• Tidak ada hasil yang ditemukan

Aspek Hukum Pembebanan Jaminan Fidusia Antara Perusahaan Pembiayaan Dengan Nasabah (Studi Pada PT. Dipo Star Finance Cabang Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Aspek Hukum Pembebanan Jaminan Fidusia Antara Perusahaan Pembiayaan Dengan Nasabah (Studi Pada PT. Dipo Star Finance Cabang Medan)"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN HUKUM JAMINAN FIDUSIA MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999

A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Sejarah Jaminan Fidusia

Istilah Fidusia berasal dari kata fiduciair atau fides, yang artinya kepercayaan,

yakni penyerahan hak milik atas benda secara kepercayaan sebagai jaminan (agunan)

bagi pelunasan piutang kreditur. Penyerahan hak milik atas benda ini dimaksudkan

hanya sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu, di mana memberikan

kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia (kreditur) terhadap kreditur

lainnya.14

Ketentuan dalam pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999

tentang Jaminan Fidusia ( selanjutnya disingkat dengan UUJF) menyatakan, “Fidusia

adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan

ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam

penguasaan pemilik benda.”

Dari perumusan pasal di atas, maka unsur-unsur fidusia adalah :

1. Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;

2. Dilakukan atas dasar kepercayaan;

3. Benda yang dialihkan hak kepemilikannya tetap dikuasai oleh pemilik

benda

14

(2)

Dengan demikian dapat diketahui bahwa fidusia adalah penyerahan hak

kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan (fiduciair) dimana benda yang

dialihkan tetap berada dalam penguasaan pemilik benda (debitur).

Adapun cara penyerahan dan pemindahan kebendaan fidusia dilakukan secara

constitutum possesorium yaitu penyerahan hak kepemilikan saja tanpa dilakukan

penyerahan fisik bendanya. Penyerahan dilakukan secara constitutum possesorium

sebab kebendaan fidusia yang diserahkan dan dipindahtangankan tersebut, tetap

berada dalam penguasaan pemilik asal (pemberi fidusia).15 Bentuk penyerahan

constitutum possesorium ini dikenal dalam praktik, dan tidak dikenal dalam KUH Perdata, sebab dalam ketentuan Pasal 612 KUH Perdata disebutkan bahwa

penyerahan atas benda bergerak dilakukan secara nyata.16

Selain itu dalam Pasal 1 angka 2 UUJF disebutkan pengertian Jaminan

Fidusia yaitu:

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 1 angka 2 UUJF, maka unsur-unsur

Jaminan Fidusia adalah :

1. Lembaga hak jaminan kebendaan;

15

Ibid, hlm 152.

16

(3)

2. Objeknya adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak yang tidak

dapat dibebani Hak Tanggungan;

3. Objek jaminan tersebut dimaksudkan sebagai agunan;

4. Untuk pelunasan utang tertentu;

5. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia

terhadap kreditor lainnya.

Pasal 2 UUJF menentukan ruang lingkup berlakunya UUJF yaitu,

“Undang-undang ini berlaku terhadap setiap perjanjian fidusia yang bertujuan untuk

membebani benda dengan Jaminan Fidusia.”

Oleh karena itu setiap perjanjian yang bertujuan membebani benda dengan

Jaminan Fidusia maka tunduk pada UUJF. Dengan demikian Pasal 3 UUJF

menyebutkan bahwa ketentuan dalam Undang-Undang ini tidak berlaku terhadap :

a. Hak Tanggungan yang berkaitan dengan tanah dan bangunan, sepanjang

peraturan perundang-undangan yang berlaku menentukan jaminan atas benda-benda tersebut wajib didaftar. Namun demikian bangunan di atas milik orang lain yang tidak dapat dibebani hak tanggungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan dapat dijadikan objek Jaminan Fidusia;

b. Hipotek atas kapal yang terdaftar dengan isi kotorn berukuran 20 (dua

puluh) M3 atau lebih;

c. Hipotek atas pesawat terbang; dan

d. Gadai.

Untuk menentukan objek suatu jaminan, pertama-tama kita harus mengetahui

pembagian klasifikasi benda. Sebagai kita ketahui, benda di dalam KUH Perdata

antara lain dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar, yaitu benda bergerak dan benda

(4)

(dua) kelompok seperti itu mendapat penjabarannya lebih lanjut dalam Hukum

Jaminan, yaitu untuk masing-masing kelompok benda oleh KUH Perdata diberikan

lembaga jaminannya masing-masing. Untuk benda bergerak disediakan lembaga

jaminan Gadai (Pasal 1150 KUH Perdata dan selanjutnya), sedangkan untuk benda

tetap disediakan lembaga Hipotik (Pasal 1162 KUH Perdata dan selanjutnya).17

Seperti kita ketahui bahwa Jaminan Fidusia merupakan reaksi atas ketentuan

tentang Gadai. Dengan lahirnya UUJF, yaitu dengan mengacu pada pasal 1 butir 2

dan 4 serta pasal 3 UUJF, dapat dikatakan bahwa yang menjadi objek Jaminan

Fidusia adalah benda apa pun yang dapat dimiliki dan dialihkan hak kepemilikannya.

Benda itu dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, terdaftar maupun

tidak terdaftar, bergerak maupun tidak bergerak, dengan syarat bahwa benda tersebut

tidak dapat dibebani dengan hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atau Hipotek sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 314 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang jis pasal 1162 dst.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 18

Lebih lanjut Pasal 9 ayat 1 UUJF mengatakan bahwa,” Jaminan Fidusia dapat

diberikan 1 (satu) atau lebih satuan atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang

telah ada pada saat jaminan diberikan maupun yang diperoleh kemudian.”

Selanjutnya kita tahu, bahwa objek Jaminan Fidusia meliputi baik benda

berwujud maupun benda tidak berwujud, yaitu piutang/tagihan dan tagihan itu

17

J. Satrio, Hukum Jaminan; Hak Kebendaan Fidusia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002), hlm. 4.

18

(5)

meliputi baik yang sudah ada maupun yang akan ada. Berbicara tentang tagihan yang

akan ada mengingatkan kepada kita akan permasalahan gadai atas tagihan atas nama,

yang dalam prakteknya dilaksanakan dengan cara menceeder (cessie) tagihan yang

bersangkutan kepada kreditur. Karena cessie merupakan penyerahan tagihan batas

nama, agar dengan tagihan itu menjadi hak dari kreditur/cessionaris, maka fidusia

tagihan mempunyai persamaan dengan cessie tagihan. Kedua-duanya merupakan

penyerahan hak milik yang hanya dimaksudkan sebagai jaminan saja. Oleh karenanya

di sini berlaku juga cessie sebagai jaminan.

Untuk menghindarkan kesulitan dan keruwetan di kemudian hari, dalam Pasal

10 UUJF sudah ditetapkan, bahwa:

(1) Jaminan Fidusia meliputi hasil dari Benda yang menjadi objek Jaminan

Fidusia

(2) Jaminan Fidusia meliputi klaim asuransi, dalam hal Benda yang menjadi

objek Jaminan Fidusia diasuransikan

Jaminan Fidusia telah digunakan di Indonesia sejak zaman penjajahan

Belanda sebagai bentuk jaminan yang lahir dari yurisprudensi, yang semula berasal

dari zaman Romawi. Di negeri asalnya tersebut, selain bentuk jaminan, juga sebagai

lembaga titipan.19

Fidusia adalah lembaga yang berasal dari sistem hukum perdata barat, dimana

sistem hukum Indonesia yang mengadopsi sistem hukum Belanda yang didasarkan

atas Asas Konkordansi. Demikian pula dengan sistem hukum Belanda yang juga

19

(6)

mengadopsi sistem hukum Prancis, dan sistem hukum Prancis berasal dari hukum

Romawi. Begitulah pertautan hukum yang terjadi sehingga sistem hukum Indonesia

mengenal lembaga Fidusia.

Dalam hukum Romawi lembaga fidusia ini dikenal dengan nama fiducia cum

creditore contracta (artinya janji kepercayaan yang dibuat kreditur). Isi janji yang dibuat oleh debitur dengan krediturnya adalah debitur akan mengalihkan kepemilikan

atas suatu benda sebagai jaminan utangnya dengan kesepakatan bahwa debitur tetap

akan menguasai secara fisik benda tersebut dan kreditur akan mengalihkan kembali

kepemilikan tersebut kepada debitur bilamana utangnya sudah dibayar lunas. Dengan

demikian berbeda dari pignus (gadai) yang mengharuskan penyerahan secara fisik

benda yang digadaikan. Dalam hal fiducia cum creditor pemberi fidusia tetap

menguasai benda yang menjadi objek fidusia. Dengan tetap menguasai benda

tersebut, pemberi fidusia dapat menggunakan benda dimaksudkan dalam menjalankan

usahanya.20

Dalam perjanjian ini, kekuatan perjanjian hanya sebatas kepercayaan saja dan

tidak memiliki kekuatan hukum. Debitor tidak bisa berbuat apa-apa jika kreditur tidak

mengembalikan hak kepemilikan atas barang jaminan tersebut. Hal ini merupakan

kelemahan fidusia pada bentuk awalnya jika dibandingkan dengan sistem hukum

jaminan yang kita kenal sekarang.

20

(7)

Karena kelemahan itu, ketika gadai dan hipotek berkembang sebagai hak- hak

jaminan kebendaan, terdesaklah fidusia hingga akhirnya hilang sama sekali dari

hukum Romawi. Kalau kita ikuti pertumbuhan fidusia ini dapatlah dikatakan bahwa

ia timbul karena kebutuhan masyarakat akan hukum jaminan dan ia lenyap karena

dianggap tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Akan tetapi, setelah gadai

dan hipotek menggantikan fidusia sebagai jaminan, kebutuhan masyarakat mendesak

timbulnya lembaga fidusia sebagai jaminan kembali.21

Di samping lembaga Jaminan Fidusia di atas, hukum Romawi juga mengenal

suatu lembaga titipan yang dikenal dengan nama fiducia cum amico contracta

(artinya janji kepercayaan yang dibuat teman). Lembaga fidusia ini sering digunakan

oleh seorang pater familias yang harus meninggalkan keluarga dan tanahnya untuk

jangka waktu yang lama, karena ia harus membuat perjalanan jauh atau pergi perang.

Dalam hal demikian, pater familias tersebut akan menitipkan familia-nya, yaitu

keluarga dan seluruh kekayaannya, kepada seorang teman yang selanjutnya akan

mengurus tanah dan kekayaannya serta memberi bimbingan dan perlindungan kepada

keluarga yang ditinggalkan oleh pater familias. Tentu saja antara pater familias dan

temannya tersebut dibuat janji bahwa teman tersebut akan mengembalikan

kepemilikan atas familias tersebut bilamana pater familias sudah kembali dari

perjalanannya. Pada dasarnya lembaga fidusia cum amico sama dengan lembaga trust

sebagaimana dikenal dalam sistem hukum Anglo-Amerika (common law).22

21

Oey Hoey Tiong, Op.cit., hlm. 36-37.

Trust

22

(8)

adalah hubungan kepercayaan (fiduciary) yang di dalamnya satu orang adalah sebagai

pemegang hak atas harta kekayaan berdasarkan hukum (Legal Title) tunduk pada

kewajiban berdasarkan equity untuk memelihara atau mempergunakan milik itu untuk

kepentingan orang lain.23 Jadi dalam fiducia cum amico contracta, terjadi bilamana

seorang menyerahkan kewenangannya kepada pihak lain atau menyerahkan suatu

barang kepada pihak lain untuk diurus.24

Perkembangan selanjutnya adalah ketika Hukum Belanda meresepsi Hukum

Romawi, di mana fidusia sudah lenyap, fidusia tidak ikut diresepsi. Itulah sebabnya

mengapa dalam Burgelijk Wetboek (BW) Belanda tidak ditemukan pengaturan

tentang fidusia. Seterusnya sesuai dengan Asas Konkordansi, dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia yang memberlakukan BW juga tidak ditemukan

pengaturan tentang fidusia.25

KUH Perdata hanya mengenal gadai yaitu lembaga jaminan untuk benda

bergerak yang objek jaminan berada di bawah kekuasaan penerima gadai (kreditur)

dan hipotik yaitu lembaga jaminan untuk benda tidak bergerak.

Pada akhir abad ke-19 muncul suatu problema di masyarakat, yaitu terjadi

krisis dalam bidang usaha pertanian akibat serangan hama sehingga mengakibatkan

gagal panen yang dialami oleh para petani. Para pengusaha pertanian membutuhkan

modal pada saat itu, namun pihak bank hanya memberikan kredit dengan jaminan

23

Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia; Suatu Kebutuhan yang Didambakan, (Bandung: Alumni, 2004), hlm. 40.

24

Oey Hoey Tiong, Loc.cit.

25

(9)

gadai alat-alat pertanian, yang tentunya sulit dipenuhi, karena petani memerlukan

alat-alat pertanian tersebut untuk menjalankan usaha pertaniannya. Demikian juga

petani tidak dapat memberikan jaminan hipotik karena mereka tidak mempunyai

tanah hak milik. Di samping itu Bank juga meminta adanya jaminan tambahan selain

hipotik. 26

Berdasarkan hal tersebut, maka lahirlah suatu lembaga jaminan baru yaitu

Oogstverband (Ikatan Panen), di mana hasil panen dijadikan sebagai jaminan

tambahan. Oogstverband adalah suatu hak kebendaan atas hasil-hasil pertanian yang

belum dipetik atau sudah beserta perusahaan serta peralatan yang digunakan untuk

pengolahan hasil pertanian itu, untuk jaminan agar supaya dipenuhi perjanjian untuk

menyerahkan produk-produk itu kepada pemberi uang untuk dijual dalam komisi

dengan tujuan membayar uang-uang persekot, bunga-bunga, ongkos-ongkos dan uang

provisi dari hasil penjualan.27

Oogstverband dapat dikatakan sebagai perluasan dari lembaga jaminan gadai, di mana yang menjadi objek jaminan adalah benda bergerak, namun objek jaminan

tetap berada di bawah kekuasaan debitur.

Lembaga Jaminan Fidusia di Belanda mendapat pengakuannya dari pengadilan

melalui arrest yang kemudian terkenal dengan sebutan Bierbrouwerij Arrest, tanggal

25 Januari 1929. Putusan ini telah melahirkan pranata jaminan dengan jaminan

penyerahan hak milik secara kepercayaan yang dikenal dengan fidusia. Putusan Hoge

26

J satrio, Op.cit., hlm. 172-173.

27

(10)

Raad itu kemudian menimbulkan pertentangan pendapat di kalangan ahli hukum.

Terutama yang menyangkut salah satu pertimbangan Hoge Raad dalam putusannya

yang menyatakan bahwa perjanjian penyerahan hak milik itu tidak bertentangan

dengan ketentuan tentang gadai, karena para pihak tidak bermaksud mengadakan

gadai. Sebagian para ahli hukum menyetujui pertimbangan itu, tetapi sebagian lagi

menyatakan bahwa dengan demikian Hoge Raad mengakui suatu penyelundupan

hukum.28

Di Indonesia, keberadaan fidusia pertama sekali diakui oleh yurisprudensi

berdasarkan keputusan Hoogerechtshof (HgH) tanggal 18 Agustus 1932 dalam

perkara antara B.P.M. melawan Clignet. Sejak putusan tersebut keberadaan lembaga

fidusia semakin digemari dan berkembang di masyarakat, khususnya untuk

melakukan kegiatan perkreditan, dimana benda yang dijaminkan tetap berada di

bawah kekuasaan debitur, sehingga debitur dapat tetap menjalankan usaha dan

menggunakan benda jaminan tersebut secara fisik.

Fidusia dalam perkembangannya juga digunakan untuk benda-benda tidak

bergerak. Hal ini terlihat dengan berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA)

yang menentukan bahwa yang menjadi objek hipotik hanyalah tanah atas hak milik,

sehingga terdapat tanah-tanah yang tidak dapat dijaminkan melalui hipotik, sehingga

dapat dijaminkan dengan fidusia.29

28

Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, Op.cit., hlm. 125.

29

(11)

Dalam upaya mencari kepastian hukum bagi debitur maupun kreditur telah

ada beberapa undang-undang yang diterapkan atau dipakai sebelum adanya

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diberlakukan, yaitu sebagai

berikut: 30

1. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun ;

2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Perumahan ;

3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan ;

4. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan (UUHT)

;

5. Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Pengaturan hukum tentang Jaminan Fidusia secara komprehensif pada

akhirnya diatur dan diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1992

tentang Jaminan Fidusia yang diundangkan pada tanggal 30 September 1999,

Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 168.

B. Prinsip-Prinsip Jaminan Fidusia

Istilah asas merupakan terjemahan dari bahasa latin “principium” yang dalam

bahasa Inggris disebut “principle”. Padanan kata ini dalam bahasa Belanda

“beginsel” yang artinya dasar atau sesuatu yang menjadi tumpuan berpikir atau

berpendapat. Kata “principle” atau sering di bahasa indonesiakan sebagai prinsip

yaitu sebagai sesuatu yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar tumpuan,

sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk mengembalikan sesuatu hal yang ingin

dijelaskan.31

30

Andreas Albertus, Hukum Fidusia, (Yogyakarta: Selaras, 2010), hlm. 66. 31

(12)

Kata “principle” atau asas adalah sesuatu, yang dapat dijadikan sebagai alas, sebagai dasar, sebagai tumpuan, sebagai tempat untuk menyandarkan, untuk

mengembalikan sesuatu hal, yang hendak dijelaskan. Principle is a fundamental truth

or doctrine, as of law; a comprehensive rule or doctrine which furnishes a basis or origin for others) Pengertian ini belum memberikan kejelasan dalam ilmu hukum, tetapi sudah memberikan arahan tentang hal yang essensi dari asas yakni ajaran atau

kebenaran yang mendasar untuk pembentukan peraturan hukum yang menyeluruh.32

Tan Kamello menjabarkan prinsip-prinsip atau asas-asas Jaminan Fidusia

yang terdapat dalam UUJF yaitu:33

1. Asas Preferensi, yaitu kreditur penerima fidusia berkedudukan sebagai

kreditur yang diutamakan dari kreditur-kreditur lainnya. Asas tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka (2) dan Pasal 27 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam ilmu hukum asas

ini disebut juga droit de preference.

2. Asas bahwa Jaminan Fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia dalam tangan siapa pun benda tersebut berada. Dalam

ilmu hukum asas ini disebut droit de suite atau zaaksgevolg. Asas ini

menunujukkan bahwa Jaminan Fidusia adalah merupakan hak kebendaan (zakelijkrecht) dan bukan hak perorangan (persoonlijkrecht), karena hak

perorangan tidak memiliki karakter droit de suite.

3. Asas bahwa Jaminan Fidusia adalah merupakan perjanjian ikutan yang

lazim disebut asas asesoritas yang mengandung arti bahwa keberadaan Jaminan Fidusia adalah ditentukan oleh perjanjian lain yaitu perjanjian utama atau perjanjian prinsipal. Dalam hal ini perjanjian utama bagi Jaminan Fidusia adalah perjanjian utang piutang yang melahirkan utang yang dijamin dengan Jaminan Fidusia. Hal ini ditegaskan dalam pasal 4 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang

32

Muhammad Abdulkadir, Jaminan dan fungsinya, (Bandung : Gema Insani Pers, 1993), hlm.6.

33

(13)

menyebutkan bahwa perjanjian ikutan dari perjanjian pokok yang menimbulkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.

4. Asas bahwa Jaminan Fidusia dapat diletakkan utang yang baru akan ada

(kontinjen). Hal ini dapat dilihat dalam pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menentukan bahwa obyek Jaminan Fidusia dapat dibebankan kepada utang yang akan ada. Asas ini tampak dibuat untuk menampung aspirasi kebutuhan hukum dunia perbankan, misalnya utang yang timbul dari pembayaran yang dilakukan oleh kreditur untuk kepentingan debitur dalam rangka pelaksanaan garansi bank. (lihat penjelasan pasal 7 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999).

5. Asas bahwa Jaminan Fidusia dapat dibebankan terhadap benda yang akan

ada. Hal ini dapat ditemukan dalam pasal 9 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia yang menentukan bahwa obyek Jaminan Fidusia dapat diberikan pada satu atau lebih atau jenis benda, termasuk piutang, baik yang telah ada pada saat jaminan diberikan, maupun yang akan diperoleh kemudian. Asas ini adalah salah satu yang membedakan Jaminan Fidusia dengan hipotek. Seperti diketahui, jaminan hipotek hanya dapat diletakkan atas benda-benda yang sudah ada (Pasal 1175 KUH Perdata).

6. Asas bahwa Jaminan Fidusia dapat dibebankan terhadap bangunan/atau

rumah yang terdapat di atas tanah milik orang lain. Asas ini dinamakan asas pemisahan horizontal sebagaimana dapat diketahui pengaturannya dalam penjelasan pasal 3 huruf (a) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

7. Asas bahwa Jaminan Fidusia berisikan uraian secara detail terhadap

subyek dan obyek Jaminan Fidusia. Subyek Jaminan Fidusia yang dimaksud adalah identitas para pihak yakni pemberi dan penerima Jaminan Fidusia. Sedangkan oyek jaminan yang dimaksud adalah perjanjian pokok yang dijamin fidusia, uraian mengenai Jaminan Fidusia, nilai penjamin dan nilai benda yang menjadi obyek Jaminan Fidusia. Asas inilah yang dikenal sebagai asas spesialitas atau pertelaan sebagaiman yang diatur dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

8. Asas bahwa pemberi Jaminan Fidusia harus orang yang memiliki

(14)

Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, ternyata Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia belum mencantumkan asas ini secara jelas dan tegas.

9. Asas bahwa Jaminan Fidusia harus didaftar ke Kantor Pendaftaran Fidusia

diatur dalam Pasal 12 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Asas ini dalam ilmu hukum disebut asas publisitas. Asas publisitas juga melahirkan asas kepastian hukum terhadap Jaminan Fidusia.

10.Asas bahwa benda yang dijadikan obyek Jaminan Fidusia obyek Jaminan

Fidusia tidak dapat dimiliki oleh kreditor penerima Jaminan Fidusia sekalipun hal itu diperjanjikan. Hal ini diatur dalam Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

11.Asas bahwa Jaminan Fidusia memberikan hak prioritas kepada kreditor

penerima fidusia yang terlebih dahulu mendaftarkan kemudian ke kantor fidusia dari pada kreditur yang mendaftarkan kemudian, sebagaimana yang dapat ditemukan dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

12.Asas bahwa pemberi Jaminan Fidusia yang tetap menguasai benda

jaminan harus mempunyai itikad baik (te goeder trouw, in good faith).

Asas itikad baik tersebut memiliki nilai subyektif sebagai kejuruan untuk membedakannya dalam pengertian obyektif sebagai kepatutan dalam hukum pejanjian.

13.Asas bahwa Jaminan Fidusia mudah dieksekusi sebagaimana yang dapat

ditemukan dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Kemudahan dalam pelaksanaan eksekusi tersebut difasilitasi dengan mencantumkanj irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada Sertifikat Jaminan Fidusia. Dengan titel eksekutorial tersebut menimbulkan konsekuensi yuridis bahwa Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan yang sama dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam hal penjualan benda Jaminan Fidusia, selain melalui titel eksekutorial, juga dapat dilakukan dengan cara melelang secara umum dan di bawah tangan seperti yang diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

(15)

Rachmadi Usman membagi sifat dan ciri dari Jaminan Fidusia sebagai

berikut:34

1. Perjanjian Fidusia Merupakan Perjanjian Obligatoir

Ketentuan dalam Pasal 1 ayat (2) UUJF menyebutkan yang dimaksud

dengan Jaminan Fidusia adalah sebagai berikut :

Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, yang tetap berada dalam penguasaan pemberi Fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada Penerima Fidusia terhadap kreditor lainnya.

Perjanjian fidusia bersifat obligatoir, berarti hak yang penerima fidusia

merupakan hak milik yang sepenuhnya, meskipun hak tersebut dibatasi

oleh hal-hal yang ditetapkan bersama dalam perjanjian. Akan tetapi,

pembatasan demikian hanya bersifat pribadi. Karena hak yang diperoleh

penerima fidusia itu merupakan hak milik yang sepenuhnya, ia bebas

untuk menentukan cara yang timbul dari perjanjian fidusia adalah hak

yang bersifat pribadi, yang lahir karena adanya hubungan perutangan

antara kreditur dan debitur. Ketentuan-ketentuan yang bersifat memaksa

dari gadai tidak dapat diterapkan terhadapnya. Juga para pihak bebas

34

(16)

untuk menentukan manakala terjadi kepailitan pada debitur atau

kreditur.35

2. Sifat Accesoir dari Perjanjian Jaminan Fidusia

Dalam Pasal 4 UUJF menyebutkan bahwa, “Jaminan Fidusia merupakan

perjanjian ikutan dari suatu perjanjian pokok yang menimbulkan

kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi.”

Adapun penjelasan atas Pasal 4 UUJF menyebutkan sebagai berikut,

“Yang dimaksud dengan prestasi dalam ketentuan ini adalah memberikan

sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu yang dapat dinilai

dengan uang.”

Sebagai suatu perjanjian accessoir, perjanjian Jaminan Fidusia memiliki

sifat sebagai berikut:36

1. Sifat ketergantungan terhadap perjanjian pokok;

2. Keabsahannya semata-mata ditentukam oleh sah tidaknya perjanjian

pokok;

3. Sebagai perjanjian bersyarat, maka hanya dapat dilaksanakan jika

ketentuan yang disyaratkan dalam perjanjian pokok telah atau tidak dipenuhi.

Sifat accessoir dari Jaminan Fidusia ini membawa akibat hukum, yaitu :

1. Jaminan Fidusia akan hapus karena hukum, jika perjanjian pokoknya

berakhir atau karena sebab lainnya yang menyebabkan perjanjian pokoknya menjadi hapus;

2. Penerima fidusia akan beralih jika perjanjian pokoknya beralih

kepada pihak lain;

35

Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia di Dalam Praktik dan Pelaksanaannya di Indonesia, (Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 1977), hlm. 22-23.

36

(17)

3. Jaminan Fidusia selalu melekat pada perjanjian pokoknya karena itu hapusnya perjanjian fidusia tidak menyebabkan hapusnya perjanjian pokok.

Dalam praktik, yang menjadi perjanjian pokok dari perjanjian Jaminan

Fidusia antara lain adalah Perjanjian Kredit, Perjanjian Pembiayaan

Konsumen atau Perjanjian Leasing. Sementara Perjanjian Jaminan

Fidusia merupakan perjanjian ikutan (accessoir) dari beberapa perjanjian

pokok tersebut dengan segala akibat hukum yang telah disebutkan di atas.

3. Sifat Droit de Suite dari Fidusia : Fidusia sebagai Hak Kebendaan

Sifat droit de suite, juga dianut Jaminan Fidusia, yang ditentukan dalam

Pasal 20 UUJF, “Jaminan Fidusia tetap mengikuti Benda yang menjadi

objek Jaminan Fidusia dalam tangan siapa pun Benda tersebut berada,

kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi Objek Jaminan

Fidusia.”

Penjelasan atas Pasal 20 UUJF menyatakan, “Ketentuan ini mengakui

prinsip “droit de suite” yang telah merupakan bagian dari peraturan

perundang-undangan Indonesia dalam kaitannya dengan hak mutlak atas

kebendaan.”

Pemberian sifat hak kebendaan di sini dimaksudkan untuk memberikan

kedududukan yang kuat kepada pemegang hak kebendaan. Hal ini

berangkat dari pikiran, bahwa benda jaminan tetap menjadi pemilik

(18)

berlangsung tetap berwenang untuk mengambil tindakan pemilik atas

benda jaminan miliknya. Dengan memberikan sifat droit de suite pada

fidusia, maka hak kreditur tetap mengikuti bendanya ke dalam siapa pun

ia berpindah, termasuk terhadap pihak ketiga pemilik baru, yang

berkedudukan sebagai pihak ketiga pemberi jaminan.37

Prinsip droit de suite ini dapat disimpangi atau dikecualikan, dalam hal

kebendaan yang dijadikan sebagai objek Jaminan Fidusia berupa benda

atau barang persediaan (inventory), seperti barang jadi (finished good)

yang diproduksi dan dipasarkan Pemberi Fidusia. Pengecualian prinsip

droit de suite ini dinyatakan dalam klausul terakhir ketentuan dalam Pasal 21 UUJF, “Kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek

Jaminan Fidusia.” Dengan demikian berarti sifat hak kebendaannya

berupa barang-barang dagangan, yang memang untuk didagangkan atau

diperjualbelikan, sehingga sifat droit de suite dengan sendirinya tidak

dapat diterapkan kepada kebendaan yang dimaksud.

Pada dasarnya debitur (pemberi fidusia) tidak berwenang lagi

mengasingkan atau mengalihkan objek benda Jaminan Fidusia kepada

pihak lain, karena telah terjadi pengalihan hak kepemilikan atas benda

Jaminan Fidusia secara constitutum possessorium dari debitur (pemberi

fidusia) kepada kreditur (penerima fidusia). Ketentuan larangan

37

(19)

pengalihan objek Jaminan Fidusia oleh kreditur (pemberi fidusia) ini

tidak berlaku bila objek Jaminan Fidusia berupa benda-benda dalam

persediaan.

4. Fidusia Memberikan Kedudukan Diutamakan (Droit de Preference)

Sifat droit de preference dapat diterjemahkan sebagai hak mendahului

atau diutamakan, yang melekat pada Jaminan Fidusia. Sifat droit de

preference ini dapat dilihat dalam pengertian yuridis Jaminan Fidusia yang dimuat dalam Pasal 1 angka 2 UUJF. Selain itu dapat dilihat lebih

lanjut dalam Pasal 27 dan Pasal 28 UUJF.

Ketentuan Pasal 27 UUJF menyatakan :

(1) Penerima Fidusia memiliki hak yang didahulukan terhadap

kreditur lainnya

(2) Hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

adalah hak Penerima Fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atas hasil eksekusi benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia

(3) Hak yang didahulukan dari Penerima Fidusia tidak hapus karena

adanya kepailitan dan/atau likuidasi Pemberi Fidusia

Penerima Fidusia tergolong kreditur yang mempunyai kedudukan terkuat,

seperti halnya pemegang gadai dan hipotek serta hak tanggungan, yang

pemenuhan piutangnya harus dilakukan terlebih dahulu dari

kreditur-kreditur lainnya yang diambil dari hasil eksekusi benda yang dijadikan

objek Jaminan Fidusia. Dia adalah kreditur yang preferen atau separatis.38

38

(20)

Ketentuan dalam Pasal 28 UUJF menyatakan, “Apabila atas benda yang

sama menjadi objek Jaminan Fidusia lebih dari 1 (satu) perjanjian

Jaminan Fidusia, maka hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 27, diberikan kepada pihak yang lebih dahulu mendaftarkan

pada Kantor Pendaftaran Fidusia.”

Jadi berdasarkan ketentuan dari Pasal 28 UUJF di atas, hak yang

didahulukan diberikan kepada kreditur yang terlebih dahulu melakukan

pendaftaran ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Berdasarkan penjelasan Pasal

27 ayat (1) UUJF, Hak yang didahulukan tersebut dihitung sejak tanggal

pendaftaran objek Jaminan Fidusia tersebut.

D. Pembebanan dan pendaftaran Jaminan Fidusia

Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (1) UUJF menetapkan, ”Pembebanan benda

dengan Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan

merupakan Akta Jaminan Fidusia.”

Akta otentik adalah suatu akta yang didalam bentuk ditentukan oleh

undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk

ditempati dimana akta dibuatnya (pasal 1868 KUH Perdata).

R. Supomo memberikan pengertian akta otentik sebagai berikut, “ Akta

otentik adalah surat yang dibuat oleh atau dimuka seorang pejabat umum yang

(21)

surat tersebut sebagai alat bukti.”39 Sedangkan akta dibawah tangan adalah surat yang

ditandatangani dan dimuat dengan maksud untuk dijadikan bukti dari perbuatan

hukum.40

Ketentuan pasal 1870 KUH Perdata menyatakan bahwa akta notaris

merupakan akta otentik yang memiliki kekuatan pembuktian sempurna tentang apa

yang dimuat didalamnya diantara para pihak beserta para ahli warisnya, atau para

pengganti haknya. Hal inilah yang menyebabkan UU Jaminan fidusia menetapkan

perjanjian fidusia harus dibuat dengan akta notaris.41

Dari redaksi Pasal 5 ayat (1) UUJF kita tidak bisa menafsirkan bahwa

ketentuan dalam pasal tersebut bersifat memaksa. Kalau memang menjadi maksud

dari pembuat undang-undang untuk mewajibkan penuangan akta fidusia di dalam

bentuk akta notariil, maka ia seharusnya menuangkan perumusan Pasal 5 ayat (1)

UUJF dalam bentuk ketentuan yang bersifat memaksa, baik dengan mencantumkan

kata “harus” atau “wajib” di depan kata-kata “dibuat dengan akta notaris”, maupun

dengan menyebutkan akibat hukumnya kalau tidak dibuat dengan akta notaris.42

Namun demikian, Pasal 5 ayat (1) UUJF tersebut juga bisa kita tafsirkan,

bahwa terhitung sejak berlakunya UUJF, untuk pelaksanaan hak-hak dari Pemberi

dan Penerima Fidusia sebagai yang disebutkan dalam UUJF, harus dipenuhi syarat,

bahwa Jaminan Fidusia itu harus dituangkan dalam bentuk akta notariil. Ini tidak

39

R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta: Pradyna Paramita, Jakarta), hlm. 76-77.

40

Ibid 41

Gunawan Widjaya & Ahmad Yani, Op.cit., hlm. 136.

42

(22)

sama dengan mengatakan, bahwa semua Jaminan Fidusia yang tidak dituangkan

dalam bentuk akta notariil, yang dibuat sesudah berlakunya UUJF tidak berlaku,

sebab bisa saja terhadap Jaminan Fidusia seperti itu berlaku ketentuan-ketentuan

tidak tertulis dan yurisprudensi yang selama ini berlaku. Ketentuan dalam Pasal 37

sub 3 UUJF juga mengatakan bahwa dalam jangka waktu 60 hari, Jaminan Fidusia

yang lama tidak disesuaikan dengan UUJF, maka jaminan itu “bukan merupakan hak

agunan atas kebendaan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Dengan

demikian, akta notaris di sini merupakan syarat materiil berlakunya

ketentuan-ketentuan UUJF atas perjanjian penjaminan Fidusia yang ditutup para pihak. Di

samping itu, sudah tentu juga sebagai alat bukti.43

Akta notaris merupakan akta autentik dan mempunyai kekuatan pembuktian

yang paling sempurna, karenanya pembebanan benda dengan Jaminan Fidusia

dituangkan dalam akta notaris yang merupakan Akta Jaminan Fidusia (AJF). Dalam

Pasal 1870 KUH Perdata dinyatakan, bahwa suatu akta autentik memberikan suatu

bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya di antara para pihak

beserta para ahli warisnya ataupun orang-orang yang mendapatkan hak dari mereka

selaku penggantinya. Atas dasar itulah, UUJF “mengharuskan” atau “mewajibkan”

pembebanan benda yang dijamin dengan Jaminan Fidusia dilakukan dengan akta

notaris.

44

43

Ibid, hlm. 201.

44

(23)

Selain itu mengingat objek Jaminan Fidusia pada umumnya adalah barang

bergerak yang tidak terdaftar, sudah sewajarnya bentuk akta autentiklah yang

dianggap paling dapat menjamin kepastian hukum berkenaan dengan objek Jaminan

Fidusia.45

Dalam praktik bentuk perjanjian fidusia disyaratkan tertulis, namun tidak

perlu dilakukan adanya penyerahan nyata. Selama ini bentuk perjanjian fidusia adalah

bebas. Akan tetapi menurut kebiasaan perjanjian fidusia lazim dibuat secara tertulis

yang dituangkan dalam akta fidusia, baik dengan akta di bawah tangan maupun akta

autentik, terserah kepada penentuan dari para pihak. Di Belanda dalam praktik

perbankan perjanjian fidusia lazim dirumuskan dalam model-model tertentu.

Demikian pula di Indonesia, perjanjian fidusia lazim dibuat oleh bank pemerintah

maupun swasta dalam bentuk akta perjanjian bank (akta perjanjian fidusia) dan

dirumuskan dalam formulir-formulir tertentu.46

Stein dalam tulisannya Zekerheidsrechten, Zekerheidsoverdracht, Panden

Borgtrocht menunjukkan manfaatnya perjanjian fidusia secara tertulis tersebut dalam

hal-hal sebagai berikut:47

1. Pemegang fidusia demi kepentingannya akan menuntut cara yang paling

gampang untuk dapat membuktikan adanya penyerahan tersebut terhadap debitur. Hal demikian penting untuk menjaga kemungkinan debitur meninggal sebelum kreditur dapat melaksanakan haknya. Tanpa adanya akta akan sulit baginya untuk membuktikan hak-haknya terhadap ahli waris dari debitur;

45

Fred B.G Tumbuan, Op.cit., hlm. 23.

46

Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, Op.cit., hlm. 40.

47

(24)

2. Dengan adanya akta akan dapat dicantumkan janji-janji khusus antara debitur dan kreditur, yang mengatur hubungan hukum mereka. Perjanjian secara lisan tidak akan dapat menentukan secara teliti jika menghadapi keadaan yang sulit yang kemungkinan timbul;

3. Perjanjian yang tertulis dari fidusia sangat bermanfaat bagi kreditur, jika

ia akan mempertahankan haknya terhadap pihak ketiga.

Ketentuan dalam Pasal 5 ayat (2) UUJF menetapkan, “Terhadap pembuatan

Akta Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dikenakan biaya

yang besarnya akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah."

Sesuai dengan amanat dari Pasal 5 ayat (2) UUJF, maka dibentuklah

Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan

Fidusia dan Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia, yang besarnya biaya pembuatan

Akta Jaminan Fidusia ditentukan berdasarkan kategori, yang disesuaikan dengan nilai

(25)

Tabel 2.1 Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia

No. Nilai Penjaminan Besar Biaya

1. <Rp 50.000.000,00 Paling banyak Rp

50.000,00

2. >Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000,00 Rp 100.000,00

3. >Rp 100.000.000. 00 s.d Rp 250.000.000,00 Rp 200.000,00

4. >Rp 250.000.000,00 s.d Rp 500.000.000,00 Rp 500.000,00

5. >Rp 500.000.000,00 s.d Rp 1.000.000.000,00 Rp 1.000.000,00

6. >Rp`1.000.000.000,00 s.d Rp 2.500.000.000,00 Rp 2.000.000,00

7. >Rp 2.500.000.000,00 s.d Rp`5.000.000.000,00 Rp 3.000.000,00

8. >Rp 5.000.000.000,00 s.d Rp 10.000.000.000,00 Rp 5.000.000,00

9. >Rp 10.000.000.000,00 Rp 7.500.000,00

Sumber. Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000

Akta Jaminan Fidusia sekurang-kurangnya memuat :

1. Identitas Pihak Pemberi dan Penerima Fidusia

Dalam suatu akta autentik harus disebutkan atau dicantumkan secara jelas

dan lengkap mengenai identitas para penghadap dan/atau orang yang

mereka wakili serta keterangan mengenai kedudukan bertindak

penghadap. Ketentuan dalam Penjelasan atas Pasal 6 sub a UUJF

menyatakan, “Yang dimaksud dengan “identitas” dalam Pasal ini adalah

(26)

tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan

pekerjaan.”

Jadi, identitas Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia meliputi :

1. Nama lengkap, yang meliputi nama kecil dan nama

keturunan/keluarga/marga

2. Agama

3. Tempat tinggal atau tempat kedudukan bagi badan hukum

4. Tempat dan tanggal lahir (usia)

5. Jenis kelamin

6. Status perkawinan

7. Pekerjaan

2. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia

Sifat perjanjian penjaminan Fidusia adalah bersifat accesoir, yang

memiliki perjanjian pokok yang menjadi dasar adanya hubungan hukum

yang melandasi pembebanan dengan Jaminan Fidusia tersebut.

Berdasarkan Penjelasan atas Pasal 6 huruf b UUJF disebutkan bahwa,

“Yang dimaksud dengan “data perjanjian pokok” adalah mengenai

macam perjanjian dan utang yang dijamin dengan fidusia.”

Perjanjian pokok disini antara lain dapat berupa Perjanjian Kredit,

Perjanjian Pembiayaan Konsumen, dll.

3. Uraian benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;

Syarat mengenai “uraian benda jaminan” merupakan syarat yang logis,

karena UUJF memang hendak memberikan kepastian hukum dan

(27)

relatif pasti, relatif tertentu dan ini sesuai dengan asas specialitas yang

dianutnya.48

Berdasarkan pada Penjelasan atas Pasal 6 huruf c UUJF

menyebutkan,”Uraian mengenai Benda yang menjadi objek Jaminan

Fidusia cukup dilakukan dengan mengidentifikasikan Benda tersebut, dan

dijelaskan mengenai surat bukti kepemilikannya.”

Dalam hal benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia merupakan benda

dalam persediaan (inventory) yang selalu berubah-ubah dan atau tidak

tetap, seperti stok bahan baku, barang jadi, atau portfolio perusahaan efek,

maka dalam akta Jaminan Fidusia dicantumkan uraian mengenai jenis,

merek, kualitas dari Benda tersebut.

4. Nilai penjaminan;

Nilai jaminan menunjukkan berapa besar beban yang diletakkan atas

benda jaminan. Syarat ini mempunyai kaitan dengan sifat hak jaminan

sebagai hak mendahului atau hak preferen. Penyebutan nilai penjaminan

tersebut diperlukan untuk menentukan sampai seberapa besar kreditur

(penerima fidusia) “maksimal” preferen dalam mengambil pelunasan atas

hasil penjualan benda Jaminan Fidusia. Karena fidusia bersifat accesoir,

kata “maksimal” perlu diperhatikan, sehingga besarnya “tagihan”

ditentukan oleh perikatan pokoknya. Besarnya beban jaminan ditentukan

48

(28)

berdasarkan besarnya beban yang dipasang nilai jaminan tetapi hak

preferen dibatasi oleh besarnya sisa (utang) yang dijamin. 49

5. Nilai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia

Syarat penyebutan nilai benda jaminan merupakan syarat yang baru

dalam hukum jaminan. Pada jaminan hipotek, hak tanggungan maupun

gadai, tidak disyaratkan penyebutan objek jaminan. Kita bisa menduga

bahwa mungkin penyebutan nilai benda jaminan sangat penting, sehingga

disyaratkan pula dalam Akta Jaminan Fidusia harus dicantumkan

mengenai nilai benda yang dijaminkan dengan Jaminan Fidusia

tersebut.50

6. Nomor, Jam, Hari, dan Tanggal Akta Jaminan Fidusia

Berdasarkan Penjelasan atas Pasal 5 ayat (1) UUJF menyebutkan bahwa

dalam Akta Jaminan Fidusia selain dicantumkan hari dan tanggal, juga

dicantumkan mengenai waktu (jam) pembuatan akta tersebut.

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang Nomor

30 Tahun 2004, suatu akta notaris harus memuat, selain judul akta, juga

nomor akta, jam, hari, tanggal, bulan, tahun pembuatan, dan

penandatanganan akta notariil serta nama lengkap dan tempat kedudukan

notaris yang bersangkutan. Berhubung Akta Jaminan Fidusia merupakan

49

Ibid, hlm. 209-210.

50

(29)

akta notariil, dengan sendirinya juga harus memuat atau menyebutkan

mengenai hal-hal di bawah ini yaitu:51

1. Judul Akta Jaminan Fidusia;

2. Nomor Akta Jaminan Fidusia;

3. Jam (waktu) pembuatan dan penandatanganan Akta Jaminan Fidusia;

4. Hari, tanggal, bulan, dan tahun pembuatan dan penandatangan Akta

Jaminan Fidusia, dan;

5. Nama lengkap dan tempat kedudukan notaris yang bersangkutan.

7. Janji-janji

Ketentuan dalam pasal 6 UUJF hanya mengatur hal-hal minimal yang

wajib dimuat atau dicantumkan dalam Akta Jaminan Fidusia, sedangkan

mengenai janji-janji yang dapat dicantumkan di dalam Akta Jaminan

Fidusia tidak diatur. Ini berarti bahwa Pemberi Fidusia dan Peneriman

Fidusia dapat mencantumkan hal-hal lain sesuai kesepakatan kedua belah

pihak dan hal-hal tersebut tidak bertentangan dengan UUJF. Ketentuan ini

sesuai dengan Asas Kebebasan Berkontrak yang dianut dalam Hukum

Perjanjian. 52

UUJF juga menganut prinsip pendaftaran Jaminan Fidusia yang diatur dalam

Pasal 11 yang berbunyi :

(1) Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia wajib didaftarkan:

(2) Dalam hal Benda yang dibebani dengan Jaminan Fidusia berada diluar

wilayah negara Republik Indonesia, kewajiban sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) tetap berlaku.

51

Rachmadi Usman, Op.cit., hlm. 198.

52

(30)

Untuk memberikan kepastian hukum Pasal 11 UUJF mewajibkan benda yang

dibebani dengan Jaminan Fidusia didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia yang

terletak di Indonesia. Pendaftaran itu memiliki arti yuridis sebagai suatu rangkaian

yang tidak terpisah dari proses terjadinya perjanjian jaminan fidusia. Selain itu,

Pendaftaran Jaminan Fidusia merupakan perwujudan dari asas publisitas dan

kepastian hukum.53

Adapun maksud dan tujuan dilakukan sistem pendaftaran Jaminan Fidusia

adalah:54

1. Memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan

terutama terhadap kreditur lain mengenai benda yang telah dibebani dengan Jaminan Fidusia;

2. Melahirkan ikatan Jaminan Fidusia bagi kreditur (penerima fidusia);

3. Memberikan hak yang didahulukan (preferen) kepada kreditur (penerima

fidusia) terhadap kreditur lain, berhubung pemberi fidusia tetap menguasai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia berdasarkan kepercayaan;

4. Memenuhi asas publisitas

Pendaftaran Benda yang dibebani Jaminan Fidusia dilakukan di Kantor

Pendaftaran Fidusia yang terletak di wilayah Indonesia. Pendaftaran tersebut

dilaksanakan di tempat kedudukan Pemberi Fidusia. Keberadaan Kantor Pendaftaran

Fidusia ini berada dalam lingkup tugas Departemen Kehakiman dan bukan institusi

yang mandiri atas unit pelaksana teknis.

53

Tan Kamello, Op.cit., hlm.213.

54

(31)

Permohonan pendaftaran Jaminan Fidusia dilakukan oleh Penerima Fidusia,

kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan pendaftaran Jaminan Fidusia,

yang memuat :

1. Identitas pihak Pemberi Fidusia dan Penerima Fidusia;

2. Tanggal, nomor akta Jaminan Fidusia, nama, dan tempat kedudukan

notaris yang memuat akta Jaminan Fidusia;

3. Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

4. Uraian mengenai benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia;

5. Nilai penjaminan; dan

6. Nilai Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia.

Selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia mencatat Jaminan Fidusia dalam

Buku Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal penerimaan permohonan

pendaftaran.

Dengan demikian pendaftaran Jaminan Fidusia dalam Buku Daftar Fidusia

merupakan perbuatan konstitutif yang melahirkan Jaminan Fidusia. Penegasan lebih

lanjut dapat kita lihat dalam ketentuan pasal 28 UU Jaminan Fidusia yang

menyatakan apabila atas Benda yang sama menjadi objek Jaminan Fidusia lebih dari

1 (satu) perjanjian Jaminan Fidusia, maka kreditur yang lebih dahulu

mendaftarkannya adalah sebagai Penerima Fidusia. Hal ini penting diperhatikan oleh

kreditur yang menjadi pihak dalam perjanjian Jaminan Fidusia, karena hanya

Penerima Fidusia, kuasa atau wakilnya yang boleh melakukan Pendaftaran Jaminan

Fidusia. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pendaftaran Jaminan Fidusia dan

biaya pendaftaran akan diatur dengan Peraturan Pemerintah.55

55

(32)

Sebagai kelanjutan dari pendaftaran Jaminan Fidusia, maka Kantor

Pendaftaran Fidusia mengeluarkan Sertifikat Jaminan Fidusia sebagai bukti

pendaftaran Jaminan Fidusia. Ketentuan mengenai Sertifikat Jaminan Fidusia diatur

dalam Pasal 15 UUJF yang berbunyi:

(1) Dalam Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14

ayat (1) dicantumkan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.

(2) Sertifikat Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

(3) Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk

menjual Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasannya sendiri.

Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai ciri yang istimewa dengan adanya

irah-irah “ DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA

ESA”. Sertifikat ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang dipersamakan dengan

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Artinya adalah

bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia ini dapat langsung dieksekusi/dilaksanakan tanpa

melalui proses persidangan dan pemeriksaan melalui pengadilan, dan bersifat final

serta mengikat para pihak untuk melaksanakan putusan tersebut.

Apabila debitur cidera janji, Penerima Fidusia mempunyai hak untuk menjual

benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Ini merupakan

salah satu ciri jaminan kebendaan yaitu adanya kemudahan dalam pelaksanaan

(33)

UUJF diatur secara khusus tentang eksekusi Jaminan Fidusia ini melalui pranata

parate eksekusi.56

Adapun mengenai biaya pendaftaran Jaminan Fidusia diatur dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah

Nomor 26 Tahun 1999 tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak

yang Berlaku pada Departemen Kehakiman. Besarnya biaya tersebut dapat dilihat

pada tabel berikut ini:

Tabel 2.2 Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia

No. Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Satuan Tarif (Rp)

1. Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia:

a. untuk nilai penjaminan sampai

dengan Rp 50 juta Rupiah

b. untuk nilai penjaminan di atas Rp

50 juta rupiah

per akta per akta

25.000,00 50.000,00

2. Biaya permohonan perubahan hal-hal

yang tercantum dalam Sertifikat Jaminan Fidusia

per

permohonan

10.000,00

3. Biaya permohonan penggantian Sertifikat

Jaminan Fidusia yang rusak atau hilang :

a. untuk nilai penjaminan sampai

dengan Rp 50 juta rupiah

b. untuk nilai penjaminan di atas Rp

50 juta rupiah

per akta

per akta

25.000,00

50.000,00

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 87 Tahun 2000

E. Berakhirnya Jaminan Fidusia

Ketentuan dalam Pasal 25 ayat (1) UUJF menyebutkan Jaminan Fidusia hapus

karena hal-hal sebagai berikut :

a. Hapusnya hutang yang dijamin dengan Fidusia;

56

(34)

b. Pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima Fidusia;

c. Musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia

Hapusnya fidusia karena musnahnya utang yang dijamin dengan jaminan

fidusia adalah konsekuensi logis dari karakter perjanjian jaminan fidusia yang

merupakan perjanjian ikutan (accessoir), terhadap perjanjian pokoknya berupa

perjanjian utang-piutang. Jadi jika perjanjian utang-piutang atau utangnya lenyap

karena alasan apapun maka Jaminan Fidusia sebagai ikutannya ikut lenyap juga.

Hapusnya Jaminan Fidusia karena pelepasan hak atas Jaminan Fidusia oleh penerima

fidusia juga wajar, mengingat pihak penerima fidusia sebagai yang memiliki hak atas

jaminan fidusia tersebut bebas untuk mempertahankan atau melepaskan hak itu.

Hapusnya fidusia akibat musnahnya barang Jaminan Fidusia tetunya juga wajar,

mengingat tidak ada manfaat lagi fidusia itu dipertahankan jika benda yang dijadikan

objek Jaminan Fidusia tersebut sudah tidak ada.57

Mengenai musnahnya benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia, Pasal 25

ayat (2) UUJF mengatur sebagai berikut, “Musnahnya benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia tidak menghapuskan klaim asuransi sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 10 huruf b.”

Penjelasan atas Pasal 25 ayat (2) UUJF menyatakan, ”Dalam hal benda yang

menjadi objek Jaminan Fidusia musnah dan benda tersebut diasuransikan, maka

klaim asuransi akan menjadi pengganti objek Jaminan Fidusia tersebut.” Penjelasan

57

(35)

pasal tersebut sudah jelas menentukan bahwa klaim asuransi yang diterima akan

menjadi pengganti Objek Jaminan Fidusia.

Selain itu, Pasal 25 ayat (3) menyatakan ketentuan sebagai berikut,

“Penerima Fidusia memberitahukan kepada Kantor Pendaftaran Fidusia mengenai

hapusnya Jaminan Fidusia sebagaimanad dimaksud dalam ayat (1) dengan

melampirkan pernyataan mengenai hapusnya utang, pelepasan hak atau musnahnya

Benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia tersebut.”

Ada prosedur tertentu yang harus ditempuh manakala suatu Jaminan Fidusia

hapus, yaitu harus dilakukan pencoretan pencatatan Jaminan Fidusia di Kantor

Pendaftaran Fidusia. Selanjutnya Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan surat

keterangan yang menyatakan bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia yang bersangkutan

dinyatakan tidak berlaku lagi. Dalam hal ini, pencatatan jaminan fidusia tersebut

dicoret dari buku daftar fidusia yang ada di Kantor Pendaftaran Fidusia.58

F. Eksekusi Objek Jaminan Fidusia

Salah satu ciri Jaminan Fidusia yang kuat itu mudah dan pasti dalam

pelaksanaan eksekusinya, jika debitur (pemberi fidusia) cedera janji. Walaupun

secara umum ketentuan mengenai eksekusi telah diatur dalam hukum acara perdata

yang berlaku, namun dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan

58

(36)

tentang eksekusi dalam Undang-Undang Fidusia, yaitu yang mengatur mengenai

lembaga parate eksekusi.59

UUJF mengatur mengenai pelaksanaan eksekusi benda yang menjadi objek

Jaminan Fidusia dalam Pasal 29 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut :

Apabila debitur atau Pemberi Fidusia cedera janji, eksekusi terhadap benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dilakukan dengan cara:

a. pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal15 ayat

(2) oleh Penerima Fidusia;

b. penjualan benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaan

Penerima Fidusia sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

c. penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan

Pemberi dan Penerima Fidusia jika dengan cara demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) UUJF, maka dapat diketahui

eksekusi atas benda yang menjadi objek Jaminan Fidusia dapat dibagi atas tiga cara,

yaitu :

1. Eksekusi Berdasarkan Grosse atau Titel Eksekutorial Sertifikat Jaminan

Fidusia

Seperti diketahui sebelumnya bahwa Sertifikat Jaminan Fidusia memiliki

ciri istimewa yaitu mengandung irah-irah “DEMI KEADILAN

BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” yang artinya

mempunyai kekuatan eksekutorial sama seperti putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

59

(37)

Pencantuman irah-irah sebagai yang dimungkinkan oleh undnag-undang

membawa konsekuensi, bahwa pemegang akta grosse berkedudukan

seperti orang yang sudah memegang keputusan Pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan yang tetap. Yang perlu diingat adalah, bahwa akta

grosse tidak “sama” dengan suatu keputusan pengadilan, tetapi

mempunyai kekuatan sebagai suatu keputusan pengadilan.60

Jadi, untuk melakukan eksekusi melalui grosse atau titel eksekutorial

Sertifikat Jaminan Fidusia, harus terlebih dahulu mengikuti pelaksanaan

suatu putusan pengadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 200 HIR

berdasarkan fiat eksekusi dari Ketua Pengadilan.

2. Eksekusi Berdasarkan Parate Eksekusi Melalui Pelelangan Umum

Ketentuan dalam Pasal 15 ayat (3) UUJF menentukan apabila debitur

melakukan wanprestasi, maka kreditur berhak untuk menjual benda yang

menjadi objek Jaminan Fidusia atas kekuasaannya sendiri. Ini adalah

wujud dari ciri Jaminan Fidusia yang memberikan kemudahan dalam

pelaksanaan eksekusinya. Oleh karena itu UUJF telah mengatur eksekusi

berdasarkan parate eksekusi melalui pelelangan umum.

Adanya ketentuan dalam Pasal 29 ayat (1) sub b UUJF, menghapuskan

keragu-raguan sebelumnya seolah-olah setiap eksekusi lewat kantor

60

(38)

pelelangan umum, haruslah dengan suatu penetapan pengadilan. Padahal

anggapan ini tidak benar sama sekali.61

3. Eksekusi Berdasarkan Kesepakatan Pemberi dan Penerima Fidusia

Melalui Penjualan di Bawah Tangan

Eksekusi melalui penjualan di bawah tangan ini dapat dilakukan,

sepanjang terdapat kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia. Oleh

karena itu eksekusi dengan cara ini tidak membutuhkan suatu putusan

pengadilan ataupun melalui pelelangan umum.

Adapun persyaratan untuk melakukan eksekusi melalui penjualan di

bawah tangan yang diatur dalam Pasal 29 ayat (1) huruf c dan Pasal 29

ayat (2) UUJF meliputi:62

1. dilakukan berdasarkan kesepakatan antara Pemberi dan Penerima

Fidusia;

2. dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak;

3. diberitahukan secara tertulis oleh Pemberi dan/atau Penerima Fidusia

kepada pihak-pihak yang berkepentingan;

4. diumukan sedikitnya dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di

daerah yang bersangkutan; dan

5. pelaksanaan penjualan di bawah tangan tersebut, dilakukan setelah

lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis

61

Munir Fuady, Op.cit, hlm. 60.

62

Gambar

Tabel 2.1 Biaya Pembuatan Akta Jaminan Fidusia
Tabel 2.2 Biaya Pendaftaran Jaminan Fidusia

Referensi

Dokumen terkait

Alwi, dkk (2003:27) mengemukakan bahwa, fungsi pronomina persona adalah subjek dan objek. Sejanjutnya dikatakan pula bahwa pronomina persona atau kata ganti menurut

Mahasiswa dapat melakukan assessment, menetapkan diagnose fisioterapi secara ICF, menetapkan planning, melakukan intervensi, serta evaluasi dan rujukan ke profesi

immaterial (materi dalam aktivitas) dari pendayagunaan otak yang material

Tujuan pembelajaran umum : Mahasiswa dapat memahami dasar-dasar analisis sistem tenaga elektrik1. Pertemuan

Dalam rangka pelaksanaan kegiatan DIPA Satuan Kerja Balai Besar Pengembangan dan. Perluasan Kerja – Lembang tahun anggaran 2012 Nomor

Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah bahwa model pembelajaran Kooperatif tipe Think Pair Share dapat meningkatkan prestasi belajar siswa kelas IV di SD

Persepsi mengenai kualitas pelayanan adalah penilaian konsumen terhadap jasa yang dikonsumsi atau dirasakan setelah melakukan perbandingan antara harapan pelanggan dengan ketja

Hasil analisis menyimpulkan bahwa perkembangan pajak reklame terjadi peningkatan dari tahun ke tahun baik target maupun realisasinya, kontribusi pajak reklame baik terhadap