1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Kebutuhan dunia terhadap minyak dan lemak nabati mengalami peningkatan setiap
tahun. Produksi minyak dan lemak nabati pada tahun 2006 mencapai 123 juta ton dan
diprediksi meningkat menjadi 142 juta ton pada tahun 2010. Sebanyak 45,5 juta ton minyak
dan lemak nabati tersebut berasal dari minyak kelapa sawit, dan 22,3 juta ton (46 %) berasal
dari Indonesia (Anonim, 2010 dalam : Ayustaningwarno, 2012). Minyak makan adalah
minyak yang dikonsumsi langsung. Sebagai bahan baku utama minyak makan, minyak sawit
memiliki banyak keunggulan dibanding bahan baku lainnya. Keunggulan utama minyak
sawit adalah kandungan mikronutriennya yang tinggi terutama β-karoten. Tingginya
kandungan β-karoten tersebut menyebabkan minyak sawit berwarna merah sehingga sering
disebut minyak sawit merah atau disebut dengan red pal oil (RPO)(Ayustaningwarno, 2012).
Minyak kelapa sawitdiperolehdarimosocarp (daging buah)daribuahkelapa sawit. Minyak inidiekstraksi darimesocarpdaribuahkelapa sawit sehingga menghasilkan CPO (crude palm oil).Crude Palm Oil (CPO) banyak dimanfaatkan di berbagai industri, baik untuk
industri pangan atau industri non pangan. Salah satu pemanfaatannya yang paling banyak adalah sebagai bahan baku pembuatan minyak goreng. Minyak sawit kasar berbentuk semipadat pada suhu ruang.
Pemurnianminyak sawit kasar melibatkan prosespemutihan atau bleaching. Tujuanpemutihan (bleaching)adalahuntukmenghilangkan komponen-komponenyang tidak diinginkan seperti zat warna yang tidak disukai dalam minyak. Pemucatan ini dilakukan
2
dengan mencampur minyak dengan sejumlah bahan pemucat yang berfungsi sebagai adsorben untuk menyerap zat-zat warna pada minyak seperti tanah pemucat atau bleaching earth (BE). Proses pemucatan CPO dilakukan dengan menggunakan tanah pemucat dengan
kadar antara 0,5-2,0% dari massa CPO. Dengan asumsi pada tahun 2013 konsumsi dalam negeri CPO sebesar 7.5 juta ton digunakan untuk membuat minyak goreng dan turunannya, maka dalam proses pemurnian CPO diperlukan tanah pemucat sebesar 150,000 ton per tahun. (Suryanidkk, 2015).Dengan semakin banyaknya jumlah CPO yang dipucatkanmaka jumlah tanah pemucat bekas atau spent bleaching earth (SBE) yang dihasilkan akan semakin meningkat, sehingga untuk menangani limbah padat ini dibutuhkan lahan yang lebih luas untuk tempat pembuangannya. Oleh sebab itu penanganan limbah SBE sangat penting dilakukan, mengingat besarnya potensi limbah yang akan dihasilkan, dan juga perkembangan industri pemurnian minyak nabati di Indonesia yang cukup signifikan. Sehingga pada proses ini akan menghasilkan limbah SBE dalam jumlah yang sangat banyak yang masih mengandung minyak sehingga berpotensi untuk diekstraksi kembali. Selain itu SBE dapat menimbulkan polusi pada tanah, air maupun udara, serta dapat juga menimbulkan reaksi pembakaran akibat jenuh dengan minyak yang tertahan. Menurut Fattah et al. (2014), kandungan minyak dalam SBE sebesar 17-28 %.
Pada penelitian ini proses recovery dilakukan dengan cara ekstraksi dengan pemanasan pada suhu 55°C sehingga diharapkan kandungan minyak pada SBE dapat terekstrak seluruhnya oleh pelarut n-heksana. Sehingga akan menghasilkan persen rendemen minyak yang tinggi. Setelah proses ekstraksi selanjutnya dilakukan proses penguapan yang bertujuan untuk menguapkan n-heksana sampai seluruhnya habis menguap sehingga diperoleh fraksi minyak yang bebas n-heksana. Untuk meningkatkan proses recovery oil dari SBE, maka dilakukan pengadukan dengan kecepatan 12 rpm pada reaktor ekstraksi selama 10
3
jam. Menurut Shahi et al. (2015) ekstraksi dengan pelarutadalah metode yang paling umumdanmetode terbaikuntuk mengambilminyak dariSBE
1.2.Permasalahan
.
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan kondisi optimum untuk proses ekstraksi minyak dari SBE dengan menggunakan reaktor ekstraksi sehingga kandungan minyak pada SBE dapat terekstrak seluruhnya sehingga diperoleh persen rendemen yang tinggi. Proses ini juga dilakukan untuk mengamati bagaimana pengaruh lamanya waktu ekstraksi terhadap rendemen minyak yang diperoleh dan untuk menentukan kadar air, kadar kotoran, kadar asam lemak bebas, warna dan penentuan bilangan iod pada minyak hasil ekstraksi dan hasilnya dibandingkan dengan standar mutu CPO secara SNI sehingga dapat disimpulkan apakah minyak hasil ekstraksi dari SBE layak digunakan kembali menjadi minyak goreng atau tidak.
Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi ekstraksi yang optimum pada ekstraksi spent bleaching earth (SBE) dengan pelarut n-heksana menggunakan reaktor ekstraksi dan bagaimana kualitas minyak yang diperoleh dari ekstraksi SBE.
1.3.Tujuan
Untuk mengetahui kondisi ekstraksi yang optimum pada ekstraksi spent bleaching earth (SBE) dengan pelarut n-heksana menggunakan reaktor ekstraksi dan untuk mengetahui kualitas minyak yang diperoleh dari ekstraksi SBE.
4
1.4.Manfaat
Melalui hasil percobaan ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada penulis dan perusahaan tentang kondisi ekstraksi yang optimum pada ekstraksi spent bleaching earth (SBE) dengan menggunakan reaktor ekstraksi. Memberikan pengetahuan kepada penulis tentang hubungan antara lama waktu pemanasan pada ekstraksi SBE dengan kadar minyak yang diperoleh serta juga memberikan pengetahuan tentang kualitas minyak yang diperoleh dari hasil ekstraksi SBE tersebut.