• Tidak ada hasil yang ditemukan

T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah di Daerah: Studi Kondisi Perda RTRW di Kab. Semarang dan Kota Salatiga T1 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "T1__BAB I Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pengaturan Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah di Daerah: Studi Kondisi Perda RTRW di Kab. Semarang dan Kota Salatiga T1 BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Kekayaan sumber daya alam di Indonesia sangatlah besar, sehingga

Indonesia dikenal sebagai negara agraris, dimana sektor pertanian memiliki peran

sebagai penunjang perekonomian negara. Atas dasar hal tersebut, maka sebagian

besar penduduk Indonesia memiliki mata pencaharian sebagai petani yang

menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Kemudian yang menjadi modal

utama bagi seorang petani adalah lahan pertanian. Lahan pertanian ini merupakan

bidang lahan yang digunakan untuk usaha pertanian.

Pada dasarnya terdapat 2 kategori lahan pertanian yaitu lahan pertanian

pangan berkelanjutan dan lahan pertanian biasa. Menurut Pasal 1 ayat (3)

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian

Pangan Berkelanjutan, yang dimaksud dengan lahan pertanian pangan

berkelanjutan adalah bidang lahan pertanian yang ditetapkan untuk dilindungi dan

dikembangkan secara konsisten guna menghasilkan pangan pokok bagi

kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan nasional. Sedangkan yang

dimaksud lahan pertanian biasa disini adalah lahan yang digunakan untuk usaha

pertanian namun keberadaannya dapat dialihfungsikan sesuai dengan ketentuan

peraturan zonasi dalam rencana tata ruang wilayah. Berbeda halnya dengan lahan

(2)

Selain pada itu, untuk mengatur perihal kepemilikan tanah pertanian,

Pemerintah telah membentuk Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 Tentang

Penetapan Luas Lahan Pertanian. Selain itu, tujuan dibentuknya undang-undang

ini adalah untuk meningkatkan taraf hidup setiap para petani dan keluarganya agar

layak sesuai dengan martabat sebagai manusia dan untuk membawa masyarakat

ke arah cita-cita kemakmuran atau kesejahteraan dengan memiliki tanah pertanian

seluas 2 Ha.1 Usaha-usaha yang harus dijalankan untuk mencapai target minimum

2 hektar itu ialah terutama perluasan tanah pertanian (“ekstensifikasi”) dengan

pembukaan tanah secara besar-besaran diluar Jawa, diikuti dengan transmigrasi

dan industrialisasi. Namun dengan ditetapkannya luas minimum tersebut tidak

berarti, petani yang mempunyai tanah kurang dari 2 Ha akan diwajibkan untuk

melepaskan tanahnya. Dua hektar ini merupakan tujuan yang harus diusahakan

tercapainya secara berangsur-angsur.2 Pemenuhan atas ketentuan dalam Pasal 8

Undang-Undang No. 56 PRP Tahun 1960 ini diusahakan secara bertahap sehingga

pemerintah berkewajiban untuk mengadakan usaha-usaha tersebut agar setiap

petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar. Kebijakan inilah

yang menjadi acuan pemerintah untuk dapat meningkatkan taraf hidup petani

beserta keluarganya sehingga akan tercapai kesejahteraan yang merata.

Akan tetapi usaha pemerintah dalam rangka meningkatkan taraf hidup

petani sekeluarga ini terdapat suatu hambatan. Pertumbuhan penduduk di

Indonesia semakin meningkat jumlahnya. Hal ini tentunya berdampak pula

1

Sri Harini Dwiyatmi, Majalah Refleksi Hukum : Reorientasi Ketentuan Batas Minimum Kepemilikan Tanah Pertanian dan Pemecahannya Menjadi Bagian Kecil-Kecil, Universitas Kristen Satya Wacana, 2005, hal. 49

2 Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya

(3)

terhadap meningkatnya kebutuhan dan permintaan akan tanah untuk

pembangunan dan pemukiman. Sedangkan tanah itu sendiri jumlahnya relatif

tetap dan tidak dapat bertambah. Maka untuk memenuhi kebutuhan akan tanah

tersebut alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian tidak dapat dihindarkan

yang membuat tanah pertanian semakin lama semakin berkurang jumlahnya.

Keadaan ini sudah sepatutnya menjadi perhatian yang serius bagi

pemerintah untuk melindungi serta mempertahankan lahan pertanian pangan

berkelanjutan. Dalam rangka pembangunan pertanian yang berkelanjutan maka

perlindungan lahan pertanian pangan merupakan upaya yang tidak terpisahkan

dari reforma agraria yang mencakup upaya penataan, penguasaan atau pemilikan

berkaitan dengan hubungan hukum antara manusia dan lahan.3 Ketentuan yang

mengatur mengenai perlindungan lahan pertanian berkelanjutan tentunya

dimaksudkan agar lahan-lahan pertanian yang ada dapat dimanfaatkan dan

digunakan hanya untuk kegiatan pertanian sesuai dengan peraturan

perundang-undangan. Perlindungan lahan pertanian sangat penting dilakukan guna

mendukung pemerintah dalam upayanya mewujudkan ketahanan dan kedaulatan

pangan. Termasuk didalamnya bahwa keberadaan lahan pertanian pangan tetap

dapat dimanfaatkan dengan baik oleh generasi sekarang maupun bagi generasi

yang akan datang.

Upaya perlindungan lahan pertanian ini sudah tidak dapat dipertahankan

lagi. Hal ini tidak lain disebabkan oleh karena adanya alih fungsi lahan yang

semakin laju. Alih fungsi lahan atau konversi lahan merupakan perubahan fungsi

3 Maria SW Sumarjono, Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Kompas

(4)

sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula menjadi fungsi lain

yang membawa dampak negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri.

Alih fungsi lahan juga dapat diartikan sebagai perubahan untuk penggunaan lain

disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk

memenuhi kebutuhan penduduk yang makin bertambah jumlahnya dan

meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Pengalihan fungsi

tanah pertanian tidak terlepas dari proses transformasi struktur ekonomi yang

terjadi yakni dari yang berbasiskan sektor pertanian ke sektor industri, jasa, dan

perdagangan. Pertumbuhan penduduk dan aktivitas perekonomian memerlukan

tanah untuk perumahan, industri, sarana dan prasarana penunjang lainnya.4

Semakin lajunya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian tentunya akan

menimbulkan dampak negatif bagi keberlangsungan pertanian di Indonesia. Luas

lahan produktif yang semakin berkurang dari tahun ke tahun akan berakibat pada

menurunnya produksi pangan serta mengancam ketersediaan pangan nasional.

Sementara itu kebutuhan akan pangan masyarakat Indonesia semakin besar seiring

dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk. Dalam hal ini diperlukanlah suatu

lahan pertanian yang cukup luas guna memenuhi kebutuhan pangan masyarakat

yang semakin meningkat. Akan tetapi, harapan tersebut akan sulit diwujudkan

karena adanya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian yang menyebabkan

menurunnya produksi pangan di Indonesia. Di sisi lain, hal tersebut juga

berdampak pada kehidupan sosial-ekonomi masyarakat yang membuat hilangnya

lapangan kerja bagi petani hingga meningkatkan angka pengangguran.

4 Adhi Sugih Prabowo, Skripsi: Pelaksanan Alih Fungsi Tanah Pertanian Menjadi Non Pertanian

(5)

Hal mengenai perlindungan lahan pertanian dan alih fungsi lahan ini juga

tidak lepas dari pengaturan tentang penataan ruang. Penataan ruang memiliki

peranan penting dalam penyelenggaraan pembangunan demi terwujudnya

pembangunan berkelanjutan yaitu dalam bentuk memberikan kontribusi yang

nyata dalam pengembangan wilayah dan kota yang berkelanjutan, sehingga

keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat Indonesia dapat tercapai. Penataan

ruang ditujukan untuk menyerasikan peraturan penataan ruang dengan peraturan

lain yang terkait, harmonisasi pembangunan antar wilayah, mengendalikan

pemanfaatan ruang yang efektif, meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

pengendalian pemanfaatan ruang dan mewujudkan sistem kelembagaan penataan

ruang.

Selain itu, dalam RTRW Kota Salatiga disebutkan pula bahwa pada tahun

2030 nantinya luas sawah beririgasi teknis ditetapkan sebagai kawasan lahan

pertanian pangan berkelanjutan ditentukan kurang lebih 274 hektar.5 Padahal

berdasarkan data Kementrian Pertanian pada tahun 2013 Kota Salatiga memiliki

luas lahan sawah sebesar 751 hektar. 6 Ini berarti bahwa akan ada kemungkinan

pengurangan lahan pertanian pangan sebesar 477 hektar yang akan

dialihfungsikan ke lahan non-pertanian dalam kurun waktu 2010-2030.

Yang terjadi sekarang adalah alih fungsi lahan menjadi sedemikian laju dan

mengapa hal tersebut seolah tak terbendung. Sebenarnya pemerintah telah

berupaya menekan lajunya alih fungsi lahan pertanian tersebut, salah satunya

adalah melalui ketentuan yang menjelaskan bahwa lahan yang sudah ditetapkan

5

Pasal 55 ayat (3) Perda Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 tentang RTRW Kota Salatiga Tahun 2010-2030

6 Kementrian Pertanian, Jurnal : Statistik Lahan Pertanian Tahun 2009-2013, Pusat Data dan

(6)

sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan dilindungi dan dilarang

dialihfungsikan.7 Ketentuan tersebut seharusnya juga dapat dijadikan acuan bagi

pemerintah untuk tetap menjaga ketersediaan lahan pertanian yang tentunya dapat

dipergunakan oleh para petani untuk mata pencahariannya dan laju alih fungsi

lahan pertanian dapat ditekan. Dan pada kenyataannya, meskipun sudah ada

peraturan yang mengaturnya, laju alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian

masih saja dilakukan dengan pesatnya.

Peraturan perundang-undangan tersebut diatas bertujuan untuk melindungi

lahan pertanian yang terdapat di daerah guna mewujudkan ketahanan pangan

nasional. Di tingkat daerah sendiri juga sudah terdapat produk hukum yang

mengatur mengenai perlindungan lahan pertanian yang dituangkan dalam

Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah oleh masing-masing

daerah. Produk hukum daerah tentang penataan ruang ini dimaksudkan sebagai

peraturan pelaksana dari peraturan yang ada di tingkat pusat.

Di dalam Pasal 55 Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030 serta Pasal

32 Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang Tahun 2011-2031 telah

ditetapkan luas lahan yang dapat dijadikan sebagai kawasan peruntukan pertanian.

Kawasan yang telah diperuntukkan sebagai lahan pertanian pangan berkelanjutan

ini tentunya tidak dapat dialihfungsikan. Akan tetapi yang terjadi adalah alih

fungsi lahan pertanian sedemikian laju. Tidak adanya aturan di tingkat daerah

7 Pasal 44 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan

(7)

yang mengatur secara spesifik mengenai pelarangan alih fungsi lahan pertanian ini

menjadi penyebabnya.

Peraturan yang terkait dengan perlindungan lahan pertanian pangan

berkelanjutan adalah soal larangan alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian

dan juga penataan ruang secara nasional. Pengaturan perlindungan lahan pertanian

dalam wujud larangan alih fungsi lahan secara nasional terdapat dalam 15

peraturan perundang-undangan di tingkat pusat, 4 peraturan perundang-undangan

di tingkat provinsi, dan masing-masing 1 peraturan daerah tentang RTRW di

Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga serta ditambah dengan 1 Surat Keputusan

Walikota Salatiga.

Oleh karena itu fokus penelitian penulis adalah ingin mengetahui

pengaturan perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan yang instrumen

utamanya adalah larangan alih fungsi lahan dan juga rencana tata ruang wilayah di

Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga.

1.2

Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan

masalah sebagai berikut:

Apakah terdapat inkonsistensi pengaturan perlindungan lahan pertanian

berkelanjutan (larangan alih fungsi lahan pertanian) dengan Perda RTRW di

(8)

1.3

Tujuan Penulisan

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah:

1. Untuk menggambarkan pengaturan tentang alih fungsi lahan sebagai

wujud perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten

Semarang dan Kota Salatiga.

2. Untuk menggambarkan konsistensinya ketentuan peraturan tentang alih

fungsi lahan.

1.4

Manfaat Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang menjadi fokus kajian penelitian dan tujuan

yang ingin dicapai maka diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat

sebagai berikut:

Teoritis:

Menambah ilmu dalam hukum perdata, khususnya di bidang agraria

mengenai pengaturan perlindungan lahan pertanian yang terkait dengan larangan

alih fungsi lahan pertanian ke non-pertanian dan juga soal penataan ruang di

Kabupaten Semarang dan Kota Salatiga.

Praktis:

Dengan penelitian ini, diharapkan permasalahan mengenai pengaturan

perlindungan lahan pertanian yang terkait dengan larangan alih fungsi lahan

pertanian ke non-pertanian dan penataan ruang di Kabupaten Semarang dan Kota

(9)

1.5

Metode Penelitian

1.5.1

Jenis Penelitian dan Pendekatan

Jenis penelitian yang digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum

(legal research) dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach).

Pendekatan perundang-undangan yaitu pendekatan dengan menggunakan

legislasi dan regulasi untuk menjawab isu hukum atau permasalahan penelitian.8

Pendekatan perundang-undangan digunakan sebagai cara untuk melihat

pengaturan tentang laju alih fungsi lahan di Kabupaten Semarang dan Kota

Salatiga.

1.5.2

Bahan Hukum

Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Sumber

data dalam penelitian ini diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, arsip-arsip dan

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan objek penelitian yang meliputi:

a.

Bahan Hukum Primer

Bahan Hukum Primer yaitu data yang diperoleh langsung dari sumber

pertama berupa peraturan perundang-undanganan yakni:

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar

Pokok-Pokok Agraria.

2. Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas

Tanah Pertanian.

(10)

3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 Tentang Perlindungan

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan

4. Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2011 Tentang Penetapan dan

Alih Fungsi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan.

5. Keputusan Presiden Nomor 53 Tahun 1989 Tentang Kawasan

Industri.

6. Keputusan Presiden Nomor 33 Tahun 1990 Tentang Penggunaan

Tanah Bagi Pembangunan Kawasan Industri.

7. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 590/11108/SJ tanggal

24 Oktober 1984 tentang Perubahan Tanah Pertanian ke Non

Pertanian

8. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 410-1851 Tanggal 15 Juni 1994 tentang,

Pencegahan Pengurangan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk

Penggunaan Non pertanian Melalui Penyusupan Rencana Tata

Ruang.

9. Surat Edaran Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan

Nasional Nomor 410-2261 tanggal 22 Juli 1994 tentang Pencegahan

Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan

Tanah Non-Pertanian

10.Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/ Ketua

(11)

tentang Perubahan Penggunaan Tanah Sawah Beririgasi Teknis

untuk Penggunaan tanah Nonpertanian Jo. Surat Edaran Menteri

Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

460-3346 Tanggal 31 Oktober 1994 tentang Perubahan Penggunaan

Tanah Sawah Beririgasi Teknis untuk Penggunaan Tanah

Nonpertanian.

11.Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional /Ketua

BAPPENAS Nomor 5335/MK/9/1994 tanggal 29 September 1994

tentang Penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah tingkat

Kabupaten/Kota

12.Surat Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/Ketua

BAPPENAS Nomor 5417/MK/10/1994 tanggal 4 Oktober 1994

tentang Efisiensi Pemanfaatan Lahan Bagi Pembangunan Perumahan

13.Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 474/4263/SJ tanggal 27

Desember 1994 tentang Peninjauan Kembali RTRW Provinsi dan

Kabupaten/Kota

14.Surat Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 460-1594 tanggal

5 Juni 1996 tentang Pencegahan Konversi Tanah Sawah Irigasi

Teknis Menjadi Tanah Kering

15.Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang

16.Peraturan Pemeritah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata

(12)

17.Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah Tahun

2009-2029.

18.Peraturan Daerah Provinsi Jawa Tengah Nomor 2 Tahun 2013

Tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan Provinsi Jawa

Tengah.

19.Peraturan Gubernur Jawa Tengah Nomor 47 Tahun 2013 Tentang

Petunjuk Teknis, Kriteria, Persyaratan, Dan Tata Cara Alih Fungsi

Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Provinsi Jawa Tengah.

20.Instruksi Gubernur Jawa Tengah Nomor 590/107/1985 tanggal 25

Maret 1985 tentang Pencegahan Perubahan Tanah Pertanian ke Non

Pertanian yang Tidak Terkendalikan

21.Peraturan Daerah Kota Salatiga Nomor 4 Tahun 2011 Tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Salatiga Tahun 2010-2030.

22.Peraturan Daerah Kabupaten Semarang Nomor 6 Tahun 2011

Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Semarang Tahun

2011-2031.

23.Surat Keputusan Walikota Salatiga Nomor 591.05/23/2002 tanggal 1

Februari 2002 tentang Panitia Pertimbangan Perubahan Penggunaan

(13)

b.

Bahan Hukum Sekunder

Data sekunder ini diperoleh dari literatur, jurnal, dokumentasi tertulis

lainnya berkaitan dengan alih fungsi tanah pertanian menjadi non pertanian.

1.5.3

Unit Analisa

Seperti apa inkonsistensi pengaturan perlindungan lahan pertanian (larangan

alih fungsi lahan pertanian) dengan RTRW di Kabupaten Semarang dan Kota

Salatiga.

1.5.4

Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan ini dibagi menjadi 3 bab, yaitu:

Bab I : Pendahuluan

Dalam bab ini, penulis hendak menguraikan mengenai latar belakang

masalah yakni alasan pemilihan judul, gambaran permasalahan penelitian,

rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan metode penelitian.

Bab II : Pembahasan

Dalam bab ini, penulis hendak menguraikan mengenai :

A. Filosofi Perlindungan Lahan Pertanian dan Penataan Ruang

1. Asas dan prinsip perlindungan lahan pertanian pangan

berkelanjutan dan rencana tata ruang wilayah

2. Tujuan penyelenggaraan perlindungan lahan pertanian pangan

(14)

B. Hasil Penelitian

1. Isi pengaturan tentang perlindungan lahan pertanian pangan

berkelanjutan

2. Isi pengaturan tentang rencana tata ruang wilayah di tingkat

daerah

3. Konsistensi pengaturan perlindungan lahan pertanian pangan

berkelanjutan

Bab III : Penutup

Dalam bab ini, penulis hendak menguraikan mengenai kesimpulan,

Referensi

Dokumen terkait

Pada kolom ini dapat dipilih salah satu metode yang akan digunakan untuk.. estimasi yaitu LS (Least Square), TSLS (Two Stage Least Square),

Setelah mengetahui nilai dari setiap komponen boost converter rangkaian terbuka, langkah keempat yaitu melakukan simulasi menggunakan perangkat lunak( software ) komputer

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ekstender F dengan pH 7.7 memberikan hasil yang terbaik dengan lama penyimpanan sel sperma selama lima hari dimana hingga

Riduwan, Metode Dan Teknik Menyusun Tesis ..., hal.. pada kelas yang menjadi sampel dalam penelitian. Observasi dilakukan dengan. mengamati keadaan lingkungan siswa,

kejahatan pencabulan terhadap anak yang dilakukan oleh Polda Lampung terdiri dari upaya preventif dan upaya represif. Upaya preventif pengawasan dan penyitaan

10.4 Ahli yang tidak berpuas hati dengan tindakan yang diambil boleh membuat rayuan kepada guru penasihat unit pakaaian seragam, persatuan / kelab dan kelab sukan

Dari pot ensi f ungsi yang t elah dipaparkan t ersebut di at as, apabila dihubungkan dengan f akt a yang sempat penulis amat i, t erut ama pada desa-desa digit al

Cuplikan hasil pengolahan dapat dilihat pada Gambar 4.2, Gambar 4.3, dan Gambar 4.4, sedangkan untuk tampilan lengkap dari hasil pengolahan GAMIT dapat dilihat pada