15
Bab II
SEMAR DALAM PEWAYANGAN JAWA & KONSELING
MASYARAKAT
Dalam tulisan ini akan digunakan dua kerangka teori untuk mengkaji hasil
penelitian yakni dari persperktif tokoh Semar. Perspektif Semar dalam melihat
hasil penelitian tersebut selanjutnya akan dikaji lagi dari teori konseling
masyaratat, oleh sebab itu dalam bab ini dituliskan dua teori mengenai Semar juga
konseling masyarakat. Akan tetapi tidak hanya itu, dalam bab ini juga dituliskan
sedikit penggambaran mengenai LGBT.
II.1 Semar Dalam Pewayangan Jawa
Keberadaan wayang memiliki peranan yang penting bagi kehidupan
masyarakat Jawa. Wayang adalah salah satu karya seni yang dapat menunjukkan
ungkapan dari pola pemikiran/gagasan, nilai-nilai religius dan ideologi yang
dimiliki masyarakat Jawa. Wayang merupakan benda seni yang dibuat dari kulit
binatang, kulit kayu, dan kertas untuk digunakan mementaskan suatu cerita
tertentu.1 Di dalam budaya Jawa sendiri, ada beberapa jenis wayang, seperti
Wayang Beber, Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Gedog, Wayang Menak, Wayang Babad, Wayang Modern, Wayang Topeng. 2 Terkhusus untuk wayang purwa yang merupakan fokus jenis wayang dalam tulisan ini, wayang
1
W.J.S. Poerwadarminta, Baoesastra Djawa (Batavia: J.B. Wolters, 1939) seperti yang
dikutip oleh “i a Widyat a ta, Waya g “e agai To to a , Tu tu a , Da “ara a Ber editasi , dala Yusak Tridar a to Ed. , Serba-serbi di Sekitar Kehidupan Orang Jawa: Sebagai Konteks Berteologi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen dan F.Th UKDW) h. 64
2 S. Haryanto,
16
purwa adalah jenis wayang kulit.3 Untuk penampilan, wayang kulit purwa
tergolong ideoplastik, yang berarti penggambaran akan sesuatu yang didasarkan bukan pada apa yang dilihat melainkan pada apa yang diketahui. Mengenai
penggambaran manusia, dalam wayang kulit sebisa mungkin manusia
digambarkan sesuai dengan manusia yang sebenarnya.4 Jadi disini manusia yang
digambarkan dalam pewayangan adalah seperti halnya manusia dalam realita
kehidupan sehari-hari. Mulai dari kebiasaan, karakter dan sifat yang ada pada
manusia dalam realita yang sebenarnya.
Bagi orang Jawa, pertunjukan wayang sebenarnya juga dijadikan sebagai
salah satu pedoman hidup. Kata wayang itu sendiri sebenarnya berarti
bayang-bayang (Jawa : ayang-ayang atau wewayangan).5 Hal ini disebabkan karena kesenian ini dimainkan pada malam hari, sehingga boneka wayang yang terkena
cahaya akan menghasilkan bayangan pada layar putih (Jawa: kelir). Pengertian wayang pada perkembangannya, bukan lagi dipahami sebagai permainan
bayangan semata, tetapi dapat diartikan sebagai angan-angan, gagasan atau ide.6
Hal ini dimaksudkan karena wayang tidak hanya terbatas pada benda tiruan yang
menggambarkan keberadaan manusia saja. Lebih jauh daripada itu, di dalam
dunia pewayangan juga terdapat berbagai macam gagasan, nilai, keyakinan, sikap
hidup, asal mula dan tujuan hidup, serta berbagai prisip-prinsip kehidupan yang
3
Sunarto, Wayang Kulit Purwa, (Semarang : Dahara Prize, 1997), h. 10 4 Sunarto,
Wayang Kulit Purwa, h. 19
5“i a Widyat a ta, Waya g “e agai To to a , Tu tu a , Da “ara a Ber editasi , dalam Yusak Tridarmanto (Ed.), Serba-serbi di Sekitar Kehidupan Orang Jawa : Sebagai Konteks Berteologi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen dan F.Th UKDW, 2012), h. 71
6
17
baik.7 Pentingnya peranan wayang kulit bukan semata-mata terbatas sebagai suatu
tontonan yang menghibur saja.
II.1.1 Semar dan Sejarah Kemunculannya
Jika kita mencoba untuk menelusuri tokoh Semar dari sisi sejarah
kemunculannya, maka tokoh Semar pertama kali ditemukan pada karya sastra
zaman Majapahit dalam Kitab Sudamala (abad 15 – Majapahit). Namun hal ini tidak kemudian berarti bahwa sebelum masa itu, masyarakat Jawa tidak/ belum
mengenal tokoh Semar dalam dunia pewayangannya. Dalam Kitab
Gatotkacasraya (abad 12 – Kediri/Daha) yang ditulis Mpu Panuluh, telah
disebutkan nama : Jurudyah Prasanta Punta, yang dalam
perkembangannyakemudian menjadi Jodek Santa, Lurah Den Mas Prasanta, Smarasanta, Semarsanta dan akhirnya menjadi Semar atau Ki Lurah Semar.8
Salah satu versi utama dalam cerita Wayang Purwa, menyebutkan bahwa
Sang Hyang Tunggal yang memiliki istri bernama Dewi Wardani. Ia melahirkan
anak bukan dalam wujud seorang bayi, namun hanya sebutir telur. Melihat
kejadian tersebut, keduanya pun dilanda kebingungan serta kesedihan yang
teramat dalam. Tidak ada yang dapat diperbuat oleh Sang Hyang Tunggal selain
berusaha untuk menghibur istri yang dicintainya tersebut. Ketika hari telah
berganti menjadi hari, telur tersebut semakin membesar. Hal ini kemudian
7
Purwadi, Semar Jagad Mistik Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), h. 160 8 Hartono Haryoguritno,
18
membuat Sang Hyang Tunggal berpikir, bahwa ia harus meminta pertolongan
kepada ayahnya yaitu Sang Hyang Wenang.9
Dengan bimbingan Sang Hyang Wenang, telur tersebut dapat menetas dan
menjadi tiga bayi laki-laki. Bayi yang pertama yaitu berasal dari kulit telur
tersebut, diberi nama Ismaya. Bayi kedua yang berasal dari putih telur diberi nama
Antaga. Bayi ketiga yang berasal dari kuning telur diberi nama Manikmaya.
Seiring dengan berjalannya waktu, ketiga bayi tersebut tumbuh dan berkembang
menjadi dewasa serta memiliki kesaktian yang tinggi. Pada suatu ketika, mereka
berselisih paham mengenai siapa yang paling sakti dan paling pantas
menggantikan posisi ayahnya sebagai penguasa kahyangan. Ismaya dan Antaga
tidak mau mengalah dalam perdebatan tersebut. Sedangkan Manikmaya hanya
bisa terdiam menyaksikan kedua saudaranya berdebat sengit. Di tengah
perdebatan tersebut, Manikmaya menyarankan diadakannya pertandingan
menelan sebuah gunung. Peraturannya adalah barang siapa dapat menelan gunung
tersebut dan mengeluarkannya kembali, maka dialah yang menjadi pemenangnya,
serta berhak menjadi raja menggantikan ayahnya.10
Dari situ maka Antaga dan Ismaya berusaha untuk menelan gunung,
kemudian dari perbuatan yang dilakukan oleh Antaga dan Ismaya ini, ternyata
menimbulkan suatu gara-gara yang cukup besar. Dengan kejadian ini maka segera datanglah Sang Hyang Wenang menyelesaikan permasalahan tersebut dan
mengambil keputusan bagi ketiga anaknya itu. Keputusan yang dibuat oleh Sang
9
Tuti Sumukti, Semar : Dunia Batin Orang Jawa, (Yogyakarta: Galang Press, 2005), h. 20 10 Tuti Sumukti,
19
Hyang Wenang ini menyatakan bahwa yang akan menjadi raja para dewa adalah
Manikmaya. Sedangkan Antaga dan Ismaya diharuskan turun ke bumi untuk
membimbing keturunan dari Manikmaya. Sejak saat itu Sang Hyang Wenang
mengganti nama Antaga menjadi Togog dan Ismaya menjadi Semar. Dalam
perkembangan berikutnya, Semar sendiri kemudian memiliki banyak nama lain.
Banyaknya nama yang dimiliki oleh Semar ini terkait dengan lakon yang dimainkannya. Nama-nama tersebut antara lain Janggan Hasmarasanta,
Smarasanta, Semarsanta, Jnanabadra dan Badranaya, dan lain sebagainya.11
Dari kisah kemunculan Semar ini, masyarakat Jawa kemudian memandang
Semar sebagai sosok yang istimewa. Keistimewaan Semar dalam hal ini, bukan
hanya dikarenakan ia adalah sesosok dewa yang ngejowantah atau menjelma dengan wujud seorang abdi.12 Keistimewaan Semar juga terlihat karena ia
dikisahkan sebagai satu-satunya tokoh pewayangan yang mampu menelan sebuah
Gunung. Bagi masyarakat Jawa, keberadaan gunung memang dipandang sangat
penting serta memiliki makna khusus terkait kepercayaan yang dimilikinya.
Dalam hal ini masyarakat Jawa percaya bahwa gunung merupakan tempat
berkumpulnya roh-roh orang mati/roh-roh nenek moyang mereka. 13 Dimana
keberadaan roh-roh nenek moyang tersebut, dianggap memiliki kekuatan untuk
melindungi serta menolong mereka dari kesusahan.
Disebutkan bahwa Semar adalah satu-satunya tokoh pewayangan, yang
mampu menelan sebuah Gunung sekaligus. Dengan membaca kisah tersebut,
11 Tim penulis Sena Wangi,
Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 4: R S, (Jakarta : Sena Wangi, 1999), h. 1170
12
Purwadi, Semar Jagad Mistik Jawa, h. 70 13 Lucas Sasongko Triyoga,
20
maka kita akan diajak untuk memiliki sebuah pemahaman, bahwa Semar
merupakan sosok dewa atau pun sosok roh pelindung sejati, yang memiliki tugas
untuk melindungi dan menolong umat manusia. Roh-roh yang dipercaya akan
melindungi manusia dari segala marabahaya, tidak akan ada apa-apanya
dibandingkan dengan Semar. Semarlah sekarang yang menyimbolkan keberadaan
sosok roh pengawal/pelindung sejati. Dimana kehadirannya, dipercaya akan
senantiasa mengawal umat manusia, (terkhusus dalam hal ini masyarakat Jawa)
sampai selama-lamanya.14 Kehadiran Semar dalam hal ini, benar-benar dapat
menyimbolkan sebuah perlindungan. Perlindungan tersebutlah yang akan
menolong setiap manusia, ketika mereka berada dalam kesusahan serta
mengalami pergumulan dalam hidupnya.
Menurut perintah dari Sang Hyang Wenang, Antaga yang menjadi Togok
dan Ismaya menjadi Semar. Dalam melakukan tugasnya untuk melindungi serta
menolong umat manusia di dunia ini, Semar dan Togog dengan sengaja
mengambil wujud sebagai seorang abdi. Keduanya memiliki pembagian tugasnya
masing-masing ketika berada di bumi ini. Togog secara khusus bertugas untuk
meluruskan/mengingatkan para manusia yang memiliki perangai angkara. Hal ini
ia lakukan, agar manusia yang berperangai angkara dapat kembali kepada
kebenaran. Sekalipun Togog telah berusaha mengingatkan perilaku manusia, tiada satupun dari mereka yang mau menuruti nasehat darinya. Mereka yang tidak
menuruti nasihat Togog pada akhirnya akan tumpas oleh karena ngunduh wohing pakarti (menuai hasil perbuatan/perilakunya sendiri). Keberadaan manusia yang berperangai angkara ini dalam dunia pewayangan digambarkan melalui sosok
14 Clifford Geertz,
21
raksasa yang pada umumnya bersifat negatif/jahat. Pada kisah Mahabharata,
sosok raksasa yang berdiri pada sisi antagonis, umumnya dikenal melalui tokoh
Kurawa.15 Sedangkan pada kisah Ramayana, tokoh yang merepresentasikan
kejahatan umumnya dikenal melalui tokoh Rahwana.
Dalam dunia pewayangan, yang mendapatkan bimbingan dari Semar adalah
Pandawa. Pandawa yang merupakan gambaran sosok ksatria sejati ini dipercaya
tidak akan dapat berhasil menyelesaikan tugasnya serta mengalahkan
musuh-musuhnya, tanpa bantuan dari Semar. Tanpa bimbingan dan tuntunan yang
diberikan oleh Semar, maka dapat dipastikan bahwa ksatria tersebut tidak akan
dapat mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, sebenarnya kemenangan serta
keberhasilan Pandawa dalam melawan Kurawa itu bukan karena kekuatannya
sendiri melainkan karena mendapatkan bimbingan serta tuntunan dari Semar.
Pada dasarnya juga Semar memang memiliki peran utama sebagai pemberi
petunjuk kepada para satria dengan berbagai cara dalam menyikapi ketimpangan
yang dilakukan oleh manusia.16 Sekalipun kemunculan Semar dalam dunia
pewayangan hanyalah sebagai seorang abdi, semua tokoh dalam dunia
pewayangan tahu bahwa Semar adalah sosok yang paling bijaksana diantara tokoh
wayang lainnya.17 Kebijaksanaan yang dimiliki oleh Semar ini, bukan
dikarenakan didikan dari seorang guru yang mengajari kebijaksanaan semacam
itu. Dalam berbagai macam lakon yang ada, tidak ada yang menceritakan bahwa
15
Imam Setyobudi, Post-Human Togog and Semar: Dehumanization and Anti-Human in the Frame of Javanese Purwa Muppet “tory , dala Kasiya , dkk. ed. ,Proceeding the 1st International Conference of Arts and Arts Education in Indonesia (ICAAE) 2014, (Yogyakarta : UIN Press, 2014), h. 892
16
Ardian Kresna, Semar dan Togog: Yin dan Yang dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 105
17
22
Semar pernah mengecap pendidikan.18 Dia tidak pernah diajari oleh seorang guru
yang dianggap lebih bijaksana darinya, karena memang Semarlah simbol dari
kebijaksanaan itu sendiri.19
Kebijaksaan yang ada pada diri Semar dalam dunia pewayangan, membuat
Semar menjadi begitu dihormati oleh semua kalangan. Semar sangat dihormati
oleh para Pandawa dan bahkan semua dewa yang ada. Kedudukan Semar dalam
hal ini seolah-olah mengatasi keberadaan dewa yang lain, sekalipun wujud Semar
hanyalah seorang abdi.20 Dalam kemunculannya pada berbagai lakon wayang, Semar tidak jarang diposisikan sebagai sosok pemeran utama dalam kisah
pewayangan tersebut.
Status yang disandang oleh Semar sebagai seorang abdi ternyata tidak dapat
dipahami terbatas pada pekerjaannya sebagai pelayan semata. Peran Semar
sebagai seorang abdi akan lebih tepat jika dipahami sebagai sebuah penggambaran
untuk menunjukkan kewajiban yang dimiliki oleh Semar. Kewajiban tersebut
antara lain : membantu, membimbing, meneguhkan dan memberikan harapan
kepada para ksatria, untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam
hidupnya.21 Dimana permasalahan tersebut, pada akhirnya nanti digambarkan
bukan hanya terkait dengan keberadaan / kepentingan diri mereka (para ksatria)
saja.
Demi mengatasi kekacauan/permasalahan yang terjadi, maka para ksatria
membutuhkan sosok Semar yang dapat membimbing dan menguatkan mereka
18
Tuti Sumukti, Semar: Dunia Batin..., h. 77-80 19
Tuti Sumukti, Semar: Dunia Batin..., h. 83 20 Purwadi, Semar Jagad Mistik Jawa…, h. 65 21
23
menghadapi permasalahan tersebut. Dimana aspek bimbingan, tuntunan dan
segala yang dilakukan Semar, tentu tidak lepas dari berbagai prinsip-prinsip
dalam budaya Jawa yang tersirat didalamnya. Dengan demikian kemunculan
Semar dalam kisah pewayangan Jawa bukan semata-mata sebagai tokoh yang
marginal. Keberadaannya justru begitu sentral dalam masyarakat Jawa, yang dapat
menunjukkan berbagai macam nilai-nilai keutamaan, spiritualitas serta
pemahaman masyarakat Jawa. Dalam dunia pewayangan, Semar cukup banyak
terlibat dalam lakon-lakon yang dimainkan. Perbedaan kemunculan Semar dalam
lakon-lakon tersebut, tentu memiliki tujuan khusus dan tersirat makna-makna khusus, yang ingin disampaikan sesuai dengan lakon yang dimainkan. Dimana hal ini tentu juga terkait dengan nilai-nilai dan pandangan hidup yang dimiliki oleh
masyarakat Jawa. Seperti halnya dalam kemunculan Semar pada saat gara-gara
terjadi. Adegan yang menggambarkan kekacauan alam semesta ini, ternyata
memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan cita-cita dan tujuan hidup yang
selalu diperjuangkan oleh masyarakat Jawa. Sebab melalui adegan ini, akan terlihat bagaimana masyarakat Jawa memandang dunia dan kemudian bagaimana
mereka berusaha untuk menjaga keselarasannya/keharmonisan di dalamnya.22
Melalui adegan gara-gara ini kita juga akan diajak untuk melihat bagaimana keadilan dan kebenaran itu perlu untuk diperjuangkan, demi terciptanya
keharmonisan itu sendiri.
II.1.2 Gara-gara
Gara-gara merupakan salah satu adegan yang mempunyai peranan penting dalam keseluruhan alur lakon yang dimainkan dalam pewayangan. Keberadaan
22
24
adegan ini, benar-benar menjadi primadona dalam suatu pertunjukan wayang. Jika
kita melihat lebih jauh pada adegan gara-gara, sebetulnya yang ingin ditonjolkan pertama kali bukanlah aspek hiburannya saja. Memang benar bahwa kemunculan
para Punakawan, tidak jarang mengundang gelak tawa dari penonton, seperti halnya yang dilakukan oleh Gareng, Petruk dan Bagong. Namun sudah
seharusnyalah, hal ini menjadi tidak mengurangi pesan edukatif spiritual Jawa,
yang hendak disampaikan melalui tokoh Semar tersebut. Dalam berbagai
kesempatan yang dimiliki, para punakawan memang berusaha untuk menyajikan berbagai macam kritik sosial, dengan menggunakan bahasa-bahasa yang
sederhana.23 Dalam adegan gara-gara, Semar biasanya selalu digambarkan sebagai sosok yang mencerminkan martabat tinggi dan kebijaksanaan dalam
kebudayaan Jawa.24 Dalam hal ini, peranan Semar agaknya berbeda dengan
punakawan seperti Gareng, Bagong, Petruk. Semar tidak hanya digambarkan
sebagai sosok yang menyajikan kritik saja namun Semar juga tetap menampilkan
pesan edukatif dan kebijaksanaan di tengah adanya gelak tawa yang ditimbulkan
oleh Gareng, Petruk dan Bagong dalam adegan gara-gara.
Guritna dkk mengatakan bahwa gara-gara itu sendiri merupakan sebuah adegan lawak, yang dilakukan oleh para Punakawan di tengah-tengah konflik
yang sedang terjadi. Tujuan dari adegan ini adalah untuk mencairkan suasana,
agar situasi konflik yang tengah terjadi dapat segera diselesaikan dengan baik.25
Dalam hal ini, Guritno dkk., memberikan penekanan bahwa adegan gara-gara
merupakan sebuah penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi. Namun hal ini
23
Tuti Sumukti, Semar: Dunia Batin..., h. 66 24
Tuti Sumukti, Semar: Dunia Batin..., h. 67 25 Sartono Katodirdjo, dkk,
25
akan berbeda, jika kita melihat pendapat yang disampaikan oleh Hartoyo.
Menurut Hartoyo, gara-gara bukan hanya menunjuk pada suatu penyelesaian masalah, dalam suatu lakon pewayangan akan tetapi gara-gara sendiri merupakan salah satu adegan yang juga menunjukkan bahwa tengah terjadi
kekacauan/permasalahan besar di jagad ini.26 Senada dengan hal tersebut, Soegiono juga berpendapat bahwa gara-gara, merupakan penggambaran dari keadaan dunia yang sedang mengalami kekacauan yang akan dapat melanda
semua kalangan baik itu kepada manusia, dewa-dewa maupun alam semesta itu
sendiri.27 Setelah semua kekacauan dalam adegan ini dimunculkan maka
selanjutnya juga akan memunculkan harapan, bahwa permasalahan tersebut akan
selesai. Dimana harapan tersebut akan bertumpu pada kehadiran para Punakawan,
terkhusus dalam hal ini melalui tokoh Semar.
II.2 Konseling Masyarakat
Sebelum akan masuk pada pengertian tentang konseling masyarakat, maka
akan diberikan sedikit penjelasan mengenai apa itu konseling pastoral. Konseling
pastoral adalah dimensi pendampingan pastoral dalam fungsi memperbaiki bagi
yang membutuhkan, sehingga orang dapat membutuhkan pendampingan pastoral
seumur hidupnya tetapi konseling pastoral ketika mengalami krisis.28 Proses
konseling ini bisa dilakukan terhadap satu orang klien atau lebih dan tidak dapat
ditentukan berapa lama proses itu akan berhenti sebab konseling dilakukan sejauh
proses itu diperlukan. Jadi, dapat dipahami bahwa sebuah proses konseling tidak
26
Hartoyo, Gara-gara da Mu ul ya “e ar , Majalah Mawas Diri, Oktober 1979, (Jakarta: PT. Mandiri Bank), h. 50
27“oegio o, Pu akawa da Ga
ra-gara , dala Majalah Mawas Diri, Desember 1984, (Jakarta: PT. Mandiri Bank), h.34
28J. D. Engel,
26
berjalan terus-menerus melainkan hanya sejauh mana hal itu diperlukan sampai
pada saat konseli tidak lagi memerlukan konseling. Meskipun sebuah proses
konseling dapat saja berhenti sesuai kebutuhannya akan tetapi sebuah proses
pendampingan masih tetap bisa terus berjalan. Dari sini, selanjutnya akan
dipaparkan mengenai salah satu jenis konseling yaitu konseling masyarakat.
Konseling masyarakat adalah suatu jenis konseling yang menolong secara
komprehensif dan didasarkan pada dua kompetensi yaitu kompetensi multikultural
dan kompetensi keadilan sosial.29 Masyarakat disini dipahami secara berbeda,
tergantung cara pandang orang dalam memahaminya. Judith A. Lewis menyadur
pendapat Paisley (1996) yang mengatakan bahwa masyarakat yang dipahami
dalam pastoral masyarakat didefinisikan menurut sebagai berikut: 1) orang-orang
yang tinggal di suatu daerah geografis tertentu (misalnya, orang-orang pedesaan
versus perkotaan, pribumi versus pendatang); 2) sekelompok orang yang
berhubungan dengan perbedaan latar belakang budaya, etnis, atau ras; 3)
orang-orang yang saling ketergantungan dan masing-masing memiliki kesamaan satu
dengan yang lain sebagai anggota dari komunitas kategorial, professional maupun
fungsional yang lebih luas, yang disebut komunitas global; 4) kelompok atau
kumpulan orang yang termarjinalkan seperti orang yang memiliki penyakit kusta,
kaum LGBT, kaum disabilitas, kaum perempuan yang menjadi korban
trafficking.30
Definisi di atas merujuk pada masyarakat sebagai sistem yang memiliki
kesatuan, kontinuitas. Individu, kelompok, dan organisasi merupakan bagian dari
29
Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, (United States of America : 2011), h. 8
30 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
27
masyarakat. Masyarakat juga bagian dari individu, termasuk masyarakat yang
lebih besar. Masyarakat berfungsi sebagai media di mana individu dapat bertindak
dan mentransformasikan norma. Dengan demikian, seorang individu menjadi
milik lebih dari satu komunitas pada suatu waktu. Keluarga, gereja, sekolah,
kampus menjadi komunitas untuk masyarakat yang lebih besar, seperti lesbian,
gay, biseksual, transgender (LGBT), kaum disabilitas, kaum marjinalitas
perempuan konban trafficking dan anak-anak juga sistem sosial politik yang jauh lebih besar dan lebih kompleks.31 Dengan penjelasan tersebut maka individu
sebagai anggota masyarakat saling mempengaruhi secara langsung dan tidak
langsung secara positif maupun negatif. Asumsi berpikir seperti ini menjadi
alasan mengapa konseling masyarakat itu ada.
II.2.1 Model Dalam Konseling Masyarakat
Dalam konseling masyarakat, suatu perkembangan individu dan
masyarakat adalah sesuatu hal yang tidak bisa terlepas satu sama lain.
Sebagaimana suatu individu adalah yang membentuk masyarakat atau dengan
kata lain suatu masyarakat tidak terbentuk tanpa adanya individu-individu. Jika
dalam suatu masyarakat ditemukan individu yang membutuhkan pelayanan
khusus maka seorang konselor harus memiliki suatu cara tertentu dalam
menanganinya. Sedangkan, di samping hal itu konselor juga harus tetap
memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dari suatu masyarakat tempat
individu itu berada. Jadi, jika dalam suatu komunitas tertentu perlu untuk
memberi perhatian dan pertolongan kepada individu maka yang diperlukan adalah
31 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
28
sebuah strategi terfokus. Kemudian dalam masalah yang dialami suatu komunitas
maka konselor harus melakukan strategi berbasis luas dalam menyikapinya.
Tabel 1 : Gambar Model Konseling Masyarakat
Individu Kelompok
______________________________________________
Strategi terfokus Konteks multikultural Konsultasi hukum
Keadilan sosial Kolaborasi dalam komunitas
________________________________________________
Strategi berbasis luas Untuk perkembangan Untuk perubahan sosial
Untuk upaya pencegahan
________________________________________________
a. Memfasilitasi Pembangunan Manusia : Strategi Terfokus
Cara untuk menerapkan keterampilan dalam menjalankan strategi di
bagian ini adalah harus bisa memperlihatkan akan kesadaran konteks. Konteks
yang dimaksudkan disini adalah suatu konteks yang tidak hanya menyangkut
tempat tinggal seorang individu saja melainkan juga terkait dengan latar
belakangnya, mengenai masa lalunya, pendidikannya, komunitasnya, keluarga,
29
beberapa konteks tersebut dapat memperkuat kemampuan untuk menangani suatu
stres atau masalah pada seorang individu atau masyarakat.32 Pendidikan yang
dimaksudkan disini adalah suatu pengetahuan atau keterampilan dalam menyikapi
hal-hal yang bisa saja terjadi dalam suatu konteks tertentu seorang individu.
b. Memfasilitasi Pembangunan Manusia : Strategi Berbasis Luas
Suatu pendidikan pencegahan memungkinkan konselor masyarakat untuk
mendidik atau melatih anggota komunitas demi manfaat jangka panjang. Suatu
pendidikan preventif ditawarkan pada setiap anggota bahkan ketika mereka belum
memiliki masalah apapun. Tujuan dari strategi ini adalah untuk memfasilitasi
pembangunan manusia demi tujuan membantu masyarakat dalam mendapatkan
pengetahuan dan keterampilan baru yang berguna untuk menangani
tantangan-tantangan yang ada dalam kehidupan mereka.33 Hal ini merupakan upaya agar
seorang individu tidak cepat panik dan paling tidak memahami langkah awal
dalam menyikapi apa yang menjadi masalahnya sebelum suatu masalah tersebut
berkembang ke arah yang lebih serius dan berdampak ke beberapa aspek dalam
kehidupan seorang individu.
Dalam penekanannya dengan intervensi pencegahan, maka berarti
konseling masyarakat menggunakan pendekatan yang edukatif daripada
remedical. Untuk konselornya, konselor masyarakat memperhitungkan efek dari
lingkungan masyarakat kepada individu dan berusaha untuk memberdayakan
individu melalui layanan-layanannya juga dalam memberdayakan masyarakat
32
Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 15
33 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
30
secara keseluruhan.34 Ini salah satu kelebihan dari konseling masyarakat, berupaya
untuk memberikan pelayanan bahkan sebelum sebuah masalah terjadi.
c. Memfasilitasi Pengembangan Masyarakat : Strategi Terfokus
Konseling masyarakat memiliki model pelayanan langsung kepada suatu
komunitas yang memang berisikan tentang pendidikan preventif. Tindakan
pencegahan ini dapat berupa pelayanan langsung kepada konseli (dalam suatu
komunitas), pelayanan komunitas secara tidak langsung dan pelayanan tidak
langsung kepada seorang konseli (misal memberikan bantuan
hukum/advokasi).35Advokasi merupakan bagian integral dari proses konseling.
Ketika konselor menyadari faktor eksternal yang bertindak sebagai hambatan
suatu upaya pengembangan misalnya hambatan itu di luar kemampuan konselor,
maka mereka dapat mengupayakan bantuan contohnya melalui advokasi. 36 Tidak
dapat dihindari memang bahwa seorang konselor terlebih konselor dalam
masyarakat, pasti akan diperhadapkan pada dunia advokasi. Advokasi adalah yang
mengarah pada hal-hal fokus dalam konseling masyakat terutama jika suatu
masalah berkenaan dengan kompetensi keadilan sosial. Kompetensi keadilan
sosial ini merupakan salah satu dari dua kompetensi dalam konseling masyarakat
yang akan dipaparkan dalam bagian selanjutnya.
d. Memfasilitasi Pengembangan Masyarakat : Strategi Berbasis Luas
Dalam hal ini, konselor bertindak sebagai agen perubahan dalam sistem
yang diharapkan mempengaruhi klien yang paling langsung. Hal ini dikarenakan
34
David B. Hershenson dkk, Community Counseling, ..., h. 22 35
David B. Hershenson dkk, Community Counseling, ...,h. 27. 36Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
31
bahwa adanya beberapa masalah yang dimiliki oleh seseorang akan dapat
mempengaruhi orang-orang di lingkungan. Misalnya saja mereka yang memiliki
masalah dalam bidang ekonomi kemudian nekat untuk melakukan tindak
pencurian, maka hal itu akan berdampak ke lingkungannya. Ketika hal semacam
ini terjadi, konselor mengupayakan untuk melakukan tindakan advokasi tentu
meminta kepada bidang yang bersangkutan. Keahlian yang dimaksudkan disini
adalah dalam proses ini seorang konselor tidak hanya bekerja sendiri melainkan
harus melibatkan disiplin ilmu lain.37 Hal ini mengarah ke arah definisi yang
komprehensif akan peran konselor masyarakat. Dari sini jelas bahwa dalam
konseling komunitas ada kerangka kerja yang komprehensif didasarkan pada
kompetensi multikultural dan kompetensi keadilan sosial. Karena perilaku
manusia sangat dipengaruhi oleh konteks, konselor masyarakat sangat berupaya
menggunakan strategi yang memfasilitasi perkembangan yang sehat untuk
kliennya.
II.2.2 Kompetensi Dalam Konseling Masyarakat
Konseling masyarakat memiliki dua kompetensi dasar yaitu kompetensi
multikultural dan kompetensi keadilan sosial :38
II.2.2.1 Kompetensi multikultural :
Kompetensi multikultural meliputi kesadaran konselor akan nilai-nilai
budaya sendiri dan bias budaya, kesadaran konselor pada pandangan klien, dan
strategi intervensi sesuai dengan budaya. Peran budaya membantu dalam proses
37
Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 18
38 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
32
untuk mendefinisikan tujuan dengan memakai pengalaman hidup dan nilai
budaya, baik individu maupun kelompok, yang didukung secara menyeluruh.
Dalam hal ini budaya dipakai sebagai sebuah strategi yang berperan untuk
penyembuhan dan menyeimbangkan nilai individu dan kelompok dalam sistem
budaya yang ada.39 Budiono Herusatoto menyadur apa yang dikatakan
Koentjaraningrat dalam Simbolisme dalam Budaya Jawa mengatakan bahwa
wujud budaya yang ada dalam gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dan
sebagainya ada dalam pikiran setiap individu yang diekspresikan melalui
kelakuan berpola dari individu dan masyarakat dalam sistem sosial serta hasil
karya masyarakat.40 Sehingga dalam pola-pola tersebut konstruk individu dan
sosial melekat sistem nilai budaya dan hal yang berharga dari kehidupan adalah
nilai budaya yang hidup dalam individu dan kelompok. Alasan dari hal ini adalah
karena sistem nilai budaya menjadi pedoman yang memberi arah dan orientasi
dalam konseling masyarakat.41
Gagasan tentang sentralitas budaya telah diterima dan berhasil masuk ke
dalam praktik untuk melakukan intervensi dalam situasi trauma di masyarakat.
Prinsip-prinsip kompetensi budaya42 : 1. Kenali pentingnya budaya dan hormati
keragaman ; 2. Pertahankan profil komposisi budaya masyarakat yang ada.
(Faktor yang tercatat meliputi ras dan etnis, usia, jenis kelamin, agama,
pengungsi, status perumahan, pendapatan dan tingkat kemiskinan, persentase
39
Derald Wing Sue & David Sue, Counseling The Cultural Diverse, Theori and Practice (John Wiley & Sons, Inc, 2003), h. 16-18
40 Budiono Herusatoto,
Simbolisme dalam Budaya Jawa, (PT. Hanindita, 1984), h. 8 41
Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional (Jakarta: UIP, 1993) h. 3
42 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
33
penduduk yang tinggal di daerah pedesaan versus perkotaan, tingkat
pengangguran, bahasa dan dialek yang digunakan, tingkat melek huruf, jumlah
sekolah, serta jumlah dan jenis Bisnis.) ; 3.Merekrut pekerja bencana (voluntir)
yang mewakili masyarakat atau area Pelayanan ; 4. Menyediakan pelatihan
kompetensi budaya yang berkelanjutan untuk menjadi staf kesehatan mental
bencana, ; 5. Memastikan bahwa layanan dapat diakses, tepat, dan setara ; 6.
Kenali peran perilaku mencari bantuan, kebiasaan dan tradisi, dan Jaringan
pendukung alam ; 7. Libatkan pemimpin masyarakat dan organisasi yang
mewakili beragam kelompok budaya ; 8. Pastikan bahwa layanan dan informasi
bersifat kultural dan menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh klien ; 9.
Menilai dan mengevaluasi tingkat program
Kompetensi multikultural ini memiliki sepuluh karakteristik yaitu
RESPECTFULL43, yang terdiri dari : R-religi / identitas spiritual, E-ekonomi :
Latar belakang kelas (economy), S (sexual)-identitas seksual, Tingkat kematangan
Psikologis (psicologi), Identitas E-etnik / rasial, C-kronologis / perkembangan
tantangan, T (trauma) -berbagai bentuk trauma dan ancaman lainnya terhadap
rasa kesejahteraan seseorang, latar belakang dan sejarah keluarga- F (family),
U-karakteristik fisik yang unik, L (location)-lokasi tempat tinggal dan perbedaan bahasa. Sepuluh karakteristik ini yang membentuk kerangka kompetensi
multikultural.44 Berikut deskripsi sepuluh karakteristik yang ada dalam
kompetensi multikultural tersebut :
43
Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 53
44 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
34
a. Identitas Agama (R)
Karakteristik pertama dari RESPECTFULL sebagai karakter dalam
kompetensi multikultural berfokus pada cara individu dalam mengidentifikasi diri
dengan agama-agama yang ada. Agama pada umumnya merujuk ke suatu
kepercayaan seseorang terhadap kenyataan yang melampaui yang kelihatan serta
dapat memberi makna bagi kehidupan kepada individu. Identitas agama menjadi
salah satu komponen yang penting sebab melalui identitas agama seorang individu
akan bisa membangun makna dari pengalaman kehidupannya, mengidentifikasi
apa yang dialaminya, dan dapat mengatasi situasi yang penuh tekanan. Dari sini
maka penting bagi seorang konselor untuk menilai sejauh mana faktor ini
mempengaruhi perkembangan psikologis seorang individu/ konseli dalam sebuah
proses konseling yang berlangsung.45
b. Latar Belakang Kelas Ekonomi (E)
Suatu sikap, nilai, cara pandang terhadap dunia, dan perilaku manusia
dipengaruhi oleh latar belakang kelas ekonomi. Misalnya saja tentang kemiskinan,
keadaan ini jelas memiliki efek atau memberi efek terhadap keadaan fisik dan
psikologis seseorang. Dalam hal seperti ini seorang konselor harus sadar tentang
bagaimana faktor ekonomi mempengaruhi kesehatan psikologis dan kesejahteraan
45 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
35
pribadi seorang klien.46 Karakteristik ini merupakan salah salah satu hal yang
biasanya kurang mendapatkan perhatian konselor untuk konselinya, padahal
faktor ini bisa mempengaruhi seorang individu secara fisik dan psikologis. Faktor
kelas ekonomi seseorang bisa mempengaruhi perilaku dan cara berpikir
seseorang.
c. Identitas Seksual (S)
Identitas seksual merupakan salah satu karakteristik yang paling
kompleks. Istilah identitas seksual berhubungan dengan identitas gender
seseorang, jenis kelamin, peran, dan orientasi seksual. Istilah identitas gender
mengacu secara spesifik pada perasaan subyektif individu tentang apa yang harus
dilakukan sebagai laki-laki atau perempuan. sedangkan identitas seksual
seseorang dipengaruhi oleh orientasi seksual seseorang. Pada umumnya, orientasi
seksual ini mencakup konsep seperti biseksualitas, heteroseksualitas, dan
homoseksualitas. Biseksualitas adalah orientasi seksual yang mengacu pada
individu yang menunjukkan ketertarikan seksual baik terhadap pria dan wanita.
Heteroseksualitas, sebaliknya, berhubungan dengan individu yang ketertarikan
seksualnya diarahkan pada orang-orang yang lawan jenis kelamin. Kemudian
untuk homoseksual, merupakan istilah untuk mengidentifikasi individu yang
orientasi seksualnya mengarah pada orang-orang dari jenis kelamin yang sama.
Sehubungan dengan stereotip negatif terhadap istilah homoseksualitas nampaknya
istilah seperti gay laki-laki dan lesbian dianggap lebih dapat diterima sebagai
46Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
36
salah satu dimensi identitas seksual seseorang.47 Melihat hal ini maka dapat
dikatakan bahwa di luar heteroseksual, rupanya homoseksual lebih dapat diterima
bila dibandingkan dengan biseksual.
Dengan adanya kenyataan beragamnya identitas seksual tersebut, maka
praktek konseling mengharuskan adanya penerimaan identitas seksual dari
seorang klien. Namun, mengingat pandangan dan reaksi sangat negatif yang
dimiliki oleh banyak orang terhadap pendukung feminis dan gay / lesbian /
biseksual, maka konselor harus berusaha mengupayakan proses konseling yang
tidak hanya terbatas pada suatu tindakan penerimaan. Akan tetapi harus lebih
daripada itu, yakni memberikan pendidikan, konsultasi, advokasi, dan
pengembangan komunitas yang dirancang khusus untuk mendorong perubahan
yang bertujuan untuk perlakuan lebih hormat terhadap orang-orang dengan
berbagai identitas seksual.48 Dalam hal ini konselor tidak hanya diharapkan
sekadar untuk menghormati beragamnya identitas seksual, melainkan harus
memberikan bentuk perhatian lain seperti yang sudah disebutkan tadi. Fungsi dari
beberapa hal yang harus diberikan tersebut tidak lain adalah untuk memberikan
bantuan tidak hanya ketika mereka mengalami msalahh saja melainkan untuk
memberikan pengarahan bagaimana cara menyikapi sendiri tentang permasalahan
yang mereka alami. Untuk itulah mengapa misalnya bantuan seperti advokasi dan
pendidikan harus diberikan.
d. Kedewasaan Psikologis (P)
47
Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 56
48 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
37
Seorang konselor pada umumnya bertemu dan membantu klien yang
memiliki identitas sama misalnya saja sama dalam hal agama, etnis, dan identitas
seksual. Kesamaan dentitas juga ada dalam karakteristik demografis misalnya
usia, jenis kelamin, dan kelas ekonomi. Namun di dalam kesamaan identitas yang
seperti itu, ada hal yang tampaknya sangat berbeda antara individu dan individu
lain atau konselor dan konseli yaitu perbedaan secara psikologis. Teori
perkembangan melihat perkembangan psikologis sebagai sebuah proses dimana
individu mengalami perubahan cara berpikir, dari cara yang sederhana ke cara
yang lebih kompleks tentang diri dan pengalaman hidup mereka. Tahapan ini
mencerminkan apa yang dianggap unik dalam pola pikir psikokultural, yang
mewakili sikap dan keyakinan yang berbeda dalam memandang diri dan dunia.
Saat berhadapan dengan klien, maka konselor dalam hal ini diharapkan mampu
melihat bagaimana keadaan psikologis klien dengan tujuan supaya dapat dengan
tepat membantu klien menghadapi masalahnya. Penting juga dalam hal ini
seorang konselor juga meluangkan waktu untuk bercermin pada perkembangan
diri sendiri, supaya konselor benar-benar dapat membantu mmenyelesaikan
masalah klien apabila klien memiliki tingkat kematangan psikologis yang lebih
tinggi daripada konselor.49 Melihat dan bercermin pada diri sendiri penting
dilakukan oleh konselor supaya konselor juga mengetahui dimana letak atau
tingkat perkembangan/ kematangan psikologisnya. Hal ini penting dilakukan
supaya konselor juga dapat menerima dan menyikapi cara pandang konselor dan
konseli yang mungkin berbeda. Selain itu juga supaya konselor tidak memaksakan
cara berpikirnya kepada cara berpikir konseli dalam menghadapi masalah.
49 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
38
e. Identitas Etnis (E)
Berbicara mengenai etnis, ada sebuah perbedaan psikologis yang sangat
besar diantara orang-orang yang berasal dari kelompok etnis yang sama. Adanya
variasi psikologis biasanya disebut sebagai perbedaan dalam kelompok.
Mengingat variasi dalam kelompok yang terutama dimanifestasikan di antara
orang-orang dari kelompok etnis yang sama, maka penting bagi konselor untuk
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan guna menilai
secara akurat perbedaan penting ini dan meresponnya secara efektif serta memiliki
cara hormat terhadapa kerangka berpikir mereka.50 Ternyata keadaan psikologis
seseorang berbeda juga bisa terjadi dalam suatu kelompok etnis yang sama. Hal
ini semakin membuktikan bahwa setiap orang memliki keunikannya
masing-masin yang dipengaruhi oleh keadaan tempat tinggal juga identitas etnisnya. Jadi
tidak hanya yang berbeda etnis saja yang memiliki perbedaan psikologis, dalam
kesamaan etnis juga terdapat perbedaan psikologis. Ini dipengaruhi juga oleh
pengalaman yang dijumpai oleh setiap individu.
f. Tantangan Kronologis Perkembangan (P)
Konselor atau praktisi harus terbiasa dengan tantangan perkembangan ini,
karena melalui tahapan perkembangan ini maka ada beragam karakteristik yang
umumnya terkait dengan masa kanak-kanak, masa remaja, dan dewasa. Perubahan
spesifik individu bisa dilihat dari perkembangan masa kanak-kanak sampai
dewasa, meliputi pertumbuhan fisik (misalnya perubahan tubuh/ fisik dan
perkembangan keterampilan motorik), kemunculan kompetensi kognitif yang
50Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
39
berbeda (misalnya perkembangan dalam hal perseptual, bahasa, cara belajar,
memori, dan jenis keterampilan berpikir lainnya), dan manifestasi dari berbagai
keterampilan psikologis (misalnya kemampuan untuk mengelola emosi seseorang
dan kompetensi interpersonal yang lebih efektif) yang terjadi berakhir waktu.51
Oleh karena itu model konseling masyarakat ditujukan untuk membina kesehatan,
kesejahteraan, dan martabat orang secara keseluruhan dari segala usia dan
terutama anak-anak, remaja, dan orang tua yang rentan terhadap sejumlah masalah
sebagai akibat dari mengalami jenis stres dan lingkungan yang mereka hadapi
dalam kehidupan mereka.
g. Trauma dan Ancaman Lain terhadap keamanan seseorang (T)
Trauma dan ancaman terhadap kesejahteraan seseorang termasuk dalam
karakteristik kompetensi multikultural yang harus diperhatikan. Trauma adalah
adanya tekanan dan cara-cara kompleks dimana munculnya situasi stres yang
menempatkan orang pada risiko dan bahaya psikologis. Trauma biasanya terjadi
apabila stres yang dialami individu dalam kehidupan mereka melebihi
kemampuan mereka dan mereka cenderung mengatasinya dengan cara yang
konstruktif. Individu yang mengalami stres dalam jangka waktu yang lama akan
terganggu pula keadaan dan perkembangan psikologisnya. Masalah seperti itu
sering terjadi dengan berbagai orang yang mungkin terpinggirkan dan tidak
mendapatkan perhatian atau bahkan karena keperbedaannya dengan bagian dari
kelompok dalam suatu masyarakat. Konselor masyarakat sering diminta untuk
bekerja dengan kelompok orang-orang yang rentan, termasuk orang miskin,
51 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
40
tunawisma, dan pengangguran; individu dewasa dan anak-anak dalam keluarga
yang mengalami perceraian; remaja hamil; individu dengan virus HIV atau AIDS;
penderita kanker; dan individu yang menjadi korban berbagai macam bentuk
rasisme, seksisme, dan penindasan budaya. 52 Dari hal ini maka terlihat bahwa
konselor masyarakat harus benar-benar memberikan bantuan kepada mereka yang
tergolong dalam kategori lemah dan menjadi korban supaya adanya trauma dan
ancaman kepada seorang individu dapat dicegah.
h. Latar Belakang Keluarga (F)
Seorang konselor diharapkan mampu untuk melakukan hal-hal berikut ini :
(a) memahami hal unik yang ada pada klien dari sistem keluarga yang beragam
dan (b) menumbuhkan perkembangan yang sehat dari beragamnya unit keluarga,
tentu disini belajar tentang asal kekuatan seorang individu yang sangat bisa
dipengaruhi darimana ia berasal. Dari adanya beragam sistem keluarga ini,
seorang praktisi dalam hal ini konselor didorong untuk tidak bias dalam melihat
tentang kehidupan suatu keluarga sebab jika tidak maka akan dapat berdampak
negatif pada proses.53 Jadi ketika menghadapi klien dengan segala masalahnya
seorang konselor tidak bisa begitu saja menilai dengan seenaknya tentang klien.
Konselor juga tidak bisa begitu saja menyamakan perlakukan kepada klien
sekalipun beberapa klien memiliki kesamaan masalah. Latar belakang keluarga
menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi cara berpikir dan cara klien
melihat serta menghdapi masalahnya.
52
Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 59
53 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
41
i. Karakteristik Fisik yang Unik (U)
Karakteristik RESPECTFULL juga menekankan pentingnya peka pada
keberadaan citra ideal dalam masyarakat misalnya kecantikan ideal dalam
penilaian masyarakat pada umumnya. Hal ini akan memberikan dampak negatif
pada perkembangan psikologis banyak individu dengan karakteristik fisik yang
mungkin tidak sesuai dengan pandangan sempit keindahan yang dipupuk oleh
budaya dominan terhadap tubuh. Saat bertemu dengan klien yang memiliki fisik
unik dan mungkin menjadi sumber stres dan ketidakpuasan pribadi, maka penting
bagi konselor untuk meyakinkan bagaimana mitos keindahan fisik ideal bisa
menyebabkan banyak orang menginternalisasi pandangan negatif dan stereotip
tentang diri mereka sendiri, dan itu bukanlah hal yang penting. Saat konselor
bertemu dengan individu yang perkembangan psikologisnya negatif karena
dipengaruhi oleh beberapa aspek fisiknya yang unik, konselor harus dapat
membantu mereka dalam memahami keberadaannya dan menanggapi pemikiran
serta rasa harga diri seseorang. Konselor harus sangat peka dan berpengetahuan
luas tentang masalah yang berkaitan dengan jenis tantangan fisik dalam hidup
klien. Perbedaan fisik dan pandangan ideal masyarakat akan fisik merupakan
hambatan untuk mewujudkan potensi pribadi dan rasa aman dari individu. Oleh
karenanya konselor perlu sekali untuk peka akan hal-hal sensitif semacam itu.54
Gambaran ideal yang sudah dibentuk masyarakata pada umumnya
memang mendiskriminasi mereka yang tidak masuk dalam kriteria ideal itu.
Misalnya saja seperti gambaran cantik adalah mereka yang bertubuh tinggi
54 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
42
berambut lurus dan berbadan langsing berkulit putih, ini akan membuat individu
di luar karakteristik itu merasa minder juga ada yang berupaya membuat diri
menjadi ideal. Hal-hal seperti kriteria-kriteria dan nilai ideal pada umumnya itu
tidak dimiliki oleh semua orang, oleh karena itu bagi yang berkarakteristik
berbeda dapat membentuk psikologis yang negatif pada seseorang. Untuk itu
konselor dalam hal ini memiliki tanggung jawab dalam membuat klien yang unik
tetap memiliki citra dan gambar diri yang baik, tidak harus seseuai dengan kriteria
ideal yang dibuat masyarakat pada umumnya. Ini hanya salah satu kriteria ideal
yang dapat membuat seseorang yang unik menjadi minder dan masih banyak lagi
kriteria serta penilian akan hal yang ideal hasil bentukan masyarakat lainnya.
j. Lokasi Tempat Tinggal dan Perbedaan Bahasa (L)
Berbicara tentang wilayah geografis, keberadaannya lokasitempat tinggal
dibedakan menurut jenisnya. Orang-orang yang berbeda tempat tinggal juga
ditentukan dalam beda pola iklim, medan geologi, dan jenis pekerjaan serta
industri pada suatu lokasi. Saat seorang praktisi bekerja dengan orang-orang dari
daerah geografis yang berbeda dengan daerahnya sendiri (termasuk pedesaan,
perkotaan, dan pinggiran kota) maka penting untuk merenungkan kemungkinan
stereotip dan bias yang mungkin mereka lakukan terhadap orang dan lokasi yang
berbeda tersebut. Hal ini juga sangat penting untuk kepentingan saat bersama
dengan orang yang menggunakan dialek atau bahasa yang berbeda. Seperti halnya
komponen lain yang ada dalam karakteristik RESPECTFUL, penilaian diri
semacam ini sangat penting karena bila terjadi bias tentang klien dari berbagai
43
menyebabkan hasil negatif dalam proses konseling.55 Jika tidak memahami
karakteristik dari individu yang berasal dan latar tempat tinggaldan bahasa yang
berbeda maka bisa saja seorang konselor justru menjadi tidak tepat dalam
menyikapi apa yang menjadi masalah dari seorang klien. Di luar itu, mungkin saja
konselor akan menyakiti konseli misalnya saja dengan kata-kata dan
kebiasaan-kebiasaan konselor yang berbeda dari konseli.
II.2.2.2 Kompetensi Keadilan Sosial :
Apa maksudnya ketika dikatakan bahwa konseling masyarakat
berorientasi pada keadilan sosial? Maksud daripada konseling masyarakat
berorientasi pada keadilan sosial ini adalah konselor harus melihat klien mereka
dalam konteks, tahu apa yang klien butuhkan dalam lingkungan dan masyarakat.
Keadilan sosial melihat dan memastikan adanya partisipasi penuh seorang
individu dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi mereka yang telah
terkucilkan berdasarkan ras / etnis, jenis kelamin, usia, cacat fisik atau mental,
pendidikan, orientasi seksual, status sosial ekonomi, atau karakteristik lain.
Keadilan sosial juga didasarkan pada keyakinan bahwa semua orang memiliki hak
untuk mendapatkan perlakuan yang setara, dukungan atas hak asasi setiap
individu, dan alokasi yang adil akan sumber daya masyarakat. Dengan harus
diperhatikannya keadilan sosial maka disana menunjukkan adanya
kenyataan-kenyataan yang mengindikasikan suatu ketidakadilan sosial. Untuk definisi
ketidakadilan sosial itu sendiri, yang pertama adalah sebagai penolakan atau
pelanggaran ekonomi, sosial budaya, politik, sipil, atau hak populasi atau
55 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
44
kelompok tertentu dalam masyarakat. Definisi kedua tentang ketidakadilan sosial,
mengacu pada kebijakan atau tindakan yang mempengaruhi kondisi sosial.56
Suatu perkembangan individu dan pembangunan masyarakat adalah hal yang
saling terkait. Disinilah letak tanggung jawab dari konselor yang bergerak di
ranah konseling masyarakat, yaitu melayani klien secara langsung dan bekerja
untuk membangun lingkungan. Dalam hal ini, maka seorang konselor
menggunakan strategi terfokus yang memenuhi kebutuhan individu tertentu atau
kelompok dan strategi berbasis luas yang mempengaruhi populasi umum. 57
Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa salah satu tujuan dari konseling
masyarakat terkhusus dengan kompetensi keadilan sosial adalah untuk
memfasilitasi pembangunan manusia dan masyarakat.
II.2.2.2.1 Kompetensi Keadilan Sosial Untuk Sebuah Krisis dan Yang
Termarjinalkan
a. Keadilan Sosial Untuk Sebuah Krisis
Apa sebenarnya krisis itu, mengapa seseorang dengan krisis harus
ditolong? Krisis adalah sebuah fase dalam kehidupan seseorang ketika cara-cara
normalnya menangani dunia tiba-tiba terganggu. Krisis pribadi bisa berawal dari
adanya perubahan cara seseorang melihat dan menangani apa yang menimpanya.
Perbedaan tingkat krisis pada individu atau kelompok mungkin ada hubungannya
dengan tingkat keparahan atau sejauh mana situasionalnya stres yang dialami
berhubungan dengan transisi kehidupan yang mungkin terjadi. Jika seorang
56
Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 12
57 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
45
individu mengalami kesulitan dalam menghadapi transisi kehidupannya maka
konselor dan klien mungkin harus mengejar strategi pencegahan krisis. Tapi kalau
individu telah menjadi korban kejahatan atau terkena penyakit tak terduga, dalam
hal semacam ini proses konseling akan dilakukan untuk pencarian cara
penanganan.58
Konseling masyarakat memang adalah sebuah konseling yang melayani
untk sebuah komunitas, bukan hanya untuk individu-individu. Akan tetapi yang
perlu diingat adalah dalam sebuah komunitas tentunya ada individu-individu. Hal
lain yang dapat diperhatikan adalah bahwa dalam suatu komunitas tertentu, tentu
setiap orang tidak sama dalam melihat suatu permasalahan. Disini yang perlu
ditekankan lagi bahwa konseling masyarakat tidak hanya memberikan suatu
pendampingan pasca terjadinya suatu masalah melainkan juga memberikan
pendampingan untuk membekali orang tentang bagaimana cara mengahadapi hal
tidak terduga yang dapat terjadi di depan dan di luar kendalinya. Sama seperti
krisis di seluruh masyarakat yang memiliki potensi untuk mendewasakan
pertumbuhan psikologis, begitu juga krisis yang dialami oleh individu dalam
masyarakat tersebut. Bila seseorang memiliki dukungan sosial yang kuat, dan rasa
memiliki kekuatan pribadi, maka dia memiliki cara yang dibutuhkan untuk
menahan stres. Bila seseorang kekurangan akan hal tersebut, dia mungkin bisa
merespons krisis dengan meremehkan pilihan yang mungkin tersedia di depan
mata, menjadi depresi, atau bahkan bisa memiliki pikiran untuk bunuh diri.
Kerangka konseling masyarakat mencakup strategi praktis untuk campur tangan
58 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
46
dengan klien dalam krisis dan menerapkan program pencegahan bunuh diri.59 Jika
tidak maka mereka yang mengalami krisis lama biasanya akan mengalami efek
negatif pada kesehatan fisik individu dan kesehatan psikologisnya.60 Akan tetapi
disini jalan keluar tidak selalu tergantung pada konselor. Disinilah fungsi
pemberdayaan yaitu konselor harus memiliki cara sebagai strategi terfokusnya
dalam memberdayakan klien keluar dari masalahnya. Jadi memang akan sangat
tergantung pada cara individu menanggapi krisis khusus mereka, juga tergantung
dari kematangan psikologis mereka.
a.1 Tahapan Krisis
Pada tahap pertama dalam krisis, seseorang dihadapkan pada kejadian baru
atau tak terduga yang menyebabkan kecemasan, depresi, dan / atau jenis stres
lainnya. Kedua, seseorang sering menemukan bahwa metode pemecahan masalah
mereka yang biasa tidak bekerja. Ketiga, ini Menyebabkan kebanyakan orang
mencoba cara baru dalam menghadapi masalah langsung. Akhirnya, individu akan
muncul lebih kuat jika pendekatan baru itu efektif atau pengalaman terus berlanjut
dan bahkan mungkin tingkat stres lebih besar dari sebelumnya jika pendekatan
baru tidak efektif. Dalam sebuah krisis, kemudian, ketepatan waktu intervensi
sangat penting. Intervensi dapat diberikan melalui penyukuhan. Penyuluhan
semacam ini tentu saja bersifat sementara; Ini bertujuan untuk membantu klien (a)
kembali pada rasa kontrol atas kehidupan mereka dan (b) mengembangkan
59
Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 93
60 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
47
sumber daya yang mereka butuhkan untuk sebuah tingkat kesehatan setelah krisis
telah berlalu.61
a.2 Langkah penanganan sebuah krisis
Ada beberapa langkah dalam menangani seorang konseli dengan krisis :
62
1.Melihat sifat dan jenis krisis. Langkah pertama konselor adalah konselor harus
belajar sebanyak mungkin tentang apa yang memicu krisis, apa cara yang telah
dicoba, dan pola apa dan bagaimana untuk mengatasi individu (tentu setelah
mengetahui pemicu sebuah krisis) ; 2. Membantu klien mengklarifikasi masalah.
Seperti disebutkan sebelumnya, klien dalam krisis biasanya sulit untuk membuat
penilaian yang realistis terhadap isu-isu utama terkait dengan krisis mereka.
Konselor dapat membantu klien membingkai masalah secara konkret dan realistis
; 3. Meyakinkan bahwa masalah dapat dikendalikan. Individu dalam krisis
biasanya merasa terbebani dengan tuntutan yang harus mereka hadapi serta
keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan pribadi ; 4. Identifikasi sumber
pendukung tambahan: Saat klien bersiap menghadapi krisis, konselor harus
mendorong mereka untuk mengidentifikasi sumber dukungan sosial dari anggota
keluarga, teman, dan lain-lain guna menjangkau klien secara emosional ; 5.
Identifikasi kekuatan pribadi klien: Dalam sebuah krisis, individu bisa kehilangan
pandangan mereka sendiri teruatama tentang kekuatan diri mereka sendiri ; 6. Gali
keadaan klien: Biasanya, krisis membangkitkan emosi yang dalam. Konselor bisa
61
Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 95
62 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
48
menangani klien dengan menggali perasaan mereka, ini paling efektif jika mereka
bisa mengenali dan mengekspresikan perasaannya ; 7. Kembangkan strategi
mengatasi situasi: Konselor harus bekerja untuk meningkatkan kemampuan
pemecahan masalah klien. Strategi yang digunakan selama fase konseling ini
mirip dengan yang digunakan klien yang tidak masuk krisis. Namun, klien dalam
krisis membutuhkan arah yang konkret dan dukunganan emosional yang besar
saat mencoba strategi pemecahan masalah baru ; 8. Perencanaan pencegahan
krisis: Saat klien kembali ke tingkat yang kurang stres, konselor dapat mendorong
mereka untuk mengambil stok situasi krisis dan mengidentifikasi kemungkinan
cara untuk mencegah masalah.
b. Penjangkauan klien Tertekan dan marjinal
Saat seseorang menghadapi stres di lingkungan maka mereka
membutuhkan pertolongan yang praktis, positif, dan memberdayakan. Terkadang
seseorang dipaksa untuk berurusan dengan tekanan yang benar-benar tak terduga,
baik yang disebabkan oleh krisis pribadi atau dengan bencana yang
mempengaruhi seluruh masyarakat. Apapun penyebab stres, seseorang yang
sedang stres mungkin merasa pesimistis, tidak percaya diri atau bahkan tidak
terpikirkan untuk mencari penolong. Untungnya, model konseling masyarakat,
memiliki penekanan pada penjangkauan, pemberdayaan, dan konteks
masyarakat.63 Orang yang terpinggirkan relatif hanya memiliki sedikit kontrol atas
hidup mereka dan sumber daya yang tersedia bagi mereka. Mereka yang
termarjinalkan sering menerima sikap publik yang negatif. Kesempatan mereka
63 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,
49
untuk membuat kontribusi dalam kehidupan sosial mungkin terbatas dan mereka
cenderung memiliki harga diri dan rasa percaya diri yang rendah.64 Dengan
demikian, maka konseling masyarakat dengan kompetensi keadilan masyarakat
sangat perlu diperhatikan untuk penanganan atau untuk menanggapi keadaan klien
yang tertekan dan marjinal ini. Akan tetapi kompetensi juga tidak bisa dilupakan
untuk penjangkauan ini sebab sebuah keadaan klien yang tertekan dan
termarjinalkan tetap perlu pengidentifikasian dalam banyak karakteristik seperti
yang terkandung dalam karakteristik respectfull.
II.3 Seksualitas dan Sejarah LGBT
Bagian ini perlu untuk dituliskan sebab kedua teori yang penulis tuliskan
di bab ini adalah teori yang akan digunakan dalam mengkaji tema ini. Tema
tersebut yaitu berkenaan dengan LGBT dan permasalahannya yang disini secara
khusus tentang adanya diskriminasi terhadap LGBT seperti yang telah terpapar
dalam latar belakang di bab satu yang kemudian melahirkan keinginan penulis
untuk menulis upaya persamaaan hak LGBT dari perspektif Semar yang
kemudian akan ditinjau dari konseling masyarakat. Untuk itu penulis ingin
menuliskan mengenai LGBT dalam bagian ini.
Lingga Tri Utama, dalam Seksualitas Rasa Rainbow Cake membedakan konsep gender dan seksualitas. Baginya gender adalah suatu yang dikonstruksi
oleh sosial. Gender dibentuk oleh dan disosialisasikan dalam masyarakat dan
budaya tertentu. Misalnya perempuan harus lemah lembut dan laki-laki tidak
boleh menangis atau cengeng. Sedangkan seksualitas adalah suatu aspek inti
64 Carolyn Kagan,
Community psychological perspectives and counselling psychology.
50
manusia sepanjang hidupnya. Seksualitas meliputi seks atau jenis kelamin
biologis, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan,
kemesraan dan reproduksi.65 Lingga mencoba menyajikan pemaparan bahwa
seksualitas terbagi dalam empat dimensi : (1) dimensi biologis, dimana berkaitan
dengan organ reproduksi dan organ seksual, (2) dimensi psikologis, berkaitan
dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran,
emosi, (3) dimensi sosial, berkaitan dengan bagaimana seksualitas muncul dalam
hubungan antar manusia dan juga bagaimana pengaruh lingkungan dalam
membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya mempengaruhi perilaku
seksual, (4) dimensi budaya, yang menunjukkan bahwa seksualitas merupakan
bagian, mempengaruhi dan dipengaruhi, aspek-aspek lain dalam masyarakat
seperti sejarah, ekonomi, politik, etika, hukum dan agama.66
Anne K. Hersberger dalam Seksualitas Pemberian Allah mengatakan bahwa seksualitas adalah bagian integral dari keberadaan kita.67 Seksualitas
meliputi keseluruhan hidup kita. Bagian yang integral dari keberadaan manusia
ini, menurut Hersberger seksualitas juga merupakan pemberian Tuhan. Pemberian
seksualitas itu, sama seperti pemberian-pemberian lainnya, dimaksudkan untuk
menjadi sumber kebahagiaan dalam hidup.68 Seksualitas sebagai pemberian dan
untuk kegembiraan hidup ini justru seringkali menimbulkan permasalahan.
Seksualitas juga seolah menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan sembarangan.
Menurut catatan sejarah, Pada awal abad ke-17, kegiatan seksual tidak ditutupi.
65 Lingga Tri Utama,
Seksualitas Rasa Rainbow Cake, h. 6 66
Lingga Tri Utama, Seksualitas Rasa Rainbow Cake, h. 6-7 67
Anne K. Hersberger, Seksualitas Pemberian Allah, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008), h. 9
68
51
Ukuran untuk tingkah laku vulgar, jorok, tidak santun sangat longgar jika
dibandingkan abad ke-19.69
Alicia Izharuddin mengatakan bahwa menulis sejarah seksualitas
non-normatif dalam konteks non-Barat menyajikan berbagai tantangan metodologis
dan teoritis. Dalam kasus Indonesia, kurangnya ketersediaan bahan
mendokumentasikan masalah seksualitas masa lalu menjadi masalah utamanya.
Pemeriksaan yang cermat dari struktur sejarah sebagai wacana tidak hanya
memperhitungkan kontinuitas saja tetapi juga menyoroti hal yang tereduksi oleh
kekhususan budaya dan sejarah dari sekarang.70 Alicia menuliskan mengenai
pengenalan konvensional untuk sejarah seksualitas Indonesia ternyata menyajikan
teks Jawa dan naskah kolonial sebagai bukti awal keanekaragaman seksual.71
Salah satu sumber penting adalah Serat Centhini, sebuah puisi panjang yang
ditulis pada tahun 1616. Sebuah puisi yang terdiri dari deskripsi rinci dari sodomi,
fellatio, masturbasi, hubungan multiple-mitra, dan transvestisme. Sementara
homoseksualitas laki-laki ditampilkan sebagai sebuah masalah, namun justru
disana menunjukkan fakta bahwa keberadaannya menjadi bagian dari budaya
seksual Jawa yang berwarna-warni.72 Dalam bagian selanjutnya tulisan ini akan
mencoba melihat seksualitas di Barat dan di Indonesia, terutama yang berkaitan
dengan keberagaman orientasi seksual.
II.3.1 Sejarah LGBT di Barat
69
Michel Foucault, La Volonté de Savoir - Histoire de la Sexualité, terj: Rahayu S. Hidayat, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 18
70
Alicia Izharuddin, dalam Inter-Asia Cultural Studies, 2013, Vol. 14, No. 4, 538–550, h. 539
71 Alicia Izharuddin, dalam
Inter-Asia Cultural Studies, h. 540
72
52
Berbicara mengenai keberagaman seksualitas, secara khusus dalam bagian
ini akan dibahas mengenai homoseksual (gay dan lesbi), transgender dan
biseksual. Ketiganya merupakan keberagaman dalam hal orientasi seksual, sebab
pada umumnya orang menganggap bahwa yang “normal” adalah heteroseksual.
Dalam masyarakat jaman Yunani Kuno, cinta homoseks dianggap ideal dan
dilembagakan. Terdapat bukti kuat bahwa Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain),
sang penakluk dari Macedonia itu, lebih menyukai hubungan emosional-seksual
dengan sahabat maupun budak laki-lakinya.73 Mitologi Yunani penuh dengan
kisah hubungan percintaan sesama jenis kelamin, seperti antara Zeus dan
Ganymede, Herakles dan Iolaus (Hylas), dan Apollo dan Hyakinthus.74 Agama
Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi (Yudaisme) memang mempunyai
pandangan terhadap seks yang oleh sejarahwan seksualitas Vern L. Bullough
dinamakan sex-negative. Seks hanyalah bertujuan untuk prokreasi (mendapatkan
keturunan) di dalam pernikahan resmi (yang disahkan oleh gereja); pemanfaatan
kemampuan seks pada manusia untuk tujuan lain (rekreasi, misalnya) dipandang
sebagai penyimpangan yang penuh noda dan dosa.75 Sikap negatif ini masih ada
pada sebagian anggota masyarakat Barat. Namun perubahan sikap mulai terjadi
pada abad ke-19. Dengan berkembangnya alam pemikiran yang mulai berani
mempertanyakan dogma dan doktrin keagamaan di Barat, dengan berkembangnya
filsafat materialisme, dan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kedokteran
dan psikiatri serta psikologi pada khususnya, maka homoseksualitas yang dulunya
dikategorikan sebagai dosa kemudian dianggap sebagai "penyakit”. Tidak hanya
itu hubungan homosekualitas juga dianggap sebagai gangguan jiwa, kelainan,
73
Dede Oetomo, Memberi Suara Pada Yang Bisu (Yogyakarta : Galang Press, 2001), h. 7 74 Dede Oetomo, Memberi Suara Pada Yang Bisu, h. 8
75