• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA"

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL

BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM

MUSKULOSKELETAL DENGAN PENERAPAN TEORI

SELF CARE OREM DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

FATMAWATI JAKARTA

KARYA ILMIAH AKHIR

CHANDRA BAGUS ROPYANTO NPM. 0906504594

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN JAKARTA, 2013

(2)

i

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK RESIDENSI KEPERAWATAN MEDIKAL

BEDAH PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM

MUSKULOSKELETAL DENGAN PENERAPAN TEORI

SELF CARE OREM DI RUMAH SAKIT UMUM PUSAT

FATMAWATI JAKARTA

Karya Ilmiah Akhir

Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

Oleh :

CHANDRA BAGUS ROPYANTO NPM. 0906504594

PROGRAM PENDIDIKAN SPESIALIS KEPERAWATAN KEKHUSUSAN KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN JAKARTA, 2013

(3)
(4)
(5)
(6)

v

KATA PENGANTAR

Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan karunia-Nya, akhirnya penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya Ilmiah ini berjudul “Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal dengan Penerapan Teori Self Care

Orem di RSUP Fatmawati Jakarta” merupakan syarat dalam menyelesaikan

Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

Karya Imiah Akhir ini dalam penyusunannya banyak mendapatkan bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada :

1. DR. Ratna Sitorus, S.Kp., M.App. Sc. selaku supervisor utama yang telah memberikan arahan selama penyusunan karya ilmiah akhir.

2. Masfuri, S,Kp., MN.. selaku supervisor yang juga telah memberikan arahan selama penyusunan karya ilmiah akhir.

3. Ns., Umi Aisyiyah, S.Kep., M.Kep., Sp.KMB., sebagai supervisor klinik yang telah memberikan bimbingan selama praktik residensi di GPS Lantai 1 RSUP Fatmawati Jakarta.

4. Direktur RSUP Fatmawati Jakarta yang telah memberikan izin melaksanakan praktik residensi.

5. Kepala ruangan beserta staff GPS Lantai 1 RSUP Fatmawati Jakarta atas kerjasama dan kebersamaannya selama menjalankan praktik residensi.

6. Orang tua, saudara, istri, dan anak tercinta yang selalu memberikan dukungan selama mengikuti Program Ners Spesialis hingga selesainya karya ilmiah ini. 7. Keluarga besar Jakarta yang telah memberikan bantuan selama mengikuti

Program Ners Spesialis hingga selesainya karya ilmiah ini.

8. Rekan-rekan seperjuangan peminatan muskuloskeletal, peminatan endokrin, serta rekan-rekan Program Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah Angkatan 2012 lainnya yang telah saling mendukung dan membantu selama proses pendidikan.

(7)

vi

9. Pimpinan Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Diponegoro yang telah memberikan ijin untuk studi lanjut.

10. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu yang telah banyak memberikan bantuan dan motivasi kepada penulis.

Semoga segala bantuan dan kebaikan, menjadi amal sholeh yang akan mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT.

Penulis sangat mengharapkan masukan, saran dan kritik demi perbaikan proposal tesis ini sehingga dapat digunakan untuk pengembangan ilmu dan pelayanan keperawatan.

Jakarta, Juni 2013 Penulis

(8)
(9)

viii

ABSTRAK

Nama : Chandra Bagus Ropyanto

Program Studi : Ners Spesialis Keperawatan Medikal Bedah

Judul : Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal dengan Penerapan Teori Self Care Orem di RSUP Fatmawati Jakarta

Praktik residensi di ruang ortopedi untuk memberikan asuhan keperawatan pada gangguan muskuloskeletal menggunakan teori keperawatan Self Care Orems, menerapkan praktik keperawatan berdasarkan pembuktian, dan melakukan inovasi keperawatan. Kasus kelolaan utama pada gangguan sistem muskuloskeletal adalah osteomielitis kronis. Masalah keperawatan paling banyak adalah nyeri dan mobilitas fisik untuk universal self care requisites serta kurang pengetahuan untuk

developmental self care requisites. Intervensi keperawatan berdasarkan

pembuktian yang telah diterapkan adalah cold compression therapy yang dapat meningkatkan proses penyembuhan dengan indikator penurunan nyeri dan edema, serta peningkatan rentang gerak sendi. Inovasi keperawatan yaitu penggunaan

Clinical Practice Guidline untuk melakukan asuhan keperawatan berdasarkan clinical pathway pada pasca ORIF ekstremitas bawah. Perawat dapat menerapkan

teori Self Care Orems, cold compression therapy, serta melakukan kegiatan inovasi untuk meningkatkan kompetensi perawat dan kualitas pelayanan keperawatan.

Kata kunci : osteomielitis, teori self care orems, cold compression, clinical practice

(10)

ix

ABSTRACT

Name : Chandra Bagus Ropyanto

Study Program : Medical Surgical Nurse Specialist

Title : An Analysis of Medical Surgical Nursing Advanced

Clinical Practice on Musculosceletal Disorder Patients with Orem’s Self Care Theory in Fatmawati Public Hospital Jakarta

The advanced clinical practice in orthopaedic ward involved the planning of nursing care for musculoskeletal disorders patients with Orem’s Self Care theory, the implementation of evidenced based nursing practice, and the implentation of nursing innovations. The primary case management of the musculoskeletal system disorders is chronic osteomyelitis. Most nursing problems for the universal self-care requisites are pain and physical mobility, while for the developmental self care requisites is knowledge deficit. The evidence based nursing intervention implemented was cold compression therapy. It can improve the healing process with the indicators of decreased pain and edema, and increased range of motion. The nursing innovation implemented was the use of Clinical Nursing Practice Guidline in giving nursing care based on the clinical pathways post-ORIF lower extremities. Nurses can apply the Orem’s Self Care Theory, cold compression therapy, and innovation activities to improve their competency and also quality of nursing services.

Keywords: osteomyelitis, orem’s self care theory, cold compression therapy, clinical practice guidline, nursing care.

(11)

x

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL ... LEMBAR PERSETUJUAN ... PERNYATAAN ORISINALITAS ... HALAMAN PENGESAHAN ... KATA PENGANTAR ... HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... ABSTRAK ... ABSTRACT ... DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR DIAGRAM ... DAFTAR GAMBAR ... DAFTAR LAMPIRAN ... i ii iii iv v vii viii ix x xiii xiv xv xvi 1. 2. PENDAHULUAN ... 1.1 Latar Belakang ………....………... 1.2 Tujuan Penulisan ..…………...………... 1.3 Manfaat Penelitian …....………... TINJAUAN PUSTAKA ... 2.1 Konsep Osteomielitis ...…... 2.1.1 Definisi ...………... 2.1.2 Etiologi ....……….... 2.1.3 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Osteomielitis ... 2.1.4 Patofisiologi ...…………... 2.1.5 Diagnostik ...………... 2.1.6 Penatalaksanaan ...………. 2.1.7 Komplikasi ... 2.2 Teori Keperawatan Model Self Care Orem ... 2.2.1 Gambaran Model Self Care Orem ....………... 2.2.2 Proses Keperawatan Model Self Care Orem ...……...… 2.2.2.1 Pengkajian ... 2.2.2.2 Diagnostic Operation ... 2.2.2.3 Prescreptive Operation ... 2.2.2.4 Regulatory Operation ... 2.2.2.5 Control Operation ... 2.3 Asuhan Keperawatan pada Osteomielitis dengan Model Self

Care Orem ………...

2.3.1 Pengkajian ... 2.3.1.1 Basic Conditioning Factor ... 2.3.1.2 Universal Self Care Requisites ... 2.3.1.3 Developmental Self Care Requisites ... 2.3.1.4 Health Deviation Self Care Requisites ... 2.3.2 Diagnostic Operation ... 2.3.3 Prescreptive Operation ... 1 1 7 7 8 8 8 8 8 10 12 12 15 15 15 21 21 24 24 24 25 25 25 25 26 27 27 27 28

(12)

xi

3.

2.3.4 Regulatory Operation ... 2.3.5 Control Operation ...

ASUHAN KEPERAWATAN PADA GANGGUAN SISTEM MUSKULOSKELETAL ...

3.1 Gambaran Kasus Kelolaan Utama ... 3.2 Penerapan Model Self Care Orem pada Asuhan Keperawatan Pasien dengan Osteomielitis ... 3.2.1 Pengkajian ... 3.2.1.1 Basic Conditioning Factor ... 3.2.1.2 Universal Self Care Requisites ... 3.2.1.3 Developmental Self Care Requisites ... 3.2.1.4 Health Deviation Self Care Requisites ... 3.2.2 Rencana Asuhan Keperawatan ...

3.2.2.1 Nursing System Design ... 3.2.2.2 Regulatory Operation ... 3.2.3 Implemetasi Asuhan Keperawatan ... 3.2.4 Evaluasi Asuhan Keperawatan ... 3.3 Pembahasan ...

3.3.1 Udara ... 3.3.1.1 Resiko Syok berhubungan dengan Proses

Inflamasi Sistemik ... 3.3.2 Pencegahan Bahaya ... 3.3.2.1 Gangguan Integritas Jaringan berhubungan dengan Proses Infeksi dan Inflamasi Tulang dan Jaringan ... 3.3.2.2 Nyeri berhubungan dengan Inflamasi Tulang dan

Jaringan ... 3.3.3 Aktivitas dan Istirahat ... 3.3.3.1 Keterbatasan Mobilitas Fisik berhubungan

dengan Penurunan Kemampuan Ekstremitas Bawah ... 3.3.4 Modifikasi Gambaran Diri terhadap Perubahan Status Kesehatan ... 3.3.4.1 Cemas berhubungan dengan Perubahan Status

Kesehatan ... 3.4 Analisa Penerapan Teori Self Care Orem pada 35 Kasus

Kelolaan ... 3.4.1 Pengkajian ... 3.4.1.1 Basic Conditioning Factor ... 3.4.1.2 Universal Self Care Requisites ... 3.4.1.3 Developmental Self Care Requisites ... 3.4.1.4 Health Deviation Self Care Requisites ... 3.4.2 Diagnostic Operation ... 3.4.3 Prescreptive Operation ... 3.4.4 Regulatory Operation ... 3.4.5 Control Operation ... 28 28 29 29 29 29 29 29 31 33 33 34 34 34 34 34 41 42 42 45 45 49 52 52 54 54 57 57 57 57 59 59 60 60 61 63

(13)

xii

4.

5.

6.

ANALISIS PRAKTIK BERBASIS BUKTI ...

4.1 Hasil Journal Reading (Critical Review) ... 4.2 Praktik Keperawatan berdasarkan Pembuktian ...

4.2.1 Penerapan EBN ... 4.2.2 Hambatan dan Pemecahan ... 4.2.3 Rekomendasi ... 4.3 Pembahasan ...

ANALISIS PERAN PERAWAT SEBAGAI INOVATOR ...

5.1 Analisis Situasi ... 5.1.1 Strength ...………... 5.1.2 Weakness ...………... 5.1.3 Opportunities ...…... 5.1.4 Threath ... 5.2 Kegiatan Inovasi ... 5.2.1 Persiapan ...…... 5.2.2 Pelaksanaan ...……...………... 5.2.3 Evaluasi ... 5.3. Pembahasan ...

SIMPULAN DAN SARAN ...

6.1 Simpulan ... 6.2 Saran ... 64 68 70 70 73 73 74 77 78 78 78 78 78 78 78 79 79 80 82 82 83 DAFTAR PUSTAKA ... LAMPIRAN 84

(14)

xiii DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Tabel 3.2 Tabel 3.3 Tabel 3.4

Intake-Output Tn. NK dengan Ostemielitis Kronis

Nursing System Design pada Tn. NK dengan Osteomielitis

Kronis

Regulatory Operations pada Tn. NK dengan Osteomielitis

Kronis Definisi operasional variabel penelitian

Diagnosa Keperawatan menurut Teori Self Care Orem pada Pasien Gangguan Sistem Muskuloskeletal di RSUP Fatmawati Jakarta

31 35

36

(15)

xiv

DAFTAR DIAGRAM

Diagram 4.1

Diagram 4.2

Diagram 4.3

Diagram Tingkat Nyeri Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5)

Diagram Tingkat Edema Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5)

Diagram Rentang Gerak Sendi Lutut Subyek Sebelum dan Setelah Dilakukan Cold Compression Therapy pada Pasien Pasca Bedah Ortopedi di RSUP Fatmawati Jakarta tahun 2013 (n=5)

72

72

(16)

xv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1

Gambar 2.2

Nursing System Design Perkembangan Infeksi

Osteomielitis

Varian Osteomielitis dan Jenis Tindakan Pembedahan

11

(17)

xvi

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7

Pengkajian Keperawatan Model Self Care Orem Implementasi dan Evaluasi Keperawatan

Resume Keperawatan pada Gangguan Sistem Muskuloskeletal Proyek Inovasi Clinical Practice Guidline

Lembar Observasi EBN Evaluasi Proyek Inovasi Daftar Riwayat Hidup

(18)

1

Universitas Indonesia BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem muskuloskeletal merupakan sistem yang memiliki peran penting dalam tubuh. Sistem muskulokeletal tidak hanya berfungsi dalam mendukung dan meningkatkan kemampuan tubuh dalam melakukan koordinasi pergerakan. Peran sistem muskuloskeletal adalah melindungi organ vital persediaan mineral, dan memainkan perannya dalam produksi sel darah (Halstead, 2004).

Fungsi sistem muskuloskeletal berkaitan dengan organ lain dari tubuh dan organ dari sistem muskuloskeletal sendiri. Sistem muskuloskeletal terdiri dari tulang, sendi, otot, ligamen, dan bursa (Smeltzer & Bare 2006). Tulang berperan melindungi dan mendukung struktur tubuh. Matrik tulang merupakan tempat persediaan kalsium, fosfat, magnesium, dan flouride, dimana 98 % total kalsium tubuh berada dalam tulang. Sumsum merah tulang berada pada rongga tulang yang memproduksi sel darah merah dan sel darah putih dalam proses hematopoesis. Sendi bersama tulang berperan menahan dan mengikuti saat terjadi pergerakan tubuh. Otot melekat pada tulang untuk kontraksi, menggerakan tulang dan memproduksi panas untuk menjada suhu tubuh.

Penyakit muskuloskeletal terjadi pada berbagai rentang usia yang diakibatkan oleh kongenital, gangguan perkembangan, trauma, metabolik, degeneratif dan proses infeksi. Masalah yang timbul akibat penyakit muskuloskeletal secara umum tidak mengancam kehidupan, tetapi memberikan dampak yang berarti terhadap aktivitas normal dan produktivitas. Proses penyembuhan pada beberapa kasus sistem muskuloskeletal memerlukan waktu yang cukup lama sehingga mempengaruhi status kesehatan yang berkaitan dengan kualitas hidup, kenyamanan fisik, dan kesehatan psikososial (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

(19)

Universitas Indonesia

Infeksi muskulokeletal dapat bersifat berat dan sulit untuk dilakukan terapi karena makrofag dan sistem antibodi sulit untuk menjangkau (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Mikroorganisme dalam jumlah kecil dapat menentukan terjadinya infeksi. Infeksi tulang berpotensi menimbulkan episode yang serius seperti infeksi kronis, kehilangan fungsi, perubahan kualitas hidup, dan kematian.

Osteomielitis merupakan infeksi berat pada tulang dan jaringan sekitarnya yang membutuhkan penanganan segera. Penanganan yang lambat dan tidak adekuat akan mengakibatkan infeksi kronis dengan tingkat morbiditas yang signifikan, nyeri berkepanjangan, kehilangan fungsi, amputasi, dan kematian (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

Infeksi muskuloskeletal mengalami peningkatan secara bertahap dalam beberapa tahun terakhir (Kneale & Davis, 2008). Peningkatan infeksi muskuloskeletal beresiko terjadi pada penggunaan implan logam sebagai alat fiksasi, fraktur terbuka, dan berbagai penyakit seperti malnutrisi, AIDS, tuberkulosis, dan penyakit infeksi pada organ lain. Insiden dapat meningkat pada kasus resisten penisilin, nosokomial, gram-negatif, dan infeksi bakteri anaerob (Smeltzer & Bare, 2006). Osteomielitis menyerang pada semua tingkat usia dengan angka kejadian lebih banyak pada laki-laki karena meningkatnya insiden trauma.

Staphylococcus aureus menyebabkan 60% ostemielitis melalui jalur hematogen,

sementara mikroorganisme lain yang ditemukan pada kasus osteomileitis adalah

proteus, pseudomonas, dan Eschericia Coli. Staphylococcus epidermidis

merupakan patogen utama pada penggunaan material prostetik, seperti implan dan alat fiksasi fraktur (Maher, Pellino, & Salmond, 2002).

Osteomielitis merupakan infeksi lokal yang memiliki efek sistemik, sehingga pasien dapat mengalami gejala klasik dan reaksi infeksi lokal (Kneale & Davis, 2008). Gejala lokal ostemoielitis berupa nyeri pada area infeksi, panas, kemerahan pada area terinfeksi, dan efusi sendi. Gejala sistemik meliputi peningkatan suhu tubuh, sakit kepala, sakit tenggorokan, mual, berkeringat, dan malaise.

(20)

3

Universitas Indonesia

Intervensi bedah diindikasikan jika terapi antibiotik tidak efektif dan tekanan materi terinfeksi memerlukan dekompresi untuk melepaskan dari abses medula atau subperiosteal (Lew & Waldgovel. 1997; dalam Kneale & Davis, 2008). Penatalaksanaan bedah pada tulang dan sendi yang terinfeksi meliputi pengeluaran materi terinfeksi dan nekrotik. Pembedahan dapat meliputi debridemen ekstensif untuk mengendalikan infeksi, irigasi area, fiksasi skeletal, tandur tulang, dan penyelamatan ekstremitas. Intervensi sehingga perlu perawatan yang tepat.

Masalah keperawatan yang utama berkaitan dengan penatalaksanaan nyeri, terapi antibiotik, infeksi, mobilisasi, dan pemahaman tentang pilihan pembedahan (Kneale & Davis, 2008). Manajemen perawatan meliputi manajemen nyeri, manajemen infeksi, imobilisasi, dan penurunan dampak psikososial (Maher, Pellino, & Salmond, 2002).

Osteomielitis membutuhkan perawatan dalam jangka panjang sehingga perawatan mengikuti permasalahan respon fisiologis dan psikologis (Maher, Pellino, & Salmond,2002). Tujuan perawatan adalah mengembalikan pasien untuk hidup secara normal, tanpa infeksi, serta ekstremitas berfungsi senormal mungkin (Kneale & Davis, 2008). Teori keperawatan yang tepat perlu diterapkan pada pengelolaan pasien ostemielitis untuk meningkatkan kemampuan pasien asuhan keperawatan. Teori self care Orem dapat diterapkan pada pasien ostemielitis yang berperan meningkatkan kemandirian pasien. Teori self care Orem dapat membantu pasien untuk mengurangi nyeri yang berkepanjangan dengan mengontrol nyeri secara mandiri, pencegahan infeksi secara mandiri, meningkatkan kemampuan beraktivitas untuk mencegah ketidakberdayaan yang berkepanjangan, serta mampu mengkontrol keadaan psikologis secara tepat.

Teori self care Orem juga dapat diterapkan pada berbagai pasien muskuloskeletal lainnya, terutama pada pasien fraktur yang merupakan kasus yang banyak ditemui pada gangguan sistem muskuloskeletal. Pasien gangguan muskoloskeletal yang menjalani rawat inap hampir seluruhnya menjalani tindakan bedah ortopedi. Teori

(21)

Universitas Indonesia

perioperatif, rentang usia yang lebih luas (dari bayi sampai lansia) (Alligood & Tomay, 2006). Pasien dengan gangguan muskuloskeletal akan mengalami proses penyembuhan yang lama sampai pasien pulang, sehingga pasien hidup dengan keterbatasan. Peran perawat dalam aplikasi teori self care Orem adalah membantu meningkatkan kemampuan pasien untuk mandiri pada area klinis yang akan meningkatkan kualitas hidup saat pasien berada pada area komunitas.

Peran perawat klinis dalam pemberian asuhan keperawatan perlu dikembangkan karena tuntutan peningkatan kualitas asuhan keperawatan. Pemberian asuhan keperawatan dengan pendekatan Evidence Based Nursing (EBN) mampu meningkatkan kompetensi perawat klinis. EBN merujuk pada Evidence Based

Practice yang merupakan pendekatan berdasarkan paradigma bukti terbaik secara

keilmuan yang terintegrasi dengan nilai dan pilihan pasien serta keadaan klinis (Salmond, 2007)

Penerapan EBN pada sistem muskuloskeletal yang dilakukan adalah cold

compression. Cold compression therapy merupakan terapi modalitas yang

digunakan pada berbagai manajemen operasi dengan berbagai variasi prosedur ortopedi dimana pembedahan menghasilkan kerusakan jaringan yang sama tetapi berat ringanya tergantung gejala. Cold compression therapy secara langsung ditujukan untuk bengkak, inflamasi, dan nyeri berkaitan dengan cedera dengan berbagai mekanisme (Block, 2010).

Aplikasi cold compression yang paling sederhana, murah, dan mungkin dilakukan diruangan adalah kompres dingin dengan ice cold pack serta kompresi dengan elastis verban dalam rentang waktu yang tepat untuk mendapatkan efek komplek yang tepat dan mencegah terjadinya efek samping. Kompresi dengan verban elastis dapat dilakukan langsung setelah pasien dilakukan tindakan pembedahan sebagai penutun balutan luka. Cold therapy dilakukan dalam rentang 24 – 48 jam pasca operasi (Metules, 2007).

Penelitian yang dilakukan Smith, Stevens, Taylor, & Tibbey (2002) menunjukan bahwa kompres es dengan elastis bandage mengurangi nyeri, edema, meningkatkan rentang gerak sendi, dan mempersingkat lama hari rawat pada

(22)

5

Universitas Indonesia

pasien total knee arthroplasty. Penelitian berjudul “Cold and Compression in The

Management of Musculosceletal Injuries and Orthopaedic Operative Procedures : a Narrative Review”dilakukan pada berbagai prosedur bedah ortopedi. Hasil

penelitian menunjukan bahwa terapi merupakan cold compression therapy memberikan manfaat lebih sebagai intervensi pada kerusakan jaringan yang parah akibat pembedahan, edema dan nyeri pasca operasi, dan kehilangan darah dalam jumlah cukup banyak (Block, 2010).

Inovasi yang dilakukan berupa Clinical Practice Guidline (CPG) pada kasus pasca Open Reduction Internal Fixation (ORIF) ekstremitas bawah. Karakteristik permasalahan yang berbeda pasca ORIF ekstremitas bawah memerlukan manajemen asuhan keperawatan yang spesifik berdasarkan lokasi fraktur. Manajemen asuhan keperawatan yang tepat adalah berdasarkan clinical pathway.

Clinical pathway merupakan rencana multidisiplin sebagai praktik klinik terbaik

pada kelompok pasien yang spesifik (Audimoolan, Nair, Gaikwad, & Qing, 2005).

Clinical pathway merupakan perangkat yang digunakan untuk mengkoordinasi

perawatan yang menetukan outcome sebagai antisipasi berdasarkan rentang waktu dengan menggunakan sumberdaya yang tersedia (Audimoolan, Nair, Gaikwad, Qing, 2005). Pendekatan berdasarkan clincal pathway mampu mereduksi biaya dan lama hari rawat pada perawatan akut berdasarkan outcome pasien (Morris, Benetti, Marro, & Rosenthal, 2010). Clinical practice guidline(CPG) merupakan produk dari clinical pathway, dimana dalam melakukan asuhan keperawatan tidak berdasarkan rutinitas.Clinical practice guidline indikasi spesifik yang dikembangkan berdasarkan literatur, penelitian medis, dan clinical yang kompeten (Morris, Benetti, Marro, & Rosenthal, 2010).

Penelitian oleh Morris, Benetti, Marro, dan Rosenthal (2010) dilakukan pada pasien primary hip replacement, knee replacement, dan hip resurfacking dengan jumlah responden sebanyak 14 untuk pre CPG dan 30 untuk post CPG. Hasil penelitian menunjukan bahwa dengan aplikasi CPG pasien mampu mobilisasi 6 jam setelah tranfer dari PACU, ambulasi 16 jam setelah transfer dari PACU,

(23)

Universitas Indonesia

mereduksi lama hari rawat dari 4,3 hari menjadi 2,8 hari. Nyeri pasien saat aplikasi CPG adalah 3,3 dibandingkan yang tidak dilakukan CPG yaitu 4,7.

Penerapan teori keperawatan yang tepat, EBN, dan inovasi membutuhkan peran perawat spesialis. Perawat spesialis merupakan perawat ahli dalam praktik serta mampu mengembangkan dan meningkatkan outcome pasien, standar normal keperawatan, dimana mampu memberikan pengarahan kepada staff perawatan (

National CNS Task Force, 2010). Perawat spesialis ortopedi merupakan perawat

yang memiliki pengalaman sebagai praktisioner dalam melakukan asuhan keperawatan sistem muskuloskeletal dengan tingkat pendidikan magister atau doktor yang memiliki keahlian dalam praktik klinik (RCN, 2012).

Perawat spesialis dalam melakukan asuhan keperawatan pasien osteomielitis berperan melakukan asuhan keperawatan sesuai rentang respon fisiologis dan psikologis dengan memprediksi dan melakukan pencegahan terhadap resiko komplikasi serta mampu berkolaborasi dengan tim multidisiplin lain. Pemberian asuhan keperawatan dengan teori self care Orem dapat meningkatkan kualitas asuhan keperawatan melalui peningkatan outcome pasien dengan peningkatan kemampuan untuk mandiri dan standar keperawatan yang merupakan fungsi perawat spesialis. Keahlian secara keseluruhan dalam praktik klinik meliputi kemampuan mengembangkan asuhan keperawatan sistem muskuloskeletal secara holistik sampai pada kasus yang komplek, mengembangkan dan memperbaharui EBN, serta melakukan inovasi-inovasi untuk meningkatkan kualitas asuhan keperawatan. Aplikasi peran perawat spesialis dituangkan dalam bentuk laporan karya ilmiah akhir yang berjudul “Analisis Praktik Residensi Keperawatan Medikal Bedah pada Pasien dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal dengan Penerapan Teori Self Care Orem di RSUP Fatmawati Jakarta”.

(24)

7

Universitas Indonesia 1.2 Tujuan Penulisan

1.2.1 Tujuan Umum

Memberikan gambaran umum pelaksanaan dan pengalaman praktik residensi dengan menggunakan pendekatan teori keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal di RSUP Fatmawati Jakarta.

1.2.2 Tujuan Khusus

1.2.2.1 Melakukan analisis terhadap penerapan asuhan keperawatan menggunan Teori Self Care Orem pada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal di RSUP Fatmawati Jakarta.

1.2.2.2 Melakukan analisis terhadap penerapan evidence based nursing pada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal di RSUP Fatmawati Jakarta.

1.2.2.3 Melakukan analisis terhadap penerapan kegiatan inovasi keperawatan di RSUP Fatmawati Jakarta

1.3 Manfaat Penulisan

1.3.1 Pelayanan Keperawatan

1.3.1.1. Menambah pengetahuan dan kompetensi perawat dalam hal aplikasi teori keperawatan, EBN, dan inovasi.

1.3.1.2. Masukan bagi institusi untuk meningkatkan kegiatan yang bersifat EBN dan inovasi untuk pengembangan kualitas pelayanan keperawatan

1.3.2 Pengembangan Ilmu Keperawatan

1.3.2.1. Memperkuat penerapan teori keperawatan, dan menambah khasanah ilmu keperawatan dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan sistem muskuloskeletal

1.3.2.2. Rujukan bagi institusi pendidikan dalam menerapkan teori keperawatan dan EBN dalam intervensi keperawatan pada asuhan keperawatan gangguan sistem muskuloskeletal

(25)

8

Universitas Indonesia TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dibahas tentang teori dan konsep yang terkait kasus kelolaan dan model keperawatan. Uraian tinjauan pustaka meliputi konsep osteomielitis dan Model Teori Self Care Orem.

2.1 Konsep Osteomielitis

2.1.1 Definisi

Osteomielitis merupakan infeksi berat pada tulang dan jaringan sekitarnya yang membutuhkan terapi segera (Halstead, 2004; Maher, Salmond, & Pellino, 2002; Smeltzer & Bare, 2006). Penanganan yang lambat dan tidak adekuat akan mengakibatkan infeksi kronis dengan tingkat morbiditas yang signifikan, nyeri berkepanjangan, kehilangan fungsi, amputasi, dan kematian.

2.1.2 Etiologi

Staphylococcus aureus menyebabkan 60% ostemielitis melalui jalur hematogen,

sementara mikroorganisme lain yang ditemukan pada kasus osteomileitis adalah

proteus, pseudomonas, dan Eschericia Coli. Staphylococcus epidermidis

merupakan patogen utama pada penggunaan material prostetik, seperti implan dan alat fiksasi fraktur (Maher, Pellino, & Salmond, 2002).

2.1.3 Klasifikasi dan Manifestasi Klinis Osteomielitis

Ostemielitis diklasifikasikan berdasarkan perjalanan penyakit, anatomis, dan kondisi fisiologi penjamu (host). Klasifikasi osteomielitis menentukan tindakan yang dilakukan dan prognosa penyakit.

Berdasarkan perjalanan penyakit ostemielitis diklasifikasikan menjadi : a. Ostemielitis Akut

Onset osteomielitis dapat mendadak dengan gejala infeksi lokal dan sistemik dan berlangsung dalam waktu kurang dari satu bulan. Infeksi lokal menunjukan gejala pada area terinfeksi berupa bengkak, lembut dan hangat saat disentuh, nyeri hebat saat digerakan, serta kemerahan. Manifestasi secara

(26)

9

Universitas Indonesia

sistemik berupa demam, menggigil, lemah yang merupakan indikasi septikimia, mual, dan berkeringat (Halstead, 2004; Kneale & Davis, 2008). b. Osteomielitis Kronis

Osteomielitis akut yang lebih dari satu bulan sampai beberapa tahun dikategorikan osteomielitis kronis. Osteomielitis kronik didiagnosis jika infeksi sebelumnya berulang baik yang telah diberikan terapi maupun tidak dan terdapat nekrosis tulang yang berkaitan. Manifestasi klinis sama dengan osteomielitis akut tetapi intervalnya lebih sering disertai drainase sinus pada area luka (Halstead, 2004; Kneale & Davis, 2008; Maher, Salmond, & Pellino, 2002).

Berdasarkan anatomis ostemielitis diklasifikasikan menjadi (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010) :

a. Ostemielitis Medullar (Tipe I)

Lesi primer terjadi pada endoosteum yang terjadi pada kondisi granulasi kronis, skar iskemik, dan sequestrum pada kanal medulla.

b. Osteomielitis Superfisial (Tipe II)

Permasalahan pada permukaan tulang karena terpaparnya tulang oleh lingkungan luar pada kondisi fraktur terbuka dan ulkus neuropati.

c. Ostemielitis Terlokalisir (Tipe III)

Osteomielitis terlokalisir menunjukan adanya kerusakan kulit menyeluruh, kortikal sequestrum, sampai pada cavity. Osteomielitis terlokalisir merupakan kombinasi dari osteomielitis medullar dan superfisial.

d. Osteomielitis Difus

Osteomielitis difus merupakan kombinasi dari tipe I, II, dan III yang mengakibatkan kerusakan pada jaringan keras dan lunak.

Berdasarkan kondisi fisiologi host, ostemielitis diklasifikasikan menjadi (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010) :

a. A-Host

Kondisi host menunjukan respon normal secara fisiologi dan pembedahan b. B-Host

Kondisi host memiliki gejala lokal (BL), sistemik (BS), atau kombinasi keduanya (BLS).

(27)

Universitas Indonesia

c. C-Host

Memerlukan tindakan suppressive atau tidak dilakukan terapi, ketidakberdayaan, luka yang sulit sembuh, terapi memberikan hasil lebih buruk daripada penyakit, dan bukan kandidat pembedahan.

2.1.4 Patofisiologi

Osteomielitis merupakan infeksi tulang yang dapat mengakibatkan dampak secara serius dan susah untuk dilakukan terapi pada kondisi kronis. Kesulitan terapi disebabkan beberapa faktor dari struktur tulang. Terapi yang tidak tepat pada osteomielitis akut dapat berkembang menjadi osteomielitis kronis yang beresiko mengakibatkan kematian.

Mikroorganisme dapat menyebabkan infeksi pada tulang melalui tiga metode, yaitu : ekstensi dari infeksi jaringan lunak, pada infeksi pressure atau vasculer

ulcer, dan infeksi insisi. Osteomielitis diakibatkan mikroorganisme yang

memasuki jaringan tulang baik dari sumber eksogenus maupun endogenus. Sumber endogenus sering dikenal sebagai hematogenus ostemielitis yang berasal dari tubuh dan aliran darah pada tulang. Sumber eksogenus dapat berasal dari fraktur terbuka, pembedahan, atau luka tusuk (Halstead, 2004). Kontaminasi tulang langsung yang disebabkan pembedahan tulang, fraktur terbuka, atau cedera trauma. Hematogenus (aliran darah) dari infeksi lain seperti tonsil, gigi, saluran respirasi bawah (Smeltzer & Bare, 2006).

Mikroorganisme yang mendapat akses menuju tulang, akan terakumulasi pada regio metafisis tempat berproliferasi dan memicu respon awal infeksi. Infeksi mikroorganisme yang memasuki tulang menginisiasi respon inflamasi yang mengakibatkan berkembangnya bengkak dan meningkatkan vaskularisasi. Infeksi yang berkembang meningkatkan jumlah eksudat sehingga meningkatkan penekanan pada yang menimbulkan iskemik pada tulang dan secepatnya menjadi nekrosis. Peningkatan tekanan pada tulang mengakibatkan materi yang terinfeksi bermigrasi menunju korteks, memisahkan periosteum dari tulang yang mendasarinya dan membentuk abses subperiosteal. Sel darah putih tidak dapat

(28)

11

Universitas Indonesia

mengeluarkan materi yang terinfeksi sehingga mengakibatkan akumulasi jaringan yang terinfeksi dan iskemik, sehingga terjadi nekrosis tulang yang mendasarinya (sekuestrum). Sekuestrum menjadi terisolasi, periosteum membentuk tulang baru disekitarnya dan menjadi reservoir infeksi di dalamnya (Kneale & Davis, 2008). Eksudat meluas sampai medullar cavity dan dibawah periosteum, melepaskan periosteum pada tulang dan selanjutnya mengganggu suplay vaskular pada jaringan tulang. Bakteri dapat keluar dari jaringan tulang yang mati menuju jaringan lunak dan invasi sendi terdekat. Jaringan tulang yang mengalami nekrosis disebut sequestrum. Sequestrum memisahkan dari jaringan tulang yang masih hidup. Sequestrum yang berkembang akan mengakibatkan osteomielitis kronis. Destruksi periosteum akan menginisiasi osteoblas untuk menstimulasi pertumbuhan tulang baru. Tulang baru disekitar sequestrum merupakan

involucrum (Halstead, 2004).

Abses jaringan lunak dan kutaneus dapat berkembang menjadi saluran sinus dari periosteum. Saluran sinus kutaneus dapat berkembang karena peningkatan tekanan dan erosi jaringan lunak. Infeksi dapat menjadi reaksi jaringan fibrosis dan terlokalisir yang dikenal sebagai Brodie’s abscess (Maher, Pellino, & Salmond, 2002). Perkembangan infeksi ostemielitis dapat dilihat pada gambar 2.1

Gambar 2.1 Perkembangan Infeksi Osteomielitis

(29)

Universitas Indonesia

2.1.5 Diagnostik

Pemeriksaan laboratorium penting dalam menentukan mikroorganisme penyebab. Kultur darah, sampel, apusan luka atau biopsi jarum diambil untuk kultur dan sensitivitas sebelum pemberian antibiotik. Tanda adanya infeksi didindikasikan dengan peningkatan hitung sel darah putih, laju endap darah (LED), dan protein C-reaktif (CRP) (Kneale & Davis, 2008).

Pemeriksaan diagnostik lain berupa terdiri dari x-ray, CT-Scan, dan MRI yang memiliki kemampuan berbeda-beda. Pemeriksaan x-ray pada awal osteomielitis akut hanya menunjukan perubahan pada jaringan sekitar, bukan pada tulang. Nekrosis tulang dievaluasi 10 sampai 14 hari setelah tulang mengalami nekrosis, dengan gambaran adanya bercak, area decalsifikasi irreguler, dan lebih jelas terlihat pada area metafisis. CT-Scan dapat mengidentifikasi abnormalitas kortek, abses, saluran sinus, dan sekuetrum. MRI berguna untuk menditeksi penyebaran infeksi jaringan lunak dan sumsum tulang (Kneale & Davis, 2008; Maher, Salmond, & Pellino, 2002).

2.1.6 Penatalaksanaan

Terapi antibiotik dimulai ketika kultur darah atau luka telah didapatkan, sementara dapat digunakan antibiotik spektrum luas. Pemberian antibiotik intravena pada tahap awal diberikan untuk membentuk kadar terapeutik efektif dalam darah. Antibiotik diberikan dari empat minggu sampai beberapa bulan, sehingga perlu pertimbangan untuk pemberian antiemetik reguler pada beberapa pasien yang mengalami mual.

Antibiotik osteomielitis kronis sama dengan antibiotik yang diberikan pada osteomielitis akut disertai kombinasi obat yang umumnya digunakan untuk mencegah terjadinya resistensi antibiotik. Alternatif penggunaan

antibiotic-impregnated beads untuk memfokuskan antibiotik di area yang terinfeksi adalah

metode irigasi Lautenbach. Metode ini dilakukan dengan memasukan antibiotik melalaui slang irigasi pada area infeksi setiap empat jam. Antibiotik tetap berada di area tulang sampai dialirkan keluar sebelum diberikan antibiotik selanjutnya.

(30)

13

Universitas Indonesia

Irigasi dilanjutkan selama 3 – 6 minggu sehingga menjadi prosedur yang lama tetapi efektif (Sims et al, 2001 dalam Kneale & Davis, 2008).

Intervensi bedah diindikasikan jika terapi antibiotik tidak efektif dan tekanan materi terinfeksi memerlukan dekompresi untuk melepaskan dari abses medula atau subperiosteal (Lew & Waldgovel. 1997; dalam Kneale & Davis, 2008). Penatalaksanaan bedah pada tulang dan sendi yang terinfeksi meliputi pengeluaran materi terinfeksi dan nekrotik. Pembedahan dapat meliputi debridemen ekstensif untuk mengendalikan infeksi, irigasi area, fiksasi skeletal, tandur tulang, dan penyelamatan ekstremitas. Pembedahan dilakukan berdasarkan klasifikasi tipe anatomis dan fisiologis host ostemielitis (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010). Tindakan pembedahan berdasarkan varian ostemielitis dapat dilihat pada gambar 2.2

Tipe I anatomis dan fisiologi host A, B, C dilakukan pembuangan nidus biofilm dengan debridemen pada medullar dan penutupan pada area kortek. Pasca pembedahan tulang dilakukan proteksi dari kemungkinan terjadinya fraktur dengan penggunaan alat bantu untuk ambulasi. Antibiotik sistemik jangka pendek diberikan apabila terjadi penutupan jaringan secara primer (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010).

Tipe IIA,B,C perencanan pre operasi dilakukan untuk mendukung pemulihan penutupan jaringan lunak. Pengkajian klinis, indikasi vaskuler, tekanan oksigen transkutan, dan angiografi digunakan untuk menilai defisit dan masalah potensial yang mungkin timbul. Pembedahan tipe IIA,B,C dilakukan dengan pembuangan jaringan lunak yang komplek dengan pembuangan iskemik jaringan lunak dan permukaan tulang (decortication) yang dilanjutkan dengan penutupan jaringan lunak dengan melakukan flap (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010).

Tipe IIIA,B,C pembedahan dilakukan dengan sequestration dan cavitation. Metode debridemen dilakukan dengan sequestrectomy, saucerization, medullary

(31)

Universitas Indonesia

dilakukan apabila terdapat dead space yang meliputi tindakan transfer jaringan lunak, bone graft, dan penutupan luka secara sederhana. Stabilisasi tulang dilakukan dengan menggunakan external fixator atau internal fixator dengan depot antibiotik (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010).

Tipe IVA,B,C dilakukan stabilisasi karena beresiko terjadi gangguan penyembuhan luka, nonunion, nekrosis sentral bone graft, infeksi oportunistik, dan stress fracture. Pembedahan dilakukan melalui beberapa tahap rekontruksi secara simultan. Pembedahan tahap pertama dilakukan dengan debridemen, manajemen death space, dan pemasangan external fixation sementara. Pembedahan kedua dan ketiga dilakukan sebagai rekontruksi definitif dengan tindakan memperbaiki dan mempertahankan pembedahan tahap pertama (Cierny III, Mader, & Penninck, 2003; Cierny III, 2010)..

Gambar 2.2 Varian Osteomielitis dan Jenis Tindakan Pembedahan

(32)

15

Universitas Indonesia

2.1.7 Komplikasi

Penanganan yang lambat dan tidak adekuat akan mengakibatkan nyeri berkepanjangan, kehilangan fungsi, amputasi, dan kematian (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Infeksi kronis akan memberikan dampak secara sistemik sehingga mengakibatkan tingkat morbiditas yang signifikan dan ketunadayaan.

2.2 Teori Keperawatan Model Self Care Orem

2.2.1 Gambaran Model Self Care Orem

Teori Self Care Deficit dikembangkan oleh Orem sejak tahun 1956 dan telah

digunakan pada berbagai setting praktik keperawatan berdasarkan kondisi medis, tingkat perkembangan dan kebutuhan dasar manusia. Model Self Care Orem dikembangkan berdasarkan filosofi bahwa pasien memiliki keinginan untuk mampu melakukan perawatan terhadap dirinya sendiri. Pencapaian kemandirian pasien merupakan perhatian perawat, dimana perawat merupakan seseorang yang melakukan tindakan untuk pemenuhan kebutuhan self care dan melakukan pengelolaan secara berkelanjutan untuk menopang kehidupan dan kesehjateraan, pemulihan dari penyakit atau cedera, serta menanggulangi efek yang ditimbulkan. Tujuan keperawatan secara filosofi adalah mengatasi keterbatasan manusia (Alligood & Tomay, 2006 & 2007).

Sudut pandang Model Self Care Orem tidak bisa terlepas dari metaparadigma keperawatan yang terdiri dari perawat, pasien, lingkungan, dan kesehatan. Perawat mempunyai kemampuan dalam merancang dan menentukan manajemen

self care untuk meningkatkan kemampuan fungsi manusia sampai level yang

efektif berdasarkan metode pemberian bantuan yang tepat. Kesehatan bukan hanya status tubuh tetapi juga kemampuan dalam berfungsi pada setiap rentang kehidupan sampai berkembang secara progresif menuju level yang tinggi dalam integrasi dan fungsi. Lingkungan merupakan unit yang mendukung fungsi manusia dan saling mempengaruhi secara mutualisme yang memberikan dampak terhadap kesehatan dan kesehjateraan individu dan keluarga. Pasien merupakan seseorang yang menerima self care yang mempunyai kapasitas pengetahuan diri,

(33)

Universitas Indonesia

potensi untuk belajar dan berkembang, serta belajar untuk memenuhi kebutuhan

self care (Alligood & Tomay, 2006 & 2007).

Model Self Care Orem disusun berdasarkan tiga teori sentral yang saling berhubungan. Tiga teori sentral yang menyusun meliputi the theory of self care,

the theory of self care deficit, dan the theory of nursing system.

Theory of self care menggambarkan bagaimana dan cara individu melakukan

perawatan terhadap dirinya. Self Care terdiri dari aktivitas untuk untuk mematangkan inisiasi seseorang dengan rentang waktu untuk kepentingan dan ketertarikan memelihara hidup, berfungsi secara sehat, perkembangan individu secara berkelanjutan, dan sejahtera sampai mengetahui kebutuhan funsional dan regulasi (Orem, 2001 dalam Alligood & Tomay, 2006 & 2007).

Self care requisites merupakan formula dan ekspresi wawasan mengenai tindakan

yang dilakukan dan diketahui atau merupakan hipotesa yang diperlukan sebagai aspek regulasi dari fungsi manusia dan perkembangan yang berkelanjutan atau berada dibawah kondisi dan keadaan spesifik. Formula self care requisites terdiri dari dua elemen, yaitu faktor yang dapat mengkontrol atau mengatur untuk menjaga fungsi manusia dan perkembangannya dimana memperhatikan norma yang tepat sepanjang hidup, kesehatan, dan kesehjateraan seseorang, serta sifat dasar untuk kebutuhan tindakan yang merupkan ekspresi kebutuhan self care sebagai tujuan pencapaian self care (Alligood & Tomay, 2006 & 2007).

Self care requisites terdiri dari tiga tipe yang menentukan self care demand. Self care requisites meliputi universal self care requisites, developmental self care requisites, dan health deviation self care requisites.

Universal self care requisites merupakan suatu kebutuhan yang ada pada semua

individu. Universal self care requisites bertujuan supaya dapat melewati/melakukan self care atau dependent care yang asal mulanya diketahui dan divalidasi berdasarkan struktur manusia dan integritas fungsi pada berbagai variasi siklus kehidupan. Universal self care requisites terdiri dari delapan syarat yang meliputi pemeliharaan kecukupan intake udara, pemeliharaan kecukupan

(34)

17

Universitas Indonesia intake makanan, pemeliharaan kecukupan intake cairan, ketentuan perawatan

yang diasosiasikan dengan proses eliminasi dan ekskresi, pemeliharaan keseimbangan antara aktivitas dan istirahat, pemeliharaan antara keseimbangan kesendirian dan interaksi sosial, pencegahan bahaya pada kehidupan manusia, fungsi manusia, dan kesehjateraan manusia, serta peningkatan fungsi manusia dan perkembangan yang berkaitan dengan kelompok sosial sesuai dengan fungsi manusia, mengetahui keterbatasan manusia, dan keinginan manusia untuk normal (Alligood & Tomay, 2007).

Developmental Self Care Requisites merupakan tindakan yang dilakukan

berkaitan dengan proses perkembangan manusia, kondisi atau keadaan yang memberikan efek kurang baik terhadap perkembangan. Developmental Self Care

Requisites berdasarkan dari tiga elemen, yaitu ketentuan suatu kondisi yang

meningkatkan perkembangan, keterikatan dalam perkembangan diri, dan pencegahan atau penanggulangan efek dari kondisi manusia pada situasi kehidupan yang menimbulkan efek kurang baik pada perkembangan manusia (Alligood & Tomay, 2007).

Health Deviation Self Care merupakan karakteristik kondisi sepanjang waktu

yang ditentukan kebaikan untuk kebutuhan perawatan dimana pengalaman individu sepanjang waktu sebagai dampak kehidupan dari kondisi patologis dan dalam durasi kehidupan. Efek penyakit dan cedera secara spesifik tidak hanya pada struktur manusia secara mekanisme fisiologis dan psikologis, tetapi juga terintegrasi dengan fungsi manusia. Pengkajian perawatan tidak hanya menemukan adanya kesenjangan kebutuhan kesehatan tetapi juga komponen tindakan yang dilakukan dari sistem individu, terhadap self care dan dependen

care. Kompleksitas sistem self care dan dependent care dimana meningkatkan

jumlah kebutuhan health deviation dan harus berada pada rentang waktu yang spesifik (Alligood & Tomay, 2006 & 2007).

Ide sentral Theory Self Care Deficit adalah kebutuhan seseorang akan perawat yang diasosikan dengan subyek matang atau mematangkan seseorang untuk hubungan kesehatan atau perawatan kesehatan berhubungan dengan keterbatasan

(35)

Universitas Indonesia

dalam melakukan tindakan. Self care deficit adalah syarat yang mengekspresikan hubungan antara kemampuan tindakan individu dan permintaan untuk perawatan.

Self care deficit merupakan konsep abstrak yang mengekspresikan keterbatasan

tindakan, menyediakan petunjuk untuk menyeleksi metode pemberian bantuan dan memahami peran pasien dalam self care (Alligood & Tomay, 2007).

Self Care Deficit merupakan fokus utama pada teori Orems yang menjelaskan

kapan perawat dibutuhkan dan bagaimana seseorang dibantu perawat. Self care

deficit ditentukan saat pasien sebagai self care agency tidak dapat melakukan self

care terhadap dirinya sendiri. Self Care Deficit merupakan hubungan antara seseorang yang memilki therapeutik self care demand dengan kekuatan sebagai

self care agency, dimana unsur pokok perkembangan kemampuan self care oleh self care agency yang tidak dapat dijalankan atau tidak adekuat untuk diketahui

dan ditemukan pada beberapa atau seluruhnya komponen yang ada atau memproyeksikan therapeutik self care demand (Alligood & Tomay, 2007).

Therapeutik self care demand terdiri dari penyajian akhir pengkajian perlunya

perawatan pada waktu yang spesifik atau durasi waktu dengan mempertemukan pengetahuan individu terhadap self care requisites terutama kondisi yang ada.

Therapeutik self care demand menggunakan metode pendekatan berdasarkan

kontrol atau manajemen faktor identifikasi kebutuhan, nilai dimana merupakan regulator fungsi manusia (kecukupan udara, air, makanan), serta memenuhi element aktivitas kebutuhan (pemeliharaan, promosi, pencegahan, dan ketentuan).

Therapeutik self care demand menggambarkan faktor dalam lingkungan pasien

dimana harus siap dalam rentang waktu nilai yang dianut dimana berdasarkan rentang waktu kepentingan kehidupan pasien, kesehatan, atau kesehjateraan serta mengetahui derajat kesiapan efektivitas instrumental yang diperoleh dari pilihan tehnologi atau tehnik spesifik yang digunakan, perubahan, atau suatu jalan untuk mengontrol, pasien dan lingkungannya (Alligood & Tomay, 2007).

Self care agency merupakan suatu komplek kemampuan yang dibutuhkan untuk

mematangkan atau pematangan seseorang untuk tahu dan menemukan kebutuhan yang berkelanjutan secara sengaja, suatu tindakan yang bertujuan untuk mengatur

(36)

19

Universitas Indonesia

fungsi manusia dan perkembangan pada dirinya. Agen berperan dalam memberikan pengajaran mengenai kekuatan yang harus dilakukan. Dependent self

care agent merupakan seorang dewasa yang matang, menerima dan memenuhi

tanggung jawab untuk tahu dan menemukan therapeutik self care demand yang relevan dengan ketergantungan secara sosial pada regulasi perkembangan atau latihan pada seseorang agen self care (Alligood & Tomay, 2007).

Theory nursing system merupakan usulan tindakan perawatan pada manusia,

sistem tindakan yang ditampilkan (didesain dan dihasilkan) oleh perawat dimana perawat sebagai agen untuk melatih seseorang dengan kesenjangan kesehatan, atau kesehatan diasosiakan keterbatasan dalam self care atau dependen care.

Nursing system merupakan rangkaian dari tindakan praktik secara

sengaja/hati-hati sebagai penampilan perawat dalam suatu waktu saat koordinasi tindakan pada pasien dengan tujaun untuk mengetahui dan menemukan komponen therapeutik

self care demand pasien dan untuk melindungi dan mengatur latihan atau

perkembangan sebagai pasien self care agency. Nursing system dihasilkan untuk individu, seseorang dimana merupakan suatu dependent care unit, anggota kelompok yang memiliki therapeutik self care demand dengan komponen atau memiliki keterbatasan yang sama, sebagai ketentuan dalam self care atau

dependent care atau untuk unit keluarga atau multipersonal (Alligood & Tomay,

2007).

Nursing design merupakan fungsi profesional yang ditampilkan dan dirumuskan

baik sebelum atau setelah diagnosa keperawatan, mengijinkan perawat, yang berbasis reflective practice judgement mengenai kondisi yang ada, untuk mensitesa element situasi yang konkret kedalam hubungan perawat untuk unit struktur operasional. Tujuan nursing design adalah menyediakan petunjuk untuk mencapai kebutuhan dan hasil yang diduga sebagai produksi kearah perawatan untuk prestasi dari tujuan perawatan, unit merupakan secara bersama mengambil pola petunjuk produksi perawat (Alligood & Tomay, 2007).

Orem mengemukakan adanya tiga tipe sistem keperawatan, yaitu: sistem keperawatan penyeimbang menyeluruh, sebagian, atau mendukung/mendidik.

(37)

Universitas Indonesia

Sistem keperawatan tergantung pada siapa yang dapat atau harus menjalankan aksi-aksi self care tersebut.

Wholly / totally compensatory nursing system merupakan sistem penyeimbang

keperawatan menyeluruh dibutuhkan ketika perawat harus menjadi peringan bagi ketidakmampuan total seorang pasien dalam hubungan kegiatan merawat yang membutuhkan tindakan penyembuhan dan manipulasi. Perawat mengambil alih pemenuhan kebutuhan self care secara menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu (Alligood & Tomay, 2007).

Partially / Partly compensatory nursing system dimana perawat mengambil alih

beberapa aktifitas yang tidak dapat dilakukan oleh pasien dalam memenuhi kebutuhan self care-nya. Intervensi dijalankan pada saat perawat dan pasien menjalankan intervensi perawatan atau tindakan lain yang melibatkan tugas manipulatif atau penyembuhan (Alligood & Tomay, 2007).

Supportif / Educatif nursing system dimana perawat memberikan pendidikan

kesehatan atau penjelasan untuk memotivasi melakukan self care, tetapi yang melakukan self care adalah pasien sendiri. Intervensi diperlukan pada situasi dimana pasien harus belajar untuk menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara eksternal atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak dapat melakukan tanpa bantuan (Alligood & Tomay, 2007).

Helping method dalam persepsi keperawatan merupakan rangkaian seri tindakan

yang ditampilkan yang akan mengatasi atau mengimbangi kesehatan yang diasosiasikan dengan keterbatasan seseorang untuk melawan dalam tindakan untuk mengatur fungsinya sendiri dan perkembangan atau ketergantungan. Metode bantuan diantaranya: guidance, teaching, support, directing, providing the

(38)

21

Universitas Indonesia

2.2.2 Proses Keperawatan Model Self Care Orem 2.2.3.1 Pengkajian

Pengkajian pada Model Self Care Orem mengidentifikasi basic conditioning

factor, universal self care requisites, developmental self care requisites, dan health deviation self care requisites.

a. Basic Conditioning Factor

Pengkajian yang berkaitan dengan basic conditioning factor merupakan pengkajian faktor dasar yang mempengaruhi self care individu. Pengkajian meliputi usia, jenis kelamin, status kesehatan, status perkembangan, orientasi sosial budaya, sistem perawatan kesehatan, sistem keluarga, pola hidup, dan lingkungan.

b. Universal Self Care Requisites 1. Udara

Udara merupakan gas atmosfir yang dibutuhkan untuk proses kehidupan dan harus didapatkan pada jumlah yang cukup dengan tujuan untuk memenuhi ventilasi. Pengkajian meliputi pola dan karakteristik pernafasan, kondisi kulit, dan perawatan yang dilakukan untuk memenuhi kebutuhan (Mentro, 1999). Karakteristik pernafasan meliputi pola nafas, kelainan pada pernafasan, kondisi kulit meliputi warna dan suhu kulit, serta hasil pemeriksaan laboratorium. Perawatan meliputi penggunaan alat bantu untuk memenuhi kebutuhan pernafasan yang dilakukan klien. 2. Cairan

Cairan merupakan air murni yang diperlukan untuk proses kehidupan yang dikonsumsi dalam jumlah adekuat sebagai ketersediaan hidrasi tubuh. Pengkajian cairan berkaitan dengan konsumsi cairan setiap hari, penghambat pemenuhan kebutuhan cairan, dan tanda-tanda gangguan pada pemenuhan kebutuhan cairan. Tanda-tanda gangguan pemenuhan kebutuhan cairan meliputi pengkajian pada membran mukosa, dan turgor kulit (Mentro, 1999).

3. Makanan

Makanan merupakan material nutrisi untuk pencernaan dalam jumlah cukup yang mendukung pertumbuhan serta kerja, perbaikan, dan

(39)

Universitas Indonesia

pemeliharaan proses vital. Pengkajian aspek makanan meliputi konsumsi makanan setiap hari dan kemampuan mencerna makanan. Kemampuan mencerna makanan terdiri dari menkaji faktor penghambat seperti kemampuan menelan, bising usus (Mentro, 1999).

4. Eliminasi

Eliminasi diasosiasikan sebagai pembuangan material urine dan feses dari tubuh. Eliminasi mengkaji pola BAK dan BAB serta penggunaan alat bantu untuk eliminasi. Pola eliminasi BAB mengkaji juga mengenai konsistensi, jumlah, dan warna feses. Penggunaan alat bantu baik berupa medikasi seperti laksatif dan alat bantu lain seperti catheter (Mentro, 1999).

5. Istirahat dan Tidur

Suatu keseimbangan antara pergerakan energi fisik dengan tidur. Istirahat dan tidur mengkaji pola tidur normal individu, kesulitan saat tidur, serta kemampuan sensorik dan motorik (Mentro, 1999).

6. Interaksi Sosial

Suatu keseimbangan antara menyendiri, bergaul, dan kontak dengan teman. Interaksi sosial mengkaji kemampuan dalam melakukan interaksi sosial (Mentro, 1999).

7. Pencegahan Bahaya

Pencegahan bahaya merupakan penghindaran pada keadaan, objek, dan situasi yang mengancam yang mengganggu kehidupan, fungsi, dan kesehjateraan manusia. Pencegahan bahaya mengkaji kemungkinan cedera yang akan terjadi pada individu (Mentro, 1999).

8. Promosi kearah Normal

Suatu kemajuan dari fungsi normal manusia (tingkat kecerdasan rata-rata, perkembangan, dan fungsi) dengan kelompok sesuai potensi dan keterbatasan. Promosi kearah normal mengkaji langkah-langkah yang dilakukan individu untuk berfungsi secara normal (Mentro, 1999).

(40)

23

Universitas Indonesia

c. Developmental Self Care Requisites

1. Pemeliharaan Kebutuhan Perkembangan

Pemeliharaan kebutuhan perkembangan merupakan kesengajaan untuk terlibat dalam proses perkembangan dirinya yang dimanifestasikan sebagai upaya intropeksi, refleksi, generalisasi, produktivitas kinerja, klarifikasi tujuan, emosi positif, dan keseluruhan dari kesehatan mental yang positif. Pengkajian berkaitan dengan kemampuan melakukan perawatan untuk memenuhi kebutuhan perkembangan (Mentro, 1999). 2. Manajemen Kondisi yang Mengancam Perkembangan

Manajemen kondisi yang mengancam perkembangan meliputi ketiadaan atau hasil yang positif dari kondisi fisik, lingkungan, dan emosi (kehilangan pendidikan, kematian, kesehataan kurang) yang dapat mempengaruhi siklus perkembangan. Pengkajian meliputi bagaiman perasaan individu terhadap perkembangan dirinya sekarang dan stressor yang dialami individu (Mentro, 1999).

d. Health Deviation Self Care Requisites 1. Kepatuhan dalam Pengobatan

Suatu efektivitas tindakan pelaksanaan yang menggambarkan terapi medis untuk pencegahan gangguan perkembangan atau kemajuan terhadap status patologis. Pengkajian meliputi tingkat kepatuhan individu dalam menjalani proses perawatan (Mentro, 1999).

2. Kesadaran tentang Masalah Kesehatan

Suatu kesadaran dan pengakuan terhadap kondisi patologis dan efek yang ditimbulkan, serta tindakan yang dilakukan. Pengkajian meliputi pengetahuan dan kepercayaan individu terhadap proses perawatan dan pengobatan (Mentro, 1999).

3. Modifikasi Gambaran Diri dalam Perubahan Status Kesehatan

Suatu kemampuan individu mengenali dirinya terhadap status kesehatan, kebutuhan perawatan diri, dan diasosiasikan dengan citra tubuh. Pengkajian berkaitan dengan aspek psikososial yang dialami individu terhadap penyakitnya (Mentro, 1999).

(41)

Universitas Indonesia

4. Penyesuaian Gaya Hidup

Pengkajian meliputi penyesuain gaya hidup individu mengenai penyakitnya (Mentro, 1999).

2.2.3.2 Diagnostic Operations

Diagnostic operations merupakan proses untuk menentukan masalah dan

diagnosa keperawatan. Diagnosa keperawatan ditentukan berkaitan dengan self

care demand. Penentuan self care demand dilakukan dengan dasar pengkajian

pada basic conditioning factor yang dilanjutkan universal, developmental, dan

deviation self care. Refleksi data dilakukan dengan melihat keadekuatan dari self care sebagai proses akhir dari tahap ini untuk menetukan self care deficit

(Alligood & Tomay, 2006).

2.2.3.3 Prescriptive Operation

Prescriptive operation merupakan tahapan untuk menentukan jenis bantuan yang

akan diberikan dalam melakukan intervensi keperawatan. Fase prescriptive merupakan fase menentukan untuk metode pemberian bantuan yang tepat dengan mempertimbangkan basic conditioning factor. Prioritas self care demand lebih esensial pada proses fisiologis (Alligood & Tomay, 2006).

2.2.3.4 Regulatory Operation

Regulatory operation merupakan tahapan dalam menyusun rencana asuhan

keperawatan sampai implementasi dari rencana keperawatan. Fase regulator bertujuan untuk mendesain rencana asuhan keperawatan yang tepat berdasarkan fase presciptive. Asuhan keperawatan berdasarkan teori orems terdiri dari outcome atau tujuan, jenis nursing system yang digunakan, serta intervensi berdasarkan jenis bantuan yang akan diberikan. Metode pemberian bantuan merupakan dasar untuk melakukan intervensi dengan mempertimbangkan waktu, frekuensi, dan kondisi pasien dengan tepat (Alligood & Tomay, 2006).

(42)

25

Universitas Indonesia

2.2.3.5 Control Operation

Control operation merupakan tahapan evaluasi dalam asuhan keperawatan. Evaluasi dilakukan pada fase control, dimana efektivitas regulatory operation dan

outcome klien di estimasi (Alligood & Tomay, 2006).

2.3 Asuhan Keperawatan pada Oteomielitis dengan Model Self Care Orem

2.3.1 Pengkajian

2.3.1.1 Basic Conditioning Factor

Basic conditioning faktor pada osteomielitis mengkaji faktor-faktor yang beresiko meningkatkan terjadinya infeksi pada sistem muskuloskeletal. Faktor-faktor yang meningkatkan resiko infeksi pada sistem muskuloskeletal meliputi usia, jenis kelamin, sosioekonomi/budaya, medikasi, obesitas, malnutrisi, dan gaya hidup (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

Faktor usia berkaitan dengan lansia, karena pada Lansia akan terjadi penurunkan respon imun dan meningkatkan kekurangan nutrisi. Jenis kelamin berhubungan dengan karakteristik herediter dan hormonal, dimana laki-laki lebih rentan terkena infeksi. Sosioekonomi dan budaya berkaitan dengan sanitasi lingkungan yang buruk, ketidakcukupan pendapatan untuk biaya kesehatan, dan menunda mencari penanganan medis. Kemoterapi, steroid, dan frekuensi penggunaan antibiotik mengganggu respon imun. Obesitas berpengaruh terhadap suplay darah untuk pengiriman nutrisi dan elemen esensial seluler. Malnutrisi mempengaruhi respon humoral dan sel yang memediasi imunitas, menganggu kemotaksis neutrofil, mengurangi pembersihan bakteri, menekan fungsi bakterisidal neutrofil, menghambat respon inflamasi dan serum yang menunda penyembuhan luka. Gaya hidup berkaitan dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol dan merokok. Alkohol mempengaruhi nutrisi, menunda hipersensitivitas, menurunkan aktivitas neutrofil, dan menekan fungsi sumsum tulang. Merokok menurunkan perfusi oksigen jaringan (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

(43)

Universitas Indonesia

2.3.1.2 Universal Self Care Requisites a. Udara

Gangguan oksigenasi pada ostemielitis terjadi pada saturasi oksigenasi pada tingkat jaringan karena penurunan kadar hemoglobin sebagai dampak infeksi sistemik pada osteomielitis kronis. Nilai hemoglobin menurun karena toksin dari bakteri (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

b. Cairan

Tindakan bedah yang dilakukan pada osteomielitis akan mempengaruhi status cairan. Tindakan bedah yang dilakukan pada ostemielitis akan mempengaruhi keadekuatan sirkulasi (Smeltzer & Bare, 2006).

c. Nutrisi

Nutrisi akan mengalami gangguan karena peningkatan kebutuhan metabolisme akibat infeksi. Metabolisme yang meningkat (peningkatan 1 derajat suhu tubuh akan meningkatkan metabolisme 13%) akan menyebabkan peningkatan kebutuhan kalori, protein, karbohidrat, dan vitamin (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

d. Eliminasi

Gangguan eliminasi fekal terjadi apabila klien berada dalam kondisi imobilisasi dalam jangka waktu yang lama (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

e. Aktivitas dan Istirahat

Penyebab ketidakmapuan melakukan self care kebutuhan aktivitas berkaitan dengan manifestasi pada area lokal dan sistemik. Osteomielitis akan menyebabkan keterbatasan gerak pada area tulang yang terinfeksi (Maher, Salmond, & Pellino; 2002). Infeksi muskuloskeletal akan menyebabkan kelemahan dan kelelahan.

f. Interaksi Sosial

Interaksi sosial terhambat karena pasien osteomielitis tidak mampu melakukan mobilisasi.

g. Pencegahan Bahaya

Bahaya yang paling tinggi pada osteomielitis adalah syok sepsis karena osteomielitis memberikan dampak infeksi secara sistemik terutama pada

(44)

27

Universitas Indonesia

osteomielitis kronis. Nyeri dapat bersifat berat karena sebagai reaksi peradangan dan spasme otot. Integritas jaringan terganggu karena osteomielitis menyebabkan pembentukan eksudat yang purulen (Maher, Salmond, & Pellino; 2002)..

h. Promosi ke Arah Normal

Ostemielitis kronis memerlukan penyembuhan dalam waktu lama, bahkan memiliki angka morbiditas yang signifikan. Proses penyembuhan yang sulit akan menghambat self care promosi ke arah normal karena berbagai gejala yang ditimbulkan (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

2.3.1.3 Developmental Self Care Requisites

Osteomielitis manifestasi klinis sebagai reaksi inflamasi akut dan proses infeksi akan mengkibatkan masalah pada aspek pengetahuan sebagai self care manajemen kondisi yang mengancam bahaya. Kurang pengetahuan pada pasien osteomielitis berupa kurangnya pemahaman mengenai penyakit dan medikasi (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

2.3.1.4 Health Deviation Self Care Requisites

Modifikasi gambaran diri merupakan area self care yang terganggu pada fase akut osteomielitis dalam bentuk kecemasan. Fase akut osteomielitis akan menimbulkan nyeri hebat sehingga mengakibatkan ketakutan dalam jangka waktu lama, serta kekhawatiran (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

2.3.2 Diagnostic Operation

Diagnosa keperawatan yang muncul pada osteomielitis mengacu pada manifestasi klinis yang ditimbulkan baik lokal maupun sistemik. Diagnosa keperawatan yang muncul pada osteomielitis meliputi nyeri, hipertermia, gangguan integritas jaringan, keterbatasan mobilitas fisik, intoleransi aktivitas, kurang pengetahuan, sampai kecemasan.

(45)

Universitas Indonesia

2.3.3 Prescriptive Operation

Metode pemberian bantuan ditentukan berdasarkan kemampuan pasien melakukan self care. Metode pemberian bantuan yang dilakukan meliputi

guidance, teaching, support, directing, providing the developmental environment.

2.3.4 Regulatory Operation

Regulatory operation ditentukan berdasarkan nursing system yang tepat untuk

pasien dengan melihat kemampuan melakukan self care. Masalah keperawatan nyeri, hipertermia, gangguan integritas jaringan, keterbatasan mobilitas fisik dan intoleransi aktivitas nursing system dapat berupa wholly compensatory atau partly

compensatory. Kurang pengetahuan dan kecemasan, nursing system yang

diterapkan dapat berupa supportive educative compensatory.

Intervensi keperawatan nyeri pada osteomielitis adalah manajemen nyeri dengan mengkombinasikan antara manajemen nyeri farmakologis dan non-farmakologis. Intervensi keperawatan hipertemia adalah fever treatment dan manajemen lingkungan. Intervensi keperawatan gangguan integritas jaringan berupa perawatan luka dan kontrol infeksi. Diagnosa keterbatasan fisik dan intoleransi aktivitas, maka intervensi keperawatan berupa bed rest care, manajemen energi,

exercise therapy, positioning, dan distraksi. Intervensi keperawatan kecemasan

adalah reduksi kecemasan. Defisit pengetahuan intervensi keperawatan berupa pendidikan kesehatan mengenai pencegahan infeksi (Maher, Salmond, & Pellino; 2002).

2.3.5 Control Operation

Control operation merupakan evaluasi efektivitas dari self care yang dilakukan

pada pasien. Evaluasi dilakukan dengan menganalisa efektivitas nursing system dan respon pasien.

Gambar

Gambar 2.1 Perkembangan Infeksi Osteomielitis
Gambar 2.2 Varian Osteomielitis dan Jenis Tindakan Pembedahan
Tabel 3.1 Intake-Output Tn. NK dengan Osteomielitis Kronis
Tabel 3.2 Nursing System Design pada Tn. NK dengan Osteomielitis Kronis
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hal yang telah dijelaskan diatas, maka penulis mengambil judul dalam penelitian ini adalah “ RANCANG BANGUN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA PICOHYDRO DI DUSUN CIBUNAR

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan ransum memberikan perbedaan yang nyata terhadap konsumsi bahan kering, konsumsi protein dan retensi protein (P<0,01),

*) pengunduran diri efektif terhitung sejak tanggal dikeluarkannya persetujuan atas penilaian kemampuan dan kepatutan (fit and proper test) dari OJK untuk pengangkatan Tuan CHA JAE

Jumlah partisipan dalam penelitian ini berjumlah 312 siswa (laki-laki=100, perempuan= 212), seluruhnya adalah siswa Sekolah Menengah Atas di Sulawesi Selatan

Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha untuk Adapun yang dimaksud dengan usaha kesehatan lingkungan adalah suatu usaha

Mengkoordinasikan Mengkoordinasikan pelaksanaan pelaksanaan Program Program Pemberdayaan Pemberdayaan Masyarakat serta penarikan/pengembaliannya secara tertib bagi

Biosorption of cadmium and lead from aqueous solution by fresh water alga Anabaena sphaerica biomass.. Journal of

Warna-warni bromeliad disukai di tanahair karena dapat bertahan lama tanpa perawatan khusus Tillandsia sp, jenis yang digemari di Amerika.. misalnya, jutaan biji bromeliad