ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH, INFLASI, SBI,
DAN INDEKS DOW JONES TERHADAP PERGERAKAN
INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG)
DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
TESIS
Oleh
DEDY PRATIKNO
077018030/EP
S
E K O L AH
P A
S C
A S A R JA NA
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2009
ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH, INFLASI, SBI,
DAN INDEKS DOW JONES TERHADAP PERGERAKAN
INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG)
DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Studi Ekonomi Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
DEDY PRATIKNO
077018030/EP
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Tesis : ANALISIS PENGARUH NILAI TUKAR RUPIAH, INFLASI, SBI, DAN INDEKS DOW JONES TERHADAP PERGERAKAN INDEKS HARGA SAHAM GABUNGAN (IHSG) DI BURSA EFEK INDONESIA (BEI)
Nama Mahasiswa : Dedy Pratikno
Nomor Pokok : 077018030
Program Studi : Ekonomi Pembangunan
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Dr. Dede Ruslan, M.Si) (Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec)
Ketua Anggota
Ketua Program Studi Direktur,
(Dr. Murni Daulay, M.Si) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc)
Telah diuji pada
Tanggal 09 September 2009
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Dede Ruslan, MSi
Anggota : 1. Wahyu Ario Pratomo, SE, M.Ec
2. Dr. Murni Daulay, M.Si
3. Dr. Jonni Manurung, MS
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini untuk menganalisis pengaruh nilai tukar, SBI, inflasi dan indeks Dow Jones terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia. Data yang dipakai adalah data sekunder yaitu data SBI, Kurs, Inflasi, Indeks Dow Jones dan IHSG bulan Januari 2004 sampai dengan Februari 2009 (62 observasi). Penentuan jumlah observasi didasarkan atas kondisi fluktuasi yang terjadi dalam waktu penelitian yaitu Januari 2004 sampai dengan Februari 2009. Model yang digunakan dalam penelitian ini adalah model ekonometrika dengan metode Ordinary Least Square.
Hasil analisa data diketahui model yang digunakan dalam mengestimasi faktor yang mempengaruhi IHSG sudah baik, karena model terbebas dari pelanggaran asumsi klasik, juga karena variasi kemampuan variabel-variabel penjelas dalam menjelaskan IHSG tergolong tinggi. Dengan tingkat R2 = 0.768 dapat disimpulkan bahwa dari segi uji kesesuaian (Test of goodness of fit) cukup baik, dan hanya 0.232 persen dari determinan yang mempengaruhi IHSG dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model penelitian. Secara serempak (simultan) variabel-variabel eksplanatori yang digunakan sangat signifikan pada = 5% terhadap IHSG. Dari koefisien masing-masing variabel, maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengaruh variabel kurs, SBI dan inflasi sangat signifikan mempengaruhi IHSG.
ABSTRACT
The purpose of the research is to analysis the stock of exchange rate. SBI, the inflation and indeks Dow Jones for the movement IHSG in BEI (Bursa Efek Indonesia).
The collection file has from the secuder file, they are SBI, Kurs, Inflation, Indeks Dow Jones and IHSG in January 2004 until February 2009 (62 observation). The appoinment value of observation base fluctuation event at the research. The model used in the research are econometrica model and multiple method regression.
The result of analysis file know that the model used to estimated factor influenced IHSG is good, because the model is free asumsi classic transregression, and also capacity varety of variable the explaner to explain IHSG high group. With the layer R2 =0.768, it can concluse of the Test of Goodness of fit enough high, only 0.232 percent of determined influeneed IHSG had explain by the other variable theren’t in observation model. The inflation IHSG had explain by the other variable theren’t in observation model. The inflation variable is a bigger variables influenced is lower and negative for IHSG with together (simultan) the explanatory variable used is very significance at =5% for IHSG. Every coefisien variable, so we can concluse that the lavel kurs influence variable, SBI and inflation is very significance influenced IHSG.
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kepada Allah SWT, yang telah memberikan hikmat dan
hidayah kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul
“Analisis Pengaruh Nilai Tukar Rupiah, Inflasi, SBI, dan Indeks Dow Jones
terhadap Pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek
Indonesia (BEI)” sebagai tugas akhir pada Program Magister Ekonomi
Pembangunan, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tulus kepada
semua pihak yang telah memberikan bimbingan, dukungan, dan bantuan selama
proses penyelesaian tesis ini. Secara khusus, penulis haturkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dede Ruslan, M.Si, sebagai Pembimbing I, dan Wahyu Ario Pratomo, SE,
M.Ec sebagai Pembimbing II, yang banyak memberikan arahan, bimbingan dan
dorongan pemikiran hingga tesis ini dapat selesai.
2. Dr. Ibu Murni Daulay, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ekonomi Pembangunan
Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang dengan arif dan bijaksana
dapat mengarahkan kami sehingga mampu menyelesaikan pendidikan pada
Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara.
3. Ibu Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc, selaku Direktur Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh staf pengajar dan pegawai, khususnya
pada Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah Pascasarjana Universitas
Sumatera Utara, yang telah memberikan pengajaran dan bimbingan selama proses
perkuliahan hingga penulis mampu menyelesaikan studi ini.
4. Rekan-rekan mahasiswa Program Magister Ekonomi Pembangunan Sekolah
Pascasarjana Universitas Sumatera Utara angkatan 13 yang telah sama-sama
berjuang dengan penulis, dalam menyelesaikan studi dan telah memberikan
5. Kedua orang tuaku Ayahanda Soerachman dan Ibunda Patoni, Istriku Sriani, SPd,
anakku Dafi Ahza Fauzi, serta seluruh keluarga besarku yang ada di Tegal dan
Palembang yang selama ini turut memberikan dorongan moril dan materil hingga
penulis mampu menyelesaikan tesis ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar nantinya dapat
menjadi lebih baik dan sempurna. Akhirnya penulis memohon agar Allah SWT
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya kepada penulis dan semua pihak
yang telah memberikan bantuannya selama ini.
Medan, September 2009 Penulis,
RIWAYAT HIDUP
Nama : Dedy Pratikno
Tempat dan Tanggal Lahir : Tegal, Jateng, 07 September 1971
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Status Perkawinan : Menikah
Nama Orang Tua
Ayah : Soerachman
Ibu : Patoni
Alamat Rumah : Jl. Mustafa Gang. Mandor Perumahan Citra Pelangi
No. B3 Glugur Darat Medan
Pendidikan
1. Tahun 1978-1984 : SDN No. 4 Margadana Tegal
2. Tahun 1984-1987 : SMP Plus I Tegal
3. Tahun 1987-1990 : SMAN I Tegal
4. Tahun 1991-1996 : STIE YKPN Yogyakarta, Jurusan Akuntansi
5. Tahun 2007-2009 : Sekolah Pascasarjana Program Studi Ekonomi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ... i
ABSTRACT... ii
KATA PENGANTAR ... iii
RIWAYAT HIDUP ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR GAMBAR ... ... x
DAFTAR LAMPIRAN ... xi
BAB I. PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang Penelitian ... 1
1.2. Perumusan Masalah ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 8
1.4. Manfaat Penelitian ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 10
2.1. Indeks Harga Saham Gabungan ... 10
2.2. Perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan... 11
2.3. Pergerakan Harga Saham (Volatilitas)... 12
2.4. Teori Pergerakan Harga Saham ... 16
2.4.1. Teori Random Walk... 16
2.4.2. Teori Elliott Wave... 16
2.6. Nilai Tukar ... 29
2.7. Inflasi ... 32
2.8. Arbitrage Pricing Theory (APT) ... 34
2.9. Sertifikat Bank Indonesia (SBI) ... 37
2.10. Indeks Dow Jones ... 39
2.11. Penelitian Terdahulu ... 40
2.13. Kerangka Pemikiran... 43
2.14. Hipotesis Penelitian... 43
BAB III METODE PENELITIAN ... 45
3.1. Objek Penelitian ... 45
3.2. Jenis dan Sumber Data ... 45
3.3. Metode Analisis ... 45
3.4. Model Analisis ... 46
3.5. Uji Kesesuaian (Test Goodness of Fit)... 47
3.6. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik ... 48
3.7. Definisi Operasional ... 50
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN... 51
4.1. Deskripsi Variabel Penelitian... 51
4.1.1. Perkembangan Nilai Tukar... 51
4.1.2. Perkembangan SBI... 52
4.1.3. Perkembangan Inflasi... 54
4.1.5. Perkembangan IHSG... 57
4.2. Hasil Analisis Data dan Pembahasan... 59
4.2.1. Deskripsi Data... 59
4.2.2. Analisis Regresi... 60
4.3. Uji Statistik Hasil Estimasi Model Penelitian... 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 71
5.1. Kesimpulan ... 71
5.2. Saran... 72
DAFTAR TABEL
Nomor Judul Halaman
2.1. Tinjauan Penelitian Terdahulu ... 42
4.1. Rangkuman Statistik Deskriptif ... 59
4.2. Hasil Uji Multikolinieritas. ... 61
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
1.1. Pergerakan IHSG Januari 2007 s/d Januari 2009... 3
2.1. Kurva Permintaan dan Penawaran Saham ... 12
2.2. Pola Dasar Pergerakan Elliott Wave ... 17
2.3. Skema Kerangka Penelitian ... 43
4.1. Perkembangan Kurs Januari 2004 s/d Februari 2009 ... 51
4.2. Perkembangan SBI Januari 2004 s/d Februari 2009 ... 53
4.3. Perkembangan Inflasi Januari 2004 s/d Februari 2009 ... 55
4.4. Perkembangan Dow Jones Januari 2004 s/d Februari 2009... 56
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Judul Halaman
1. Tabulasi Data Variabel... 76
2. Lampiran Regresi Berganda ... 79
3. Uji Multikolinearitas ... 80
4. Uji Multikolinearitas ... 81
5. Uji Multikolinearitas ... 82
6. Uji Durbin-Watson... 83
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Pembiayaan dari sebuah perusahaan diperoleh dari dua sumber yaitu sumber
dari dalam perusahaan (internal) berupa laba dan dari luar perusahaan (eksternal)
berupa hutang dan penerbitan sekuritas oleh perusahaan. Jika hutang melebihi batas
maksimum yang diindikasikan dengan tingginya debt to equity ratio (perbandingan
antara hutang dan modal sendiri), maka biaya modal perusahaan tidak lagi minimum.
Akibatnya hutang menjadi tidak efektif lagi sebagai sumber pembiayaan perusahaan.
Alternatif lain yang dapat dilakukan perusahaan untuk mendapatkan sumber
pembiayaan adalah menerbitkan sekuritas yang berupa surat tanda hutang (obligasi)
dan surat tanda kepemilikan (saham) melalui pasar modal. Sumber pendanaan melalui
saham dianggap paling murah sebagai sumber dana karena mempunyai risiko paling
kecil dibandingkan sumber lainnya.
Pada periode sebelum 1990, pasar modal di Indonesia belum berkembang
karena pada umumnya perusahaan menerima dana dari bank terutama bank
pemerintah. Terbukti dari perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI)
sampai akhir tahun 1988 baru 24 perusahaan. Pasar modal di Indonesia baru
berkembang setelah pemerintah mengeluarkan Pakto 1988 dan Pakdes 1988 yang
Pada akhir 1989, sebanyak 56 perusahaan yang mencatatkan saham di BEI dan terus
meningkat dari tahun ke tahun hingga menjadi 330 perusahaan pada akhir 2005
(Sa’adah dan Panjaitan, 2006).
Pertambahan perusahaan yang mencatatkan saham (emiten) dan pertumbuhan
ekonomi nasional sangat mendukung aktivitas di bursa saham. Pergerakan indeks
saham dapat dilihat lewat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Pada tahun 1985,
IHSG hanya mencapai 66,53 poin dan terus meningkat sampai dengan akhir tahun
1996 yang mencapai 637,43 poin. Bahkan pada tahun 1988, peningkatan IHSG
mencapai 269,48 persen. Hal ini dapat terjadi karena pada tahun tersebut pemerintah
mengeluarkan kebijakan-kebijakan penting untuk mendorong pertumbuhan pasar
modal di Indonesia. Peningkatan kegiatan di bursa saham memberikan prospek yang
positif terhadap perekonomian nasional sehingga IHSG dapat dijadikan salah satu
indikator positif ekonomi yang penting di Indonesia. Sejalan dengan kejatuhan Dow
Jones harga saham-saham di BEI juga berguguran sebagaimana terlihat dari
penurunan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). IHSG yang pada awal 2008
memasuki masa keemasan pada level 2.830, akibat kepanikan investor indeks juga
turun ke level 1.174 pada 30 Oktober 2008 atau telah terkoreksi 59 persen.
Pada Gambar 1.1 diketahui pola pergerakan antara Indeks Hangseng, Indeks
Dow Jones dan IHSG. Pola pergerakan ketiga indeks saham tersebut menggambarkan
2139 2348 2194 2359 2721 2165 1832
1256 1241 1255 1332 2349 2304 2444 2304 2447 2627 2745 2688 2643 2084 1999 1830 1740 1757 0 500 1000 1500 2000 2500 3000
Jan-07 Feb-07 Mar-07 Apr-07 May-07 Jun-07 Jul-07 Aug-07 Sep-07 Oct-07 Nov-07 Dec-07 Jan-08 Feb-08 Mar-08 Apr-08 May-08 Jun-08 Jul-08 Aug-08 Sep-08 Oct-08 Nov-08 Dec-08 Jan-09
Gambar 1.1. Pergerakan IHSG Januari 2007 s/d Januari 2009
Reaksi turunnya indeks Dow Jones Amerika akan menurunkan IHSG dari
2.745 poin pada Desember 2007 juga menurun menjadi 1.1332 poin pada Januari
2009 atau menurun sebesar 48 persen.
Jogiyanto (2000) menyatakan bahwa lemahnya fondasi perekonomian
Indonesia yang menyebabkan krisis moneter di Indonesia berakibat lebih parah dan
lebih lama dibandingkan dengan negara ASEAN. Ketidakseimbangan antara jumlah
permintaan dan penawaran dolar Amerika dalam jumlah yang relatif besar
menyebabkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika terus melemah. Hal ini
diperparah lagi pada akhir tahun 1997 dengan adanya penutupan 38 bank yang
tentunya mempengaruhi pasar modal. Chalimah (1996) menyatakan bahwa dampak
dari penutupan bank ini adalah sangat besar karena bank sebagai sektor tersendiri
dalam pasar modal dan proporsi nilai yang disumbangkan perbankan terhadap IHSG
cukup besar.
Untuk meredam melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika
Juli 1998 menyentuh angka 70,81 persen pertahun. Bahkan suku bunga Pasar Uang
Antar Bank (PUAB) pada bulan Agustus 1998 sebesar 81,01 persen pertahun.
Demikian juga bunga deposito berjangka menunjukkan peningkatan hingga pada
akhir Juli 1998 mencapai 59,92 persen. Karena suku bunga terus meningkat maka ada
kecenderungan investor akan mengalihkan modalnya ke deposito dan tentunya
berakibat negatif terhadap pasar modal. Akibat lebih jauh lagi adalah harga saham
di pasar modal mengalami penuruan yang sangat drastis. Keadaan ini diperburuk lagi
bahwa 90 persen emiten secara teknis sudah bangkrut. Hal ini terlihat dari IHSG yang
terus menurun dari tahun 1994 sampai tahun 1998.
Pada periode setelah krisis, IHSG kembali mulai mengalami peningkatan.
Tahun 1999 IHSG mencapai 676,92 poin dan terus meningkat pada tahun-tahun
berikutnya. Bahkan pada tahun 2005 IHSG dapat mencapai 1.029,61 poin. Hal ini
dapat terjadi karena pada tahun 1999 Indonesia mulai membangun kembali
perekonomian nasional yang terpuruk akibat krisis. Pemerintah berusaha memulihkan
kondisi pasar modal dengan mengembalikan kepercayaan para investor baik domestik
maupun asing agar mau menanamkan modalnya kembali.
Berbagai informasi yang masuk di pasar modal maupun kejadian-kejadian
yang tidak berhubungan dengan pasar modal dapat mempengaruhi volatilitas atau
naik turunnya harga saham. Pergerakan IHSG dipengaruhi oleh berbagai faktor baik
internal maupun eksternal. Pengaruh-pengaruh eksternal seperti pergerakan tingkat
suku bunga begitu juga dengan pergerakan indeks saham luar negeri dipercaya telah
dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa dalam negeri seperti ekspektasi rasional investor
serta pengaruh dari pergerakan variabel-variabel ekonomi makro lainnya seperti nilai
tukar rupiah terhadap dolar Amerika, tingkat inflasi, suku bunga (Deposite Rate),
suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan jumlah uang beredar (money suply).
Tingkat pertumbuhan ekonomi yang berlangsung cukup tinggi, tidaklah
secara otomatis mengakibatkan membaiknya situasi pasar modal. Tidak mungkin atau
mustahil untuk melihat sebuah persamaan di mana indeks harga saham menjadi
fungsi dari pertumbuhan ekonomi, rendahnya tingkat suku bunga, tingkat inflasi dan
posisi pembayaran. Karena itu dibutuhkan penjelasan yang tidak bersifat persamaan
atau bersifat ekonometris, namun tetap mengandung nalar, dalam pengertian masih
dapat dijelaskan hubungan-hubungan tersebut dalam konsep ilmu ekonomi.
Pertanyaan-pertanyaan yang langsung timbul adalah menyangkut segi-segi yang sulit
dikategorikan sebagai konsep ekonomi atau ilmu ekonomi. Maksudnya bagaimana
menempatkan regulasi, perlindungan hukum dan pengaturan transaksi dalam
kaitannya dengan perkembangan bursa. Jadi, bila IHSG merosot terus-menerus,
sementara pertumbuhan ekonomi berlangsung cukup tinggi dan tingkat inflasi serta
tingkat suku bunga deposito menurun, maka memerlukan faktor penjelas yang
mungkin sekali berada di luar masalah ekonomi.
Seiring dengan kenaikan inflasi yang bergerak pada kisaran yang lebih tinggi
dan juga adanya kecenderungan Bank Indonesia untuk menurunkan tingkat suku
bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), maka dengan penurunan suku bunga
hal itu diikuti pula dengan melemahnya nilai tukar rupiah, maka harga barang juga
akan mengalami kenaikan, karena belum bisa lepas dari inflasi dan juga krisis
ekonomi yang masih terjadi. Namun untuk perkembangan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) cenderung mengalami kenaikan, karena adanya minat dari investor
untuk menanamkan modalnya di bursa efek. Bila suku bunga cukup tinggi (lebih
tinggi dari capital gain dan deviden per tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa)
orang akan memilih menyimpan uangnya di bank. Sebaliknya, bila suku bunga sudah
melemah, maka orang akan beralih ke lantai bursa.
Bila suku bunga SBI cukup tinggi (lebih tinggi dari capital gain dan deviden
per tahun yang bisa diperoleh dari lantai bursa) orang akan memilih menyimpan
uangnya di bank dan IHSG turun. Sebaliknya, bila suku bunga sudah melemah, maka
orang akan beralih ke lantai bursa (Yuniarta, 2008).
Faktor domestik yang mempengaruhi IHSG berupa faktor fundamental yaitu
inflasi, pendapatan nasional, jumlah uang yang beredar, suku bunga, maupun nilai
tukar rupiah. Berbagai faktor fundamental tersebut dianggap dapat berpengaruh
terhadap ekspektasi investor yang akhirnya berpengaruh pada pergerakan indeks
(Pasaribu, Tobing, Manurung, 2008).
Kenaikan harga barang yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam
persentase yang cukup besar, bukanlah merupakan inflasi (Nopirin, 2000). Atau dapat
dikatakan, kenaikan harga barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat
Inflasi adalah keadaan di mana terjadi kelebihan permintaan (Excess Demand)
terhadap barang-barang dalam perekonomian secara keseluruhan. Inflasi sebagai
suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari barang dan jasa secara umum (bukan
satu macam barang saja dan sesaat). Menurut definisi ini, kenaikan harga yang
sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi.
Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi
serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity
effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional
masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000).
Bagaimana bursa merespon terhadap shock dari bursa lain, apabila terjadi
shock di Amerika Serikat maka bursa-bursa regional tidak akan terlalu meresponnya.
Hanya di Singapura, Hong Kong, Jepang dan Taiwan dan New Zealand yang akan
langsung merespon, dan respon pun tidak cukup besar. Sebaliknya jika shock
di Singapura, Australia atau Hong Kong, secara cepat shock tersebut akan
ditransmisikan ke hampir semua bursa saham di Asia Pasifik, termasuk BEI.
Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk membuat penelitian
tentang faktor yang mempengaruhi pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan
1.2. Perumusan Masalah
Dari uraian latar belakang penelitian di atas maka dapat dirumuskan
pokok-pokok permasalahan yang akan dilakukan pembahasan pada penelitian ini, yaitu:
1. Apakah nilai tukar berpengaruh terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek
Indonesia?
2. Apakah SBI berpengaruh terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia?
3. Apakah inflasi berpengaruh terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek
Indonesia?
4. Apakah Indeks Dow Jones berpengaruh terhadap pergerakan IHSG di Bursa
Efek Indonesia?
1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian yang akan dilakukan ini adalah:
1. Untuk menganalisis pengaruh nilai tukar terhadap pergerakan IHSG di Bursa
Efek Indonesia.
2. Untuk menganalisis pengaruh SBI terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek
Indonesia.
3. Untuk menganalisis pengaruh inflasi terhadap pergerakan IHSG di Bursa Efek
Indonesia.
4. Untuk menganalisis pengaruh Indeks Dow Jones terhadap pergerakan IHSG
1.4. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dalam penyusunan tesis ini adalah sebagai
berikut:
1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran tentang keadaan saham
perusahaan publik terutama pengaruh signifikan tingkat suku bunga SBI, nilai
tukar rupiah, inflasi, terhadap IHSG. Selain itu juga dapat memberikan informasi
dan masukan yang dibutuhkan oleh pemegang saham, kreditur dan pihak-pihak
terkait lainnya.
2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bahan
studi atau tambahan khasanah ilmu pengetahuan dalam disiplin ilmu ekonomi.
3. Sebagai bahan tambahan dan informasi bagi masyarakat dan mahasiswa yang
ingin melakukan penelitian selanjutnya.
4. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah dan pihak-pihak yang terkait dalam
mengambil kebijakan mengenai kebijakan yang akan ditempuh sehubungan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Indeks Harga Saham Gabungan
Indeks harga adalah suatu angka yang digunakan untuk melihat perubahan
mengenai harga dalam waktu dan tempat yang sama ataupun berlainan. Indeks adalah
ukuran statistik yang biasanya digunakan menyatakan perubahan-perubahan
perbandingan nilai suatu variabel tunggal atau nilai sekelompok variabel. Menurut
Jogiyanto (2000), Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebenarnya merupakan
angka indeks harga saham yang sudah disusun dan dihitung sehingga menghasilkan
trend, di mana angka indeks adalah angka yang diolah sedemikian rupa sehingga
dapat digunakan membandingkan kejadian yang dapat berupa perubahan harga saham
dari waktu ke waktu. Dalam perhitungan angka indeks ini digunakan waktu dasar
(base period) dan waktu yang sedang berjalan (given/parent period).
Adapun jenis-jenis Indeks Harga Saham Gabungan adalah:
1. Seluruh saham, adalah suatu nilai yang digunakan untuk mengukur kinerja
gabungan seluruh saham yang tercatat di suatu bursa efek.
2. Kelompok saham, adalah suatu nilai yang digunakan untuk mengukur kinerja
kelompok saham yang tercatat di suatu bursa efek.
a. Indek LQ 45 adalah indeks atas 45 emiten yang tercatat di Bursa Efek Jakarta,
b. Indeks JII (Jakarta Islamic Index) indeks yang digunakan sebagai tolak ukur
(bencmark) untuk mengukur kinerja suatu investasi pada saham dengan basis
syariah.
3. Jenis usaha (sektoral) adalah suatu nilai untuk mengukur kinerja kelompok
saham yang sudah diklasifikasikan ke dalam 9 sektor yaitu sektor pertanian,
pertambangan, industri dasar dan kimia, industri barang konsumsi, properti dan
real estate, transportasi dan infrastruktur, keuangan, perdagangan, jasa dan
investasi.
2.2. Perhitungan Indeks Harga Saham Gabungan
Perhitungan harga saham gabungan dilakukan untuk mengetahui
perkembangan rata-rata seluruh saham yang tercatat di bursa. Untuk menghitung
indeks harga saham gabungan, digunakan formula sebagai berikut:
IHSG = 100
perdana Harga x tercatat saham Jumlah Dasar Nilai terakhir Harga x tercatat saham Jumlah Pasar Nilai Χ = = Keterangan:
IHSG = Indeks Harga Saham Gabungan hari ke-1
Nilai Pasar = Rata-rata tertimbang nilai pasar (jumlah lembar tercatat
di bursa dikali dengan harga pasar per lembarnya) dari saham
umum dan saham preferen pada hari ke-t
Nilai Dasar = Sama dengan nilai pasar tetapi dimulai dari tanggal 10 Agustus
Untuk mengeliminir pengaruh faktor-faktor yang bukan harga saham, nilai
dasar selalu disesuaikan bila terjadi corporate action seperti split saham, dividen
saham, saham bonus, penawaran terbatas dan sebagainya. Dengan demikian indeks
akan benar-benar mencerminkan pergerakan saham saja.
2.3. Pergerakan Harga Saham (Volatilitas)
Penilaian kinerja saham perusahaan dari luar perusahaan dilakukan oleh pasar
melalui pola perilaku pergerakan harga saham dari waktu ke waktu. Harga saham
(market price) merupakan nilai pasar (market value) dari setiap lembar saham
perusahaan. Pergerakan harga saham ditentukan oleh dinamika penawaran (supply)
dan permintaan (demand).
Harga Saham (P)
So
E1
P1
Po Eo D1
Do
Qo Kuantitas Saham (Q) Sumber: Satiningsih dkk, 2005 dalam Bodie, Kane dan Marcus, 2002
Gambar 2.1 menunjukkan ilustrasi pergerakan IHSG dengan menggunakan
kurva permintaan dan penawaran saham. Pada suatu periode tertentu, penawaran
suatu saham adalah tetap sehingga kurvanya vertikal seperti ditunjukkan oleh kurva
So. Permintaan pasar (market demand) merupakan permintaan agregat dari seluruh
investor, sehingga kurvanya relatif horizontal seperti ditunjukkan oleh kurva Do.
Keseimbangan harga terjadi saat kurva penawaran dan permintaan agregat
berpotongan yang terjadi pada titik Eo. Karena kurva penawaran bersifat tetap maka
pergerakan harga saham diakibatkan oleh pergerakan (pergeseran) kurva permintaan.
Ketika kurva permintaan naik dari Do menjadi D1, maka keseimbangan baru terjadi
pada harga yang lebih tinggi (harga naik) yaitu P1. Jadi perilaku harga suatu saham
merupakan cermin permintaan agregat dari para investor.
Oleh karena pergerakan harga saham disebabkan oleh pergerakan kurva
demand, maka faktor-faktor penggeser demand seperti harga saham-saham lainnya,
pendapatan investor dan jumlah investor saham menjadi faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan harga saham.
Investor dalam membentuk portofolio aset-aset investasinya akan
mempertimbangkan risiko dan tingkat keuntungan. Apabila seorang investor
membentuk suatu portofolio maka investor akan mendapat keuntungan sebesar
rata-rata terbobot dari masing-masing tingkat keuntungan aset, dengan risiko portofolio
yang lebih kecil dari risiko terbobot dari masing-masing risiko aset. Besarnya tingkat
keuntungan dan risiko portofolio tergantung dari jumlah aset yang membentuk
antar aset, sedangkan rata-rata tingkat keuntungan portofolio tidak tergantung dari
korelasi tingkat keuntungan antar aset. Sifat portofolio ini menguntungkan bagi
investor karena investor dapat melakukan diversifikasi untuk mengurangi risiko
portofolionya (Bodie, Kane dan Marcus, 2002).
Secara umum pergerakan harga saham dipengaruhi oleh faktor internal
(lingkungan mikro) dan faktor eksternal (lingkungan makro).
Lingkungan mikro yang mempengaruhi volatilitas harga saham antaralain:
a. Pengumuman tentang pemasaran, produksi, penjualan seperti pengiklanan, rincian
kontrak, produk baru, perubahan harga, penarikan produk baru, laporan produksi,
laporan keamanan produk, dan laporan penjualan.
b. Pengumuman pendanaan (financing announcement), seperti pengumuman yang
berhubungan dengan ekuitas dan hutang, sekuritas yang hybrid, leasing,
kesepakatan kredit, pemecahan saham, pembelian saham, joint venture, dan
lainnya.
c. Pengumuman badan direksi manajemen (manajement-board of director
announcement), seperti perubahan dan penggantian direktur, manajemen, dan
stuktur organisasi.
d. Pengumuman penggabungan pengambilalihan diversifikasi, seperti laporan
merger, investasi ekuitas, laporan take over oleh pengakuisisi dan diakuisisi,
laporan divestasi dan lainnya.
e. Pengumuman investasi (investment announcement), seperti melakukan ekspansi
f. Pengumuman ketenagakerjaan (labor announcement), seperti negosiasi baru,
kontrak baru, pemogokan dan lainnya.
g. Pengumuman laporan keuangan perusahaan, seperti peramalan laba sebelum akhir
tahun fiskal dan setelah akhir tahun fiskal, earning per share (EPS) dan dividen
per share (DPS), price earnings ratio, book ratio, net profit margin, return on
assets (ROA), ROE, dan lain-lain.
Lingkungan ekonomi makro yang mempengaruhi volatilitas harga saham antara lain:
a. Pengumuman dari pemerintah, seperti perubahan suku bunga tabungan dan
deposito, kurs valuta asing, inflasi, serta berbagai regulasi dan deregulasi
ekonomi yang dikeluarkan pemerintah.
b. Pengumuman hukum (legal announcements), seperti tuntutan karyawan terhadap
perusahaan atau terhadap manajernya dan tuntutan perusahaan terhadap
manajernya.
c. Pengumuman industri sekuritas (securities announcements), seperti laporan
pertemuan tahunan, insider trading, volume/harga saham perdagangan,
pembatasan/penundaan trading.
d. Gejolak sosial politik dalam negeri dan fluktuasi nilai tukar juga merupakan
faktor yang berpengaruh signifikan pada terjadinya volatilitas harga saham
di bursa efek suatu negara.
e. Berbagai issue baik dari dalam dan luar negeri, seperti issue lingkungan hidup,
hak asasi manusia, kerusuhan massal, yang berpengaruh terhadap perilaku
2.4. Teori Pergerakan Harga Saham
Teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan harga saham secara acak
adalah teori random walk dan teori yang menjelaskan pola perubahan harga saham
adalah teori Elliott wave.
2.4.1. Teori Random Walk
Istilah random walk merupakan istilah yang pertama kali muncul dalam
koresponden di nature yang membahas mengenai bagaimana strategi optimal untuk
mencari orang mabuk yang ditinggalkan di tengah lapangan. Caranya adalah dengan
memulai mencari ditempat pertama kali orang mabuk itu ditempatkan sebab orang
tersebut akan berjalan dengan arah yang tidak tertebak dan acak (Miller, 1998).
Teori ini menyatakan bahwa perubahan harga suatu saham atau keseluruhan
pasar yang telah terjadi tidak dapat digunakan untuk memprediksi gerakan dimasa
yang akan datang. Perubahan harga saham tidak tergantung satu sama lain dan
mempunyai distribusi probabilitas yang sama (Miller, 1998).
Dengan kata lain teori ini menyatakan bahwa harga saham bergerak ke arah
yang acak dan tidak dapat diperkirakan. Jadi, seorang investor tidak mungkin
memperoleh return melebihi return pasar tanpa menanggung risiko lebih.
2.4.2. Teori Elliott Wave
The Wave Principle merupakan penelitian dari Elliott bahwa perilaku sosial
atau massa mempunyai trend yang mengikuti pola-pola tertentu. Penelitiannya
menemukan bahwa perubahan harga di bursa saham mempunyai suatu struktur
gelombang yang bersifat repetitif. Hal yang perlu dicatat adalah walaupun bersifat
repetitif tetapi pola tersebut belum tentu berulang dengan waktu dan ketinggian
gelombang yang sama.
5
A
4 B
3 C
2
1
Sumber: Murphy, 1999 dalam Bodie, Kane dan Marcus, 2002
Gambar 2.2. Pola Dasar Pergerakan Elliott Wave
Pola-pola tersebut dapat diartikan sebagai berikut:
1. Gelombang 1
Harga saham mula-mula bergerak naik membuat beberapa investor merasa bahwa
harga saham tersebut murah. Adanya pembelian saham tersebut membuat harga
2. Gelombang 2
Pada saat ini harga saham tersebut sudah dinilai terlalu tinggi sehingga investor
mulai merealisasikan keuntungannya dengan menjual saham tersebut. Hal ini
mengakibatkan tekanan terhadap harga saham sehingga turun. Namun penurunan
harga saham ini tidak sampai membuat through gelombang 2 serendah through
gelombang 1 karena investor menilai harga saham tersebut menjadi murah lagi.
3. Gelombang 3
Gelombang ini biasanya gelombang yang paling lama dan kuat sebab didorong
oleh lebih banyak investor yang bergabung atau meningkatkan posisi yang
mengambil keuntungan dari trend menanjak sehingga perdagangan menjadi
ramai. Harga saham saat ini naik sampai melewati harga tertinggi pada
gelombang 1.
4. Gelombang 4
Investor mulai merealisasikan keuntungannya sebab harga saham sudah terlalu
tinggi. Koreksi berpola segitiga-segitiga umumnya dikenal dalam gelombang ini,
di mana dalam pola koreksi ini volatilitas harga saham cenderung menurun.
Namun gelombang ini lemah sebab masih banyak investor yang menginginkan
saham tersebut.
5. Gelombang 5
Pada gelombang ini sebagian investor sudah memegang saham ini dan sebagian
besar merupakan investor yang irasional. Akan tetapi tidak sekuat pada
dibandingkan dengan gelombang 3. Investor yang mengetahui hal ini akan mulai
mengadakan transaksi short-selling. Pada saat ini saham dapat bergerak kembali
ke gelombang 1, atau mulai mengkoreksi diri.
6. Gelombang ABC
Saat ini saham akan mengkoreksi dengan melakukan gerakan turun, naik dan
turun. Volatilitas pada periode ini biasanya berkurang dibandingkan dengan
kelima gelombang sebelumnya, karena pasar sedang mengevaluasi ulang dan
sedang dalam tahap istirahat.
Berdasarkan teori random walk dan teori Elliot Wave yang telah dijelaskan
di atas maka diduga pergerakan IHSG sangat erat kaitannya dengan kedua teori
tersebut. Pergerakan IHSG memang tidak bisa diprediksi secara tepat, namun secara
umum pergerakan IHSG akan berfluktuasi mengikuti pola Elliot seperti yang telah
dijelaskan pada Gambar 2.1.
2.5. Capital Asset Pricing Model (CAPM)
Financial Accounting Standar Board (FASB) mendefinisikan nilai tukar
sebagai rasio antara satu unit mata uang dan jumlah mata uang lainnya yang dapat
ditukar pada suatu waktu tertentu. Gain atau loss transaksi mata uang asing akan
dimasukkan dalam laba bersih pada periode terjadinya transaksi nilai tukar. Dalam
usaha untuk menentukan apakah kerugian dari nilai tukar berpengaruh terhadap
Bodie et al. (2005) menjelaskan bahwa Capital Asset Pricing Model (CAPM)
merupakan hasil utama dari ekonomi keuangan modern. Capital Asset Pricing Model
(CAPM) memberikan prediksi yang tepat antara hubungan risiko sebuah aset dan
tingkat harapan pengembalian (expected return). Walaupun Capital Asset Pricing
Model belum dapat dibuktikan secara empiris, Capital Asset Pricing Model sudah
luas digunakan karena Capital Asset Pricing Model akurasi yang cukup pada aplikasi
penting.
Capital Asset Pricing Model (CAPM) mencoba untuk menjelaskan hubungan
antara risk dan return. Dalam penilaian mengenai risiko biasanya saham biasa
digolongkan sebagai investasi yang berisiko. Risiko sendiri berarti kemungkinan
penyimpangan perolehan aktual dari perolehan yang diharapkan (possibility),
sedangkan derajat risiko (degree of risk) adalah jumlah dari kemungkinan fluktuasi
(amount of potential fluctuation).
Risiko ada dua macam, yaitu risiko sistematis dan risiko tidak sistematis.
Risiko sistematis adalah risiko yang dialami oleh semua investasi tanpa terkecuali.
Oleh karena itu risiko ini dinamakan juga risiko pasar (market risk). Namun demikian
besar kecilnya risiko sistematis tiap investasi, termasuk juga saham, sangat berbeda.
Sedang risiko tidak sistematis adalah risiko yang hanya dialami oleh investasi
tersebut, yang bisa disebabkan oleh faktor manajemen, ciri khusus jenis industri, jenis
persaingan usaha dan sebagainya.
Untuk mengatasi risiko ini maka biasanya investor mengkombinasikan
dalam Bodie et al. (2005) mengembangkan suatu bentuk diversifikasi yang efisien,
yang bisa menurunkan risiko tanpa menurunkan return portofolio. Markowitz
menyarankan agar portofolio seharusnya adalah pengkombinasian asset-asset yang
berkorelasi kurang dari positif sempurna agar dapat mengurangi risiko.
Sharpe dalam Bodie et al. (2005) menyempurnakan model portofolio
Markowitz ditambah dengan asumsi: (1) adanya tingkat bebas risiko; (3) investasi
bisa dipecah-pecah dalam bentuk yang sekecil mungkin; (3) adanya kebebasan short
sales (4) semua aktiva bisa diperjualbelikan. Dengan demikian maka portofolio yang
efisien suatu garis pasar modal (capital market line) yang intersepnya adalah tingkat
bebas risiko (rf). Untuk mengambarkan trade-off antara risiko dan return untuk
seluruh surat berharga, baik yang efisien maupun yang tidak, maka ukuran yang
dipakai bukanlah varian, tetapi adalah risiko sistematisnya ( ). Hubungan antara
risiko sistematis dengan return tersebut apabila digambarkan dalam suatu model akan
membentuk Capital Asset Pricing Model (CAPM).
Model tersebut bisa dituliskan:
E(Ri) = Rf + [E(Rm)-Rf] i 2.1
Di mana:
E(Ri) = return yang diharapkan dari surat berharga
i = fungsi dari risiko sistematis (tingkat bunga).
E(Rm)-Rf] dinamakan dengan harga risiko atau premi risiko, yaitu selisih
antara return pasar saham yang diharapkan (E(Rm)) dengan tingkat bebas risiko (Rf)
surat-surat berharga yang returnnya di luar yang diharapkan CAPM. Penyebabnya
antara lain: (1) adanya biaya transaksi; (2) adanya pajak capital gain yang membuat
para investor enggan menjual surat-surat berharga yang ternilai rendah oleh CAPM
(undervalued); (3) adanya ketidaksempurnaan informasi pasar. Oleh karena itulah
dalam kenyataannya CAPM lebih merupakan sebuah band daripada sebuah garis.
Demikian pula apabila unsur tingkat bebas risiko (Rf) dihilangkan dari model, karena
dalam kenyataan tidak mungkin investor bisa meminjam dan meminjamkan pada
tingkat yang sama, maka akan membentuk Zero Beta CAPM, dengan model sebagai
berikut:
E(Ri) = E(Rz) + [E(Rm)-E(Rz)] i 2.2
Di mana:
Rz = asset yang tidak berkorelasi dengan portofolio pasar ini misalnya adalah
obligasi pemerintah yang berjangka panjang, yang mempunyai return riil yang tetap
(suku bunga Sertifikat Bank Indonesia), mudah diperjualbelikan, dan bisa
dipecah-pecah dalam satuan yang kecil-kecil.
Saham berisiko dapat dikombinasi dalam sebuah portofolio menjadi investasi
yang lebih rendah risiko daripada saham biasa tunggal. Diversifikasi akan
mengurangi risiko sistematis (systematic risk), tetapi tidak dapat mengurangi risiko
yang tidak sistematis (unsystematic risk).Unsystematic risk adalah bagian dari risiko
yang tidak umum dalam sebuah perusahaan yang dapat dipisahkan. Systematic
dengan seluruh pergerakan pasar saham dan tidak dapat dihindari. Informasi
keuangan mengenai sebuah perusahaan dapat membantu dalam menentukan jumlah.
Investor biasanya menghindari risiko, investor menginginkan perolehan
tambahan (additional returns) untuk menanggung risiko tambahan (additional risks).
Oleh karena itu saham berisiko tinggi (High-risk securities) harus mempunyai harga
yang menghasilkan perolehan lebih tinggi daripada perolehan yang diharapkan dari
saham berisiko lebih rendah. Persamaan risiko dan perolehan (Equation Risk and
Return) adalah:
Rs = Rf + Rp 2.3
Rs = Expected Return on a given risky security
Rf = Risk-free rate
Rp = Risk premium (nilai tukar)
Bila nilai = 1 artinya adanya hubungan yang sempurna dengan kinerja
seluruh pasar seperti yang diukur indek pasar (market index), contohnya nilai yang
diukur oleh Dow-Jones Industrials dan Standard and Poor’s 500-stock-index.
Hubungan ini dapat digambarkan dalam contoh pada gambar. adalah ukuran dari
hubungan paralel dari sebuah saham biasa dengan seluruh tren dalam pasar saham.
Bila > 1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih tinggi daripada pasar. <
1.00 artinya saham cenderung naik dan turun lebih rendah daripada indek pasar
secara umum (general market index). Perubahan persamaan risiko dan perolehan
Rs = Rf + s (Rm – Rf) 2.4
Rs = Expected Return on a given risky security
Rf = Risk-free rate
Rm = Expected return on the stock market as a whole
s = Stock’s beta, yang dihitung berdasarkan waktu tertentu
CAPM bertahan bahwa harga saham tidak akan dipengaruhi oleh
unsystematic risk, dan saham yang menawarkan risiko yang relatif lebih tinggi
(higher s) akan dihargai relatif lebih daripada saham yang menawarkan risiko lebih
rendah (lower s). Riset empiris mendukung argumen mengenai s sebagai prediktor
yang baik untuk memprediksi nilai saham di masa yang akan datang (future stock
prices).
Prediksi nilai saham juga dipengaruhi oleh adanya inflasi. Dampak inflasi
terhadap harga saham dapat dijelaskan dengan membedakan variabel riil dengan
variabel nominal (Manurung, 2009). Hubungan variabel nominal dengan variabel riil
dari penilaian saham dapat dirumuskan sebagai berikut:
1 ) 1 )( 1 ( + + −
= gR π
g 2.5
1 ) 1 )( 1 ( + + −
= kR π
k 1 ) 1 )( 1 ( + + −
= ROER π
ROE
R
D
D1 =(1+π) 2.6
Di mana:
[...]R = nilai riil variabel
π = tingkat inflasi
Misalkan ekpektasi pertumbuhan pendapatan tanpa dampak inflasi [b] adalah
4 persen. Diketahui E1=Rp 1 per lembar, ROER= 10 persen, bR 0.01 dan kR=10
persen. Harga Saham [P0], ekspektasi hasil dividen riil [DIR/P0, dan tingkat apresiasi
modal riil [GR] masing-masing adalah Rp 10, 0.6 persen, dan 4 persen [
(1-0,4)/(1,10-0,04), (1-0,4)x1/10, dan 0,4 x10]. Jika penerimaan dan dividen tidak dipengaruhi
inflasi dan ekspektasi inflasi 6 persen maka tingkat pertumbuhan dividen nominal [g],
ekspektasi hasil dividen nominal [D1/P0], ekspektasi ROE dan tingkat laba ditahan
niminal [b] masing-masing adalah 10,24 persen,6,36 persen, 16,56 persen, dan
0,6169 [1,04,x1,06-1, 0,06x1,06,1,10 x 1,06-1,dan 0,1024/0,166].
Semua asumsi di atas mengimplikasikan bahwa semua investor akan memilih
portofolio berisiko dengan cara duplikasi aset atau portofolio pasar (M) yang
mencakup semua aset yang diperdagangkan. Tidak hanya portofolio pasar pada batas
efisien tetapi juga alokasi modal efisien pada garis alokasi modal semua untuk
investor. Akibatnya garis pasar modal (capital market line) merupakan garis di mana
tingkat bunga bebas risiko melalui portofolio pasar (M). Premi risiko pada portofolio
pasar proporsional terhadap risiko dan derajat keengganan terhadap risiko (degree of
risk aversion), yaitu:
Di mana:
E(rM) =ekspektasi imbal hasil pasar sebagai ukuran tingkat diskonto
rf = tingkat bunga modal berisiko
A = rata-rata derajat keengganan terhadap risiko
0,01 = kontanta varians imbal hasil pasar 2
M
σ
Premi risiko dari aset individu proposional terhadap premi risiko pasar dan
koefisien risiko beta sekuritas terhadap portofolio pasar, yaitu : 2
)
,
(
M m i ir
r
Cov
σ
β
=
Kemudian untuk premi risiko:
(
)
[
] [
f M i f M M m i fi
E
r
r
E
r
r
r
r
Cov
r
r
E
(
)
−
=
2,
(
)
−
=
β
(
−
σ
]
2.8Premi risiko dibagi varians merupakan harga pasar risiko dari portofolio pasar
persamaan di atas merupakan aset modal pasar, yaitu:
( )
r
ir
f[
E
r
Mr
f]
E
i
−
+
=
β
(
)
2.9Untuk menilai satu sekuritas digunakan koefisien αi, yaitu perbedaan
ekspektasi imbal hasil dengan nilai imbal hasil berdasarkan penetapan harga aset
modal, yaitu:
[
f i M f]
i
i =E(r)− r +β (E(r )−r
α 2.10
Nilai αi yang lebih besar menjelaskan saham lebih baik untuk dipegang. Jika
kombinasi aset, dan portofolio mempunyai bobot wk untuk saham k[1,2,...,n] maka
penetapan harga aset modal adalah:
[
M f]
M f
M
r
E
r
r
r
E
(
)
=
+
β
(
)
−
2.111 ) , ( 2 2
2 = =
= M M M M M M r r Cov σ σ σ
β 2.12
Persamaan ini disebut garis sekuritas pasar, yaitu hubungan antara risiko β
pasar dengan ekspektasi imbal hasil pasar.Misalkan saham A mempunyai ekspektasi
imbal hasil 15 persen dan risiko βA adalah 1,20. Saham B mempunyai ekspektasi
imbal hasil 16 persen dan risiko βB adalah 1,50. Ekspektasi imbal hasil pasar 14
persen dan rf =7 persen. Menurut penetapan harga aset modal nilai αA adalah negatif
0,40 dan nilai αB adalah negatif 1,50 persen. Oleh sebab itu, memegang saham B.
Penetapan harga aset modal juga dapat digunakan untuk mengevaluasi satu proyek
perusahaan, yaitu membandingkan nilai penetapan harga aset modal dengan IRR.
Misalkan proyek perusahaan B mempunyai IRR sebesar 17,00 persen.
Menurut penetapan harga aset modal, proyek investasi perusahaan B memerlukan
imbal hasil 17,50 persen.Dengan kata lain nilai penetapan harga aset modal lebih
tinggi dari IRR sehingga proyek investasi perusahaan B ditolak. Nilai penetapan
harga aset modal merupakan tingkat diskonto (k) yang digunakan pada model
pertumbuhan, yaitu: 17,50 persen Pada tingkat k = 17,50 persen nilai sekarang dari
17 persen maka nilai sekarang dari proyek investasi perusahaan B adalah nol, artinya
jika k = IRR maka nilai sekarang dari suatu proyek investasi sama dengan nol.
CAPM dikritik sebagai penyebab masalah kompetisi di Amerika Serikat.
Manajer di sebuah perusahaan di Amerika Serikat yang menggunakan CAPM
terpaksa membuat investasi yang aman dalam jangka pendek dan perolehannya dapat
diprediksi dalam jangka pendek daripada investasi yang aman dan perolehan dalam
jangka panjang. Para peneliti telah menggunakan CAPM untuk menguji hipotesa
yang berhubungan dengan hipotesa pasar efisien.
Markowitz dalam Bodie et al. (2005) mengusulkan sebuah model untuk
menjelaskan korelasi di antara return sekuritas. Model ini mengasumsikan bahwa
return dari sekuritas ke-i tergantung pada sebuah faktor yang mendasari, nilai yang
diwakili oleh indeks, dalam notasi matematika dinyatakan sebagai:
ri = ai + Bi.F + ui 2.13
ri = return sekuritas i (IHSG)
Bi = Beta dari sekuritas i
F = indeks (belum tentu indeks pasar)
ui = error term
(walaupun selanjutnya markowitz mengusulkan bahwa persamaan itu seharusnya
tidak linier, karena ada faktor lain yang mendasarinya) lalu pada tahun 1963, William
Sharpe menguji persamaan tersebut sebagai penjelasan bagaimana return sekuritas
cenderung naik dan turun seiring dengan naik turunnya indeks umum pasar, secara
rit = ai + Bi.rmt + uit 2.14
rit = return dari aset i pada periode t
rmt = return dari indeks pasar pada periode t
ai = komponen non-pasar dari return aset i
Bi = rasio kovarian dari return aset i dan return indeks pasar terhadap
varians return indeks pasar
uit = zero mean random error term
Model ini disebut model pasar indeks tunggal (single index market model)
atau sering disebut market model. Dilihat di sini pada model markowitz, indeksnya
belum tentu indeks pasar, tetapi pada market model digunakan indeks pasar.
2.6. Nilai Tukar
Nilai tukar Rupiah atau disebut juga kurs Rupiah adalah perbandingan nilai
atau harga mata uang Rupiah dengan mata uang lain. Perdagangan antar negara
di mana masing-masing negara mempunyai alat tukarnya sendiri mengharuskan
adanya angka perbandingan nilai suatu mata uang dengan mata uang lainnya, yang
disebut kurs valuta asing atau kurs (Salvatore, 2008).
Nilai tukar terbagi atas nilai tukar nominal dan nlai tukar riil. Nilai tukar
nominal (nominal exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat
menukar mata uang suatu negara dengan mata uang negara lain. Sedangkan nilai riil
(real exchange rate) adalah nilai yang digunakan seseorang saat menukar barang dan
Nilai tukar yang melonjak-lonjak secara drastis tak terkendali akan
menyebabkan kesulitan pada dunia usaha dalam merencanakan usahanya terutama
bagi mereka yang mendatangkan bahan baku dari luar negeri atau menjual barangnya
ke pasar ekspor oleh karena itu pengelolaan nilai mata uang yang relatif stabil
menjadi salah satu faktor moneter yang mendukung perekonomian secara makro
(Pohan, 2008).
Menurut Sukirno (2002) besarnya jumlah mata uang tertentu yang diperlukan
untuk memperoleh satu unit valuta asing disebut dengan kurs mata uang asing. Nilai
tukar adalah nilai mata uang suatu negara diukur dari nilai satu unit mata mata uang
terhadap mata uang negara lain. Apabila kondisi ekonomi suatu negara mengalami
perubahan, maka biasanya diikuti oleh perubahan nilai tukar secara substansional.
Masalah mata uang muncul saat suatu negara mengadakan transaksi dengan negara
lain, di mana masing-masing negara menggunakan mata uang yang berbeda. Jadi nilai
tukar merupakan harga yang harus dibayar oleh mata uang suatu negara untuk
memperoleh mata uang negara lain.
Nilai tukar dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat suku bunga dalam
negeri, tingkat inflasi, dan intervensi bank central terhadap pasar uang. Nilai tukar
yang lazim disebut kurs, mempunyai peran penting dalam rangka stabilitas moneter
dan dalam mendukung kegiatan ekonomi. Nilai tukar yang stabil diperlukan untuk
tercapainya iklim usaha yang kondusif bagi peningkatan dunia usaha. Untuk menjaga
stabilitas nilai tukar, bank central pada waktu-waktu tertentu melakukan intervensi
ekonom membedakan kurs menjadi dua yaitu kurs nominal dan kurs riil. Kurs
nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara.
Sebagai contoh, jika antara dolar Amerika Serikat dan yen Jepang adalah 120 yen per
dolar, maka orang Amerika Serikat bisa menukar 1 dolar untuk 120 yen di pasar
uang. Sebaliknya orang Jepang yang ingin memiliki dolar akan membayar 120 yen
untuk setiap dolar yang dibeli. Ketika orang-orang mengacu pada “kurs” di antara
kedua negara, mereka biasanya mengartikan kurs nominal (Mankiw, 2006).
Kurs riil (real exchange rate) adalah harga relatif dari barang-barang di antara
dua negara. Kurs riil menyatakan tingkat di mana kita bisa memperdagangkan
barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain. Nilai Tukar
(exchange rate) atau kurs adalah harga satu mata uang suatu negara terhadap mata
uang negara lain. Nilai tukar nominal (nominal exchange rate) adalah harga relatif
dari mata uang dua negara (Mankiw, 2006). Nilai tukar riil adalah nilai tukar nominal
yang sudah dikoreksi dengan harga relatif yaitu harga-harga di dalam negeri
dibandingkan dengan harga-harga di luar negeri. Nilai tukar dapat dihitung dengan
menggunakan rumus di bawah ini:
*
P P S
Q = (2.15)
di mana Q dalah nilai tukar riil, S adalah nilai tukar nominal, P adalah tingkat
harga domestik dan P* adalah tingkat harga di luar negeri.
Kurs inilah sebagai salah satu indikator yang mempengaruhi aktivitas di pasar
melakukan investasi. Menurunnya kurs Rupiah terhadap mata uang asing khususnya
Dolar AS memiliki pengaruh negatif terhadap ekonomi dan pasar modal (Sitinjak dan
Kurniasari, 2003). Turunnya kurs menurunkan kemampuan nilai tukar Rupiah
terhadap mata uang asing salah satu dampaknya terhadap impor.
2.7. Inflasi
Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk naik secara umum dan
terus menerus Sukirno (2002). Akan tetapi bila kenaikan harga hanya dari satu atau
dua barang saja tidak disebut inflasi, kecuali bila kenaikan tersebut meluas atau
menyebabkan kenaikan sebagian besar dari harga barang-barang lain (Boediono,
2000). Kenaikan harga-harga barang itu tidaklah harus dengan persentase yang sama.
Inflasi merupakan kenaikan harga secara terus-menerus dan kenaikan harga
yang terjadi pada seluruh kelompok barang dan jasa (Pohan, 2008). Bahkan mungkin
dapat terjadi kenaikan tersebut tidak bersamaan. Yang penting kenaikan harga umum
barang secara terus-menerus selama suatu periode tertentu. Kenaikan harga barang
yang terjadi hanya sekali saja, meskipun dalam persentase yang cukup besar dan
terus-menerus, bukanlah merupakan inflasi (Nopirin, 2000). Kenaikan sejumlah
bentuk barang yang hanya sementara dan sporadis tidak dapat dikatakan akan
menyebabkan inflasi.
Dari kutipan di atas diketahui bahwa inflasi adalah keadaan di mana terjadi
kelebihan permintaan (Excess Demand) terhadap barang-barang dalam perekonomian
barang dan jasa secara umum (bukan satu macam barang saja dan sesaat). Menurut
definisi ini, kenaikan harga yang sporadis bukan dikatakan sebagai inflasi.
Inflasi dapat mempengaruhi distribusi pendapatan, alokasi faktor produksi
serta produk nasional. Efek terhadap distribusi pendapatan disebut dengan equity
effect, sedangkan efek terhadap alokasi faktor produksi dan pendapatan nasional
masing-masing disebut dengan efficiency dan output effects (Nopirin, 2000).
1. Efek terhadap Pendapatan (Equity Effect). Efek terhadap pendapatan sifatnya
tidak merata, ada yang dirugikan tetapi ada pula yang diuntungkan dengan adanya
inflasi. Seseorang yang memperoleh pendapatan tetap akan dirugikan oleh adanya
inflasi. Demikian juga orang yang menumpuk kekayaannya dalam bentuk uang
kas akan menderita kerugian karena adanya inflasi. Sebaliknya, pihak-pihak yang
mendapatkan keuntungan dengan adanya inflasi adalah mereka yang memperoleh
kenaikan pendapatan dengan prosentase yang lebih besar dari laju inflasi, atau
mereka yang mempunyai kekayaan bukan uang di mana nilainya naik dengan
prosentase lebih besar dari pada laju inflasi. Dengan demikian inflasi dapat
menyebabkan terjadinya perubahan dalam pola pembagian pendapatan dan
kekayaan masyarakat.
2. Efek terhadap Efisiensi (Efficiency Effects). Inflasi dapat pula mengubah pola
alokasi faktor-faktor produksi. Perubahan ini dapat terjadi melalui kenaikan
permintaan akan berbagai macam barang yang kemudian dapat mendorong
terjadinya perubahan dalam produksi beberapa barang tertentu. Dengan adanya
barang lain, yang kemudian mendorong terjadinya kenaikan produksi barang
tertentu.
3. Efek terhadap Output (Output Effects). Inflasi mungkin dapat menyebabkan
terjadinya kenaikan produksi. Alasannya dalam keadaan inflasi biasanya kenaikan
harga barang mendahului kenaikan upah sehingga keuntungan pengusaha naik.
Kenaikan keuntungan ini akan mendorong kenaikan produksi. Namun apabila laju
inflasi ini cukup tinggi (hyper inflation) dapat mempunyai akibat sebaliknya,
yakni penurunan output. Dalam keadaan inflasi yang tinggi, nilai uang riil turun
dengan drastis, masyarakat cenderung tidak mempunyai uang kas, transaksi
mengarah ke barter, yang biasanya diikuti dengan turunnya produksi barang.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan langsung antara
inflasi dan output. Inflasi bisa dibarengi dengan kenaikan output, tetapi bisa juga
dibarengi dengan penurunan output.
2.8. Arbitrage Pricing Theory (APT)
Ross (1976) merumuskan model keseimbangan yang disebut Arbitrage
Pricing Theory (APT), yang menyatakan bahwa dua kesempatan investasi yang
mempunyai sifat yang identik sama tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda.
Dalam hal ini hukum yang dianut oleh APT adalah hukum satu harga (the law of one
price). Suatu aktiva yang memiliki karakteristik sama (identik sama) jika dijual
dengan harga yang berbeda, maka akan terdapat kesempatan untuk melakukan
menjualnya dengan harga yang lebih tinggi sehingga memperoleh laba tanpa risiko
(Husnan, 2000).
Dalam perekonomian suatu negara terdapat empat pasar yang telah dikenal
yaitu: pasar modal, pasar uang, pasar valuta asing maupun pasar barang. Dari
keempat pasar tersebut yang saling terkait erat serta yang mencerminkan hukum satu
harga (the law of one price) umumnya tiga pasar yaitu: pasar modal, pasar uang, dan
pasar valuta asing. Ketiga pasar mempunyai keseimbangan dan identik sama sehingga
tidak dapat dijual dengan harga yang berbeda. Jika tidak terjadi keseimbangan dari
pasar-pasar tersebut, maka akan terjadi proses arbitrage dari pasar yang satu ke pasar
yang lain sebagaimana diuraikan di atas.
Terkait dengan pasar modal, model APT dinyatakan bahwa tingkat
keuntungan dari saham yang diperdagangkan di pasar modal terdiri dari dua
komponen, yaitu: tingkat keuntungan normal atau tingkat keuntungan yang
diharapkan dan tingkat keuntungan yang tidak pasti atau berisiko (Husnan, 2000).
Tingkat keuntungan yang diharapkan merupakan bagian dari tingkat keuntungan
sesungguhnya yang diharapkan oleh investor. Tingkat keuntungan ini sangat
dipengaruhi oleh informasi yang dimiliki oleh investor. Sedangkan tingkat
keuntungan yang tidak pasti atau berbagai tingkat keuntungan yang bersumber dari
informasi yang bersifat tidak diharapkan. Investor dalam menjalankan aktivitasnya
menghadapi dua macam risiko, yaitu: risiko sistematis dan risiko tidak sistematis.
Kedua risiko tersebut mempengaruhi tingkat keuntungan yang diharapkan investor.
lainnya. Sebaliknya, risiko sistematis akan berkorelasi terhadap setiap perusahaan
(saham). Hal ini disebabkan karena faktor-faktor yang mempengaruhi risiko
sistematis adalah sama, misalnya: tingkat inflasi, tingkat bunga dan variabel-variabel
lainnya atau sering disebut dengan variabel makroekonomi. Oleh karena itu
perubahan variabel makroekonomi akan berdampak pada seluruh perusahaan
(saham). Namun demikian perlu diperhatikan bahwa kemungkinan terdapat
perbedaan besar kecilnya perubahan variabel makroekonomi terhadap harga saham.
Model faktor mendasarkan diri pada anggapan bahwa adanya hubungan linear
antara harga suatu saham dengan harga seluruh saham yang ada di bursa yang
diwakili oleh indeks pasar. Atas dasar anggapan itu, maka tingkat keuntungan suatu
saham akan berkorelasi dengan perubahan harga pasar (Bailey, 1999). Sebagai proses
penghasil imbalan, model faktor berusaha untuk mencakup kekuatan-kekuatan
perekonomian utama yang secara sistematis menggerakkan atau mempengaruhi harga
semua saham. Secara implisit, dalam susunan model faktor terdapat asumsi bahwa
imbalan antara dua saham akan berkorelasi, yaitu bergerak bersama-sama melalui
reaksi yang sama terhadap satu atau lebih faktor yang ditentukan oleh model. Model
faktor dapat memberikan informasi yang diperlukan untuk menghitung imbalan
harapan, varian, maupun kovarian dari setiap saham. Hasilnya, model faktor adalah
alat yang bermanfaat untuk manajemen portofolio (Bailey, 1999).
Model multi faktor mengasumsikan bahwa proses penentuan harga saham
melibatkan beberapa faktor. Artinya terdapat beberapa kemungkinan bahwa lebih dari
harga saham. Situasi ekonomi mempengaruhi hampir semua perusahaan. Jadi
perubahan dari perekonomian yang diramalkan memiliki dampak yang besar terhadap
harga sebagian besar saham.
Sebagai contoh ada dua sumber risiko ekonomi makro yaitu GDP dan tingkat
bunga yang tidak dapat dipastikan kondisinya terhadap harga saham. Menurut Bodie,
Kane dan Marcus (2006), secara sederhana model multi faktor persamaannya dapat
dinyatakan sebagai berikut:
Ri = E(ri ) + βiGDPGDP + βiIRIR + ei (2.16)
Dua faktor pada sisi kanan persamaan atas faktor sistematis di dalam
perekonomian. Sebagaimana model faktor tunggal, kedua faktor makro ini
mempunyai nilai ekspektasi nol: menunjukkan perubahan pada variabel ini yang
sebelumnya tidak diantisipasi. Koefisien pada setiap faktor pada persamaan di atas
mengukur sensitivitas imbal hasil saham atas faktor tersebut. Untuk alasan ini,
koefisien sering kali disebut sebagai sensitivitas faktor (factor sensitivity),
pembebanan faktor (factor loading), atau beta faktor (factor beta). Dan ei
mencerminkan pengaruh faktor spesifik perusahaan.
2.9. Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
Salah satu instrumen pasar uang yang digunakan oleh Bank Indonesia untuk
mengendalikan likuiditas perekonomian adalah Sertifikat Bank Indonesia atau SBI.
bank-bank pemerintah, swasta nasional dan swasta asing dalam menentukan tingkat suku
bunga tabungan, deposito dan pinjaman kepada masing-masing nasabahnya.
Dalam kondisi normal fungsi utama SBI adalah menjaga uang yang beredar
berada dalam jumlah yang optimal. Namun sejak krisis moneter melanda Indonesia
tahun 1997, SBI juga digunakan oleh Bank Sentral untuk mencegah meningkatnya
permintaan dana oleh masyarakat dan kalangan pengusaha swasta nasional untuk
keperluan transaksi dan berjaga-jaga. Pada kondisi tersebut, meningkatnya
permintaan uang oleh masyarakat dan kalangan pengusaha nasional tidak sepenuhnya
digunakan untuk keperluan dimaksud, namun digunakan untuk berspekulasi membeli
dollar guna memperoleh keuntungan yang spekulatif.
SBI pada dasarnya adalah merupakan instrumen jangka pendek yang bebas
risiko. Karakteristik utama SBI adalah:
1. Pemberian Bunga
Bunga pada SBI dikenal sebagai tingkat diskonto, karena SBI dijual dengan harga
diskon sebesar tingkat diskontonya, atau dengan kata lain bunga SBI diberikan
di awal.
2. Penerbitan
SBI diterbitkan berdasarkan atas unjuk, yaitu yang terakhir membawa SBI pada
saat jatuh tempo maka dialah yang berhak mencairkannya.
3. Suku bunga
Suku bunga SBI ditentukan berdasarkan lelang yang dilakukan setiap hari Rabu
money broker yang ditunjuk oleh Bank Indonesia. Money broker yang menawar
pada tingkat suku bunga yang rendah akan diprioritaskan untuk mendapatkan SBI
terlebih dahulu.
2.10. Indeks Dow Jones
Dow Jones Industrial Average (DJIA) adalah salah satu indek pasar saham
yang didirikan oleh editor The Wall Street Journal dan pendiri Dow Jones &
Company Charles Dow. Dow membuat indeks ini sebagai suatu cara untuk mengukur
performa komponen industri di pasar saham Amerika. Saat ini DJIA merupakan
indeks pasar AS tertua yang masih berjalan.
Sekarang, bursa saham ini terdiri dari 30 perusahaan terbesar di Amerika
Serikat yang sudah secara luas go public. Untuk mengkompensasi efek pemecahan
saham dan penyesuaian lainnya, sekarang ini menggunakan weighted average. bukan
rata-rata aktual dari harga saham komponennya.
Adapun perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam indeks Dow Jones
adalah: 3M (konglomerat, manufaktur), Alcoa (aluminium), Altria Group American
International Group American Express, Boeing, Caterpillar, Citigroup, Coca-Cola,
DuPont, Exxon Mobil, General Electric, General Motors, Hewlett-Packard, Home
Depot, Honeywell International, Intel, International Business Machines, J.P. Morgan
Chase, Johnson & Johnson, McDonald's, Merck & Co, Microsoft, Pfizer, Procter and
Gamble, SBC Communications, United Technologies, Verizon, Wal-Mart, Walt
Indeks Dow Jones merupakan rata-rata indeks saham terbesar di dunia oleh
karena itu pergerakan indeks Dow Jones dapat mempengaruhi hampir seluruh indeks
saham dunia termasuk IHSG. Pengaruh indeks Dow Jones terhadap IHSG
diperkirakan positif dalam arti kenaikan indeks Dow Jones akan mengakibatkan
naiknya IHSG di Bursa Efek Indonesia hal ini disebabkan oleh adanya sentimen
positif dari para investor terhadap kondisi ekonomi dunia.
2.11. Penelitian Terdahulu
Kajian yang berhubungan dengan Indeks Harga Saham sudah banyak diteliti
oleh peneliti-peneliti terdahulu. Rahayu, telah membuat suatu analisis yang pengaruh
nilai tukar dan suku bunga terhadap Indeks Harga Saham Gabungan di BEI. Hasil
yang didapati adalah secara bersama-sama variabel nilai tukar dan SBI berpengaruh
signifikan terhadap IHSG.
Haryanto dan Riyatno (2007) telah melakukan kajian mengenai pengaruh
suku bunga SBI dan nilai kurs terhadap risiko sistematik saham perusahaan di BEI.
Hasilnya adalah SBI dan nilai kurs terbukti mempengaruhi risiko sistematis saham,
namun tidak signifikan pada dua karakteristik industri yang berbeda.
Mansyur (2005) telah meneliti pengaruh indeks bursa global terhadap IHSG
di BEI selama periode 2000-2000, hasil yang didapati adalah indeks-indeks bursa
global secara bersama-sama memberi pengaruh yang signifikan terhadap IHSG
Tandelilin (1997) juga telah melakukan penelitian mengenai faktor-faktor
yang mempengaruhi risiko sistemik beberapa saham di Indonesia dengan
menggunakan variabel inflasi, suku bunga dan perubahan GDP. Hasil yang didapati
adalah secara bersama-sama variabel-variabel tersebut tidak berpengaruh signifikan
namun tingkat suku bunga secara parsial berpengaruh signifikan terhadap risiko
saham.
Handayani, (2007). Pengar