UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS EKONOMI
PROGRAM STRATA 1 MEDAN
ANALISIS PENGARUH HARGA MINYAK DUNIA, NILAI
TUKAR, INFLASI DAN SUKU BUNGA SERTIFIKAT
BANK INDONESIA TERHADAP PERGERAKAN
INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN
DI BURSA EFEK INDONESIA
PERIODE 2006 – 2009
SKRIPSI
OLEH
TULUS G PASARIBU 060502165 MANAJEMEN
Guna Memenuhi Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ekonomi
Universitas Sumatera Utara Medan
ABSTRAK
Tulus G Pasaribu (2010). Analisis Pengaruh Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi, dan Suku Bunga SBI Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia Periode 2006-2009. Di bawah bimbingan Dra. Nisrul Irawati, MBA, Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, SE., M.Si. (Ketua Departemen Manajemen), Dr. Khaira Amelia F, SE., MBA, Ak. (Penguji I), Dr. Yenni Absah, SE, M.Si. (Penguji II).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah terdapat pengaruh dari Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi dan Suku Bunga SBI terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia selama periode 2006-2009.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari data harian dan bulanan yang dipublikasikan oleh OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries), Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia dan diolah menggunakan Analisis Regresi Linier Berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi dan Suku Bunga SBI secara simultan mempengaruhi Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2006-2009. Secara parsial, Harga Minyak Dunia berpengaruh secara positf dan tidak signifikan terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, Nilai Tukar dan Inflasi berpengaruh secara negatif dan tidak signifikan terhadap Pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, sedangkan Suku Bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia selama periode 2006-2009.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan atas segala kasihNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan perkuliahan dan penulisan skripsi ini guna memenuhi salah satu
syarat dalam memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
Skripsi ini berjudul “Analisis Pengaruh Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar,
Inflasi dan Suku Bunga SBI terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) Periode 2006 – 2009.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini telah banyak mendapat
dukungan dan bantuan baik secara moril maupun materiil. Untuk itu, melalui
kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang setulusnya
kepada:
1. Bapak Drs. Jhon Tafbu Ritonga, M.Ec., selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, SE., M.Si., selaku Ketua Departemen
Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara.
3. Ibu Dra. Nisrul Irawati, MBA., selaku Sekretaris Departemen Manajemen
Fakultas Ekonomi Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen
Pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Ibu Dr. Khaira Amelia F, SE., MBA, Ak. dan Ibu Dr. Yenni Absah, SE, M.Si.
5. Bapak/Ibu Dosen Pengajar di Fakultas Ekonomi USU yang telah banyak
memberikan bimbingan dan pengetahuan selama perkuliahan.
6. Seluruh Staf Karyawan di Fakultas Ekonomi USU.
7. Teristimewa Kedua orang tua tercinta (Bpk A. Pasaribu dan Ibu tercinta R.
Br. Hutabarat), serta abang, kakak dan adikku (Bg’ Agung & Ka’ Agung, Bg’
Anggiat & Ka’ Sri, Bg’ Kardo, dan De’ Enta) atas kasih sayang dan
dukungannya.
8. Kepada sahabat-sahabat tercinta, Gabe, Fredytio, Rudy, Salman, Rade,
Romy, Hendi, Carjoni, Benny, Ceria, Dian, Sonya, Nida, Renita, dan Dety,
atas perhatian dan kebersamaan selama kuliah, serta seluruh teman – teman
Manajemen Stambuk 06, atas bantuan dan dukungannya.
9. Dan seluruh pihak yang telah membantu dalam penulisan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, karena keterbatasan pengetahuan penulis dalam pengulasan skripsi ini.
Oleh karena itu, penulis sangat mengharapakan adanya saran dan kritik yang
membangun demi penulisan kedepan.
Penulis juga berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Medan, April 2010 Penulis
DAFTAR ISI
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 9
1. Tujuan Penelitian ... 9
2. Manfaat Penelitian ... 9
F. Metode Penelitian ... 10
1. Batasan Operasional ... 10
2. Definisi Operasional ... 10
3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 14
4. Tempat dan Waktu Penelitian ... 15
3. Pengukuran Tingkat Inflasi ... 34
2. Dasar Hukum Penerbitan SBI ... 35
BAB III. GAMBARAN UMUM PERUSAAN A. Sejarah Pasar Modal Indonesia ... 36
B. Prosedur Pendaftaran Sekuritas di BEI ... 41
C. Prosedur Transaksi di BEI ... 41
BAB IV. ANALISIS DAN PEMBAHASAN A. Analisis Desktriptif ... 43
B. Analisis Statistik ... 51
1. Analisis Regresi Linier Berganda ... 51
2. Uji Asumsi Klasik ... 54
3. Pengujian Hipotesis ... 59
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 66
B. Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 69
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
Tabel 1.1 Pergerakan IHSG, Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar,
Inflasi dan Suku Bunga SBI ... 3
Tabel 1.2 Kriteria Pengambilan Keputusan Durbin-Watson ... 19
Tabel 4.1 Perubahan IHSG Januari 2006-Desember 2009 ... 42
Tabel 4.2 Perubahan Harga Minyak Dunia Januari 2006- Desember 2009 45 Tabel 4.3 Perubahan Nilai Tukar Januari 2006-Desember 2009 ... 46
Tabel 4.4 Laju Inflasi Januari 2006-Desember 2009 ... 48
Tabel 4.5 Perubahan Suku Bunga SBI Januari 2006-Desember 2009 ... 50
Tabel 4.6 Hasil Estimasi Regresi ... 52
Tabel 4.7 Hasil Uji Kolmogorov Smirnov ... 54
Tabel 4.8 Hasil Uji Park Test ... 57
Tabel 4.9 Hasil Uji Runs ... 58
Tabel 4.10 Hasil Uji Uji Durbin-Watson (DW) ... 58
Tabel 4.11 Hasil Uji Multikolinearitas ... 59
Tabel 4.12 Hasil Uji Simultan (Uji-F) ... 60
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
Gambar 1.1 Kerangka Konseptual ... 8 Gambar 4.1 Hasil Uji Normal P-P Plot of Regression
Standardized Residual ... 55
ABSTRAK
Tulus G Pasaribu (2010). Analisis Pengaruh Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi, dan Suku Bunga SBI Terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia Periode 2006-2009. Di bawah bimbingan Dra. Nisrul Irawati, MBA, Prof. Dr. Ritha F. Dalimunthe, SE., M.Si. (Ketua Departemen Manajemen), Dr. Khaira Amelia F, SE., MBA, Ak. (Penguji I), Dr. Yenni Absah, SE, M.Si. (Penguji II).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis apakah terdapat pengaruh dari Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi dan Suku Bunga SBI terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia selama periode 2006-2009.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder yang diperoleh dari data harian dan bulanan yang dipublikasikan oleh OPEC (Organization of Petroleum Exporting Countries), Bank Indonesia dan Bursa Efek Indonesia dan diolah menggunakan Analisis Regresi Linier Berganda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi dan Suku Bunga SBI secara simultan mempengaruhi Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) selama periode 2006-2009. Secara parsial, Harga Minyak Dunia berpengaruh secara positf dan tidak signifikan terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, Nilai Tukar dan Inflasi berpengaruh secara negatif dan tidak signifikan terhadap Pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia, sedangkan Suku Bunga SBI berpengaruh negatif dan signifikan terhadap Pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia selama periode 2006-2009.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasar modal merupakan salah satu tempat (media) yang memberikan
kesempatan berinvestasi bagi investor perorangan maupun institusional. Oleh
karena itu, arah dan besarnya pergerakan pasar modal menjadi topik yang menarik
bagi para akademisi dan praktisi pasar untuk mempelajarinya. Pasar modal
memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia, dimana nilai Indeks
Harga Saham Gabungan dapat menjadi leading indicator economic pada suatu
negara. Pergerakan indeks sangat dipengaruhi oleh ekspektasi investor atas
kondisi fundamental negara maupun global. Adanya informasi baru akan
berpengaruh pada ekspektasi investor yang akhirnya akan berpengaruh pada
IHSG.
Indeks Harga Saham Gabungan mengalami peningkatan yang semakin
pesat sejak krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1998. Nilai IHSG
yang semakin tinggi merupakan bentuk kepercayaan investor atas kondisi
ekonomi Indonesia yang semakin kondusif. Stabilitas ekonomi yang terjaga
hingga akhir tahun 2007 mendorong kinerja bursa saham di dalam negeri. Indeks
harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai 2.745,8
pada akhir bulan Desember 2007 atau naik 52,1 persen dibandingkan akhir tahun
2006.
Moradoglu, et al. (2000) mengemukakan bahwa penelitian tentang
perilaku harga saham telah banyak dilakukan, terutama dalam kaitannya dengan
dipengaruhi oleh fluktuasi makroekonomi. Beberapa variabel makroekonomi yang
digunakan antara lain; tingkat inflasi, tingkat bunga, nilai tukar, indeks produksi
industri, dan harga minyak.
Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi
dunia. Dalam tahun 2007 ekonomi dunia tumbuh 5,0 persen dengan Asia sebagai
penggerak ekonomi dunia, didorong oleh China, India dan negara-negara
emerging market lainnya (World Economic Outlook, 2009). Tingginya
pertumbuhan ekonomi dunia turut meningkatkan permintaan minyak dunia.
Sementara itu, sisi pasokan dihadapkan pada keterbatasan produksi terutama
negara non OPEC serta kuatnya komitmen negara-negara anggota OPEC untuk
menjaga tingkat produksinya. Memasuki tahun 2008, tekanan eksternal berupa
tingginya harga minyak dunia membuat IHSG di Bursa Efek Indonesia turun 4,3
persen pada periode yang sama. Pada akhir Juli 2008 ketika harga minyak dunia
mencapai US$ 130 per barel membuat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di
Bursa Efek Indonesia menurun menjadi 2304,5 atau 16,1 persen lebih rendah
dibandingkan akhir tahun 2007.
Keberhasilan bank sentral mengendalikan inflasi dan mempertahankan
kurs Rupiah ke level kondusif terlihat sepanjang tahun 2006 hingga 2007.
Berbagai kebijakan ekonomi telah mampu menjaga kestabilan nilai tukar Rupiah
terhadap USD. Namun, akhir 2007, Rupiah terus mengalami depresiasi yang
terhenti sejenak dan membaik Pebruari 2008 hingga Maret 2008, dan terus
meningkat tajam hingga Februari 2009, Rupiah mencapai Rp 11.852 per USD.
Naiknya nilai tukar Rupiah terhadap USD diikuti penurunan SBI, hal ini
Amerika sehingga banyak investor lebih memilih menginvestasikan dananya di
sektor perdagangan valuta asing. Untuk meredam melemahnya nilai tukar Rupiah
terhadap Dollar Amerika, pemerintah terus menaikkan suku bunga sertifikat
Bank Indonesia (SBI) sejak Mei 2008 dan pada November 2008 mencapai angka
11.21% per bulan.
Tabel 1.1
Pergerakan Harga Minyak Dunia, Inflasi, Suku Bunga SBI Nilai Tukar, dan IHSG
(September 2007 – April 2009)
Sumber
Tandelilin (2001) menyatakan bahwa tingkat bunga yang tinggi merupakan
sinyal negatif terhadap harga saham. Hal ini dikarenakan tingkat suku bunga yang
meningkat akan menyebabkan peningkatan suku bunga yang diisyaratkan atas
investasi pada suatu saham. Di samping itu, tingkat suku bunga yang meningkat
bisa juga menyebabkan investor menarik investasinya pada saham dan
memindahkannya pada investasi berupa tabungan atau deposito. Hal itu terbukti,
terlihat bahwa naiknya suku bunga SBI sejak Mei 2008 diikuti penurunan IHSG
hingga mencapai level 1.241 pada November 2008 dimana suku bunga SBI pada
saat itu merupakan yang tertinggi sepanjang tahun 2007-2008.
Indikator ketiga yang paling fluktuatif pada Tabel 1.1 adalah tingkat inflasi.
Pada umumnya tekanan inflasi di Indonesia akan meningkat pada pertengahan
tahun yaitu menjelang tahun ajaran baru, saat bulan Ramadhan, menjelang hari
raya keagamaan terutama Idul Fitri, serta menjelang Tahun Baru. Selama periode
penelitian, inflasi sangat fluktuatif dari Januari 2006 inflasi menyentuh dua digit
(17%), hal ini terjadi sebagai dampak ditetapkannya kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM) oleh Pemerintah yang dilakukan dalam rangka menyesuaikan
harga BBM tersebut yang mulai berlaku per 1 Oktober 2005. Fluktuasi inflasi
tampak sangat mempengaruhi pasar modal, khusunya harga saham. Dari tabel 1.1
dapat dilihat bahwa naiknya inflasi membuat IHSG tertekan, dan ketika inflasi
turun Indeks Harga Saham Gabungan mengalami peningkatan.
Harga minyak dunia, nilai tukar, tingkat inflasi dan kebijakan suku bunga
SBI dapat disimpulkan mempunyai peran yang strategis bagi suatu perusahaan
khususnya perusahaan yang dalam aktivitas produksi dan operasinya banyak
memanfaatkan mata uang asing. Oleh karena mempunyai peran yang strategis
dalam suatu perusahaan, maka tentunya hal ini akan menjadi pertimbangan bagi
investor dalam pengambilan keputusan investasinya. Perilaku keputusan investasi
dari seorang investor dalam suatu pasar modal akan tercermin dari
pergerakan-pergerakan indeks harga saham gabungan pada pasar modal tersebut.
Pergerakan IHSG yang cenderung mengikuti pergerakan harga minyak
dunia, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, tingkat inflasi, dan suku bunga
ini menjadi ketertarikan bagi peneliti untuk meneliti apakah terdapat hubungan
antara IHSG dan variabel-variabel tersebut.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul ”Analisis Pengaruh Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar
Rupiah, Inflasi, dan Suku Bunga SBI terhadap Pergerakan IHSG di Bursa
Efek Indonesia.”
B. Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut: “Apakah terdapat pengaruh harga minyak dunia, nilai tukar, inflasi dan
suku bunga SBI terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia?”
C. Kerangka Konseptual
Brealey (2006:324) menyatakan bahwa perubahan dalam tingkat bunga,
inflasi, harga minyak, kurs valuta asing, dan kejadian ekonomi makro lain
saham. Ketika risiko makro yang relevan menjadi positif secara umum, harga
saham naik dan investor meraih keuntungan, ketika variabel yang sama berjalan
sebaliknya, investor merugi.
Narayan dan Narayan (2009) dalam penelitiaanya mengatakan bahwa ada
dua hal bagaimana harga minyak dapat mempengaruhi harga saham. Pertama,
minyak dianggap sebagai kunci dalam proses produksi. Kenaikan harga minyak
meningkatkan biaya produksi, dimana kenaikan biaya produksi ini akan menekan
harga saham gabungan. Kedua, harga minyak juga mempengaruhi pengembalian
saham melalui discount rate yang mempunyai efek negatif terhadap pengembalian
saham.
Pergerakan IHSG sulit dilepaskan begitu saja dari pengaruh berbagai
perubahan kondisi ekonomi makro. Perubahan satu variabel makro ekonomi
memiliki dampak yang berbeda terhadap setiap jenis saham, yaitu suatu saham
dapat terkena dampak positif, sedangkan saham yang lainnya terkena dampak
negatif. Harga saham emiten yang terkena dampak positif dari kenaikan kurs USD
akan meningkat harga sahamnya di bursa efek, dan sebaliknya. Selanjutnya, IHSG
juga akan terkena dampak negatif atau positif tergantung pada kelompok yang
dominan dampaknya (Samsul, 2006:202).
Inflasi ditandai dengan adanya kecenderungan kenaikan tingkat harga umum
dan berlangsung terus menerus, meningkatnya harga – harga barang akan
menyebabkan perusahaan mengalami peningkatan biaya modal, biaya bahan baku,
maupun biaya tenaga kerja. Tingkat inflasi dapat berpengaruh positif maupun
negatif tergantung derajat inflasi itu sendiri. Inflasi yang berlebihan dapat
perusahaan mengalami kebangkrutan. Jadi dapat disimpulkan bahwa inflasi yang
tinggi akan menjatuhkan harga saham dipasar, sementara inflasi yang sangat
rendah akan berakibat pertumbuhan ekonomi sangat lamban, yang pada akhirnya
harga saham juga bergerak dengan lamban (Samsul, 2006:201).
Tingkat suku bunga diukur dengan menggunakan suku bunga yang
ditentukan oleh Bank Indonesia melalui Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Besar
kecilnya suku bunga sangat tergantung dari kondisi makro yang berkembang di
Indonesia. Peningkatan suku bunga mempunyai korelasi dengan naiknya volume
penjualan saham (Riyatno, 2007). Jika tingkat bunga naik, harga saham akan
turun, dan sebaliknya jika tingkat bunga turun, harga saham akan naik. Namun
demikian, besarnya dampak kenaikan dan penurunan bunga terhadap harga saham
tergantung seberapa besar perubahan bunga tersebut (Samsul, 2006:210).
Sumber: Brealey (2006), Samsul (2006), Narayan dan Narayan (2009), (10/01/2010, diolah)
Gambar 1.1. Kerangka Konseptual
Harga minyak dunia (X1)
Nilai Tukar (X2)
Inflasi (X3)
Suku Bunga SBI (X4)
D. Hipotesis
Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah
penelitian, oleh karena itu jawaban yang diberikan masih berdasar pada teori yang
relevan dan belum didasarkan pada faktor-faktor empiris yang diperoleh melalui
pengumpulan data (Sugiyono, 2005:51). Berdasarkan perumusan masalah dan
kerangka konseptual yang telah diuraikan sebelumnya, maka hipotesis dari
penelitian ini adalah sebagai berikut: “Harga minyak dunia, nilai tukar, inflasi dan
suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pergerakan IHSG
di Bursa Efek Indonesia”.
E. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah
untuk menganalisis pengaruh harga minyak dunia, nilai tukar, inflasi dan suku
bunga SBI terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia.
2. Manfaat Penelitian
a. Bagi Peneliti
Penelitian ini bermanfaat untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan
menambah wawasan dan pola pikir tentang pengaruh perubahan harga
minyak dunia, nilai tukar Rupiah, inflasi, dan suku bunga SBI terhadap
pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan dan kontribusi
kebijakan bagi pengambilan keputusan investasi investor asing maupun
domestik demi peningkatan IHSG di BEI secara berkesinambungan.
c. Bagi Pihak Lain
Penelitian ini bermanfaat sebagai sumbangan pemikiran dan informasi
bagi berbagai pihak yang ingin melakukan pengembangan penelitian lebih
lanjut mengenai pengaruh harga minyak dunia, nilai tukar Rupiah, inflasi,
dan suku bunga SBI terhadap pergerakan IHSG.
F. Metode Penelitian
1. Batasan Operasional
Batasan operasional penelitian yang ditetapkan oleh penulis adalah
meliputi pengaruh nilai tukar Rupiah terhadap Dollar AS, harga minyak dunia,
tingkat inflasi dan tingkat suku bunga SBI terhadap pergerakan IHSG selama
periode Januari 2006 – Desember 2009 di Bursa Efek Indonesia.
2. Definisi Operasional
Definisi variabel-variabel yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut:
a. Variabel IHSG adalah indikator pasar modal di Indonesia yang terdapat di
Bursa Efek Indonesia. Data pergerakan IHSG diukur dari perubahan IHSG
(dalam Setyawan, 2007) yang dihitung menggunakan rumus sebagai
berikut:
Pergerakan IHSG =
IHSGt – IHSGt-1
Dimana:
IHSGt = Indeks Harga Saham Gabungan pada bulan t
IHSGt-1 = Indeks Harga Saham Gabungan pada bula t - 1
Data yang digunakan adalah data harian yang kemudian dirata-ratakan
menjadi data bulanan.
IHSG bulanan =
30
∑
IHSGharianApabila nilai selisih IHSG positif, pergerakan IHSG disebut menguat dan
jika negatif, maka pergerakan IHSG disebut melemah.
b. Variabel harga minyak dunia merupakan harga minyak mentah dunia yang
ditentukan oleh pasar dunia dimana minyak dunia diperdagangkan. Harga
minyak dunia biasanya dihitung dalam US$ per barel. Dalam penelitian ini
data yang digunakan adalah data harian yang kemudian dirata-ratakan
untuk mendapakan data bulanan dengan menggunakan rumus :
Harga Minyak Duniabulanan = ∑Harga Minyak Duniaharian 30
Data pergerakan harga minyak dunia diukur dari perubahan harga minyak
dunia yang dihitung dengan menggunakan rumus:
Perubahan harga minyak dunia =HMt − HMt−1 HMt−1
HMt-1 = Harga Minyak pada bulan t-1
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data bulanan harga
minyak dunia yang diambil dari data yang dipublikasikan OPEC melalui
websit
c. Variabel Nilai Tukar, merupakan penentuan jumlah unit dari suatu mata
uang yang dapat dibeli dengan satu unit mata uang lain (Brigham,
2006:365), maksudnya mengukur nilai suatu valuta suatu negara dari
perspektif valuta negara lain. Nilai tukar diukur dari perubahan nilai tukar
mata uang rupiah Indonesia terhadap dolar Amerika Serikat (US$) setelah
disesuaikan dengan tingkat inflasi (dalam Utami dan Mudjilah, 2003),
dengan menggunakan rumus:
Nilai tukarbulanan =
30
harian tukar nilai
∑
Data perubahan nilai mata uang Rupiah terhadap USD dapat dihitung
dengan rumus (Madura, 2006:123):
Perubahan Nilai Tukar =
Dimana:
NTt = Nilai Tukar pada bulan t
NTt-1 = Nilai Tukar pada bulan t-1
Apabila nilai tukar apresiasi akan membuat pergerakan IHSG menguat,
demikian sebaliknya, depresiasi nilai tukar akan membuat pergerakan NTt – NTt-1
d. Variabel Inflasi, yaitu kecenderungan terjadinya peningkatan harga produk
secara keseluruhan (Tandelilin, 2001: 212). Inflasi diukur dari perubahan
laju inflasi (dalam Utami dan Rahayu, 2003). Data inflasi yang digunakan
dalam penelitian ini adalah data inflasi bulanan. Inflasi yang tinggi akan
menjatuhkan harga saham di pasar, sementara inflasi yang sangat rendah
akan berakibat pertumbuhan ekonomi menjadi sangat lamban, dan pada
akhirnya harga saham juga bergerak dengan lamban.
Laju Inflasi = Inflasit− Inflasit−1 Inflasit−1
e. Variabel Suku Bunga SBI, yaitu surat berharga yang dikeluarkan oleh
Bank Indonesia dengan return bulanan yang digunakan untuk
menarik/menambah jumlah uang beredar (Agung, 2005). Suku Bunga SBI
diukur dengan perubahan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia dengan
jangka waktu satu bulan yang telah disesuaikan dengan tingkat inflasi
(dalam Utami dan Rahayu, 2003). Data suku bunga yang digunakan dalam
penelitian ini adalah suku bunga SBI 1 bulanan.
Perubahan Suku Bunga SBI =
Dimana:
SBIt = Sertifikat Bank Indonesia pada bulan t
SBIt-1 = Sertifikat Bank Indonesia pada bulan t-1
Penurunan tingkat bunga pinjaman atau tingkat bunga deposito akan
menaikkan harga saham di pasar dan laba bersih per saham, sehingga
mendorong harga saham meningkat. Penurunan bunga deposito akan SBIt – SBIt-1
mendorong investor mengalihkan investasinya dari perbankan ke pasar
modal. Investor akan membeli saham sehingga harga saham terdorong naik
akibat meningkatnya permintaan saham dan berujung pada pergerakan IHSG.
3. Populasi dan Sampel Penelitian
a. Populasi
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek
yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh
peneliti untuk dipelajari kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,
2005: 72). Penelitian ini dilakukan untuk meneliti apakah harga minyak
dunia, nilai tukar rupiah/US$, inflasi dan tingkat suku bunga SBI
berpengaruh secara signifikan terhadap Indeks Harga Saham Gabungan
(IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Karena yang menjadi obyek
penelitian adalah IHSG, maka yang menjadi populasi dalam penelitian ini
adalah periode indeks harga saham gabungan dari 1 Januari 2006 sampai
31 Desember 2009,
b. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki
oleh populasi tersebut (Sugiyono, 2005: 73). Sementara penentuan sampel
dalam penelitian ini yaitu menggunakan sampling jenuh atau sampel
sensus, yaitu teknik penentuan sampel dimana semua anggota populasi
digunakan sebagai sampel. Berdasarkan kriteria tersebut diperoleh jumlah
sampel (n) selama periode penelitian sebanyak 48 sampel. Peneliti
menetapkan pengambilan data secara bulanan mulai Januari 2006 –
a. Selama periode ini, terdapat pergerakan IHSG harga minyak dunia,
inflasi, nilai tukar, dan suku bunga SBI yang konstan dan yang sangat
fluktuatif.
b. Dalam periode ini perekonomian Indonesia yang direfleksikan oleh
IHSG mencatat periode ini sebagai tahun prestasi akibat meningkatnya
harga minyak dunia secara tajam sekaligus tahun keterpurukan karena
krisis yang melanda pasar finansial global.
c. Selama periode ini IHSG, harga minyak dunia, inflasi, nilai tukar, dan
suku bunga SBI mengalami volatilitas yang tinggi akibat krisis finansial
global dan kebijakan Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas
perekonomian.
4. Tempat dan Waktu Penelitian
a. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di BEI melalui situs
b. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yaitu dimulai dari bulan Oktober 2009 sampai bulan
Maret 2010.
5. Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang
meliputi data harga minyak dunia yang dipulikasikan oleh OPEC melalui situs
www.opec.org, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika, data tingkat
melalui website www.bi.go.id dan data pergerakan indeks harga saham
gabungan yang diperoleh melalui situs
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui studi
pustaka berupa literatur, jurnal, penelitian terdahulu, dan laporan-laporan yang
dipublikasikan untuk medapat gambaran masalah yang akan diteliti serta
melalui data sekunder berupa laporan-laporan yang dipublikasikan oleh Bank
Indonesia, Bursa Efek Indonesia, dan OPEC (Organization of Petroleum
Exporting Countries). 7. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
analisis deskriptif dan metode analisis statistik.
a. Metode analisis deskriptif
Metode analisis deskriptif adalah suatu metode analisis dimana data-data
yang dikumpulkan, diklasifikasikan, dianalisis, dan diinterpretasikan
secara objektif sehingga memberikan informasi dan gambaran mengenai
topik yang dibahas.
b. Metode analisis statistik
1. Analisis Regresi Linear Berganda
Untuk menguji hipotesis tentang kekuatan variabel independen (
Harga Minyak Dunia (US$), Nilai Tukar Rupiah/US$, Inflasi dan
Tingkat Suku Bunga SBI) terhadap IHSG, penelitian ini menggunakan
model) dengan persamaan kuadrat terkecil (Ordinary Least Square)
dengan model dasar sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + e
Dimana:
Y = IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan)
a = konstanta
X1 = Harga Minyak Dunia
X2 = Nilai Tukar Rupiah/US$
X3 = Inflasi
X4 = Tingkat Suku Bunga SBI
b1, b2, b3, b4 = koefisien regresi parsial untuk X1, X2, X3, X4 e = disturbance error (faktor pengganggu/residual)
2. Pengujian Asumsi Klasik
Menentukan ketepatan model regresi perlu dilakukan pengujian atas
beberapa asumsi klasik yang mendasari model regresi sebagai berikut:
a. Normalitas
Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi,
variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal Ghozali
(2005: 110). Sedangkan dasar pengambilan keputusan dalam deteksi
normalitas:
1) Jika data menyebar di sekitar garis diagonal dan mengikuti arah garis
2) Jika data menyebar jauh dari garis diagonal dan atau tidak mengikuti
arah garis diagonal, maka model regresi tidak memenuhi asumsi
normalitas.
Uji kenormalan data juga dapat dilakukan dengan Uji Kolmogorov-Smirnov
terhadap nilai standar residual hasil persamaan regresi. Apabila probabilitas
hasil Uji Kolmogorov-Smirnov lebih besar dari 5%, maka data berdistribusi
normal, dan demikian sebaliknya.
b. Multikolinearitas
Menurut Ghozali (2005: 91), uji multikolinearitas bertujuan untuk menguji
apakah model regresi ditemukan adanya korelasi atas variabel bebas
(independen). Model regresi yang baik seharusnya bebas multikolinearitas
atau tidak terjadi korelasi diantara variabel independen.
Uji Multikolinearitas dapat dilihat dari (1) nilai tolerance dan lawannya
(2) Variance Inflation Factor (VIF). Jika nilai tolerance lebih besar dari 0,1
atau nilai VIF lebih kecil dari 5, maka dapat disimpulkan tidak terjadi
multikolinearitas pada data yang akan diolah.
c. Autokorelasi
Uji autokorelasi dilakukan untuk mengetahui apakah dalam sebuah model
regresi linier terdapat hubungan yang yang kuat baik positif maupun negatif
antar data yang ada pada variabel-variabel penelitian (Umar, 2008:182).
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa autokorelasi antara satu dengan
yang lainnya. Untuk menguji ada atau tidaknya autokorelasi dalam suatu
model regresi, maka dilakukan dengan menggunakan uji Durbin-Watson
Tabel 1.2
Kriteria Pengambilan Keputusan Uji Autokorelasi
Hipotesis nol Keputusan Jika
Tidak ada autokorelasi positif Tolak 0 < d < dl Tidak ada autokorelasi positif No decision dl ≤ d ≤ du Tidak ada korelasi negatif Tolak 4 – dl < d < 4 Tidak ada korelasi negatif No decision 4 – du ≤ d ≤ 4 – dl Tidak ada autokorelasi, positif atau negatif Tidak ditolak du < d < 4 – du Sumber : Umar (2008 : 185)
Keterangan : du = batas atas, dl = batas bawah
d. Heterokedastisitas
Uji heterokedastisitas bertujuan menguji apakah dalam model regresi
terjadi ketidaksamaan variance dari residual satu pengamatan ke pengamatan
yang lain Ghozali (2005: 105). Jika varians dari residual satu pengamatan ke
pengamatan lain tetap, maka disebut homoskedastisitas dan jika berbeda
disebut heteroskedastisitas.
3. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis ini dilakukan untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan
di muka dengan menggunakan alat bantu Statistics Package for Social Science
16.00 (SPSS 16.00).
a. Uji – F (Uji Signifikansi Simultan)
Pengujian ini dilakukan untuk menghetahui apakah semua variabel bebas secara
simultan dapat diterima menjadi model penelitian terhadap variabel terikat.
Ho : b1 = b2 =b3 =b4 = 0, artinya tidak terdapat pengaruh yang signifikan secara
serentak dari Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi dan tingkat suku bunga
SBI terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia.
Ha : b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ 0, Artinya terdapat pengaruh yang signifikan secara
serentak dari Harga Minyak Dunia, Nilai Tukar, Inflasi dan Suku Bunga SBI
terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia. Pada penelitian ini nilai
Fhitung akan dibandingkan dengan Ftabel pada tingkat signifikan (α) = 5%. Kriteria
penelitian hipotesis pada uji-F ini adalah:
Ho diterima jika Fhitung≤ Ftabe dan Ha diterima jika Fhitung > Ftabel
b. Uji t (Uji Parsial)
Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suatu variabel independen
secara parsial terhadap variasi variabel dependen.
Bentuk pengujiannya adalah:
H0 : bi = 0, artinya secara parsial tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari
harga minyak dunia, nilai tukar, inflasi atau suku bunga SBI terhadap pergerakan
IHSG di Bursa Efek Indonesia.
Ha : bi ≠0, artinya secara parsial terdapat pengaruh yang signifikan dari harga
minyak dunia, nilai tukar, inflasi atau suku bunga SBI terhadap pergerakan IHSG
di Bursa Efek Indonesia.
Pada penelitian ini nilai thitung akan dibandingkan dengan ttabel pada tingkat
signifikan (α) = 5%. Kriteria pengambilan keputusan pada uji-t ini adalah :
Ha ditolak (H0 diterima) jika : - ttabel ≤ thitung ≤ttabel
BAB II
URAIAN TEORITIS
A. Penelitian Terdahulu
Narayan dan Narayan (2009) dalam penelitiannya yang berjudul “Modelling
the impact of oil prices on Vietnam’s stock prices” menyatakan bahwa harga
saham, harga minyak dan nilai tukar nominal saling mempengaruhi dalam
hubungan jangka panjang. Mereka memperkirakan elastisitas jangka panjang dan
menemukan bahwa harga minyak dan nilai tukar mempunyai pengaruh yang
positif dan signifikan terhadap harga saham di Vietnam, dan untuk jangka pendek
harga minyak dan nilai tukar tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
harga saham.
Rahman dan Mustafa (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Influences
of Money Supplay and Oil Price on U.S. Stock Market” menunjukkan bahwa money supplay, harga minyak dan harga saham menunjukkan hubungan yang
saling mempengaruhi. Dengan menggunakan model vektor error-correction
mereka tidak menemukan beberapa titik temu akibat dari arus jangka panjang
money supplay dan harga minyak terhadap harga saham di Amerika, melainkan supplay money dan harga minyak mempengaruhi harga saham dalam jangka
pendek.
Setyawan (2007) dalam penelitiannya yang berjudul ”Pengaruh Net Buying
(Selling) Investor Asing dan Perubahan Kurs Terhadap Pergerakan Indeks Pasar”
menunjukkan bahwa net buying (selling) dan perubahan kurs terbukti sebagai
bernilai positif maka IHSG akan naik; dan hal ini berlaku bila nilai perubahan
kurs negatif maka kondisi IHSG akan apresiasi.
Agung (2005) dalam penelitiannya yang berjudul ”Analisis Pengaruh Nilai
Tukar Rupiah, Kepemilikan Saham Oleh Investor Asing dan SBI Terhadap
Pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia”. Hasil penelitian menyatakan bahwa
variabel nilai tukar dan SBI kurang signifikan mempengaruhi pergerakan IHSG,
sedangkan presentase kepemilikan saham oleh investor asing justru mempunyai
peran yang sangat besar dalam mempengaruhi pergerakan IHSG.
Utami dan Rahayu (2003) dalam penelitiannya yang berjudul “Peranan
Profitabilitas, Suku Bunga, Inflasi dan Nilai Tukar Dalam Mempengaruhi Pasar
Modal Indonesia Selama Krisis Ekonomi” menyatakan bahwa perubahan
profitabilitas, suku bunga, inflasi, dan nilai tukar mempunyai pengaruh secara
signifikan terhadap perubahan harga saham badan usaha selama periode krisis
ekonomi. Secara parsial hanya suku bunga dan nilai tukar mempunyai pengaruh
secara signifikan terhadap harga saham selama periode krisis ekonomi tersebut.
B. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG)
Indeks harga saham adalah ukuran yang didasarkan pada perhitungan
statistik untuk mengetahui perubahan-perubahan harga saham setiap saat
terhadap tahun dasar. Indeks harga saham individual sering sekali dipakai
sebagai ukuran investor untuk menentukan perkembangan suatu perusahaan yang
terrefleksi dari indeks harga sahamnya. Sedangkan indeks harga saham gabungan
sering sekali dipakai sebagai indikator untuk mengukur situasi umum
Indeks harga saham merupakan indikator utama yang menggambarkan
pergerakan harga saham.di pasar modal sebuah indeks diharapkan memiliki 5
fungsi yaitu:
1. Sebagai indikator trend pasar.
2. Sebagai indikator tingkat keuntungan.
3. Sebagai tolak ukur kinerja suatu portofolio.
4. Menfasilitasi pembentukan portofolio dengan strategi pasif.
5. Menfasilitasi berkembangnya produk derivatif.
Indeks harga saham merupakan ringkasan dari dampak simultan dan
kompleks atas berbagai macam faktor yang berpengaruh terutama
fenomena-fenomena ekonomi. Bahkandewasa ini indeks harga saham dijadikan barometer
kesehatan ekonomi suatu negara dan sebagai landasan analisis statistik atas
kondisi pasar terakhir.
Ada beberapa jenis pendekatan atau metode perhitungan yang digunakan
untuk menghitung indeks yaitu:
1. Menghitung rata-rata (arithmetic mean) harga saham yang masuk
dalam anggota indeks.
2. Menghitung (geometric mean) dari indeks individual saham yang
masuk dalam anggota indeks.
3. Menghitung rata-rata tertimbang harga pasar.
Umumnya semua indeks harga saham gabungan (composite) menggunakan
metode rata-rata tertimbang termasuk di BEI.
Adapun jenis indeks dapat dikelompokkan menjadi 3 (Lubis, 2006:158), yaitu:
2. Indeks Harga Saham Sektoral (Sectoral Index)
3. Indeks LQ 45 (LQ45 Index)
4. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) atau (composite share price index)
5. Indeks Syariah atau JII (Jakarta Islamic Index)
Umumnya semua indeks harga saham gabungan (composite)
menggunakan metode rata-rata tertimbang termasuk di Bursa Efek
Indonesia. Indeks harga saham gabungan dapat diperoleh dengan
menggunakan rumus sebagai berikut:
IHSG = ���0 x 100
Keterangan :
IHSG : Indeks Harga Saham Gabungan
Ht : Harga pada waktu yang berlaku
H0 : Harga pada waktu dasar
Nilai Pasar
Nilai Pasar adalah kumulatif jumlah saham hari ini dikali harga pasar hari
ini atau disebut sebagai kapitalisasi pasar.
Nilai Dasar
Nilai Dasar adalah nilai yang dihitung berdasarkan harga perdana dari
masing-masing saham atau berdasarkan harga yang telah dikoreksi jika
tercatat di bursa berubah. Penyesuaian dilakukan agar indeks benar-benar
mencerminkan harga saham.
C. Harga Minyak Dunia
Manusia tidak lepas dari energi. Semua aktifitas yang dilakukan baik kecil
maupun besar pasti membutuhkan energi. Kebutuhan energi suatu negara erat
kaitannya dengan jumlah penduduk dan tingkat perkembangan terutama
perkembangan industri. Kebutuhan energi dunia saat ini masih sangat bergantung
pada bahan bakar fosil terutama minyak bumi. Hampir 2/3 minyak bumi dunia
dikonsumsi oleh negara maju yang notabenenya hanya mampu menghasilkan 1/3
dari total minyak bumi dunia. Sebaliknya negara berkembang yang mampu
menghasilkan 2/3 dari total minyak dunia hanya dapat menikmati 1/3 minyak
dunia. Hal ini menyebabkan harga minyak dunia menjadi sangat penting dalam
perdagangan, mengingat persebaran cadangan minyak yang tidak merata di dunia.
Cadangan minyak dunia hanya dimiliki oleh beberapa negara seperti Saudi
Arabia, Irak, Iran dan beberapa negara lain. Diantara persediaan tersebut lebih
dari 25% dimiliki oleh Saudi Arabia. Banyak negara yang masih bergantung pada
negara lain dalam pemenuhan suplai minyak tersebut. Oleh karena itu, sangat
mungkin bagi negara penghasil minyak dunia untuk mendominasi harga minyak
di pasar. Sehingga dibutuhkan suatu mekanisme untuk menentukan harga minyak
di pasar dunia agar kebijakan yang diambil menguntungkan semua pihak.
Ada beberapa faktor – faktor yang menyebabkan pergerakan harga minyak
a. Kekhawatiran akan berkurangnya suplai di pasaran akibat turunnya
kapasitas produksi. Minyak merupakan sumber energi yang tak
terbaharui, karenanya jumlah cadangan minyak dunia akan semakin
berkurang seiring dengan bertambahnya penggunaan minyak tersebut.
b. Penutupan/ perbaikan kilang minyak (refineries).
c. Faktor cuaca (badai). Bencana yang dialami negara produsen minyak
sangat mempengaruhi stok di pasar. Bencana alam dapat menyebabkan
kerusakan pada instalasi produksi minyak.
d. Faktor geopolik terutama yang terjadi di wilayah produsen.
e. Faktor melonjaknya permintaan dari negara emerging market terutama
China dan India, serta meningkatnya aksi spekulatif di pasar komoditi.
D. Nilai Tukar Mata Uang
Nilai tukar (exchange rate) adalah harga relatif mata uang suatu negara terhadap
mata uang negara lain. Terdapat dua cara untuk menyatakan kurs, yaitu:
a. Model Eropa yang sering disebut dengan Inderect Quote. Model ini
merupakan cara yang paling umum dipakai dalam perdagangan valuta asing
atau antar bank diseluruh dunia. Penetapan kursnya dilakukan berdasarka
beberapa unit mata uang asing dalam negeri.
b. Model Amerika yang sering disebut Direct Quote. Model ini disebut sebagai
harga satu unit mata uang asing dalam mata uang domestik.
1. Sistem Nilai Tukar
Sistem pokok nilai tukar valuta asing dapat dibedakan menjadi dua, yaitu
(flexible exchange rate). Pembedaan ini berdasarkan pada besar cadangan devisa
dan intervensi bank sentral yang diperlukan untuk mempertahankan kurs pada
sistem tersebut.(Abimanyu, 2004:8-10)
Berdasarkan besarnya intervensi bank sentral dan cadangan devisa yang
diperlukan untuk mempertahankan berbagai sistem tersebut, terdapat enam sistem
nilai tukar yang dipakai oleh banyak negara di dunia, yaitu :
a. Sistem fixed
Pada sistem fixed , otoritas moneter selalu mengintervensi pasar untuk
mempertahankan nilai tukar nata uang sendiri terhadap satu mata uang asing
tertentu.
b. Sistem Adjustable peg
Pada sistem adjustable peg, otoritas moneter terikat untuk mempertahankan
nilai tukar valuta asing. Namun, otoritas moneter berhak mengubah kurs
apabila terjadi perubahan kebijakan.
c. Sistem Crawling peg
Dalam sistem crawling peg, otoritas moneter mengaitkan mata uang dalam
negeri terhadap satu atau beberapa mata uang asing. Nilai tukar valuta asing
dalam sistem ini diubah secara periodik dan berangsur – angsur dalam
persentase yang kecil.
d. Sistem Managed float
Pada sistem managed float, otoritas moneter tidak terikat untuk
mempertahankan nilai tuakr valuta asing tertentu. Namun, otoritas moneter
secara kontinyu mengintervensi pasar berdasarkan
e. Sistem Winder band
Pada sistem winder band, otoritas moneter membiarkan nilai tukar valuta
asing mengambang atau berfluktuasi diantara dua titik tertinggi dan
terendah.
f. Sistem free floating
Sistem free floating berada pada kutub yang bertentangan dengan sistem
fixed. Dalam sistem ini, otoritas moneter secara teoritis tidak perlu
mengintervensi cadangan devisa.
2. Teori Nilai Tukar
Berikut adalah beberapa teori yang berkaitan dengan nilai tukar valuta asing
(Berlianta, 2004:18-21).
a) Balance of Payment Approach
Pendekatan ini didasarkan pada pendapat bahwa nilai tukar valuta
ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan terhadap valuta tersebut.
Adapun alat yang digunakan untuk mengukur kekuatan penawaran dan
permintaan tersebut adalah Balance of Payment.
Apabila Balance of Payment suatu negara mengalami defisit dapat
diartikan bahwa penghasilan (arus uang masuk) lebih kecil daripada
pengeluaran (arus uang keluar), maka permintaan akan valuta asing akan
bertambah guna membayar defisit tersebut, nilai tukarnya akan cenderung
mengalami penurunan dan sebaliknya.
b) Teori Purchasing Power Parity
Teori ini agak berbeda dengan pendekatan sebelumnya. Teori ini
terhadap barang dan jasa. Pendekatan ini menggunakan apa yang disebut Law of
One Price sebagai dasar. Dalam Law of One Price disebutkan bahwa dengan
asumsi tertentu, dua barang yang identik (sama dalam segala hal) harusnya
mempunyai harga yang sama.
c) Fisher Effect
Teori ini diperkenalkan oleh Irving Fisher. Fisher Effect menyatakan
bahwa tingkat suku bunga nominal di satu negara akan sama dengan tingkat
suku bunga riil ditambah tingkat inflasi di negara itu. Pernyataan tersebut dapat
digambarkan dengan persamaan sebagai berikut:
Suku Bunga Nominal = Suku Bunga Riil + Tingkat Inflasi
Dengan kata lain, tingkat suku bunga nominal di dua negara dapat berbeda
karena tingkat inflasi mereka berbeda.
d) Internasional Fisher Effect
Pendapat ini didasari oleh Fisher Effect, bahwa pergerakan nilai mata uang
suatu negara di banding negara lain (pergerakan kurs) disebabkan oleh perbedaan
suku bunga nominal yang ada di kedua negara tersebut. Implikasi dari
International Fisher Effect adalah bahwa orang tidak bisa menikmati keuntungan
yang lebih tinggi hanya dengan menanamkan dana mereka ke negara yang
mempunyai suku bunga nominal tinggi karena nilai mata uang negara yang suku
bunganya tinggi tersebut akan terdepresiasi (turun nilainya) sebesar selisih bunga
E. Tingkat Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan terjadinya peningkatan harga-harga produk
secara keseluruhan. Tingkat inflasi yang tinggi biasanya dikaitkan dengan kondisi
ekonomi yang terlalu panas (overheated). Artinya, kondisi ekonomi mengalami
permintaan atas produk yang melebihi kapasitas penawaran produknya, sehingga
harga-harga cenderung mengalami kenaikan. Inflasi yang terlalu tinggi juga akan
menyebabkan penurunan daya beli uang (purchasing power of money)
(Tandelilin, 2001:212).
1. Teori Inflasi
Teori Kuantitas menjelaskan bahwa sumber utama terjadinya inflasi
adalah karena adanya kelebihan permintaan sehingga uang yang beredar di
masyarakat bertambah banyak (Khalwaty, 2000:15-31). Teori kuantitas
membedakan sumber inflasi menjadi:
a) Demand pull inflation, terjadi karena adanya permintaan agregatif di mana
kondisi produksi telah berada pada kesempatan kerja penuh (full employment)
sehingga kenaikan permintaan tidak lagi mendorong kenaikan output
(produksi) tetapi hanya mendorong kenaikan harga-harga.
b) Cost push inflation. Pada kondisi ini tingkat penawaran lebih rendah jika
dibandingkan dengan tingkat permintaan. Ini karena adanya kenaikan harga
faktor produksi sehingga produsen terpaksa mengurangi produksinya sampai
jumlah tertentu. Penawaran total (aggregate supply) yang terus menurun
karena semakin mahalnya biaya produksi akan meyebabkan kenaikan
didorong oleh beberapa faktor, yakni adanya tuntutan kenaikan upah tenaga
kerja, industri yang monopolis, kenaikan bahan baku industri, kebijakan
pemerintah.
c) Structural approach. Dengan pendekatan struktur ekonomi, terjadinya inflasi
dipandang karena tidak seimbangnya struktur ekonomi. Untuk itu, inflasi akan
dapat ditanggulangi dengan melakukan pembenahan pada semua struktur
ekonomi.
d) Monetary approach. Dengan pendekatan moneter, inflasi dinilai sebagai suatu
fenomena moneter, yaitu keadaan yang disebabkan terlalu banyaknya uang
yang beredar dibandingkan dengan kesediaan masyarakat untuk memiliki atau
menyimpan uang tersebut yang akhirnya akan menaikkan permintaan (excess
demand for goods).
e) Accounting approach to inflation, diketahui bahwa terjadinya inflasi
bersumber pada perkembangan harga-harga pada kelompok barang dan jasa
yang digunakan untuk menyusun Indeks Harga Konsumen (IHK).
2. Jenis-jenis Inflasi
Sehubungan dengan kompleksnya faktor yang menjadi sumber terjadinya
inflasi atau banyaknya variabel yang berpengaruh terhadap inflasi, maka dapat
pula dilakukan pengelompokan terhadap jenis-jenis inflasi berdasarkan sudut
pandang (Khalwaty, 2000:31-35), sebagai berikut:
a. Ditinjau dari asal terjadinya, inflasi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1) Domestic inflation adalah inflasi yang berasal dari dalam negeri.
2) Imported inflation adalah inflasi yang terjadi di dalam negeri karena
b. Ditinjau dari intensitasnya, inflasi dapat dibedakan menjadi:
1) Creeping inflation adalah inflasi yang terjadi dengan laju pertumbuhan
berlangsung lambat, karena kenaikan harga-harga berlangsung secara
perlahan-lahan.
2) Hyper inflation atau galloping inflation adalah inflasi yang sangat berat
yang timbul akibat adanya kenaikan harga-harga yang umum yang
berlangsung sangat cepat.
c. Dan jika ditinjau dari sudut bobotnya, dapat dibedakan menjadi empat, yaitu:
1) Inflasi ringan adalah inflasi dengan laju pertumbuhan yang berlangsung
perlahan dan berada pada posisi satu digit atau di bawah 10% per tahun.
2) Inflasi sedang adalah inflasi dengan tingkat laju pertumbuhan berada di
antara 10-30% per tahun atau melebihi dua digit.
3) Inflasi berat merupakan inflasi dengan laju pertumbuhan berada di antara
30-100% per tahun.
4) Inflasi sangat berat adalah inflasi dengan laju pertumbuhan melampaui
100% per tahun.
3. Pengukuran Tingkat Inflasi
Untuk mengukur laju pertumbuhan tingkat inflasi, ada beberapa cara yang
dapat digunakan (Khalwaty, 2000:35-47), yaitu dengan menggunakan angka
harga umum, angka deflator PNB, indeks harga konsumen, aras harga harapan,
indeks harga dalam dan luar negeri, angka deflator GNP dan indeks harga.
Sebagaimana tercantum dalam UU No. 13 tahun 1968 tentang Bank Sentral,
salah satu tugas Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas moneter adalah membantu
pemerintah dalam mengatur, menjaga, dan memelihara kestabilan nilai Rupiah.
Dalam melaksanakan tugasnya, BI menggunakan beberapa piranti moneter yang
terdiri dari giro wajib minimum (reserve requirement), fasilitas diskonto,
himbauan moral dan operasi pasar terbuka. Dalam operasi pasar terbuka Bank
Indonesia dapat melaksanakan transaksi jual beli surat berharga termasuk SBI.
Sertifikat Bank Indonesia adalah surat berharga atas unjuk dalam Rupiah yang
diterbitkan oleh Bank Indonesia sebagai pengakuan hutang berjangka waktu
pendek dengan sistem diskonto.
1. Tujuan Penerbitan SBI
Sebagai otoritas moneter, Bank Indonesia berkewajiban memelihara
kestabilan nilai Rupiah. Dalam paradigma yang dianut, jumlah uang primer (uang
kartal + uang giral di Bank Indonesia) yang berkelebihan dapat mengurangi
kestabilan nilai Rupiah. SBI diterbitkan dan dijual oleh Bank Indonesia untuk
mengurangi kelebihan uang primer tersebut.
Besar kecilnya suku bunga SBI sangat tergantung dari kondisi makro yang
berkembang di Indonesia. Peningkatan suku bunga diduga mempunyai korelasi
dengan naiknya volume penjualan saham. Tingkat suku bunga yang ideal jika
besarnya berada di bawah kisaran angka 10. Hal ini berarti tingkat keuntungan
yang diharapkan dari adanya investasi akan menurun dengan cepat jika tingkat
bunga meningkat, sehingga bagi para pelaku ekonomi semakin rendah tingkat
suku bunga adalah semakin baik (Riyatno, 2007).
Surat keputusan Direksi BI No. 31/67/KEP/DIR tanggal 23 Juli 1998 tentang
BAB III
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
A. Sejarah Pasar Modal Di Indonesia
Bursa efek (pasar modal) yang terbesar di Indonesia adalah Bursa Efek
Jakarta (BEJ) yang juga dikenal dengan nama asingnya sebagai Jakarta Stock
Exchange (JSX) dan Bursa Efek Surabaya (BES) atau Surabaya Stock Exchange
(SSX) yang kini telah bergabung dan diresmikan menjadi Bursa Efek Indonesia.
Sekuritas yang diperdagangkan di BEI adalah saham preferen (preferred stock),
saham biasa (common stock), hak (rights), dan obligasi konvertibel (convertible
bonds).
Era pasar modal di Indonesia dapat di bagi menjadi enam periode. Periode
pertama adalah periode jaman Belanda mulai tahun 1912 yang merupakan tahun
yang didirikannya pasar modal yang pertama. Periode kedua adalah periode orde
lama yang dimulai pada tahun 1952. Periode ketiga adalah periode orde baru
dengan diaktifkannya kembali pasar modal pada tahun 1977. Periode keempat
dimulai tahun 1988 adalah periode bangunnya pasar modal dari tidur yang
panjang. Peride kelima adalah periode otomatisasi pasar modal mulai tahun 1995
dan periode keenam adalah periode krisis moneter mulai bulan Agustus 1997.
1. Periode Pertama (1912-1942): Periode Jaman Belanda
Pada tangggal 14 Desembeer 1912, suatu asosiasi 13 broker dibentuk di
Jakarta. Asosiasi ini diberi nama Belandanya sebagai “Vereniging voor
Effectenhandel” yang merupkan cikal bakal pasar modal pertama di Indonesia.
Setelah perang dunia 1, pasar modal di Surabaya menadapat giliran dibuka pada
Karena masih jaman penjajahan Belanda dan pasar-pasar modal ini juga didirikan
oleh Belanda, mayoritas saham-saham yang diperdagangkan di sana juga
merupakan saham-saham perusahaan Belanda dan afiliasinya yang tergabung
dalam Dutch East Idies Trading Agencies. Pasar-pasar modal ini beroperasi
sampai kedatangan Jepang di Indonesia di tahun 1942.
2. Periode kedua (1952-1960): Periode Orde Lama
Jepang meninggalkan Indonesia pada tanggal 1 September 1951 dikeluarkan
Undang-Undang No.12 yang kemudian dijadikan Undang-Undang No. 15/1952
tentang pasar modal. Juga melalui keputusan Menteri Keuangan No.
289737/U.U. tanggal 1 Nopember 1951, Bursa Efek Jakarta (BEJ) akhirnya
dibuka kembali pada tanggal 3 Juni 1952.
Tujuan dibukanya kembali bursa ini untuk menampung obligasi pemerintah
yang sudah dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya. Tujuan yang lainnya
adalah untuk mencegah saham-saham perusahaan Belanda yang dulunya
diperdagangkan di pasar modal di Jakarta lari ke luar negeri.
Adanya sengketa antara Pemerintah RI dengan Belanda mengenai Irian Barat,
semua bisnis Belanda dinasionalisasi No. 86 tahun 1958. Sengketa ini
mengakibatkan larinya modal Belanda dari tanah Indonesia. Akibatnya mulai
tahun 1960, sekuritas-sekuritas perusahaan Belanda sudah tidak diperdagangkan
lagi di bursa efek Jakarta. Sejak itu aktivitas di Bura Efek Jakarta semakin
menurun.
Bursa Efek Jakarta dikatakan lahir kembali pada tahun 1977 dalam periode
orde baru sebagai hasil dari Keputusan Presiden No. 52 tahun 1976. Keputusan ini
menetapkan pendirian Pasar Modal, pembentukan Badan Pembina Pasar Modal
(BAPEPAM) dan PT Danareksa. Presiden Suharto meresmikan kembali Bursa
Efek Jakarta (BEJ) pada tanggal 10 Agustus 1977. Periode ini disebut juga dengan
periode tidur yang panjang, karena sampai dengan tahun 1988 hanya sedikit sekali
perusahaan yang tercatat di BEJ, yaitu hanya 24 perusahaan saja. Kurang
menariknya pasar modal pada periode ini dari segi investor, disebabkan oleh tidak
dikenakannya pajak atas bunga deposito, sedang penerimaan dividen dikenakan
pajak penghasilan sebesar 15 %.
4. Periode Keempat (1988-1995): Periode Bangun dari Tidur yang Panjang
Selama tiga tahun setelah tahun 1988, saja yaitu sampai tahun 1990, jumlah
perusahaan yang terdaftar di BEJ meningkat sampai dengan 127. Sampai dengan
tahun 1996 jumlah perusahaan yang terdaftar menjadi 238. Pada periode ini,
Initial Public Offering (IPO) menjadi peristiwa nasional.
Peningkatan dipasar modal disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
a) Permintaan dari investor asing
Investor asing melihat bahwa pasar modal di Indonesia telah maju dengan
pesat dengan periode ini dan mempunyai prospek yang baik. Investor asing
tertarik dengan pasar Indonesia karena dianggap sebagai pasar yang
menguntungkan untuk diversifikasi secara Internasional. Sampai dengan awal
tahun 1995, jumlah kepemilikan oleh investor asing mencapai sebanyak 7,06
milyard lembar atau sekitar 29,61% dari semua sekuritas yang terdaftar.
Pakto 88 merupakan reformasi tanggal 27 Oktober 1988 yang dikeluarkan
untuk merangsang ekspor non migas, meningkatkan efisiensi dari bank komersial,
membuat kebijaksanaan moneter lebih efektif, meningkatkan simpanan domestik
dan meningkatkan pasar modal. Salah satu hasil dari reformasi pakto 88 adalah
mengurangi reserve requirement dari bank-bank deposito. Akibat dari reformasi
ini adalah pelepasan dana sebesar Rp 4 triliun dari Bank Indonesia ke sektor
keuangan. Akibat lebih lanjut adalah masyarakat mempunyai cukup dana untuk
bermain di pasar saham.
c) Perubahan generasi.
Perubahan kultur bisnis terjadi diperiode ini, yaitu dari kultur bisnis keluarga
tertutup ke kultur bisnis professional yang terbuka yang memungkinkan
profesional dari luar keluarga untuk duduk kursi kepemimpinan perusahaan.
Perubahan radikal menuju ke perusahaan professional terbuka ini juga merupakan
faktor perkembangan pasar modal, yaitu dengan mulai banyaknya perusahaan
keluarga yang go public.
Periode ini juga dicatat sebagai periode kebangkitan dari Bursa Efek
Surabaya (BES). Bursa Efek Surabaya atau dengan nama asingnya Surabaya
Stock Exchange (SSX) dilahirkan kembali pada tanggal 16 Juni 1989. Sampai
kuartal yang ketiga tahun 1990, jumlah sekuritas yang tercatat di BES meningkat
menjadi 116 saham. Jumlah ini meningkat sampai akhir tahun 1996 tercatat 208
emiten saham dengan nilai kapitalisasi sebesar Rp 191,57 triliun. Semua sekuritas
yang tercatat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) juaga secara otomatis diperdagangkan
di BES.
Peningkatan kegiatan transaksi yang dirasakan sudah melebihi kapasitas
manual, maka BEJ memutuskan untuk mengotomatisasikan kegiatan transaksi di
bursa. Jika sebelumnya dilantai bursa terlihat dua deret antrian (sebuah untuk
antrian beli dan yang lainnya untuk antrian lainnya) yang cukup panjang untuk
masing-masing sekuritas dan semua kegiatan transaksi di catat di papan tulis,
maka setelah otomatisasi sekarang yang terlihat dilantai bursa adalah
jaringan-jaringan computer-komputer yang digunakan oleh broker.
6. Periode Keenam (Mulai Agustus 1997): Krisis Moneter.
Pada bulan Agustus 1997, krisis moneter melanda Negara-negara Asia,
termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Korea Selatan dan Singapura. Krisis
moneter yang terjadi ini dimuali dari penurunan nilai-nilai mata uang relatif
terhadap Dollar Amerika. Penurunan mata uang ini disebabkan karena spekulasi
dari pedagang-pedagang valas, kurang percayanya masyarakat terhadap mata
uang negaranya sendiri dan kurang kuatnya pondasi perekonomian.
Permintaan Dollar Amerika yang berlebihan mengakibatkan meningkatnya
dan menurunnya nilai Rupiah, Bank Indonesia menaikkan suku bunga Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) untuk mengurangi permintaan terhadap Dollar. Tingginya
suku bunga deposito berakibat negatif terhadap pasar modal. Investor tidak lagi
tertarik untuk menanamkan dananya di pasar modal karena total return yang di
terima lebih kecil dibanding dengan pandapatan dari bunga deposito. Akibat lebih
lanjut, harga-harga saham di pasar modal mengalami penurunan yang drastis.
Indeks Harga Saham Gabungan sejak bulan Agustus sampai akhir tahun 1997
selalu menurun. Periode ini juga dapat diartikan sebagai periode ujian terberat
B. Prosedur Pendaftaran Sekuritas di BEI.
Sebuah perusahaan yang akan going publik dapat mengikuti prosedur yang
terdiri dari tiga tahapan utama. Yang pertama adalah persiapan diri. Yang kedua
adalah memperoleh ijin registrasi dari BAPEPAM. Yang ketiga adalah melakukan
penawaran perdana ke publik (initial public offering) dan memasuki pasar
sekunder dengan mencatatkan efeknya di bursa.
C. Prosedur Transaksi di BEI
Transaksi perdagangan di BEI menggunakan order-driven market system
dan system lelang kontinyu (continous auction system). Dengan order-driven
market system berarti bahwa pembeli dan penjual sekuritas yang ingin melakukan
transaksi harus melalui broker. Investor tidak dapat langsung melakukan transaksi
di lantai bursa. Hanya broker yang dapat melakukan transaksi jual dan beli
berdasarkan order dari investor. Disamping itu, broker juga dapat melakukan
transaksi untuk membentuk portofolionya sendiri. Masing-masing perusahaan
broker mempunyai staff yagn ditugaskan di bursa. Staf ini disebut dengan
Securities Dealer-Broker Representative.
Sistem lelang kontinyu maksudnya harga transaksi ditentukan oleh
penawaran dan permintaan dari investor. Untuk system manual, harga penjualan
terendah dan harga penawaran tertinggi dari investor diumumkan oleh broker di
bursa, seperti dipasar lelang. Harga transaksi ditentukan jika ada pertemuan antara
computer. Sistem lelang ini akan terus dilakukan secara kontinyu selama jam
kerja bursa sampai ditemukan harga kesepakatan.
Umumnya transaksi yang terjadi di bursa bukan merupakan transaksi tunai.
Pembayaran dan penyerahan sertifikat diatur pada hari kelima atau hari ke T+4
setelah transaksi terjadi. PT. Kliring Pinjaman Efek Indonesia (KPEI) ditujukan
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Analisis Deskriptif
Metode analisis deskriptif adalah suatu metode analisis dimana data-data
yang dikumpulkan, diklasifikasikan, dianalisis, dan diinterpretasikan secara
objektif sehingga memberikan informasi dan gambaran mengenai topik yang
dibahas. Hasil estimasi variabel-variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Deskripsi Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia periode
tahun 2006-2009.
Tabel 4.1
Perubahan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Periode 2006 – 2009
Bulan Tahun
Tabel 4.1 menunjukkan perubahan IHSG di Bursa Efek Indonesia setelah
disesuaikan dengan tingkat inflasi selama periode tahun 2006-2009. Pada
pengamatan data bulanan yang dilakukan terhadap IHSG selama tahun
2006-2009, ditemukan adanya perubahan indeks yang bernilai positif (+) maupun
mengalami kenaikan. Apabila perubahan indeks bernilai negatif, menunjukkan
bahwa IHSG mengalami penurunan. IHSG mencatat kenaikan terbesar selama
periode 2006-2009 sebesar 0,201 atau 20,1% yang terjadi pada bulan April tahun
2009. Sedangkan penurunan IHSG terbesar terjadi pada Oktober 2008 sebesar
0,314 atau 31,4%.
Perubahan indeks terbesar pada tahun 2006 yang bernilai positif terjadi pada
bulan Aprilsebesar0,107 atau 10,7%. Sedangkan perubahan indeks terbesar yang
bernilai negatif terjadi pada bulan Mei sebesar -0,092 atau sebesar -9,2%. Pada
tahun 2007, perubahan indeks terbesar yang bernilai positif terjadi pada bulan
Desember sebesar0,092 atau 9,2%. Sedangkan perubahan indeks terbesar yang
bernilai negatif terjadi pada bulan Agustussebesar -0,066 atau sebesar -6,6%.
IHSG cenderung mengalami penurunan pada tahun 2008. Hal ini terlihat
selama tahun 2008 perubahan indeks banyak bernilai negatif, adapun kenaikan
IHSG terbesar terjadi pada bulan Desember sebesar 0,092 atau 9,2%. sedangkan
penurunan IHSG paling besar terjadi pada bulan Oktober sebesar -0,314 atau
sebesar -31,4%.
IHSG cenderung mengalami kenaikan pada tahun 2009. Hal ini terlihat
selama tahun 2009 IHSG mengalami perubahan indeks terbesar yang bernilai
postif selama tahun 2006-2009 yang terjadi pada bulan April sebesar 0,201 atau
sebesar 20,1% sedangkan perubahan indeks yang bernilai negatif terjadi pada
bulan Oktober sebesar -0,040 atau sebesar 4%.
2. Deskripsi Perubahan Harga Minyak Dunia periode tahun 2006-2009.
Tabel 4.2
Periode 2006-2009
Sumber : www.opec.org (03/03/2010, diolah)
Tabel 4.2 menunjukkan perubahan harga minyak dunia setelah disesuaikan
dengan tingkat inflasi selama periode tahun 2006-2009. Pada pengamatan data
bulanan yang dilakukan terhadap harga minyak dunia selama tahun 2006-2009,
ditemukan adanya perubahan harga yang bernilai positif (+) maupun negatif (-).
Apabila perubahan harga positif, menunjukkan bahwa harga minyak dunia
mengalami kenaikan. Apabila perubahan harga bernilai negatif, menunjukkan
bahwa harga minyak dunia mengalami penurunan.
Harga minyak dunia mencatat kenaikan terbesar selama periode 2006-2009
sebesar 0,200 atau 20% yang terjadi pada bulan Juni tahun 2009. Sedangkan
penurunan harga minyak dunia terbesar terjadi pada Oktober 2008 sebesar -0,296
atau -29,6%.
Perubahan harga terbesar pada tahun 2006 yang bernilai positif terjadi pada
bulan Aprilsebesar0,122 atau 12,2%. Sedangkan perubahan harga minyak dunia
terbesar yang bernilai negatif terjadi pada bulan September sebesar -0,138 atau
0,085 atau 8,5%. Sedangkan perubahan harga minyak dunia terbesar yang
bernilai negatif terjadi pada bulan Januarisebesar -0,123 atau sebesar -12,3%.
Kenaikan harga minyak dunia terbesar pada tahun 2008 yang bernilai positif
terjadi pada bulan Mei sebesar 0,135 atau 13,5%. Sedangkan penurunan harga
minyak dunia terjadi pada bulan Oktober sebesar -0,296 atau 29,6%. Pada tahun
2009 perubahan harga terbesar yang bernilai positif terjadi pada bulan Juni
sebesar 0,200 atau sebesar 20%. Sedangkan penurunan harga minyak dunia
terbesar terjadi pada bulan September sebesar -0,059 atau sebesar 5,9%.
3. Deskripsi Nilai Tukar Rupiah terhadap US Dollar periode tahun 2006-2009.
Tabel 4.3
Perubahan Nilai Tukar Periode 2006 – 2009
Bulan Tahun
Tabel 4.3 menggambarkan perubahan Nilai Tukar yang telah disesuaikan
dengan tingkat inflasi selama periode tahun 2006-2009. Pada pengamatan data
bulanan yang dilakukan terhadap Nilai Tukar selama tahun 2006-2009, terlihat
pada Tabel 4.3 bahwa nilai tukar berfluktuasi setiap bulannya. Nilai tukar
tersebut diukur dengan perbandingan nilai tukar harian Rupiah terhadap US
Rupiah terhadap US Dollar tersebut juga dapat bernilai positif atau negatif.
Apabila perubahan nilai tukar bernilai positif, maka Rupiah mengalami depresiasi
atau melemah terhadap US Dollar. Sedangkan jika perubahan nilai tukar bernilai
negatif, maka Rupiah mengalami apresiasi atau menguat nilainya terhadap US
Dollar.
Apresiasi terbesar nilai tukar sepanjang tahun 2006-2009, terjadi pada bulan
April 2009 dimana perubahan nilai tukar sebesar -0,067 atau -6,7%. Dan
depresiasi terbesar dari nilai tukar terjadi pada bulan November 2008 dimana
perubahan nilai tukar sebesar 0,158 atau 15,8%
Apresiasi nilai tukar tertinggi pada tahun 2006 terjadi pada bulan April dan
Juli yaitu sebesar 0,024 atau 2,4%. Sedangkan depresiasi nilai tukar tertinggi
terjadi pada bulan Juni yaitu sebesar 0,04 atau 4%. Pada tahun 2007, apresiasi
nilai tukar tertinggi terjadi pada bulan Mei yaitu sebesar 0,026 atau 2,6%.
Sedangkan depresiasi nilai tukar tertinggi terjadi pada bulan Agustus yaitu sebesar
0,031 atau 3,1%.
Nilai tukar cenderung mengalami depresiasi pada tahun 2008. Hal itu
terlihat pada Tabel 4.3 banyaknya perubahan nilai tukar yang bernilai positif.
Adapun apresiasi nilai tukar tertinggi terjadi pada bulan Desember yaitu sebesar
0,036 atau 3,6%. Sedangkan depresiasi nilai tukar tertinggi terjadi pada bulan
November yaitu sebesar 0,158 atau 15,8%.
Nilai tukar cenderung mengalami apresiasi pada tahun 2009. Hal itu terlihat
pada Tabel 4.3 banyaknya perubahan nilai tukar yang bernilai negatif. Adapun