadi amoniak). Sebaliknya pada pH yang terlalu rendah (asam) akan menyebabkan matinya sebagian besar mikroorganisme. Pada awal proses pengomposan, pada umumnya pH agak masam karena aktivitas bakteri yang menghasilkan asam. Namun selanjutnya pH akan bergerak menuju netral. Variasi pH yang ekstrem selama proses pengomposan menunjukkan adanya masalah dalam proses dekomposisi.

Nilai pH yang cenderung menurun pada awal pengomposan menunjukkan terbentuknya asam-asam organik yang merupakan asam-asam lemah yaitu asam laktat, asam butirat, asam propanat, asam asetat, dan asam lemah lainnya. Peningkatan nilai pH pada saat proses pengomposan disebabkan oleh perubahan asam-asam organik menjadi CO2. Selain itu, kondisi proses pengomposan pada

keadaan basa disebabkan perubahan nitrogen dan asam lemah menjadi asam amoniak. Pengomposan pada kondisi aerob biasanya dalam kondisi basa, sedangkan pengomposan pada kondisi anaerob dalam kondisi asam (Harada et al. 1993).

(8)

11

5. Ukuran Partikel

Menurut Isroi (2008) aktivitas mikroba berada diantara permukaan area dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut. Ukuran partikel yang terlalu besar menyebabkan proses pengomposan berjalan lambat, sedangkan ukuran partikel yang terlalu kecil tidak sesuai untuk proses aerasi.

6. Kandungan Hara

Menurut Isroi (2008) kandungan P dan K juga penting dalam proses pengomposan dan biasanya terdapat di dalam kompos-kompos dari peternakan. Hara ini akan dimanfaatkan oleh mikroba selama proses pengomposan.

2.2.3 Teknik dan Metode Pengomposan

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk pengomposan limbah pertanian yaitu

passive composting, windrow, aerated pile, dan in-vessel composting. Setiap metode tersebut dapat

merubah kondisi proses pengomposan dengan memanipulasi aerasi, suhu, pembalikan bahan, dan kebutuhan investasi baik dari segi waktu, peralatan maupun lahan yang akan digunakan (Koehler-Munro 2001).

Berikut ini metode pengomposan yang telah banyak dilakukan untuk menangani limbah pertanian yang dikemukakan oleh Koehler-Munro (2001):

a. Passive composting merupakan metode pengomposan dengan menimbun bahan baku kompos dan memiliki pemeliharaan yang sederhana. Metode ini sesuai dengan bahan – bahan organik yang memiliki porositas tinggi sehingga difusi oksigen dapat berlangsung secara pasif. Proses pengomposan memerlukan waktu yang relatif lebih lama karena proses dekomposisi berjalan lambat.

b. Sistem windrow merupakan sistem pengomposan yang telah banyak dilakukan untuk membuat pupuk dengan bahan baku, seperti kotoran ternak, sampah kebun, lumpur selokan, sampah kota, dan lain-lain. Pengaturan temperatur, kelembaban, dan oksigen perlu dilakukan pada sistem

windrow ini dengan cara pembalikan secara periodik. Sistem windrow dapat dilakukan baik secara

tradisional maupun modern. Secara tradisional, metode ini hampir serupa dengan passive

composting. Sistem windrow secara modern menggunakan bantuan mesin untuk mencampur dan

membalik bahan untuk meningkatkan porositas dan melepaskan panas, uap air dan gas yang terkandung bahan selam pengomposan.

c. Sistem aerated pile merupakan metode pengomposan dengan bantuan aerasi buatan. Prinsip pengomposan ini hampir sama dengan sistem window, tetapi dalam sistem ini dipasang pipa yang dilubangi untuk mengalirkan udara. Aerasi tersebut dapat dapat dilakukan secara pasif maupun aktif. Aerasi secara pasif mengurangi proses pembalikan dengan menggunakan pipa berlubang yang diletakan pada bagian dasar tumpukan kompos ataupun reaktor pengomposan. Aerasi secara aktif menggunakan aerator sebagai sumber aerasi yang dialirkan ke dalam pipa. Walaupun secara teoritis pembalikan tidak perlu dilakukan dalam metode ini namun pembalikan tersebut tetap dilakukan sekali untuk sirkulasi udara optimum, menyebarkan kadar air bahan, dan mengoptimalkan dekomposisi bahan segar oleh mikroorganisme. Aerasi yang diberikan secara aktif membutuhkan waktu pengomposan yang lebih singkat dibandingkan dengan aerasi secara pasif.

(9)

12

d. In-vessel composting merupakan metode pengomposan yang memiliki periode pengomposan singkat dan membutuhkan sedikit lahan. Namun, cenderung membutuhkan biaya tinggi dan pengontrolan proses yang lebih ketat. Proses pengomposan berlangsung pada sebuah reactor atau wadah dengan pemberian aerasi dan pembalikan (pengadukan) otomatis menggunakan mesin.

2.3.

KOMPOS

Hasil pengomposan bahan organik disebut kompos. Kompos terdiri dari material organik yang telah terdekomposisi menjadi unsur-unsur pembentuknya. Pada dasarnya penggunaan kompos lebih banyak memberikan keuntungan daripada penggunaan pupuk kimia. Walaupun, pupuk kimia memiliki kandungan nutrisi yang cukup tinggi dibanding kompos. Kebanyakan Pupuk kimia memberikan efek samping yang merugikan antara lain mengurangi tingkat kesuburan tanah dan residu bahan kimia dapat membahayakan kesehatan manusia (Indrasti et al. 2005).

Kompos merupakan zat-zat hara yang dapat memulihkan kesuburan tanah. Salah satu manfaat kompos dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi tanah. Sifat fisik tanah yang semula padat dapat menjadi gembur sehingga pengolahan lahan menjadi lebih mudah. Penyebab tanah yang menjadi gembur yaitu adanya senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium dan hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah (Chaniago 1987). Selain meningkatkan unsur hara, kompos juga membantu mencegah kehilangan unsur hara yang cepat hilang ( N, P, K), yang mudah hilang oleh penguapan atau oleh perkolasi. Bahan organik dalam kompos dapat mengikat unsur hara yang mudah hilang dan menyediakannya bagi tanaman (Marsono 2001).

Kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian, meningkatkan kesuburan tanah, dan merangsang perakaran yang sehat. Kompos juga dapat memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan akan meningkatkan kemampuan tanah untuk mempertahankan kandungan air tanah. Aktivitas mikroba tanah yang bermanfaat bagi tanaman akan meningkat dengan penambahan kompos. Aktivitas mikroba tersebut membantu tanaman untuk menyerap unsur hara dari tanah dan menghasilkan senyawa yang dapat merangsang pertumbuhan tanaman. Aktivitas mikroba tanah juga diketahui dapat membantu tanaman menghadapi serangan penyakit. Tanaman yang dipupuk dengan kompos juga cenderung lebih baik kualitasnya dari pada tanaman yang dipupuk dengan pupuk kimia, misalnya hasil panen lebih tahan disimpan, lebih berat, lebih segar, dan lebih enak (Isroi 2007). Pupuk kompos memiliki beberapa keunggulan yang belum bisa digantikan oleh pupuk kimia, keunggulan tersebut antara lain :

1. pupuk organik mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro meskipun dalam jumlah kecil, 2. memperbaiki granulasi tanah berpasir dan tanah padat sehigga dapat meningkatkan kualitas

aerasi, memperbaiki drainase tanah, dan meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air 3. mengandung asam humat (humus) yang mampu meningkatkan kapasitas tukar kation tanah 4. meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah

5. meningkatkan pH tanah pada tanah yang cenderung asam 6. tidak menyebabkan polusi tanah dan air

Akan tetapi selain keunggulan, pupuk organik atau kompos memiliki kekurangan jika dibandingkan dengan pupuk kimia yaitukandungan unsur hara dari bahan mineral yang rendah bila dibandingkan dengan pupuk anorganik. Menurut Lahuddin (2007), unsur hara esenial yang dibutuhkan tanaman terdiri dari unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan unsur mikro (Zn, Cu, Mn, Mo, B, Fe, dan Cl). Kelebihan unsur yang tersedia ini dapat meracuni tanaman.

Harada et al (1993) menyatakan bahwa tingkat kematangan kompos sangat berpengaruh terhadap mutu kompos. Kompos yang matang memiliki kandungan bahan organik yang mudah

(10)

13

terdekomposisi, ratio C/N yang rendah, tidak menyebarkan bau yang tidak sedap, kadar air yang memadai dan tidak mengandung unsur - unsur yang merugikan tanaman seperti phytotoxic, benih gulma, dan patogen lainnya. Kompos yang telah matang memiliki ciri-ciri menurut Chaniago (1987), antara lain :

1. Terjadinya penyusutan volume maupun biomassa bahan sesuai dengan kematangan kompos. Pengurangan ini dapat mencapai 20-40% dari volume per bobot awal bahan. Apabila penyusutan masih sedikit, kemungkinan proses pengomposan belum selesai dan kompos belum matang 2. Rasio kandungan organik terhadap nutrient rendah (C/N lebih kecil dari 20)

3. Perubahan warna kompos menjadi coklat kehitaman 4. Perubahan bau seperti bau tanah

5. Perubahan suhu, yaitu suhu kompos yang sudah matang mendekati suhu awal pengomposan Menurut Cahaya dan Nugraha (2008), kompos yang telah matang berbau seperti tanah, karena materi yang dikandungnya sudah menyerupai materi tanah dan berwarna coklat kehitam-hitaman, yang terbentuk akibat pengaruh bahan organi yang sudah stabil, sedangkan bentuk akhir sudah tidak menyerupai bentuk aslinya karena sudah hancur akibat penguaian alami oleh mikroorganisme yang hidup di dalam kompos. Hal ini sesuai dengan standar SNI 19-7030-2004 seperti pada Tabel 3.

Tabel 3. Karakteristik Kompos

Batas C Organik (%) N Organik (%) Nilai C/N Kadar air (%) Suhu (%) pH Minimum 9,8 0,4 10 - - 6,8 Maksimum 32 - 20 50 ± 30 7,49 Sumber : SNI 19-7030-2004

Pada kompos yang telah matang, bahan organik mentah telah terdekomposisi membentuk produk yang stabil. Untuk mengetahui tingkat kematangan kompos dapat dilakukan dengan uji dilaboratorium untuk atau pun pengamatan sederhana di lapang. Indonesia telah memiliki standar kualitas kompos, yaitu SNI 19-7030-2004. Di dalam SNI ini termuat batas-batas maksimum atau minimun sifat-sifat fisik atau kimiawi kompos.

Gambar

Tabel 2. Komposisi kimia blotong
Gambar 2.  Skema proses siklus nitrogen  (Sitaresmi,2000)

Referensi

Dokumen terkait

didasarkan pada hasil pengujian menggunakan Manova, dengan demikian hipotesis 1 dan 2 dapat diterima, yang mengindikasikan bahwa ada perbedaan respons dari partisipan

Dari tabel 4.14 nilai MSA pada wisatawan kota Bukittinggi di atas terlihat bahwa dari 13 variabel yang difaktorkan, nilai yang diperoleh dari MSA-nya adalah di atas 0,5

Tubuh dapat dijadikan sebagai alat yang paling tepat untuk mempromosikan dan mevisualkan diri sendiri, penyedia ruang yang tak terbatas untuk memaparkan segala jenis

Penelitian ini mengacu pada teori interaksionisme simbolik, yang juga kerap digunakan dalam penelitian komunikasi (Hamson, 2019) bertujuan mengungkapkan bagaimana

Parameter unsur hara, yaitu Nitrogen (N) dan Phosfat (P) digunakan sebagai dasar untuk menghitung daya dukung lingkungan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas area yang

- Gambaran diri: Saat ini pasien sudah menerima akan kondisi penyakit yang di deritanya, dan pasien juga mengatakan bahwa dirinya sudah pasrah akan kondisinya saat