• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Publik bagi Pencari Keadilan Melalui Program Peradilan Pemulihan Terpadu di Pengadilan Negeri Salatiga T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pelayanan Publik bagi Pencari Keadilan Melalui Program Peradilan Pemulihan Terpadu di Pengadilan Negeri Salatiga T1 BAB I"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Warga Negara adalah orang – orang yang menurut hukum atau secara resmi

merupakan anggota dari suatu negara tertentu. Mereka memberikan kesetiaannya

kepada negara itu, menerima perlindungan darinya, serta menikmati hak untuk ikut

serta dalam proses politik. Mereka mempunyai hubungan secara hukum yang tidak

terputus dengan negaranya meskipun yang bersangkutan telah berdomisili di luar

negeri, asalkan ia tidak memutuskan kewarganegaraannya.1 Warga Negara Indonesia

adalah seluruh warga masyarakat berkebangsaan Negara Indonesia yang telah diakui

oleh Pemerintah Indonesia. Karenanya setiap orang atau sekelompok orang yang

berkebangsaan Negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam memperoleh

keamanan, jaminan perlindungan hukum serta mendapatkan pelayanan oleh

Pemerintah Indonesia.

1

(2)

Pemerintah harus memberikan pelayanan kepada warga negaranya sampai

warga negaranya merasa puas selama masa pemerintahannya berlangsung. Pelayanan

Pemerintah yang dimaksud adalah dalam hal Pelayanan publik. Pelayanan publik

atau pelayanan umum dapat didefinisikan sebagai segala bentuk jasa pelayanan, baik

dalam bentuk barang publik maupun jasa publik yang pada prinsipnya menjadi

tanggung jawab dan dilaksanakan oleh Instansi Pemerintah di Pusat, di Daerah, dan

di lingkungan Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah, dalam

rangka upaya pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dalam rangka pelaksanaan

ketentuan peraturan perundang-undangan.2 Istilah Publik berasal dari bahasa Inggris

public yang berarti umum, masyarakat, negara. Kata publik sebenarnya sudah

diterima menjadi Bahasa Indonesia Baku menjadi Publik yang berarti umum, orang

banyak, ramai.3 Jadi, yang dimaksud dengan publik adalah orang perseorangan atau

sekelompok orang atau masyarakat yang memiliki tujuan yang sama dalam bidang

umum/ sosial.

Pengertian mengenai Pelayanan Publik dapat dilihat dalam Dalam Pasal 1

ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang

Pelayanan Publik yang berisi:

“Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka

pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang – undangan

2

https://id.wikipedia.org/wiki/Pelayanan_publik , diakses pada tanggal 7 Juli 2016.

3

(3)

bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan

administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.”4

Pengertian Pelayanan Publik juga dapat dilihat dalam SK Ketua Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standar Pelayanan

Peradilan Bab I huruf D angka 1 di sebutkan bahwa:

“pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian dalam rangka pemenuhan

kebutuhan dasar sesuai dengan hak – hak sipil setiap warga negara dan penduduk atas

suatu barang dan jasa atau pelayanan administrasi yang diselenggarakan oleh

penyelenggara pelayanan publik.”5

Salah satu bentuk pelayanan publik yang diberikan Pemerintah dalam sistem

peradilan adalah memberikan pelayanan dengan konsep keadilan melalui program –

program pelayanan yang di keluarkan oleh Pengadilan. Pelayanan Pengadilan adalah

kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan bagi

masyarakat, khususnya pencari keadilan, yang disediakan oleh Mahkamah Agung dan

badan – badan peradilan di bawahnya berdasarkan peraturan perundang – undangan

dan prinsip prinsip layanan publik.6 Pelayanan publik bagi masyarakat yang bersifat.

Publik memiliki arti yakni objeknya berupa kepentingan – kepentingan yang bersifat

umum.

4

Pasal 1 ayat (1) Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

5

SK Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standar Pelayanan Peradilan.

6

(4)

Pada dasarnya hukum yang dibuat adalah untuk menciptakan keadilan.

Pandangan keadilan menurut Adam Smith adalah: “untuk mewujudkan keadilan

peran pemerintah perlu dibatasi hanya mengelola pertahanan, keamanan, hubungan

luar negeri, pekerjaan umum dan peradilan.”7 Pendangan lain mengenai keadilan juga

dapat dilihat dalam Teori Hukum Aristoteles dalam bukunya nicomachean ethics dan

teori keadilan social John Rawl dalam bukunya A Theory of Justice, yang menyatakan

bahwa: “keadilan harus diagungkan, keadilan harus dinomorsatukan dan keadilan

harus diatas segala – galanya untuk selalu diperjuangkan oleh setiap manusia.”8

Rumusan pengertian keadilan juga dikemukakan oleh Hans Kelsen yang dalam

bukunya Pure Theory of The Law and State, dikatakan bahwa:keadilan oleh Kelsen

dimaknai sebagai legalitas.”9 Legalitas yang dimaksud oleh Hans Kelsen adalah tidak

adil jika suatu aturan yang sama diterapkan pada satu kasus tetapi tidak pada kasus

lain yang sama.10 Keadilan adalah kondisi kebenaran ideal secara moral mengenal

sesuatu hal, baik menyangkut benda/ orang. Keadilan berasal dari kata adil, menurut

Kamus Besar Bahasa Indonesia adil adalah tidak sewenang – wenang, tidak

memihak, tidak berat sebelah.11 Adil bukanlah sama rata pada konsepnya, namun

harus sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Keadilan merupakan suatu perilaku

7

Lijan Poltak Sinambela, dkk., Op.Cit., h. 14.

8

Ahmad Zaenal Fanani, Berfilsafat dalam Putusan Hakim (Teori dan Praktik), Mandar Maju, Bandung, 2014, h. 30.

9

Teguh Prasetyo, Keadilan Bermartabat Prespektif Teori Hukum, Nusa Media, Bandung, 2015, h. 103.

10Ibid. 11

(5)

adil, yaitu menempatkan segala sesuatu pada tempatnya atau sesuai dengan porsinya,

adil itu tidak harus merata berlaku bagi semua orang tetapi sifatnya sangat subjektif.12

Sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman yakni peradilan negara, eksistensi

dan perannya ditetapkan dengan undang – undang. Kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan.13 Kekuasaan Kehakiman juga merupakan kekuasaan yang

mandiri. Kekuasaan Kehakiman yang merdeka adalah kekuasaan yang bebas dari

pengaruh pihak manapun dalam mengadili dan menegakkan hukum, jaminan tersebut

ada dalam konstitusi Negara yang merupakan dasar peraturan perundang – undangan

tertinggi dalam negara.14 Hal ini dapat dilihat pada pasal 24 ayat (1) Undang –

Undang Dasar 1945, yang menegaskan: “Kekuasaan kehakiman merupakan

kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan.”15

Kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan hakim

merupakan asas yang sifatnya Universal, yang terdapat dimana saja dan kapan saja.

Asas ini berarti bahwa dalam melaksanakan peradilan, hakim itu pada dasarnya

bebas, yaitu bebas dalam memeriksa dan mengadili perkara dan bebas dari campur

tangan atau turun tangan kekuasaan ekstra yudisiil.16 Kekuasaan Kehakiman yang

mandiri terdiri yang dimaksud diurai menjadi 3 tipe yaitu ; dalam hal kemandirian

12Ibid., h. 87.

13

Rimdan, Kekuasaan Kehakiman Pasca Amandemen Konstitusi, Kencana Media Group, Jakarta, 2012, h. 1.

14Ibid,

h.34.

15

Pasal 24 ayat (1) Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945.

16

(6)

lembaga/institusinya, kemandirian dalam proses peradilannya, dan kemandirian

hakimnya.

Sebagai peradilan negara, maka tugas dan fungsinya adalah menerapkan dan

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, dan Undang –Undang Dasar

Republik Indonesia Tahun 1945.17 Kemudian lebih lanjut diatur dalam Pasal 2 ayat

(1) Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman,

ditegaskan bahwa: “Peradilan dilakukan demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang

Maha Esa.”18

Asas ini berlaku untuk semua lingkungan badan peradilan.19 Dunia

peradilan saat ini dituntut untuk dapat melayani para pencari keadilan untuk dapat

lebih transparan, akuntabel, dan professional. Tidak hanya itu dalam Pasal 4 ayat (2)

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan

kehakiman, juga disebutkan bahwa “Pengadilan membantu pencari keadilan yang

sederhana, cepat, dan biaya ringan.”20 Saat ini kantor Pengadilan menjadi hal yang

ditakutkan oleh masyarakat / para pencari keadilan, hal ini dikarenakan masih ada

pandangan bahwa dalam melakukan penyelesaian suatu perkara di pengadilan harus

memiliki uang yang banyak atau yang memiliki kekuasaan yang akan memenangkan

suatu perkara dalam peradilan. Masyarakat menengah kebawah juga menganggap

bahwa peradilan hanya diperuntukkan bagi masyarakat menengah keatas, hal ini

dikarenakan sebagian besar masyarakat menengah keataslah yang terselesaikan

17

Ahmad Mujahidin, Peradilan Satu Atap di Indonesia, PT Refika Aditama, Bandung, 2007, h. 2.

18

Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman

19

Rimdan, Op,cit,, h. 52.

20

(7)

perkara kasusnya lebih cepat dibandingkan dengan masyarakat menengah kebawah

(terpinggirkan). Tidak hanya itu, masyarakat masih ragu akan keadilan yang

dijunjung tinggi dalam dunia peradilan, dimana masyarakat merasa bahwa pelaku

dalam suatu tindak pidana sebenarnya adalah korban, dan berlaku sebaliknya.

Karenanya, sistem pengadilan dianggap kacau oleh masyarakat dan dipertanyakan,

kurang mencerminkan nilai – nilai keadilan serta kepercayaan masyarakat terhadap

pelayanan publik kini menjadi sangat rendah.

Para pencari keadilan berarti setiap orang serta warga masyarakat yang

berupaya mencari keadilan yang secara ekonomis mampu atau tidak mampu, yang

memerlukan jasa hukum untuk menangani atau menyelesaikan masalah – masalah

hukum. Secara umum pengertian mengenai pencari keadilan yakni warga masyarakat

atau mereka yang memiliki hak – hak untuk diperjuangkan dalam hukum untuk

memperoleh keadilan. Para pencari keadilan dapat disebut dengan istilah klien. Klien

yang dimaksud yakni adalah tersangka, terdakwa, terpidana dan korban atau pihak

lainnya. Dalam kaitannya para pencari keadilan ini memiliki hak yang sama untuk

memperoleh keadilan, hal ini disebutkan dalam Pasal 28 H ayat (2) Undang – Undang

Dasar 1945 yakni: “setiap orang berhak untuk memperoleh kesempatan dan manfaat

yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.”

Hak – hak tersangka, terdakwa, terpidana, dan korban telah di atur dan di

cantumkan dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana. Dalam pelaksanaan

penegakan hukum, hak asasi yang melekat pada diri tersangka, terdakwa, dan korban

(8)

tersangka atau terdakwa yang harus dijunjung antara lain : (a) Persamaan hak dan

kedudukan serta kewajiban di hadapan hukum; (b) Praduga tak bersalah; (c)

Penangkapan atau penahanan harus didasarkan bukti permulaan yang cukup; dan (d)

hak mempersiapkan pembelaan secara dini.21 Kedudukan korban dalam peradilan

selama ini terabaikan, korban selalu kurang mendapatkan perhatian, pelaku kejahatan

lebih sering mendapatkan spesialisasi dan perhatian dibanding korban. Eksistensi

korban tersubordinasikan dan tereliminasi sebagai risk secondary victimizations

dalam bekerjanya peradilan pidana.22 Padahal, dalam sistem peradilan pidana tidak

boleh ada pengabaian. Hak – hak korban juga harus dijunjung tinggi.

Dalam praktik penerapan hukum pidana, korban diposisikan sebagai ‘saksi korban’ dan terkadang mengabaikan posisi korban sebagai ‘pencari keadilan’.23

Hak

dan kewajiban menurut Arif Gosita antara lain:

1) Si korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai

dengan taraf keterlibatan korban itu sendiri dalam terjadinya kejahatan

tersebut.

2) Berhak menolak restitusi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau

diberikan restitusi karena tidak memerlukannya).

3) Mendapatkan restitusi/kompensasi untuk ahli warisnya bila pihak korban

meninggal dunia karena tindakan tersebut.

21

O.C Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Teripdana, Alumni, 2006, h. 370-372.

22

C. Maya Indah S, Perlindungan Korban Suatu Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, h. 97.

23

(9)

4) Mendapat pembinaan dan rehabilitasi.

5) Mendapat hak miliknya kembali.

6) Mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pelaku bila melapor dan

menjadi saksi.

7) Mendapatkan bantuan penasihat hukum.24

Pada dasarnya masyarakat membutuhkan kepastian hukum dan keadilan.

Kepastian hukum adalah suatu jaminan bahwa suatu hukum harus dijalankan dengan

cara yang baik atau tepat. Tanpa kepastian hukum orang tidak mengetahui apa yang

harus diperbuat yang pada akhirnya akan menimbulkan keresahan. Akan tetapi terlalu

menitikberatkan pada kepastian hukum , terlalu ketat menaati peraturan hukum

akibatnya juga akan kaku serta tidak menutup kemungkinan akan dapat menimbulkan

rasa ketidakadilan.25

Hakim merupakan pelaku inti yang secara fungsional melaksanakan

kekuasaan kehakiman. Namun, saat ini putusan hakim sering dinilai kurang

mencerminkan keadilan bagi warga masyarakat serta masih terlalu bersifat normative

yang hanya dengan melihat peraturan perundang – undangan dan lebih suka menjadi

corong undang – undang. Padahal, keadilan adalah faktor penting dan utama yang

harus digali lebih dalam untuk dicari kebenarannya serta dijadikan pegangan dalam

proses persidangan dan dalam putusan hakim.

24

Ibid, h. 142-143.

25

(10)

Pengadilan Negeri Salatiga telah mengeluarkan program inovasi terbaru

terkait dengan pelayanan publik sesuai dengan Surat Keputusan Ketua Pengadilan

Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Team

Pengelola Pelayanan Peradilan Pemulihan Terpadu Pada Pengadilan Negeri Salatiga.

SK ini berisi mengenai sistem pelayanan peradilan terpadu untuk pencapaian keadilan

dalam perkara pidana maupun perdata, pembentukan team pengelola Pelayanan

Peradilan Pemulihan Terpadu di Pengadilan Negeri Salatiga, pengaturan tatacara

pelayanan, biaya pelayanan peradilan, dan penetapan – penetapan untuk penunjukan

konseling. Melalui wawancara dengan Bapak Achmad Raffik Arief, SH., sebagai

Panitera Muda Pidana dan Bapak Adhi Agus Ardhianto, SH., Panitera Pengganti di

Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal 30 Mei 2016 dan 28 Juni 2016 ; Ibu Henny

Trimira Handayani, SH,MH., sebagai ketua Pengadilan Negeri Salatiga pada tanggal

22 Agustus 2016 ; Bapak Ferdiansyah SH,MH.,sebagai Kepala Seksi Tindak Pidana

Umum ; dan Bapak Fajar Yulianto, SH., sebagai Jaksa Penuntut Umum pada tanggal

26 Agustus 2016, Program Peradilan Pemulihan terpadu adalah program unggulan

dan program inovasi dalam hal pelayanan publik di Pengadilan Negeri Salatiga untuk

mempermudah proses perkara serta mewujudkan pelayanan publik dengan konsep

keadilan yang merupakan kewenangan sepenuhnya milik pengadilan yang bertujuan

pada pemulihan atau restorative bagi para pihak yang berhadapan dengan hukum

yakni pencari keadilan.

Mahkamah Agung sebelumnya telah memberikan kewenangannya kepada

(11)

pembaharuan pelayanan publik melalui SK Ketua Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang Standart Pelayanan Peradilan yang

kemudian oleh Pengadilan Negeri Salatiga melalui hal tersebut kemudian membuat

Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) sebagai salah satu terobosan dalam hal

pembaharuan pelayanan publik. Terpadu dapat diartikan bahwa dalam salah satu

bentuk pelayanan publik yang diberikan di Pengadilan Negeri Salatiga yakni berupa

bimbingan konseling yang dilakukan oleh Psikologi, Pendeta, atau Konsuler yang

sebelumnya telah ditunjuk melalui SOP dengan tujuan untuk membangun sarana,

prasarana dan model penanganan peradilan pemulihan terpadu yang dapat membantu

pemulihan keadaan mental atau rokhani bagi korban, pelaku maupun pihak – pihak

yang berperkara melalui penyediaan fasilitas- fasilitas dan lembaga konseling, agar

dapat membantu para pihak yang berhadapan dengan hukum dapat memperbaiki

kualitas kehidupannya ; untuk membuka ruang dialog intersubyektif terbuka bagi

hakim dengan para pihak yang berhadapan dengan hukum melalui bantuan konsuler,

sehingga hakim dapat memahami keadilan yang lebih substantive; membuka stigma

negatif masyarakat ketika hakim berupaya berdialog dengan para pihak dalam

memahami permasalahan suatu perkara; serta untuk mendamaikan perkara sebelum

perkara diputus.

Bentuk Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) di Pengadilan Negeri Salatiga

yang diberikan kepada pelaku dan korban terkait konseling yang dilihat dari sisi

pelaku yakni apakah pelaku tersebut telah benar – benar menyesal akan perbuatan

(12)

berpura – pura menyesal yang dalam hal ini berarti memberi penilaian. Jika dalam penilaian tersebut pelaku masih dapat dibina/dibimbing maka pada saat itu juga

pengadilan memberikan penawaran kepada pelaku apakah mau dilakukan bimbingan

atau tidak. Penilaian tersebut dilakukan oleh hakim dan jaksa. Sedangkan apabila

dilihat dari sisi korban, dilakukan dengan penilaian yang sama, yang selanjutnya

dapat dilakukan bimbingan berupa konseling karena ada pemikiran bahwa orang

tersebut masih dapat untuk dibina. Bimbingan berupa konseling ini berguna untuk

para pihak dalam hal mendapatkan pencerahan batin atau rohani bagi pelaku agar

tidak mengulangi kejahatan yang diperbuat. Dan pemulihan bagi korban, biasanya

untuk pemulihan korban lebih banyak dalam hal perlindungan korban anak.

Kegiatan Konseling dalam program Peradilan Pemulihan Terpadu dilakukan

selama proses perkara hukum berlangsung yakni dalam persidangan yang berguna

bagi para hakim dan jaksa penuntut umum. Melalui program ini hakim yang pada

awalnya tidak tahu segala - galanya menjadi lebih mudah mengetahui dan terbantu

mengenai masukan – masukan serta melalui referensi dari konselor tersebut hakim

dapat mengetahui tentang latar belakang pelaku melakukan tindak pidana, korban

dapat ikut serta dalam tercetusnya tindak pidana atau kenapa korban menjadi pihak

yang dirugikan oleh pelaku, saksi mengenai hal yang sebenarnya atau kondisi

sebenarnya (psikis atau psikologis) dari pihak yang bermasalah tersebut agar dalam

mengeluarkan putusannya hakim menjadi lebih adil untuk menentukan putusannya

dan tidak berat sebelah. Bagi jaksa dapat memperjelas lagi mengenai fakta – fakta

(13)

Bagi para pencari keadilan yang berkonteks pada masyarakat bahwa

perbuatan kejahatan yang dianggap meresahkan masyarakat itu dengan adanya

bimbingan konseling tersebut maka pelaku yang meresahkan masyarakat tersebut

menjadi sadar dan mengakui kesalahan yang diperbuat dan ketika pelaku kembali ke

masyarakat maka pelaku tidak lagi meresahkan masyarakat dan berguna bagi

masyarakat. Sedangkan untuk korban, korban menjadi tidak khawatir akan perbuatan

pelaku yang meresahkan.

Bentuk rekomendasi/referensi yang diberikan oleh pihak konselor kepada

hakim ada dalam bentuk dokumen (resume) yang sebelum persidangan tersebut

bersifat rahasia dan tidak dapat diberitahukan kepada pihak manapun kecuali hakim

(hanya pada hakim) sampai selesai persidangan dan dokumen tersebut setelah

putusan persidangan baru dapat dibuka secara terbuka. Terkait dengan kepentingan

Jaksa bisa saja jaksa meminta rekomendasi/referensi konselor namun hanya dapat

digunakan sebagai kepentingan untuk memperkuat fakta – fakta yang ada dalam

persidangan.

Bimbingan konseling melalui program peradilan pemulihan terpadu (P3T) ini

lebih sering digunakan dalam perkara – perkara perdata dari pada perkara – perkara

pidana. Hal ini disebabkan pada faktor masyarakat tidak ingin mengikuti bimbingan

konseling dan masyarakat merasa bahwa program bimbingan konseling dalam

perkara pidana itu tidak diperlukan, selain itu juga memberatkan

terdakwa/tersangka/pelaku dalam proses perkara mereka yang menjadi tidak cepat

(14)

Biasanya program bimbingan atau konseling yang diberikan dilakukan dengan

cara mempertemukan pihak yang membutuhkan dengan pihak konselor yakni

psikolog atau rohaniawan yang untuk selanjutnya dilakukan bimbingan konseling

tersebut. Model pelayanan konseling tersebut mengadopsi lembaga BP4 pada KUA

dan lembaga pendampingan perempuan dan anak yang terdapat di kepolisian dalam

perkara pidana anak dan tindak pidana susila.26 Pemulihan tersebut dilakukan selama

proses perkaranya berjalan dan dilakukan saat persidangan berlangsung yang

diharapkan hasil dari

Proses pemulihan dengan konseling tersebut dapat menjadi masukan atau

referensi bagi hakim untuk memperjelas titik terang dalam memutus perkaranya,

sekaligus memberi manfaat bagi para pihak yakni pencari keadilan berupa pemulihan

mental. Lembaga konseling ini berjalan sejak ditandatangninya MoU (tanggal 21

September 2015) perantara PN Salatiga dengan PemKot Salatiga , Institut Agama

Islam Negeri (IAIN) Salatiga dan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW)

Salatiga, dan telah diterapkan dalam perkara gugatan perceraian. Adapun dalam SOP

pelaksanaan lembaga konseling adalah upaya konseling ditawarkan oleh Hakim atau

Majelis Hakim pada saat persidangan dan Konseling dilakukan di luar jam

persidangan oleh konsuler (Psikolog/Rohaniawan/pendamping) yang ditunjuk. Proses

konseling diharapkan dilakukan bersamaan dengan proses pemeriksaan.27

26

http://inovasi.mahkamahagung.go.id/inovasi-detail/PELAYANAN%20PERADILAN%20PEMULIHAN%20TERPADU%20%20P3T, di akses pada tanggal 8 Agustus 2016, pukul 11.50.

27

(15)

Oleh karena itu dengan topik bahasan mengenai Peradilan Pemulihan Terpadu

(P3T) bagi pencari keadilan terkait pelayanan publik, penulis akan menganalisis

kasus perkara perkara 100/Pid.B/2015/PN.Slt., dengan terdakwa Feri Tri Wahyudi

Bin Sudirman terjerat pidana dalam pasal 480 ayat (1) KUHP yakni: “barang siapa

membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau menarik

keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut,

menyimpan, atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya

harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan.” Dimana dalam kasus

perkara tersebut terdakwa telah membeli rangka sepeda motor hasil curian untuk

dirakitkan menjadi motor trail pesanan dan terdakwa membeli rangka motor tersebut

tanpa dilengkapi dengan surat – surat kepemilikan. Berdasarkan perkara tersebut,

Pengadilan Negeri Salatiga yang menerima, memeriksa dan memutus perkara pidana

telah menjatuhkan penetapan penunjukan konseling untuk kepentingan terdakwa Feri

Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan Penetapan No.100/Pen.Pid/2015/PN,Slt., pada

tanggal 28 Oktober 2015. Dikeluarkanlah penetapan konseling dalam Peradilan

Pemulihan Terpadu (P3T) dalam perkara tersebut yang diperuntukkan bagi terdakwa

Feri Tri Wahyudi Bin Sudirman dengan maksud bahwa penyimpangan perilaku yang

telah dilakukan oleh terdakwa telah melanggar norma - norma hukum pidana dan

harus dilakukan upaya untuk meningkatkan kualitas perilaku dan pengendalian diri

terdakwa yang bertujuan untuk pemulihan secara mental agar terdakwa dapat kembali

melaksanakan fungsi sosialnya di dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam penetapan

tersebut telah ditetapkan bahwa Sdr..Dra. Siti Zumrotun, M.ag yakni

(16)

dan memberikan bimbingan terhadap terdakwa dan hasilnya dilaporkan pada majelis

hakim. Melalui penetapan ini terdakwa mendapatkan hak – haknya untuk mendapat

kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang

sama guna mencapai persamaan dan keadilan.28 Serta melalui penetapan ini hakim

dapat menggali lebih dalam, memahami nilai – nilai hukum yang ada dan rasa

keadilan yang sebenarnya.29

Berdasarkan kasus perkara tersebut hubungan Peradilan Pemulihan Terpadu

(P3T) dengan kasus dalam perkara tersebut adalah konseling dalam Peradilan

Pemulihan Terpadu (P3T) terhadap pihak yang bermasalah diharapkan mendapatkan

pencerahan berupa pemulihan mental melalui pilihan bimbingan atau konseling serta

memudahkan jalan para pencari keadilan dalam hal penyelesaian konflik terhadap

perkara yang sedang berlangsung. Selain itu melalui peradilan pemulihan terpadu

(P3T) masyarakat selaku pencari keadilan hak – haknya dapat terjamin dalam

memperoleh keadilan dan mempermudah hakim untuk menentukan keadilan dalam

suatu perkara.

Permasalahan dalam Program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) adalah

bahwa program tersebut berada di luar cangkupan sistem hukum acara pidana. Hal ini

dikarenakan bahwa Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) merupakan program murni

bentukan Pengadilan Negeri Salatiga yang merupakan amanat dari SK Ketua

Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang standart

28

Lihat Pasal 28 H ayat (2) Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.

29

(17)

pelayanan publik dan bukan merupakan program bentukan yang berdasarkan Hukum

Acara Pidana (KUHAP) dan upaya konseling dalam Peradilan Pemulihan Terpadu

(P3T) yang ditawarkan oleh Hakim atau Majelis Hakim pada saat persidangan

dilakukan di luar jam persidangan pada saat proses pemeriksaan persidangan oleh

konsuler (Psikolog/Rohaniawan/pendamping) yang ditunjuk melalui surat Penetapan

yang dikeluarkan oleh Pengadilan Negeri Salatiga sehingga memiliki kemungkinan

akan bertentangan dengan asas – asas yang ada dalam hukum pidana dan hukum

acara pidana yakni beberapa diantaranya adalah asas praduga tidak bersalah

(presumption of innocence) dan asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan.

Oleh karenanya melalui Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) di Pengadilan

Negeri Salatiga tersebut penulis akan mengkaji berdasarkan asas – asas dalam hukum

pidana dan berdasarkan hukum acara pidana serta akan menganalisis lebih detail

mengenai program pelayanan publik bagi pencari keadilan yang diberikan oleh

Pengadilan Negeri Salatiga yakni Program Pemulihan Terpadu (P3T).

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diutarakan penulis diatas, maka dapat dibuat

rumusan masalah : “Bagaimana implementasi Program Peradilan Pemulihan Terpadu

(P3T) di Pengadilan bagi Pelayanan Publik di Pengadilan Negeri berdasarkan

(18)

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan Latar Belakang dan rumusan masalah diatas penulis dapat dibuat

tujuan penulisan :

1. Untuk mengetahui tujuan program Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T)

berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN.Slt., bagi

pencari keadilan dalam hukum pidana

2. Untuk mengetahui apakah Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) berdasarkan

Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN.Slt., sudah sesuai dengan

Hukum Acara Pidana

3. Untuk menganalisis program peradilan pemulihan terpadu (P3T) berdasarkan

Penetapan Pengadilan Negeri Nomor 100/Pen.Pid/2015/PN.Slt., yang dikeluarkan

oleh pengadilan yang dapat membantu para pencari keadilan dalam memperoleh

keadilan

D. Manfaat Penelitian

1. Kegunaan Akademis

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dalam ilmu hukum

pidana tentang Pelayanan Publik Bagi Pencari Keadilan melalui Peradilan Pemulihan

Terpadu (P3T) di Pengadilan Negeri Salatiga dengan mengjkaji berdasarkan

(19)

2. Kegunaan Praktis

a. Bagi masyarakat, dapat memberikan sumbangan pengetahuan dalam bidang hukum

pidana, serta dapat dipakai sebagai acuan untuk mempelajari mengenai Program

Peradilan Pemulihan Terpadu (P3T) terkait Pelayanan Publik bagi pencari keadilan

yang ada di Pengadilan Negeri Salatiga.

b. Bagi Praktisi, dapat dipakai sebagai pedoman dan sebagai bahan evaluasi dalam

melaksanakan tugas dan wewenangnya, serta dapat memperjelas mengenai Peradilan

Pemulihan Terpadu (P3T) terkait Pelayanan Publik bagi pencari keadilan yang ada di

Pengadilan Negeri Salatiga.

c. Bagi Peneliti, disamping untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk

menambah pengetahuan, bahan pembelajaran, serta wawasan di bidang ilmu hukum.

E. Metode Penelitian

Penelitian Hukum yang dilakukan penulis adalah penelitian hukum secara

yuridis sosiologis. Data penelitian diperoleh melalui beberapa bahan hukum, sebagai

berikut ;

1. bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinnya

(20)

catatan – catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang – undangan dan

putusan hakim.30 Bahan – bahan hukum primer yang penulis dapatkan, yakni :

a. Undang – Undang Dasar 1945;

b. Kitab Undang – Undang Hukum Pidana;

c. Undang – Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik;

d. Undang – Undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

2. Bahan hukum sekunder, yaitu semua publikasi tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen – dokumen resmi, sebagai berikut :

a. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

63/KEP/M.PAN/7/2002 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik;

b. SK Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 026 tahun 2012 tentang

Standar Pelayanan Peradilan.

c. SK Ketua Pengadilan Negeri Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang

Pembentukan Peradilan Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga.

d. Penetapan No.100/Pen.Pid/2015/PN,Slt.

2. data primer, merupakan bahan hukum berupa data yang diperoleh melalui sumber

utama yakni melakukan wawancara dengan responden. Responden tersebut yakni

Hakim, Jaksa Penuntut Umum, Konselor dan Terpidana.

30

(21)

3. Unit Amatan dan Unit Analisis

- Unit Amatan dari penelitian ini adalah : SK Ketua Pengadilan Negeri

Salatiga No.W 12-U12/152 / HK008/9/2015 tentang Pembentukan Peradilan

Pemulihan Terpadu pada Pengadilan Negeri Salatiga, Penetapan

No.100/Pen.Pid/2015/PN,Slt.,

- Unit Analisis dari penelitian ini adalah : Pelaksanaan Program Peradilan

Pemulihan Terpadu (P3T) dalam perkara nomor 100/Pid.B/2015/PN.Slt.

Selanjutnya bahan hukum yang telah terkumpul kemudian dipisahkan sesuai

dengan kebutuhan dalam analisis dan hasil analisis agar dapat digunakan untuk

mempermudah penulis dalam melakukan pembahasan dalam bab selanjutnya.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan untuk penulisan proposal skripsi ini yakni :

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

(22)

BAB II. PEMBAHASAN

A. Pengertian

B. Landasan Teori Hukum

C. Asas – Asas Hukum

D. Hasil Penelitian

E. Analisis

BAB III. PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

Referensi

Dokumen terkait

 Bila terjadi kedudukan 14 sama, pemain/pasangan yang lebih dulu mencapai angka 14 akan menentukan apakah terjadi jus 3 (permainan akan berakhir pada poin 17) atau tidak

1) Perlindungan hukum tenaga kerja oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan sesuai dengan Undang-Undang No. 24 Tahun 2011 terdapat 4 program

Trianto, 2010, Mendesain Pembelajaran Inovatif-Progesif : Konsep, Landasan, Dan Implementasinya Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), Jakarta : Kencana Prenada

Oleh itu pelajar dengan cara tidak sengaja telah menerima pelajaran yang ingin disampaikan oleh perisian kursus.. Manakala pendekatan permainan adalah salah satu teknik

tidak mengalami kendala yang berarti, semuanya keluar dari mesin roll to roll dengan lancar, tidak ada kendala kertas melengkung seperti

Permasalahan dalam penelitian ini yaitu bagaimana fungsi pengawasan, pembinaan dan kewenangan penegakan hukum dan apakah yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan

diterima yang menyatakan bahwa ada pengaruh yang signifikan pendekatan berbasis otak (brain based learning) terhadap hasil belajar matematika pokok bahasan

Dalam Peratruran Gubernur Kalimantan Tengah tersebut menegaskan, bahwa bagi masyarakat pelosok pedesaan yang belum memiliki surat atas kepemilikan tanahnya, diminta segera