BAB II
LANDASAN TEORITIS 3.1 Pajak
2..1 Definisi Pajak
Ada bermacam – macam pengertian tentang pajak menurut beberapa
ahli. Definisi tersebut antara lain:
Menurut Prof. DR. Rochmat Soemitro,S.H. dalam Mardiasmo
(2011:1):
Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbal balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Menurut Prof. DR. P.J.A. Andriani dalam Zein (2008:10):
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan.
Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Perubahan Ketiga Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum Dan Tata Cara Perpajakan (KUP):
Pajak adalah kontribusi Wajib Pajak kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan defenisi di atas, pajak merupakan hal yang sangat
penting dan tidak boleh diremehkan oleh masyarakat. Masyarakat juga
karena hasil pembayaran pajak tersebut digunakan untuk menyejahterakan
masyarakat.
Berdasarkan definisi di atas, terdapat ciri-ciri yang melekat pada
pajak yaitu:
1. Pajak dipungut oleh Negara baik oleh pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah berdasarkan atas undang-undang serta aturan
pelaksanaannya.
2. Pemungutan pajak mengisyaratkan adanya alih dana (sumber daya) dari
sektor swasta (wajib pajak membayar pajak) ke sektor Negara
(pemungut pajak/administrator pajak).
3. Pemungutan pajak diperuntukkan bagi keperluan pembiayaan umum
pemerintah dalam rangka menjalankan fungsi pemerintahan, baik rutin
maupun pembangunan, yang bila dari pemasukannya masih terdapat
surplus, dipergunakan untuk membiayai public investment.
4. Tidak dapat ditunjukkan adanya imbalan (kontraprestasi) individual
oleh pemerintah terhadap pembayaran pajak yang dilakukan oleh para
Wajib Pajak.
2.1.2 Fungsi Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:1) terdapat dua fungsi pajak yaitu:
1. Fungsi Penerimaan (Budgetair)
pajak menduduki porsi jumlah terbesar dibandingkan dengan penerimaan dari pos minyak bumi atau gas alam. Sebagai sumber keuangan negara, pemerintah berupaya memasukan uang sebanyak-banyaknya untuk kas negara. Sebagai contoh adalah dimasukkannya pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai pos penerimaan dalam negeri.
2. Fungsi Mengatur (Regulerend)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi.
Beberapa contoh penerapan pajak sebagai fungsi mengatur adalah:
a. Pemberlakuan tarif progresif pada pajak penghasilan, yang dimaksudkan untuk pemerataan pendapatan nasional atau sebagai alat dalam redistribusi pendapatan nasional.
b. Pemberlakuan bea masuk yang tinggi bagi barang-barang
impor dengan tujuan untuk melindungi terhadap produsen dalam negeri sehingga mendorong perkembangan industri dalam negeri.
c. Pemberian fasilitas Tax Holiday atau pembebasan pajak
untuk beberapa jenis industri tertentu dengan maksud mendorong para investor untuk meningkatkan investasinya.
d. Pengenaan pajak yang tinggi terhadap barang-barang
mewah dengan tujuan untuk menghambat perkembangan gaya hidup mewah.
2.1.3 Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mardiasmo (2011:7), sistem pemungutan pajak terbagi
dalam 3 (tiga) macam yaitu:
• Official Assessment System
Yaitu suatu sistem pemungutan yang memberikan wewenang kepada pemerintah yaitu fiskus untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak.
Contoh sistem ini adalah dalam hal pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pada saat penghitungan PBB Perkotaan dan Pedesaan masih di wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP), DJP melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP)nya yang akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besarnya PBB yang terutang setiap tahun. Jadi Wajib Pajak tidak perlu menghitung sendiri tetap cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP dimana objek pajak tersebut terdaftar.
Ciri-ciri Official Assessment System adalah:
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
• Wajib pajak bersifat pasif
• Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh
fiskus.
Contoh sistem ini adalah dalam hal pelunasan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pada saat penghitungan PBB Perkotaan dan Pedesaan masih di wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP), DJP melalui Kantor Pelayanan Pajak (KPP)nya yang akan mengeluarkan surat ketetapan pajak mengenai besarnya PBB yang terutang setiap tahun. Jadi Wajib Pajak tidak perlu menghitung sendiri tetap cukup membayar PBB berdasarkan Surat Pembayaran Pajak Terutang (SPPT) yang dikeluarkan oleh KPP dimana objek pajak tersebut terdaftar.
• Self Assessment System
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak terutang.
Ciri-ciri Self Assessment System adalah:
• Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada
Wajib Pajak sendiri
• Wajib pajak aktif, mulai dari menghitung, menyetor dan
melaporkan sendiri pajak yang terutang
• Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
Contoh sistem ini adalah dalam hal penyampaian SPT Tahunan PPh baik untuk Wajib Pajak Badan maupun Wajib Pajak Orang Pribadi dan SPT Masa PPh dan PPN.
• With Holding System
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang bersangkutan) untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-ciri With Holding System adalah:
• Wewenang menentukan besarnya pajak yang terutang ada pada
pihak ketiga, pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.
Contoh sistem ini adalah diberikannya bukti potong atau bukti pungut kepada Wajib Pajak sebagai bukti atas pelunasan pajaknya.
2.1.4 Jenis Pajak
Menurut Waluyo (2011:12), pajak dapat dikelompokkan ke dalam
tiga kelompok, yaitu:
1. Menurut golongan atau pembebanannya, terdiri dari:
a. Pajak langsung adalah pajak yang pembebanannya tidak dapat
dilimpahkan pihak lain, tetapi harus menjadi beban langsung Wajib Pajak yang bersangkutan. Contoh: Pajak Penghasilan.
b. Pajak tidak langsung adalah pajak yang pembebanannya dapat
2. Menurut sifatnya, terdiri dari:
a. Pajak subjektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan
pada subjeknya yang selanjutnya dicari syarat objektifnya, dalam arti memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contoh : Pajak Penghasilan.
b. Pajak objektif adalah pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada objeknya tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contoh : Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. 3. Menurut pemungut dan pengelolanya, terdiri dari:
a. Pajak pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara. Contoh : Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan dan Bea Materai.
b. Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah
dan digunakan untuk membiayai rumah tangga daerah. Contoh : pajak reklame, pajak hiburan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkotaan dan pedesaan.
2.2 Pajak Penghasilan
2.2.1 Definisi Pajak Penghasilan
Pengertian penghasilan yang diatur dalam undang-undang
perpajakan menurut Suparmono dan Damayanti (2010:37) yaitu:
“Setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun (Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan Tahun 2008).”
Sedangkan pengertian Pajak Penghasilan menurut Siti Resmi
(2013:74) adalah Pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas
penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam tahun pajak atau dapat pula
dikenakan pajak untuk penghasilan dalam tahun pajak, apabila kewajiban
Dari pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak
penghasilan adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh
masyarakat baik orang pribadi maupun badan atas penghasilan yang
diterima/diperoleh dalam tahun pajak untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara. Pajak penghasilan ini merupakan pajak subjektif karena
berpangkal atau berdasarkan atas subjeknya atau memperhatikan diri Wajib
Pajak.
Pajak Penghasilan sendiri diatur dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
36 Tahun 2008.
2.2.2 Subjek Pajak Penghasilan
Menurut Siti Resmi (2013:75), subjek pajak penghasilan adalah
segala sesuatu yang mempunyai potensi untuk memperoleh penghasilan dan
menjadi sasaran untuk dikenakan pajak penghasilan. Subjek pajak akan
dikenakan pajak penghasilan apabila menerima atau memperoleh
penghasilan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Jika subjek
pajak telah memenuhi kewajiban pajak subjektif dan objektif maka disebut
wajib pajak.
Subjek pajak penghasilan menurut Pasal 2 ayat (1) dan ayat 5
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak
Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 beserta penjelasannya (UU PPh)
adalah:
1. Orang pribadi dan warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan. a. Orang pribadi, sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau
berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia.
b. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan
yang berhak. Warisan ini merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.
2. Badan.
Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseoran terbatas, perseoran komanditer, perseoran lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
3. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
BUT adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus depalan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a. Tempat kedudukan manajemen
b. Cabang perusahaan
c. Kantor perwakilan
d. Gedung kantor
e. Pabrik
f. Bengkel
g. Gudang
h. Ruang untuk promosi dan penjualan
i. Pertambangan dan penggalian sumber alam
j. Wilayah kerja pertambangan minyak dan gas bumi
k. Perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan atau kehutanan l. Proyek konstruksi, instalasi atau proyek perakitan
m. Pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang
lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan
n. Orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya
o. Agen atau pegawai dari perusahaan asruansi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau menanggung risiko di Indonesia dan
p. Komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan kegiatan usaha melalui internet.
2.2.2.1 Penggolongan Subjek Pajak
Subjek pajak menurut Pasal 2 ayat 2 UU PPh terbagi menjadi
dua yaitu:
1. Subjek Pajak Dalam Negeri
Menurut Pasal 2 ayat (3) UU PPh, Subjek Pajak Dalam Negeri terdiri dari:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia, kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
• Pembentukannya berdasarkan ketentuan peraturan
perundang-undangan
• Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
• Penerimaannya dimasukkan dalam anggaran Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah
• Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan
fungsional negara.
c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan
menggantikan yang berhak. 2. Subjek Pajak Luar Negeri
Menurut Pasal 2 ayat (4) UU PPh, Subjek Pajak Luar Negeri terdiri dari:
a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
b. Badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia baik yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT atau tidak.
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak
apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak. Subjek pajak badan dalam
negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau bertempat
kedudukan di Indonesia.
Subjek pajak luar negeri baik orang pribadi maupun badan
sekaligus menjadi Wajib Pajak karena menerima dan/atau
memperoleh penghasilan yang bersumber dari Indonesia atau
menerima dan/atau memperoleh penghasilan yang bersumber dari
Indonesia melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Dengan kata lain, Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan
yang telah memenuhi kewajiban subjektif dan objektif.
Bagi Wajib Pajak luar negeri yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia,
pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri
sebagaimana diatur dalam UU PPh dan UU yang mengatur mengenai
2.2.2.2 Kewajiban Pajak Subjektif
Kewajiban pajak subjektif menurut Pasal 2A UU PPh adalah
sebagai berikut:
1. Subjek pajak dalam negeri
a. Orang Pribadi
Dimulai pada saat orang pribadi tersebut dilahirkan, berada atau berniat untuk bertempat tinggal di Indonesia dan berakhir pada saat meninggal dunia atau meninggalkan Indonesia untuk selama-lamanya.
b. Badan
Dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat dibubuarkan atau tidak lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
c. Warisan yang belum terbagi
Dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut yaitu pada saaat meninggalnya pewaris dan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi kepada para ahli waris. Sejak saat itu pemenuhan kewajiban perpajakannya beralih kepada para ahli waris.
2. Subjek pajak luar negeri
a. Orang pribadi atau badan yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT.
Dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menjalan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT dan berakhir pada saat tidak lagi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT.
b. Orang pribadi atau badan yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan melalui BUT.
Dimulai pada saat orang pribadi atau badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia dan berakhir pada saat tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan tersebut.
2.2.2.3 Tidak Termasuk Subjek Pajak
Yang tidak termasuk subjek pajak menurut Pasal 3 UU PPh
adalah:
a. Kantor perwakilan negara asing
diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama-sama mereka dengan syarat:
• Bukan warga Negara Indonesia
• Tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan
atau pekerjaannya di Indonesia
• Negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik.
c. Organisasi-organisasi internasional dengan syarat: • Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut
• Tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk
memperoleh penghasilan dari Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang danaya berasal dari iuran para anggota.
d. Pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud di huruf (c) dengan syarat:
• Bukan Warga Negara Indonesia
• Tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
Organisasi-organisasi internasional dan pejabat-pejabat
perwakilan organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak
penghasilan diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor
156/PMK.010/2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 215/PMK.03/2008 tentang Penetapan
Organisasi-organisasi Internasional dan Pejabat-pejabat Perwakilan
Organisasi Internasional yang Tidak Termasuk Subjek Pajak
Penghasilan.
2.2.3 Objek Pajak
2.2.3.1 Penghasilan Yang Menjadi Objek Pajak
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UU PPh, yang menjadi objek
pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat
dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib
Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun,
termasuk:
1. Penggantian atau imbalan dengan pekerjaan atau jasa yang
diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU PPh.
2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan
penghargaan. 3. Laba usaha
4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
termasuk:
a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan,
persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyerahan modal.
b. Keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang
saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.
c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan,
peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apapun.
d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah,
bantuan, atau sumbangan kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat atau badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial, termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil.
e. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian
atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan.
5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah
dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak.
6. Bunga termasuk premium diskonto dan imbalan karena
jaminan pengembalian hutang.
7. Dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk
8. Royalti atau imbalan atas penggunaan hak.
9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan
harta.
10. Penerimaan atau perolehan pembayaran berkala.
11. Keuntungan karena pembebasan hutang, kecuali dengan
jumlah tertentu yang ditetapkan dengan peraturan pemerintah.
12. Selisih kurs mata uang asing.
13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva. 14. Premi asuransi.
15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari
anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
16. Tambahan kekayaan netto yang berasal dari penghasilan
yang belum dikenakan pajak.
17. Penghasilan dari usaha berbasis syariah.
18. Imbalan bunga sebagaimana telah diatur dalam Undang –
undang yang mengatur mengenai Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan.
19. Surplus Bank Indonesia.
2.2.3.2 Penghasilan Yang Bersifat Final
Menurut pasal 4 ayat (2) UU PPh, penghasilan yang
dikenakan pajak bersifat final yaitu:
1. Penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;
2. Penghasilan berupa hadiah undian;
3. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya,
transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan saham atau penghalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;
4. Penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah
dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan
5. Penghasilan tertentu lainnya (penghasilan dari pengungkapan
2.2.3.3 Penghasilan yang Dikecualikan dari Objek Pajak
Menurut Pasal 4 ayat (3) UU PPh, jenis penghasilan yang
tidak termasuk sebagai objek pajak adalah:
a. 1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah dan
2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. Warisan;
c. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
d. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau
jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus;
e. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi
sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;
f. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:
1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan dan
2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan
g. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
h. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun
dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;
i. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma dan kongsi termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
j. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal
ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:
1. Merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah atau yang
menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, dan
2. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
k. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;
l. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga
nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan
m. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
2.3 Peraturan Pemerintah Nomor 46 (PP 46) Tahun 2013
2.3.1 Maksud dan Tujuan Penerbitan PP Nomor 46 Tahun 2013 Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf e dan Pasal 17 ayat (7) UU PPh,
dikatakan bahwa dengan menggunakan Peraturan Pemerintah (PP) dapat
dibandingkan dengan menggunakan UU PPh secara umum.
Penyederhanaannya yakni Wajib Pajak hanya menghitung dan membayar
pajak berdasarkan peredaran bruto (omzet).
Sesuai dengan dasar hukum ini, diterbitkan Peraturan Pemerintah
Nomor 46 (PP 46) Tahun 2013 dengan tujuan terutama untuk
kesederhanaan dan pemerataan dalam melaksanakan kewajiban perpajakan.
PP 46 tahun 2013 ini merupakan kebijakan Pemerintah Republik
Indonesia yang mengatur mengenai Pajak Penghasilan atas penghasilan dari
usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran
bruto tertentu baik orang pribadi maupun badan. Ketentuan ini dikeluarkan
dan mulai berlaku sejak 1 Juli 2013.
Penghasilan dari usaha yang masuk kategori dalam PP 46 ini
memiliki peredaran bruto tertentu yaitu sampai dengan Rp 4.800.000.000
(Empat Miliar Delapan Ratus Juta Rupiah) dalam satu tahun pajak,
dikenakan pajak bersifat Final (Pasal 2 ayat (1) dan ayat 2 Huruf a dan b).
Peraturan ini dikeluarkan dengan maksud untuk:
1. memberi kemudahan dan penyederhanaan aturan perpajakan
2. mengedukasi masyarakat untuk tertib administrasi
3. mengedukasi masyarakat untuk transparansi
4. memberikan kesempatan masyarakat untuk berkontribusi dalam
penyelenggaraan negara.
1. memberi kemudahan bagi masyarakat dalam melaksanakan kewajiban
perpajakannya
2. meningkatnya pengetahuan tentang manfaat perpajakan bagi
masyarakat
3. terciptanya kondisi kontrol sosial dalam memenuhi kewajiban
perpajakan.
Dengan keluarnya peraturan ini diharapkan penerimaan pajak akan
meningkat sehingga kesempatan untuk mensejahterakan masyarakat
meningkat juga.
2.3.2 Aturan Pendukung PP Nomor 46 Tahun 2013
Dalam penerbitan peraturan pemerintah ini, pemerintah dalam hal ini
Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak menerbitkan aturan
pendukung guna memberikan panduan pelaksanaan teknis dalam
penerapannya kepada Wajib Pajak yang masuk dalam kriteria yang telah
ditentukan.
Adapun aturan - aturan yang dimaksud, yaitu:
1. Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 107/PMK.011/2013
Tentang tata cara penghitungan, penyetoran dan pelaporan Pajak
Penghasilan atas Penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh
Wajib Pajak yang memiliki Peredaran Bruto tertentu.
Tentang pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013
tentang pajak penghasilan atas penghasilan dari usaha yang diterima
atau diperoleh wajib pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu.
2.3.3 Objek Pajak PP Nomor 46 Tahun 2013
Menurut PP Nomor 46 Tahun 2013, objek pajaknya adalah
penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh wajib pajak dengan
peredaran bruto (omzet) yang tidak melebihi Rp 4.800.000.000 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun pajak.
Peredaran bruto (omzet) merupakan jumlah peredaran bruto semua
gerai/outlet/outlet atau sejenisnya baik pusat maupun cabangnya. Usaha ini
meliputi usaha dagang dan jasa seperti misalnya toko/los kelontong/kios,
pakaian, elektronik, bengkel, penjahit, warung/rumah makan, salon, dan
usaha lainnya.
Menurut pasal 3 ayat (2) PMK Nomor 107/PMK.011/2013, yang
bukan objek pajak PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah:
1. Penghasilan dari usaha jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas.
2. Penghasilan dari usaha yang dikenakan PPh Final Pasal 4 ayat (2)
seperti:
a. Sewa kamar kos.
b. Sewa rumah
c. Jasa konstruksi baik dibidang perencanaan, pelaksanaan, maupun
pengawasan.
d. PPh usaha migas.
2.3.4 Subjek Pajak Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Wajib pajak yang dapat dikenai Pajak Penghasilan dengan tarif
sesuai PP Nomor 46 Tahun 2013 adalah wajib pajak yang memiliki
peredaran bruto tertentu dengan kriteria sesuai dengan Pasal 2 ayat (2) PP
46 adalah sebagai berikut:
1. Wajib pajak orang pribadi atau wajib pajak badan tidak termasuk
bentuk usaha tetap, dan
2. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk penghasilan dari jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas, dengan peredaran bruto tidak melebih Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) Tahun Pajak.
Menurut Pasal 2 ayat (3) PMK Nomor 107/PMK.011/2013, jasa
sehubungan dengan pekerjaan bebas meliputi:
1. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas, yang terdiri dari
pengacara, akuntan, arsitek, dokter, konsultan, notaris, penilai dan akuaris;
2. Pemain musik, pembawa acara, penyanyi, pelawak, bintang film,
bintang sinetron, bintang iklan, sutradara, kru film, foto model, peragawan/peragawati, pemain drama, dan penari;
3. Olahragawan;
4. Penasihat, pengajar, pelatih, penceramah, penyuluh dan moderator; 5. Pengarang, peneliti, dan penerjemah;
6. Agen iklan;
7. Pengawas atau pengelola proyek; 8. Perantara;
9. Petugas penjaja barang dagangan; 10. Agen asuransi, dan
11. Distributor perusahaan pemasaran berjenjang (multilevel marketing)
atau penjualan langsung (direct selling) dan kegiatan sejenis lainnya.
Tidak semua wajib pajak baik orang pribadi maupun badan dapat
menjadi bagian wajib pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah ini. Adapun
wajib pajak yang bukan subjek pajak menurut Pasal 2 ayat (3) dan (4) PP
1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha perdagangan atau jasa yang dalam usahanya:
a. Menggunakan sarana atau prasarana yang dapat dibongkar pasang,
baik yang menetap maupun yang tidak menetap.
b. Menggunakan sebagian atau seluruh tempat untuk kepentingan
umum yang tidak diperuntukkan bagi tempat usaha atau berjualan. Contoh: Pedagang keliling, pedagang asongan, warung tenda di area kaki lima, dan sejenisnya.
2. Wajib Pajak Badan
a. Badan Usaha Tetap (BUT).
b. Wajib pajak badan yang belum beroperasi secara komersial.
c. Wajib pajak badan yang dalam jangka waktu satu tahun sejak
beroperasi secara komersial memperoleh peredaran bruto melebihi Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
2.3.5 Tarif dan Dasar Pengenaan PP Nomor 46 Tahun 2013
Berdasarkan Pasal 3 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun
2013 ini, besaran tarif Pajak Penghasilan yang bersifat final adalah sebesar
1% (satu persen). Pengenaan Pajak Penghasilan tersebut didasarkan pada
peredaran bruto dari usaha dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak Terakhir
sebelum Tahun Pajak yang bersangkutan.
Apabila Peredaran bruto kumulatif Wajib Pajak pada suatu bulan
telah melebihi jumlah Rp 4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta
rupiah) dalam suatu tahun pajak, wajib pajak tersebut tetap dikenai tarif
pajak penghasilan yang telah ditentukan berdasarkan ketentuan Peraturan
Pemerintah ini sampai dengan akhir tahun pajak yang bersangkutan (Pasal 3
ayat (3) PP Nomor 46 Tahun 2013).
Dalam hal peredaran bruto wajib pajak telah melebihi jumlah Rp
4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) pada suatu tahun
pada tahun pajak berikutnya dikenai tarif pajak penghasilan berdasarkan
undang - undang Nomor 36 Tahun 2008 pasal 17 ayat (1).
OMSET > Rp 4.800.000.000 = TARIF (1%) X OMSET / BULAN
2.3.6 Perbedaan PPh Final PP 46 Tahun 2013 dengan PPh Undang – undang Nomor 36 Pasal 17 Tahun 2008
Ada beberapa perbedaan diantara PPh Final Peraturan Pemerintah
Nomor 46 Tahun 2013 dengan PPh undang-undang nomor 36 Pasal 17
tahun 2008, yaitu :
Tabel 2.1
Perbedaan PP 46 Tahun 2013 dengan Undang-undang Nomor 36 tahun 2008
PPh Final PP 46 Tahun 2013 PPh Undang -undang nomor 36 pasal 17 Tahun 2008
Kriteria Wajib Pajak dibatasi Kriteria tidak dibatasi
PPh Bersifat Final PPh tidak bersifat Final
Omset sampai dengan Rp 4.800.000.000
Omset tidak dibatasi
Tidak menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Menggunakan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Menggunakan tarif tunggal (1%)
Tabel 2.2
Tarif Pasal 17 ayat (1) Huruf a
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif
Rp 0 s.d. Rp 50.000.000 5%
Rp 50.000.000 s.d. Rp 250.000.000 15%
Rp 250.000.000 s.d. Rp 500.000.000 25%
Di atas Rp 500.000.000 30%
Dari tabel di atas, terlihat jelas perbedaan antara pajak penghasilan
sesuai PP 46 dengan pajak penghasilan sesuai UU PPh. Dengan demikian,
diharapkan PP 46 ini dapat semakin meningkatkan pertumbuhan wajib pajak
dan penerimaan pajak.
2.4 Penelitian Terdahulu
Ada beberapa penelitian terdahulu yang berhubungan dengan penelitian
terhadap PP 46, yaitu:
Tabel2.3 Penelitian Terdahulu
No Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian
1 Astri Corry N. Pajak UMKM dan Penerimaan PPh Pasal 4 ayat (2) (Studi Kasus pada KPP Pratama Malang Selatan)
Tingkat pertumbuhan jumlah Wajib Pajak terus meningkat dengan diberlakukannya PP ini. Kontribusi yang diberikan oleh pajak UMKM terhadap penerimaan PPh Pasal 4 ayat (2) sejak diterapkannya PP No. 46 Tahun 2013 selalu meningkat meskipun masih dalam kategori sangat kurang.
2 I Putu Gede
Diatmika (2013)
Penerapan Akuntansi Pajak Atas PP No. 46 Tahun 2013 Tentang
PPh Atas Penghasilan Dari Usaha Wajib Pajak
yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
di lingkungan masyarakat perkotaan maupun pedesaan yang mempunyai peredaran usaha kurang dari Rp 4,8 Miliar setahun. Terdapat penghematan finansial bagi pengusaha yang mempunyai peredaran usaha di bawah Rp 4,8M dibandingkan dengan menggunakan tarif sesuai UU PPh.
3 Widya Tjiali
(2015)
Analisis Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Terhadap Pertumbuhan Jumlah Wajib Pajak dan Penerimaan PPh Pasal 4 ayat (2) pada KPP Pratama Bitung
Jumlah wajib pajak mengalami peningkatan setelah penerapan ini sebesar 6,11%. Kontribusi PPh PP No. 46/ Tahun 2013 terhadap penerimaan PPh Pasal 4 ayat (2) cenderung meningkat meskipun secara rata-rata masih dalam kategori sangat kurang
4 Putti Maulita
Anisa (2016)
Analisis Perbandingan Penerapan PPh 25 dengan Pajak Final Tarif 1% Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 46 Tahun 2013 (Studi Kasus pada PT Rumina Cahaya Kembar)
Penerapan PPh 25 lebih baik daripada PP No. 46. Jumlah pajak yang harus dibayarkan oleh perusahaan juga lebih sedikit dibandingkan dengan menggunakan tarif 1%.
2.5 Kerangka Konseptual
Kerangka konseptual merupakan suatu kerangka hubungan antara
konsep-konsep yang ingin diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan.
Kebijakan PP No. 46 Tahun 2013
Pertumbuhan Wajib Pajak Orang Pribadi
Analisis Gambar 2.1
Kerangka Konseptual Penelitian
Dalam upaya untuk meningkatkan pemenuhan kewajiban perpajakan secara
sukarela dan mendorong kontribusi penerimaan negara, pemerintah telah
menerbitkan PP No. 46 tahun 2013. PP No. 46 tahun 2013 ditetapkan pada 1 Juli
2013. Peraturan baru ini memberikan kemudahan bagi para wajib pajak yang
memiliki penghasilan bruto tertentu untuk melalukan pemenuhan kewajiban
perpajakan. Oleh karena itu, peneliti melakukan analisis untuk mengetahui
bagaimana pengaruh peraturan ini terhadap pertumbuhan wajib pajak orang
pribadi dan penerimaan pajak secara keseluruhan.