• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB II"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

15

Bab II

SEMAR DALAM PEWAYANGAN JAWA & KONSELING

MASYARAKAT

Dalam tulisan ini akan digunakan dua kerangka teori untuk mengkaji hasil

penelitian yakni dari persperktif tokoh Semar. Perspektif Semar dalam melihat

hasil penelitian tersebut selanjutnya akan dikaji lagi dari teori konseling

masyaratat, oleh sebab itu dalam bab ini dituliskan dua teori mengenai Semar juga

konseling masyarakat. Akan tetapi tidak hanya itu, dalam bab ini juga dituliskan

sedikit penggambaran mengenai LGBT.

II.1 Semar Dalam Pewayangan Jawa

Keberadaan wayang memiliki peranan yang penting bagi kehidupan

masyarakat Jawa. Wayang adalah salah satu karya seni yang dapat menunjukkan

ungkapan dari pola pemikiran/gagasan, nilai-nilai religius dan ideologi yang

dimiliki masyarakat Jawa. Wayang merupakan benda seni yang dibuat dari kulit

binatang, kulit kayu, dan kertas untuk digunakan mementaskan suatu cerita

tertentu.1 Di dalam budaya Jawa sendiri, ada beberapa jenis wayang, seperti

Wayang Beber, Wayang Purwa, Wayang Madya, Wayang Gedog, Wayang Menak, Wayang Babad, Wayang Modern, Wayang Topeng. 2 Terkhusus untuk wayang purwa yang merupakan fokus jenis wayang dalam tulisan ini, wayang

1

W.J.S. Poerwadarminta, Baoesastra Djawa (Batavia: J.B. Wolters, 1939) seperti yang

dikutip oleh “i a Widyat a ta, Waya g “e agai To to a , Tu tu a , Da “ara a Ber editasi , dala Yusak Tridar a to Ed. , Serba-serbi di Sekitar Kehidupan Orang Jawa: Sebagai Konteks Berteologi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen dan F.Th UKDW) h. 64

2 S. Haryanto,

(2)

16

purwa adalah jenis wayang kulit.3 Untuk penampilan, wayang kulit purwa

tergolong ideoplastik, yang berarti penggambaran akan sesuatu yang didasarkan bukan pada apa yang dilihat melainkan pada apa yang diketahui. Mengenai

penggambaran manusia, dalam wayang kulit sebisa mungkin manusia

digambarkan sesuai dengan manusia yang sebenarnya.4 Jadi disini manusia yang

digambarkan dalam pewayangan adalah seperti halnya manusia dalam realita

kehidupan sehari-hari. Mulai dari kebiasaan, karakter dan sifat yang ada pada

manusia dalam realita yang sebenarnya.

Bagi orang Jawa, pertunjukan wayang sebenarnya juga dijadikan sebagai

salah satu pedoman hidup. Kata wayang itu sendiri sebenarnya berarti

bayang-bayang (Jawa : ayang-ayang atau wewayangan).5 Hal ini disebabkan karena kesenian ini dimainkan pada malam hari, sehingga boneka wayang yang terkena

cahaya akan menghasilkan bayangan pada layar putih (Jawa: kelir). Pengertian wayang pada perkembangannya, bukan lagi dipahami sebagai permainan

bayangan semata, tetapi dapat diartikan sebagai angan-angan, gagasan atau ide.6

Hal ini dimaksudkan karena wayang tidak hanya terbatas pada benda tiruan yang

menggambarkan keberadaan manusia saja. Lebih jauh daripada itu, di dalam

dunia pewayangan juga terdapat berbagai macam gagasan, nilai, keyakinan, sikap

hidup, asal mula dan tujuan hidup, serta berbagai prisip-prinsip kehidupan yang

3

Sunarto, Wayang Kulit Purwa, (Semarang : Dahara Prize, 1997), h. 10 4 Sunarto,

Wayang Kulit Purwa, h. 19

5“i a Widyat a ta, Waya g “e agai To to a , Tu tu a , Da “ara a Ber editasi , dalam Yusak Tridarmanto (Ed.), Serba-serbi di Sekitar Kehidupan Orang Jawa : Sebagai Konteks Berteologi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen dan F.Th UKDW, 2012), h. 71

6

(3)

17

baik.7 Pentingnya peranan wayang kulit bukan semata-mata terbatas sebagai suatu

tontonan yang menghibur saja.

II.1.1 Semar dan Sejarah Kemunculannya

Jika kita mencoba untuk menelusuri tokoh Semar dari sisi sejarah

kemunculannya, maka tokoh Semar pertama kali ditemukan pada karya sastra

zaman Majapahit dalam Kitab Sudamala (abad 15 – Majapahit). Namun hal ini tidak kemudian berarti bahwa sebelum masa itu, masyarakat Jawa tidak/ belum

mengenal tokoh Semar dalam dunia pewayangannya. Dalam Kitab

Gatotkacasraya (abad 12 – Kediri/Daha) yang ditulis Mpu Panuluh, telah

disebutkan nama : Jurudyah Prasanta Punta, yang dalam

perkembangannyakemudian menjadi Jodek Santa, Lurah Den Mas Prasanta, Smarasanta, Semarsanta dan akhirnya menjadi Semar atau Ki Lurah Semar.8

Salah satu versi utama dalam cerita Wayang Purwa, menyebutkan bahwa

Sang Hyang Tunggal yang memiliki istri bernama Dewi Wardani. Ia melahirkan

anak bukan dalam wujud seorang bayi, namun hanya sebutir telur. Melihat

kejadian tersebut, keduanya pun dilanda kebingungan serta kesedihan yang

teramat dalam. Tidak ada yang dapat diperbuat oleh Sang Hyang Tunggal selain

berusaha untuk menghibur istri yang dicintainya tersebut. Ketika hari telah

berganti menjadi hari, telur tersebut semakin membesar. Hal ini kemudian

7

Purwadi, Semar Jagad Mistik Jawa, (Yogyakarta: Media Abadi, 2004), h. 160 8 Hartono Haryoguritno,

(4)

18

membuat Sang Hyang Tunggal berpikir, bahwa ia harus meminta pertolongan

kepada ayahnya yaitu Sang Hyang Wenang.9

Dengan bimbingan Sang Hyang Wenang, telur tersebut dapat menetas dan

menjadi tiga bayi laki-laki. Bayi yang pertama yaitu berasal dari kulit telur

tersebut, diberi nama Ismaya. Bayi kedua yang berasal dari putih telur diberi nama

Antaga. Bayi ketiga yang berasal dari kuning telur diberi nama Manikmaya.

Seiring dengan berjalannya waktu, ketiga bayi tersebut tumbuh dan berkembang

menjadi dewasa serta memiliki kesaktian yang tinggi. Pada suatu ketika, mereka

berselisih paham mengenai siapa yang paling sakti dan paling pantas

menggantikan posisi ayahnya sebagai penguasa kahyangan. Ismaya dan Antaga

tidak mau mengalah dalam perdebatan tersebut. Sedangkan Manikmaya hanya

bisa terdiam menyaksikan kedua saudaranya berdebat sengit. Di tengah

perdebatan tersebut, Manikmaya menyarankan diadakannya pertandingan

menelan sebuah gunung. Peraturannya adalah barang siapa dapat menelan gunung

tersebut dan mengeluarkannya kembali, maka dialah yang menjadi pemenangnya,

serta berhak menjadi raja menggantikan ayahnya.10

Dari situ maka Antaga dan Ismaya berusaha untuk menelan gunung,

kemudian dari perbuatan yang dilakukan oleh Antaga dan Ismaya ini, ternyata

menimbulkan suatu gara-gara yang cukup besar. Dengan kejadian ini maka segera datanglah Sang Hyang Wenang menyelesaikan permasalahan tersebut dan

mengambil keputusan bagi ketiga anaknya itu. Keputusan yang dibuat oleh Sang

9

Tuti Sumukti, Semar : Dunia Batin Orang Jawa, (Yogyakarta: Galang Press, 2005), h. 20 10 Tuti Sumukti,

(5)

19

Hyang Wenang ini menyatakan bahwa yang akan menjadi raja para dewa adalah

Manikmaya. Sedangkan Antaga dan Ismaya diharuskan turun ke bumi untuk

membimbing keturunan dari Manikmaya. Sejak saat itu Sang Hyang Wenang

mengganti nama Antaga menjadi Togog dan Ismaya menjadi Semar. Dalam

perkembangan berikutnya, Semar sendiri kemudian memiliki banyak nama lain.

Banyaknya nama yang dimiliki oleh Semar ini terkait dengan lakon yang dimainkannya. Nama-nama tersebut antara lain Janggan Hasmarasanta,

Smarasanta, Semarsanta, Jnanabadra dan Badranaya, dan lain sebagainya.11

Dari kisah kemunculan Semar ini, masyarakat Jawa kemudian memandang

Semar sebagai sosok yang istimewa. Keistimewaan Semar dalam hal ini, bukan

hanya dikarenakan ia adalah sesosok dewa yang ngejowantah atau menjelma dengan wujud seorang abdi.12 Keistimewaan Semar juga terlihat karena ia

dikisahkan sebagai satu-satunya tokoh pewayangan yang mampu menelan sebuah

Gunung. Bagi masyarakat Jawa, keberadaan gunung memang dipandang sangat

penting serta memiliki makna khusus terkait kepercayaan yang dimilikinya.

Dalam hal ini masyarakat Jawa percaya bahwa gunung merupakan tempat

berkumpulnya roh-roh orang mati/roh-roh nenek moyang mereka. 13 Dimana

keberadaan roh-roh nenek moyang tersebut, dianggap memiliki kekuatan untuk

melindungi serta menolong mereka dari kesusahan.

Disebutkan bahwa Semar adalah satu-satunya tokoh pewayangan, yang

mampu menelan sebuah Gunung sekaligus. Dengan membaca kisah tersebut,

11 Tim penulis Sena Wangi,

Ensiklopedi Wayang Indonesia Jilid 4: R S, (Jakarta : Sena Wangi, 1999), h. 1170

12

Purwadi, Semar Jagad Mistik Jawa, h. 70 13 Lucas Sasongko Triyoga,

(6)

20

maka kita akan diajak untuk memiliki sebuah pemahaman, bahwa Semar

merupakan sosok dewa atau pun sosok roh pelindung sejati, yang memiliki tugas

untuk melindungi dan menolong umat manusia. Roh-roh yang dipercaya akan

melindungi manusia dari segala marabahaya, tidak akan ada apa-apanya

dibandingkan dengan Semar. Semarlah sekarang yang menyimbolkan keberadaan

sosok roh pengawal/pelindung sejati. Dimana kehadirannya, dipercaya akan

senantiasa mengawal umat manusia, (terkhusus dalam hal ini masyarakat Jawa)

sampai selama-lamanya.14 Kehadiran Semar dalam hal ini, benar-benar dapat

menyimbolkan sebuah perlindungan. Perlindungan tersebutlah yang akan

menolong setiap manusia, ketika mereka berada dalam kesusahan serta

mengalami pergumulan dalam hidupnya.

Menurut perintah dari Sang Hyang Wenang, Antaga yang menjadi Togok

dan Ismaya menjadi Semar. Dalam melakukan tugasnya untuk melindungi serta

menolong umat manusia di dunia ini, Semar dan Togog dengan sengaja

mengambil wujud sebagai seorang abdi. Keduanya memiliki pembagian tugasnya

masing-masing ketika berada di bumi ini. Togog secara khusus bertugas untuk

meluruskan/mengingatkan para manusia yang memiliki perangai angkara. Hal ini

ia lakukan, agar manusia yang berperangai angkara dapat kembali kepada

kebenaran. Sekalipun Togog telah berusaha mengingatkan perilaku manusia, tiada satupun dari mereka yang mau menuruti nasehat darinya. Mereka yang tidak

menuruti nasihat Togog pada akhirnya akan tumpas oleh karena ngunduh wohing pakarti (menuai hasil perbuatan/perilakunya sendiri). Keberadaan manusia yang berperangai angkara ini dalam dunia pewayangan digambarkan melalui sosok

14 Clifford Geertz,

(7)

21

raksasa yang pada umumnya bersifat negatif/jahat. Pada kisah Mahabharata,

sosok raksasa yang berdiri pada sisi antagonis, umumnya dikenal melalui tokoh

Kurawa.15 Sedangkan pada kisah Ramayana, tokoh yang merepresentasikan

kejahatan umumnya dikenal melalui tokoh Rahwana.

Dalam dunia pewayangan, yang mendapatkan bimbingan dari Semar adalah

Pandawa. Pandawa yang merupakan gambaran sosok ksatria sejati ini dipercaya

tidak akan dapat berhasil menyelesaikan tugasnya serta mengalahkan

musuh-musuhnya, tanpa bantuan dari Semar. Tanpa bimbingan dan tuntunan yang

diberikan oleh Semar, maka dapat dipastikan bahwa ksatria tersebut tidak akan

dapat mencapai tujuan hidupnya. Dengan demikian, sebenarnya kemenangan serta

keberhasilan Pandawa dalam melawan Kurawa itu bukan karena kekuatannya

sendiri melainkan karena mendapatkan bimbingan serta tuntunan dari Semar.

Pada dasarnya juga Semar memang memiliki peran utama sebagai pemberi

petunjuk kepada para satria dengan berbagai cara dalam menyikapi ketimpangan

yang dilakukan oleh manusia.16 Sekalipun kemunculan Semar dalam dunia

pewayangan hanyalah sebagai seorang abdi, semua tokoh dalam dunia

pewayangan tahu bahwa Semar adalah sosok yang paling bijaksana diantara tokoh

wayang lainnya.17 Kebijaksanaan yang dimiliki oleh Semar ini, bukan

dikarenakan didikan dari seorang guru yang mengajari kebijaksanaan semacam

itu. Dalam berbagai macam lakon yang ada, tidak ada yang menceritakan bahwa

15

Imam Setyobudi, Post-Human Togog and Semar: Dehumanization and Anti-Human in the Frame of Javanese Purwa Muppet “tory , dala Kasiya , dkk. ed. ,Proceeding the 1st International Conference of Arts and Arts Education in Indonesia (ICAAE) 2014, (Yogyakarta : UIN Press, 2014), h. 892

16

Ardian Kresna, Semar dan Togog: Yin dan Yang dalam Budaya Jawa, (Yogyakarta: Narasi, 2010), h. 105

17

(8)

22

Semar pernah mengecap pendidikan.18 Dia tidak pernah diajari oleh seorang guru

yang dianggap lebih bijaksana darinya, karena memang Semarlah simbol dari

kebijaksanaan itu sendiri.19

Kebijaksaan yang ada pada diri Semar dalam dunia pewayangan, membuat

Semar menjadi begitu dihormati oleh semua kalangan. Semar sangat dihormati

oleh para Pandawa dan bahkan semua dewa yang ada. Kedudukan Semar dalam

hal ini seolah-olah mengatasi keberadaan dewa yang lain, sekalipun wujud Semar

hanyalah seorang abdi.20 Dalam kemunculannya pada berbagai lakon wayang, Semar tidak jarang diposisikan sebagai sosok pemeran utama dalam kisah

pewayangan tersebut.

Status yang disandang oleh Semar sebagai seorang abdi ternyata tidak dapat

dipahami terbatas pada pekerjaannya sebagai pelayan semata. Peran Semar

sebagai seorang abdi akan lebih tepat jika dipahami sebagai sebuah penggambaran

untuk menunjukkan kewajiban yang dimiliki oleh Semar. Kewajiban tersebut

antara lain : membantu, membimbing, meneguhkan dan memberikan harapan

kepada para ksatria, untuk menyelesaikan berbagai permasalahan dalam

hidupnya.21 Dimana permasalahan tersebut, pada akhirnya nanti digambarkan

bukan hanya terkait dengan keberadaan / kepentingan diri mereka (para ksatria)

saja.

Demi mengatasi kekacauan/permasalahan yang terjadi, maka para ksatria

membutuhkan sosok Semar yang dapat membimbing dan menguatkan mereka

18

Tuti Sumukti, Semar: Dunia Batin..., h. 77-80 19

Tuti Sumukti, Semar: Dunia Batin..., h. 83 20 Purwadi, Semar Jagad Mistik Jawa…, h. 65 21

(9)

23

menghadapi permasalahan tersebut. Dimana aspek bimbingan, tuntunan dan

segala yang dilakukan Semar, tentu tidak lepas dari berbagai prinsip-prinsip

dalam budaya Jawa yang tersirat didalamnya. Dengan demikian kemunculan

Semar dalam kisah pewayangan Jawa bukan semata-mata sebagai tokoh yang

marginal. Keberadaannya justru begitu sentral dalam masyarakat Jawa, yang dapat

menunjukkan berbagai macam nilai-nilai keutamaan, spiritualitas serta

pemahaman masyarakat Jawa. Dalam dunia pewayangan, Semar cukup banyak

terlibat dalam lakon-lakon yang dimainkan. Perbedaan kemunculan Semar dalam

lakon-lakon tersebut, tentu memiliki tujuan khusus dan tersirat makna-makna khusus, yang ingin disampaikan sesuai dengan lakon yang dimainkan. Dimana hal ini tentu juga terkait dengan nilai-nilai dan pandangan hidup yang dimiliki oleh

masyarakat Jawa. Seperti halnya dalam kemunculan Semar pada saat gara-gara

terjadi. Adegan yang menggambarkan kekacauan alam semesta ini, ternyata

memiliki keterkaitan yang cukup erat dengan cita-cita dan tujuan hidup yang

selalu diperjuangkan oleh masyarakat Jawa. Sebab melalui adegan ini, akan terlihat bagaimana masyarakat Jawa memandang dunia dan kemudian bagaimana

mereka berusaha untuk menjaga keselarasannya/keharmonisan di dalamnya.22

Melalui adegan gara-gara ini kita juga akan diajak untuk melihat bagaimana keadilan dan kebenaran itu perlu untuk diperjuangkan, demi terciptanya

keharmonisan itu sendiri.

II.1.2 Gara-gara

Gara-gara merupakan salah satu adegan yang mempunyai peranan penting dalam keseluruhan alur lakon yang dimainkan dalam pewayangan. Keberadaan

22

(10)

24

adegan ini, benar-benar menjadi primadona dalam suatu pertunjukan wayang. Jika

kita melihat lebih jauh pada adegan gara-gara, sebetulnya yang ingin ditonjolkan pertama kali bukanlah aspek hiburannya saja. Memang benar bahwa kemunculan

para Punakawan, tidak jarang mengundang gelak tawa dari penonton, seperti halnya yang dilakukan oleh Gareng, Petruk dan Bagong. Namun sudah

seharusnyalah, hal ini menjadi tidak mengurangi pesan edukatif spiritual Jawa,

yang hendak disampaikan melalui tokoh Semar tersebut. Dalam berbagai

kesempatan yang dimiliki, para punakawan memang berusaha untuk menyajikan berbagai macam kritik sosial, dengan menggunakan bahasa-bahasa yang

sederhana.23 Dalam adegan gara-gara, Semar biasanya selalu digambarkan sebagai sosok yang mencerminkan martabat tinggi dan kebijaksanaan dalam

kebudayaan Jawa.24 Dalam hal ini, peranan Semar agaknya berbeda dengan

punakawan seperti Gareng, Bagong, Petruk. Semar tidak hanya digambarkan

sebagai sosok yang menyajikan kritik saja namun Semar juga tetap menampilkan

pesan edukatif dan kebijaksanaan di tengah adanya gelak tawa yang ditimbulkan

oleh Gareng, Petruk dan Bagong dalam adegan gara-gara.

Guritna dkk mengatakan bahwa gara-gara itu sendiri merupakan sebuah adegan lawak, yang dilakukan oleh para Punakawan di tengah-tengah konflik

yang sedang terjadi. Tujuan dari adegan ini adalah untuk mencairkan suasana,

agar situasi konflik yang tengah terjadi dapat segera diselesaikan dengan baik.25

Dalam hal ini, Guritno dkk., memberikan penekanan bahwa adegan gara-gara

merupakan sebuah penyelesaian dari konflik yang sedang terjadi. Namun hal ini

23

Tuti Sumukti, Semar: Dunia Batin..., h. 66 24

Tuti Sumukti, Semar: Dunia Batin..., h. 67 25 Sartono Katodirdjo, dkk,

(11)

25

akan berbeda, jika kita melihat pendapat yang disampaikan oleh Hartoyo.

Menurut Hartoyo, gara-gara bukan hanya menunjuk pada suatu penyelesaian masalah, dalam suatu lakon pewayangan akan tetapi gara-gara sendiri merupakan salah satu adegan yang juga menunjukkan bahwa tengah terjadi

kekacauan/permasalahan besar di jagad ini.26 Senada dengan hal tersebut, Soegiono juga berpendapat bahwa gara-gara, merupakan penggambaran dari keadaan dunia yang sedang mengalami kekacauan yang akan dapat melanda

semua kalangan baik itu kepada manusia, dewa-dewa maupun alam semesta itu

sendiri.27 Setelah semua kekacauan dalam adegan ini dimunculkan maka

selanjutnya juga akan memunculkan harapan, bahwa permasalahan tersebut akan

selesai. Dimana harapan tersebut akan bertumpu pada kehadiran para Punakawan,

terkhusus dalam hal ini melalui tokoh Semar.

II.2 Konseling Masyarakat

Sebelum akan masuk pada pengertian tentang konseling masyarakat, maka

akan diberikan sedikit penjelasan mengenai apa itu konseling pastoral. Konseling

pastoral adalah dimensi pendampingan pastoral dalam fungsi memperbaiki bagi

yang membutuhkan, sehingga orang dapat membutuhkan pendampingan pastoral

seumur hidupnya tetapi konseling pastoral ketika mengalami krisis.28 Proses

konseling ini bisa dilakukan terhadap satu orang klien atau lebih dan tidak dapat

ditentukan berapa lama proses itu akan berhenti sebab konseling dilakukan sejauh

proses itu diperlukan. Jadi, dapat dipahami bahwa sebuah proses konseling tidak

26

Hartoyo, Gara-gara da Mu ul ya “e ar , Majalah Mawas Diri, Oktober 1979, (Jakarta: PT. Mandiri Bank), h. 50

27“oegio o, Pu akawa da Ga

ra-gara , dala Majalah Mawas Diri, Desember 1984, (Jakarta: PT. Mandiri Bank), h.34

28J. D. Engel,

(12)

26

berjalan terus-menerus melainkan hanya sejauh mana hal itu diperlukan sampai

pada saat konseli tidak lagi memerlukan konseling. Meskipun sebuah proses

konseling dapat saja berhenti sesuai kebutuhannya akan tetapi sebuah proses

pendampingan masih tetap bisa terus berjalan. Dari sini, selanjutnya akan

dipaparkan mengenai salah satu jenis konseling yaitu konseling masyarakat.

Konseling masyarakat adalah suatu jenis konseling yang menolong secara

komprehensif dan didasarkan pada dua kompetensi yaitu kompetensi multikultural

dan kompetensi keadilan sosial.29 Masyarakat disini dipahami secara berbeda,

tergantung cara pandang orang dalam memahaminya. Judith A. Lewis menyadur

pendapat Paisley (1996) yang mengatakan bahwa masyarakat yang dipahami

dalam pastoral masyarakat didefinisikan menurut sebagai berikut: 1) orang-orang

yang tinggal di suatu daerah geografis tertentu (misalnya, orang-orang pedesaan

versus perkotaan, pribumi versus pendatang); 2) sekelompok orang yang

berhubungan dengan perbedaan latar belakang budaya, etnis, atau ras; 3)

orang-orang yang saling ketergantungan dan masing-masing memiliki kesamaan satu

dengan yang lain sebagai anggota dari komunitas kategorial, professional maupun

fungsional yang lebih luas, yang disebut komunitas global; 4) kelompok atau

kumpulan orang yang termarjinalkan seperti orang yang memiliki penyakit kusta,

kaum LGBT, kaum disabilitas, kaum perempuan yang menjadi korban

trafficking.30

Definisi di atas merujuk pada masyarakat sebagai sistem yang memiliki

kesatuan, kontinuitas. Individu, kelompok, dan organisasi merupakan bagian dari

29

Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, (United States of America : 2011), h. 8

30 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(13)

27

masyarakat. Masyarakat juga bagian dari individu, termasuk masyarakat yang

lebih besar. Masyarakat berfungsi sebagai media di mana individu dapat bertindak

dan mentransformasikan norma. Dengan demikian, seorang individu menjadi

milik lebih dari satu komunitas pada suatu waktu. Keluarga, gereja, sekolah,

kampus menjadi komunitas untuk masyarakat yang lebih besar, seperti lesbian,

gay, biseksual, transgender (LGBT), kaum disabilitas, kaum marjinalitas

perempuan konban trafficking dan anak-anak juga sistem sosial politik yang jauh lebih besar dan lebih kompleks.31 Dengan penjelasan tersebut maka individu

sebagai anggota masyarakat saling mempengaruhi secara langsung dan tidak

langsung secara positif maupun negatif. Asumsi berpikir seperti ini menjadi

alasan mengapa konseling masyarakat itu ada.

II.2.1 Model Dalam Konseling Masyarakat

Dalam konseling masyarakat, suatu perkembangan individu dan

masyarakat adalah sesuatu hal yang tidak bisa terlepas satu sama lain.

Sebagaimana suatu individu adalah yang membentuk masyarakat atau dengan

kata lain suatu masyarakat tidak terbentuk tanpa adanya individu-individu. Jika

dalam suatu masyarakat ditemukan individu yang membutuhkan pelayanan

khusus maka seorang konselor harus memiliki suatu cara tertentu dalam

menanganinya. Sedangkan, di samping hal itu konselor juga harus tetap

memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan dari suatu masyarakat tempat

individu itu berada. Jadi, jika dalam suatu komunitas tertentu perlu untuk

memberi perhatian dan pertolongan kepada individu maka yang diperlukan adalah

31 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(14)

28

sebuah strategi terfokus. Kemudian dalam masalah yang dialami suatu komunitas

maka konselor harus melakukan strategi berbasis luas dalam menyikapinya.

Tabel 1 : Gambar Model Konseling Masyarakat

Individu Kelompok

______________________________________________

Strategi terfokus Konteks multikultural Konsultasi hukum

Keadilan sosial Kolaborasi dalam komunitas

________________________________________________

Strategi berbasis luas Untuk perkembangan Untuk perubahan sosial

Untuk upaya pencegahan

________________________________________________

a. Memfasilitasi Pembangunan Manusia : Strategi Terfokus

Cara untuk menerapkan keterampilan dalam menjalankan strategi di

bagian ini adalah harus bisa memperlihatkan akan kesadaran konteks. Konteks

yang dimaksudkan disini adalah suatu konteks yang tidak hanya menyangkut

tempat tinggal seorang individu saja melainkan juga terkait dengan latar

belakangnya, mengenai masa lalunya, pendidikannya, komunitasnya, keluarga,

(15)

29

beberapa konteks tersebut dapat memperkuat kemampuan untuk menangani suatu

stres atau masalah pada seorang individu atau masyarakat.32 Pendidikan yang

dimaksudkan disini adalah suatu pengetahuan atau keterampilan dalam menyikapi

hal-hal yang bisa saja terjadi dalam suatu konteks tertentu seorang individu.

b. Memfasilitasi Pembangunan Manusia : Strategi Berbasis Luas

Suatu pendidikan pencegahan memungkinkan konselor masyarakat untuk

mendidik atau melatih anggota komunitas demi manfaat jangka panjang. Suatu

pendidikan preventif ditawarkan pada setiap anggota bahkan ketika mereka belum

memiliki masalah apapun. Tujuan dari strategi ini adalah untuk memfasilitasi

pembangunan manusia demi tujuan membantu masyarakat dalam mendapatkan

pengetahuan dan keterampilan baru yang berguna untuk menangani

tantangan-tantangan yang ada dalam kehidupan mereka.33 Hal ini merupakan upaya agar

seorang individu tidak cepat panik dan paling tidak memahami langkah awal

dalam menyikapi apa yang menjadi masalahnya sebelum suatu masalah tersebut

berkembang ke arah yang lebih serius dan berdampak ke beberapa aspek dalam

kehidupan seorang individu.

Dalam penekanannya dengan intervensi pencegahan, maka berarti

konseling masyarakat menggunakan pendekatan yang edukatif daripada

remedical. Untuk konselornya, konselor masyarakat memperhitungkan efek dari

lingkungan masyarakat kepada individu dan berusaha untuk memberdayakan

individu melalui layanan-layanannya juga dalam memberdayakan masyarakat

32

Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 15

33 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(16)

30

secara keseluruhan.34 Ini salah satu kelebihan dari konseling masyarakat, berupaya

untuk memberikan pelayanan bahkan sebelum sebuah masalah terjadi.

c. Memfasilitasi Pengembangan Masyarakat : Strategi Terfokus

Konseling masyarakat memiliki model pelayanan langsung kepada suatu

komunitas yang memang berisikan tentang pendidikan preventif. Tindakan

pencegahan ini dapat berupa pelayanan langsung kepada konseli (dalam suatu

komunitas), pelayanan komunitas secara tidak langsung dan pelayanan tidak

langsung kepada seorang konseli (misal memberikan bantuan

hukum/advokasi).35Advokasi merupakan bagian integral dari proses konseling.

Ketika konselor menyadari faktor eksternal yang bertindak sebagai hambatan

suatu upaya pengembangan misalnya hambatan itu di luar kemampuan konselor,

maka mereka dapat mengupayakan bantuan contohnya melalui advokasi. 36 Tidak

dapat dihindari memang bahwa seorang konselor terlebih konselor dalam

masyarakat, pasti akan diperhadapkan pada dunia advokasi. Advokasi adalah yang

mengarah pada hal-hal fokus dalam konseling masyakat terutama jika suatu

masalah berkenaan dengan kompetensi keadilan sosial. Kompetensi keadilan

sosial ini merupakan salah satu dari dua kompetensi dalam konseling masyarakat

yang akan dipaparkan dalam bagian selanjutnya.

d. Memfasilitasi Pengembangan Masyarakat : Strategi Berbasis Luas

Dalam hal ini, konselor bertindak sebagai agen perubahan dalam sistem

yang diharapkan mempengaruhi klien yang paling langsung. Hal ini dikarenakan

34

David B. Hershenson dkk, Community Counseling, ..., h. 22 35

David B. Hershenson dkk, Community Counseling, ...,h. 27. 36Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(17)

31

bahwa adanya beberapa masalah yang dimiliki oleh seseorang akan dapat

mempengaruhi orang-orang di lingkungan. Misalnya saja mereka yang memiliki

masalah dalam bidang ekonomi kemudian nekat untuk melakukan tindak

pencurian, maka hal itu akan berdampak ke lingkungannya. Ketika hal semacam

ini terjadi, konselor mengupayakan untuk melakukan tindakan advokasi tentu

meminta kepada bidang yang bersangkutan. Keahlian yang dimaksudkan disini

adalah dalam proses ini seorang konselor tidak hanya bekerja sendiri melainkan

harus melibatkan disiplin ilmu lain.37 Hal ini mengarah ke arah definisi yang

komprehensif akan peran konselor masyarakat. Dari sini jelas bahwa dalam

konseling komunitas ada kerangka kerja yang komprehensif didasarkan pada

kompetensi multikultural dan kompetensi keadilan sosial. Karena perilaku

manusia sangat dipengaruhi oleh konteks, konselor masyarakat sangat berupaya

menggunakan strategi yang memfasilitasi perkembangan yang sehat untuk

kliennya.

II.2.2 Kompetensi Dalam Konseling Masyarakat

Konseling masyarakat memiliki dua kompetensi dasar yaitu kompetensi

multikultural dan kompetensi keadilan sosial :38

II.2.2.1 Kompetensi multikultural :

Kompetensi multikultural meliputi kesadaran konselor akan nilai-nilai

budaya sendiri dan bias budaya, kesadaran konselor pada pandangan klien, dan

strategi intervensi sesuai dengan budaya. Peran budaya membantu dalam proses

37

Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 18

38 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(18)

32

untuk mendefinisikan tujuan dengan memakai pengalaman hidup dan nilai

budaya, baik individu maupun kelompok, yang didukung secara menyeluruh.

Dalam hal ini budaya dipakai sebagai sebuah strategi yang berperan untuk

penyembuhan dan menyeimbangkan nilai individu dan kelompok dalam sistem

budaya yang ada.39 Budiono Herusatoto menyadur apa yang dikatakan

Koentjaraningrat dalam Simbolisme dalam Budaya Jawa mengatakan bahwa

wujud budaya yang ada dalam gagasan, nilai-nilai, norma, peraturan dan

sebagainya ada dalam pikiran setiap individu yang diekspresikan melalui

kelakuan berpola dari individu dan masyarakat dalam sistem sosial serta hasil

karya masyarakat.40 Sehingga dalam pola-pola tersebut konstruk individu dan

sosial melekat sistem nilai budaya dan hal yang berharga dari kehidupan adalah

nilai budaya yang hidup dalam individu dan kelompok. Alasan dari hal ini adalah

karena sistem nilai budaya menjadi pedoman yang memberi arah dan orientasi

dalam konseling masyarakat.41

Gagasan tentang sentralitas budaya telah diterima dan berhasil masuk ke

dalam praktik untuk melakukan intervensi dalam situasi trauma di masyarakat.

Prinsip-prinsip kompetensi budaya42 : 1. Kenali pentingnya budaya dan hormati

keragaman ; 2. Pertahankan profil komposisi budaya masyarakat yang ada.

(Faktor yang tercatat meliputi ras dan etnis, usia, jenis kelamin, agama,

pengungsi, status perumahan, pendapatan dan tingkat kemiskinan, persentase

39

Derald Wing Sue & David Sue, Counseling The Cultural Diverse, Theori and Practice (John Wiley & Sons, Inc, 2003), h. 16-18

40 Budiono Herusatoto,

Simbolisme dalam Budaya Jawa, (PT. Hanindita, 1984), h. 8 41

Koentjaraningrat, Masalah Kesukubangsaan dan Integrasi Nasional (Jakarta: UIP, 1993) h. 3

42 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(19)

33

penduduk yang tinggal di daerah pedesaan versus perkotaan, tingkat

pengangguran, bahasa dan dialek yang digunakan, tingkat melek huruf, jumlah

sekolah, serta jumlah dan jenis Bisnis.) ; 3.Merekrut pekerja bencana (voluntir)

yang mewakili masyarakat atau area Pelayanan ; 4. Menyediakan pelatihan

kompetensi budaya yang berkelanjutan untuk menjadi staf kesehatan mental

bencana, ; 5. Memastikan bahwa layanan dapat diakses, tepat, dan setara ; 6.

Kenali peran perilaku mencari bantuan, kebiasaan dan tradisi, dan Jaringan

pendukung alam ; 7. Libatkan pemimpin masyarakat dan organisasi yang

mewakili beragam kelompok budaya ; 8. Pastikan bahwa layanan dan informasi

bersifat kultural dan menggunakan bahasa yang dapat dipahami oleh klien ; 9.

Menilai dan mengevaluasi tingkat program

Kompetensi multikultural ini memiliki sepuluh karakteristik yaitu

RESPECTFULL43, yang terdiri dari : R-religi / identitas spiritual, E-ekonomi :

Latar belakang kelas (economy), S (sexual)-identitas seksual, Tingkat kematangan

Psikologis (psicologi), Identitas E-etnik / rasial, C-kronologis / perkembangan

tantangan, T (trauma) -berbagai bentuk trauma dan ancaman lainnya terhadap

rasa kesejahteraan seseorang, latar belakang dan sejarah keluarga- F (family),

U-karakteristik fisik yang unik, L (location)-lokasi tempat tinggal dan perbedaan bahasa. Sepuluh karakteristik ini yang membentuk kerangka kompetensi

multikultural.44 Berikut deskripsi sepuluh karakteristik yang ada dalam

kompetensi multikultural tersebut :

43

Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 53

44 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(20)

34

a. Identitas Agama (R)

Karakteristik pertama dari RESPECTFULL sebagai karakter dalam

kompetensi multikultural berfokus pada cara individu dalam mengidentifikasi diri

dengan agama-agama yang ada. Agama pada umumnya merujuk ke suatu

kepercayaan seseorang terhadap kenyataan yang melampaui yang kelihatan serta

dapat memberi makna bagi kehidupan kepada individu. Identitas agama menjadi

salah satu komponen yang penting sebab melalui identitas agama seorang individu

akan bisa membangun makna dari pengalaman kehidupannya, mengidentifikasi

apa yang dialaminya, dan dapat mengatasi situasi yang penuh tekanan. Dari sini

maka penting bagi seorang konselor untuk menilai sejauh mana faktor ini

mempengaruhi perkembangan psikologis seorang individu/ konseli dalam sebuah

proses konseling yang berlangsung.45

b. Latar Belakang Kelas Ekonomi (E)

Suatu sikap, nilai, cara pandang terhadap dunia, dan perilaku manusia

dipengaruhi oleh latar belakang kelas ekonomi. Misalnya saja tentang kemiskinan,

keadaan ini jelas memiliki efek atau memberi efek terhadap keadaan fisik dan

psikologis seseorang. Dalam hal seperti ini seorang konselor harus sadar tentang

bagaimana faktor ekonomi mempengaruhi kesehatan psikologis dan kesejahteraan

45 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(21)

35

pribadi seorang klien.46 Karakteristik ini merupakan salah salah satu hal yang

biasanya kurang mendapatkan perhatian konselor untuk konselinya, padahal

faktor ini bisa mempengaruhi seorang individu secara fisik dan psikologis. Faktor

kelas ekonomi seseorang bisa mempengaruhi perilaku dan cara berpikir

seseorang.

c. Identitas Seksual (S)

Identitas seksual merupakan salah satu karakteristik yang paling

kompleks. Istilah identitas seksual berhubungan dengan identitas gender

seseorang, jenis kelamin, peran, dan orientasi seksual. Istilah identitas gender

mengacu secara spesifik pada perasaan subyektif individu tentang apa yang harus

dilakukan sebagai laki-laki atau perempuan. sedangkan identitas seksual

seseorang dipengaruhi oleh orientasi seksual seseorang. Pada umumnya, orientasi

seksual ini mencakup konsep seperti biseksualitas, heteroseksualitas, dan

homoseksualitas. Biseksualitas adalah orientasi seksual yang mengacu pada

individu yang menunjukkan ketertarikan seksual baik terhadap pria dan wanita.

Heteroseksualitas, sebaliknya, berhubungan dengan individu yang ketertarikan

seksualnya diarahkan pada orang-orang yang lawan jenis kelamin. Kemudian

untuk homoseksual, merupakan istilah untuk mengidentifikasi individu yang

orientasi seksualnya mengarah pada orang-orang dari jenis kelamin yang sama.

Sehubungan dengan stereotip negatif terhadap istilah homoseksualitas nampaknya

istilah seperti gay laki-laki dan lesbian dianggap lebih dapat diterima sebagai

46Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(22)

36

salah satu dimensi identitas seksual seseorang.47 Melihat hal ini maka dapat

dikatakan bahwa di luar heteroseksual, rupanya homoseksual lebih dapat diterima

bila dibandingkan dengan biseksual.

Dengan adanya kenyataan beragamnya identitas seksual tersebut, maka

praktek konseling mengharuskan adanya penerimaan identitas seksual dari

seorang klien. Namun, mengingat pandangan dan reaksi sangat negatif yang

dimiliki oleh banyak orang terhadap pendukung feminis dan gay / lesbian /

biseksual, maka konselor harus berusaha mengupayakan proses konseling yang

tidak hanya terbatas pada suatu tindakan penerimaan. Akan tetapi harus lebih

daripada itu, yakni memberikan pendidikan, konsultasi, advokasi, dan

pengembangan komunitas yang dirancang khusus untuk mendorong perubahan

yang bertujuan untuk perlakuan lebih hormat terhadap orang-orang dengan

berbagai identitas seksual.48 Dalam hal ini konselor tidak hanya diharapkan

sekadar untuk menghormati beragamnya identitas seksual, melainkan harus

memberikan bentuk perhatian lain seperti yang sudah disebutkan tadi. Fungsi dari

beberapa hal yang harus diberikan tersebut tidak lain adalah untuk memberikan

bantuan tidak hanya ketika mereka mengalami msalahh saja melainkan untuk

memberikan pengarahan bagaimana cara menyikapi sendiri tentang permasalahan

yang mereka alami. Untuk itulah mengapa misalnya bantuan seperti advokasi dan

pendidikan harus diberikan.

d. Kedewasaan Psikologis (P)

47

Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 56

48 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(23)

37

Seorang konselor pada umumnya bertemu dan membantu klien yang

memiliki identitas sama misalnya saja sama dalam hal agama, etnis, dan identitas

seksual. Kesamaan dentitas juga ada dalam karakteristik demografis misalnya

usia, jenis kelamin, dan kelas ekonomi. Namun di dalam kesamaan identitas yang

seperti itu, ada hal yang tampaknya sangat berbeda antara individu dan individu

lain atau konselor dan konseli yaitu perbedaan secara psikologis. Teori

perkembangan melihat perkembangan psikologis sebagai sebuah proses dimana

individu mengalami perubahan cara berpikir, dari cara yang sederhana ke cara

yang lebih kompleks tentang diri dan pengalaman hidup mereka. Tahapan ini

mencerminkan apa yang dianggap unik dalam pola pikir psikokultural, yang

mewakili sikap dan keyakinan yang berbeda dalam memandang diri dan dunia.

Saat berhadapan dengan klien, maka konselor dalam hal ini diharapkan mampu

melihat bagaimana keadaan psikologis klien dengan tujuan supaya dapat dengan

tepat membantu klien menghadapi masalahnya. Penting juga dalam hal ini

seorang konselor juga meluangkan waktu untuk bercermin pada perkembangan

diri sendiri, supaya konselor benar-benar dapat membantu mmenyelesaikan

masalah klien apabila klien memiliki tingkat kematangan psikologis yang lebih

tinggi daripada konselor.49 Melihat dan bercermin pada diri sendiri penting

dilakukan oleh konselor supaya konselor juga mengetahui dimana letak atau

tingkat perkembangan/ kematangan psikologisnya. Hal ini penting dilakukan

supaya konselor juga dapat menerima dan menyikapi cara pandang konselor dan

konseli yang mungkin berbeda. Selain itu juga supaya konselor tidak memaksakan

cara berpikirnya kepada cara berpikir konseli dalam menghadapi masalah.

49 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(24)

38

e. Identitas Etnis (E)

Berbicara mengenai etnis, ada sebuah perbedaan psikologis yang sangat

besar diantara orang-orang yang berasal dari kelompok etnis yang sama. Adanya

variasi psikologis biasanya disebut sebagai perbedaan dalam kelompok.

Mengingat variasi dalam kelompok yang terutama dimanifestasikan di antara

orang-orang dari kelompok etnis yang sama, maka penting bagi konselor untuk

mengembangkan pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan guna menilai

secara akurat perbedaan penting ini dan meresponnya secara efektif serta memiliki

cara hormat terhadapa kerangka berpikir mereka.50 Ternyata keadaan psikologis

seseorang berbeda juga bisa terjadi dalam suatu kelompok etnis yang sama. Hal

ini semakin membuktikan bahwa setiap orang memliki keunikannya

masing-masin yang dipengaruhi oleh keadaan tempat tinggal juga identitas etnisnya. Jadi

tidak hanya yang berbeda etnis saja yang memiliki perbedaan psikologis, dalam

kesamaan etnis juga terdapat perbedaan psikologis. Ini dipengaruhi juga oleh

pengalaman yang dijumpai oleh setiap individu.

f. Tantangan Kronologis Perkembangan (P)

Konselor atau praktisi harus terbiasa dengan tantangan perkembangan ini,

karena melalui tahapan perkembangan ini maka ada beragam karakteristik yang

umumnya terkait dengan masa kanak-kanak, masa remaja, dan dewasa. Perubahan

spesifik individu bisa dilihat dari perkembangan masa kanak-kanak sampai

dewasa, meliputi pertumbuhan fisik (misalnya perubahan tubuh/ fisik dan

perkembangan keterampilan motorik), kemunculan kompetensi kognitif yang

50Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(25)

39

berbeda (misalnya perkembangan dalam hal perseptual, bahasa, cara belajar,

memori, dan jenis keterampilan berpikir lainnya), dan manifestasi dari berbagai

keterampilan psikologis (misalnya kemampuan untuk mengelola emosi seseorang

dan kompetensi interpersonal yang lebih efektif) yang terjadi berakhir waktu.51

Oleh karena itu model konseling masyarakat ditujukan untuk membina kesehatan,

kesejahteraan, dan martabat orang secara keseluruhan dari segala usia dan

terutama anak-anak, remaja, dan orang tua yang rentan terhadap sejumlah masalah

sebagai akibat dari mengalami jenis stres dan lingkungan yang mereka hadapi

dalam kehidupan mereka.

g. Trauma dan Ancaman Lain terhadap keamanan seseorang (T)

Trauma dan ancaman terhadap kesejahteraan seseorang termasuk dalam

karakteristik kompetensi multikultural yang harus diperhatikan. Trauma adalah

adanya tekanan dan cara-cara kompleks dimana munculnya situasi stres yang

menempatkan orang pada risiko dan bahaya psikologis. Trauma biasanya terjadi

apabila stres yang dialami individu dalam kehidupan mereka melebihi

kemampuan mereka dan mereka cenderung mengatasinya dengan cara yang

konstruktif. Individu yang mengalami stres dalam jangka waktu yang lama akan

terganggu pula keadaan dan perkembangan psikologisnya. Masalah seperti itu

sering terjadi dengan berbagai orang yang mungkin terpinggirkan dan tidak

mendapatkan perhatian atau bahkan karena keperbedaannya dengan bagian dari

kelompok dalam suatu masyarakat. Konselor masyarakat sering diminta untuk

bekerja dengan kelompok orang-orang yang rentan, termasuk orang miskin,

51 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(26)

40

tunawisma, dan pengangguran; individu dewasa dan anak-anak dalam keluarga

yang mengalami perceraian; remaja hamil; individu dengan virus HIV atau AIDS;

penderita kanker; dan individu yang menjadi korban berbagai macam bentuk

rasisme, seksisme, dan penindasan budaya. 52 Dari hal ini maka terlihat bahwa

konselor masyarakat harus benar-benar memberikan bantuan kepada mereka yang

tergolong dalam kategori lemah dan menjadi korban supaya adanya trauma dan

ancaman kepada seorang individu dapat dicegah.

h. Latar Belakang Keluarga (F)

Seorang konselor diharapkan mampu untuk melakukan hal-hal berikut ini :

(a) memahami hal unik yang ada pada klien dari sistem keluarga yang beragam

dan (b) menumbuhkan perkembangan yang sehat dari beragamnya unit keluarga,

tentu disini belajar tentang asal kekuatan seorang individu yang sangat bisa

dipengaruhi darimana ia berasal. Dari adanya beragam sistem keluarga ini,

seorang praktisi dalam hal ini konselor didorong untuk tidak bias dalam melihat

tentang kehidupan suatu keluarga sebab jika tidak maka akan dapat berdampak

negatif pada proses.53 Jadi ketika menghadapi klien dengan segala masalahnya

seorang konselor tidak bisa begitu saja menilai dengan seenaknya tentang klien.

Konselor juga tidak bisa begitu saja menyamakan perlakukan kepada klien

sekalipun beberapa klien memiliki kesamaan masalah. Latar belakang keluarga

menjadi salah satu faktor yang dapat mempengaruhi cara berpikir dan cara klien

melihat serta menghdapi masalahnya.

52

Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 59

53 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(27)

41

i. Karakteristik Fisik yang Unik (U)

Karakteristik RESPECTFULL juga menekankan pentingnya peka pada

keberadaan citra ideal dalam masyarakat misalnya kecantikan ideal dalam

penilaian masyarakat pada umumnya. Hal ini akan memberikan dampak negatif

pada perkembangan psikologis banyak individu dengan karakteristik fisik yang

mungkin tidak sesuai dengan pandangan sempit keindahan yang dipupuk oleh

budaya dominan terhadap tubuh. Saat bertemu dengan klien yang memiliki fisik

unik dan mungkin menjadi sumber stres dan ketidakpuasan pribadi, maka penting

bagi konselor untuk meyakinkan bagaimana mitos keindahan fisik ideal bisa

menyebabkan banyak orang menginternalisasi pandangan negatif dan stereotip

tentang diri mereka sendiri, dan itu bukanlah hal yang penting. Saat konselor

bertemu dengan individu yang perkembangan psikologisnya negatif karena

dipengaruhi oleh beberapa aspek fisiknya yang unik, konselor harus dapat

membantu mereka dalam memahami keberadaannya dan menanggapi pemikiran

serta rasa harga diri seseorang. Konselor harus sangat peka dan berpengetahuan

luas tentang masalah yang berkaitan dengan jenis tantangan fisik dalam hidup

klien. Perbedaan fisik dan pandangan ideal masyarakat akan fisik merupakan

hambatan untuk mewujudkan potensi pribadi dan rasa aman dari individu. Oleh

karenanya konselor perlu sekali untuk peka akan hal-hal sensitif semacam itu.54

Gambaran ideal yang sudah dibentuk masyarakata pada umumnya

memang mendiskriminasi mereka yang tidak masuk dalam kriteria ideal itu.

Misalnya saja seperti gambaran cantik adalah mereka yang bertubuh tinggi

54 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(28)

42

berambut lurus dan berbadan langsing berkulit putih, ini akan membuat individu

di luar karakteristik itu merasa minder juga ada yang berupaya membuat diri

menjadi ideal. Hal-hal seperti kriteria-kriteria dan nilai ideal pada umumnya itu

tidak dimiliki oleh semua orang, oleh karena itu bagi yang berkarakteristik

berbeda dapat membentuk psikologis yang negatif pada seseorang. Untuk itu

konselor dalam hal ini memiliki tanggung jawab dalam membuat klien yang unik

tetap memiliki citra dan gambar diri yang baik, tidak harus seseuai dengan kriteria

ideal yang dibuat masyarakat pada umumnya. Ini hanya salah satu kriteria ideal

yang dapat membuat seseorang yang unik menjadi minder dan masih banyak lagi

kriteria serta penilian akan hal yang ideal hasil bentukan masyarakat lainnya.

j. Lokasi Tempat Tinggal dan Perbedaan Bahasa (L)

Berbicara tentang wilayah geografis, keberadaannya lokasitempat tinggal

dibedakan menurut jenisnya. Orang-orang yang berbeda tempat tinggal juga

ditentukan dalam beda pola iklim, medan geologi, dan jenis pekerjaan serta

industri pada suatu lokasi. Saat seorang praktisi bekerja dengan orang-orang dari

daerah geografis yang berbeda dengan daerahnya sendiri (termasuk pedesaan,

perkotaan, dan pinggiran kota) maka penting untuk merenungkan kemungkinan

stereotip dan bias yang mungkin mereka lakukan terhadap orang dan lokasi yang

berbeda tersebut. Hal ini juga sangat penting untuk kepentingan saat bersama

dengan orang yang menggunakan dialek atau bahasa yang berbeda. Seperti halnya

komponen lain yang ada dalam karakteristik RESPECTFUL, penilaian diri

semacam ini sangat penting karena bila terjadi bias tentang klien dari berbagai

(29)

43

menyebabkan hasil negatif dalam proses konseling.55 Jika tidak memahami

karakteristik dari individu yang berasal dan latar tempat tinggaldan bahasa yang

berbeda maka bisa saja seorang konselor justru menjadi tidak tepat dalam

menyikapi apa yang menjadi masalah dari seorang klien. Di luar itu, mungkin saja

konselor akan menyakiti konseli misalnya saja dengan kata-kata dan

kebiasaan-kebiasaan konselor yang berbeda dari konseli.

II.2.2.2 Kompetensi Keadilan Sosial :

Apa maksudnya ketika dikatakan bahwa konseling masyarakat

berorientasi pada keadilan sosial? Maksud daripada konseling masyarakat

berorientasi pada keadilan sosial ini adalah konselor harus melihat klien mereka

dalam konteks, tahu apa yang klien butuhkan dalam lingkungan dan masyarakat.

Keadilan sosial melihat dan memastikan adanya partisipasi penuh seorang

individu dalam kehidupan masyarakat, terutama bagi mereka yang telah

terkucilkan berdasarkan ras / etnis, jenis kelamin, usia, cacat fisik atau mental,

pendidikan, orientasi seksual, status sosial ekonomi, atau karakteristik lain.

Keadilan sosial juga didasarkan pada keyakinan bahwa semua orang memiliki hak

untuk mendapatkan perlakuan yang setara, dukungan atas hak asasi setiap

individu, dan alokasi yang adil akan sumber daya masyarakat. Dengan harus

diperhatikannya keadilan sosial maka disana menunjukkan adanya

kenyataan-kenyataan yang mengindikasikan suatu ketidakadilan sosial. Untuk definisi

ketidakadilan sosial itu sendiri, yang pertama adalah sebagai penolakan atau

pelanggaran ekonomi, sosial budaya, politik, sipil, atau hak populasi atau

55 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(30)

44

kelompok tertentu dalam masyarakat. Definisi kedua tentang ketidakadilan sosial,

mengacu pada kebijakan atau tindakan yang mempengaruhi kondisi sosial.56

Suatu perkembangan individu dan pembangunan masyarakat adalah hal yang

saling terkait. Disinilah letak tanggung jawab dari konselor yang bergerak di

ranah konseling masyarakat, yaitu melayani klien secara langsung dan bekerja

untuk membangun lingkungan. Dalam hal ini, maka seorang konselor

menggunakan strategi terfokus yang memenuhi kebutuhan individu tertentu atau

kelompok dan strategi berbasis luas yang mempengaruhi populasi umum. 57

Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa salah satu tujuan dari konseling

masyarakat terkhusus dengan kompetensi keadilan sosial adalah untuk

memfasilitasi pembangunan manusia dan masyarakat.

II.2.2.2.1 Kompetensi Keadilan Sosial Untuk Sebuah Krisis dan Yang

Termarjinalkan

a. Keadilan Sosial Untuk Sebuah Krisis

Apa sebenarnya krisis itu, mengapa seseorang dengan krisis harus

ditolong? Krisis adalah sebuah fase dalam kehidupan seseorang ketika cara-cara

normalnya menangani dunia tiba-tiba terganggu. Krisis pribadi bisa berawal dari

adanya perubahan cara seseorang melihat dan menangani apa yang menimpanya.

Perbedaan tingkat krisis pada individu atau kelompok mungkin ada hubungannya

dengan tingkat keparahan atau sejauh mana situasionalnya stres yang dialami

berhubungan dengan transisi kehidupan yang mungkin terjadi. Jika seorang

56

Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 12

57 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(31)

45

individu mengalami kesulitan dalam menghadapi transisi kehidupannya maka

konselor dan klien mungkin harus mengejar strategi pencegahan krisis. Tapi kalau

individu telah menjadi korban kejahatan atau terkena penyakit tak terduga, dalam

hal semacam ini proses konseling akan dilakukan untuk pencarian cara

penanganan.58

Konseling masyarakat memang adalah sebuah konseling yang melayani

untk sebuah komunitas, bukan hanya untuk individu-individu. Akan tetapi yang

perlu diingat adalah dalam sebuah komunitas tentunya ada individu-individu. Hal

lain yang dapat diperhatikan adalah bahwa dalam suatu komunitas tertentu, tentu

setiap orang tidak sama dalam melihat suatu permasalahan. Disini yang perlu

ditekankan lagi bahwa konseling masyarakat tidak hanya memberikan suatu

pendampingan pasca terjadinya suatu masalah melainkan juga memberikan

pendampingan untuk membekali orang tentang bagaimana cara mengahadapi hal

tidak terduga yang dapat terjadi di depan dan di luar kendalinya. Sama seperti

krisis di seluruh masyarakat yang memiliki potensi untuk mendewasakan

pertumbuhan psikologis, begitu juga krisis yang dialami oleh individu dalam

masyarakat tersebut. Bila seseorang memiliki dukungan sosial yang kuat, dan rasa

memiliki kekuatan pribadi, maka dia memiliki cara yang dibutuhkan untuk

menahan stres. Bila seseorang kekurangan akan hal tersebut, dia mungkin bisa

merespons krisis dengan meremehkan pilihan yang mungkin tersedia di depan

mata, menjadi depresi, atau bahkan bisa memiliki pikiran untuk bunuh diri.

Kerangka konseling masyarakat mencakup strategi praktis untuk campur tangan

58 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(32)

46

dengan klien dalam krisis dan menerapkan program pencegahan bunuh diri.59 Jika

tidak maka mereka yang mengalami krisis lama biasanya akan mengalami efek

negatif pada kesehatan fisik individu dan kesehatan psikologisnya.60 Akan tetapi

disini jalan keluar tidak selalu tergantung pada konselor. Disinilah fungsi

pemberdayaan yaitu konselor harus memiliki cara sebagai strategi terfokusnya

dalam memberdayakan klien keluar dari masalahnya. Jadi memang akan sangat

tergantung pada cara individu menanggapi krisis khusus mereka, juga tergantung

dari kematangan psikologis mereka.

a.1 Tahapan Krisis

Pada tahap pertama dalam krisis, seseorang dihadapkan pada kejadian baru

atau tak terduga yang menyebabkan kecemasan, depresi, dan / atau jenis stres

lainnya. Kedua, seseorang sering menemukan bahwa metode pemecahan masalah

mereka yang biasa tidak bekerja. Ketiga, ini Menyebabkan kebanyakan orang

mencoba cara baru dalam menghadapi masalah langsung. Akhirnya, individu akan

muncul lebih kuat jika pendekatan baru itu efektif atau pengalaman terus berlanjut

dan bahkan mungkin tingkat stres lebih besar dari sebelumnya jika pendekatan

baru tidak efektif. Dalam sebuah krisis, kemudian, ketepatan waktu intervensi

sangat penting. Intervensi dapat diberikan melalui penyukuhan. Penyuluhan

semacam ini tentu saja bersifat sementara; Ini bertujuan untuk membantu klien (a)

kembali pada rasa kontrol atas kehidupan mereka dan (b) mengembangkan

59

Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 93

60 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(33)

47

sumber daya yang mereka butuhkan untuk sebuah tingkat kesehatan setelah krisis

telah berlalu.61

a.2 Langkah penanganan sebuah krisis

Ada beberapa langkah dalam menangani seorang konseli dengan krisis :

62

1.Melihat sifat dan jenis krisis. Langkah pertama konselor adalah konselor harus

belajar sebanyak mungkin tentang apa yang memicu krisis, apa cara yang telah

dicoba, dan pola apa dan bagaimana untuk mengatasi individu (tentu setelah

mengetahui pemicu sebuah krisis) ; 2. Membantu klien mengklarifikasi masalah.

Seperti disebutkan sebelumnya, klien dalam krisis biasanya sulit untuk membuat

penilaian yang realistis terhadap isu-isu utama terkait dengan krisis mereka.

Konselor dapat membantu klien membingkai masalah secara konkret dan realistis

; 3. Meyakinkan bahwa masalah dapat dikendalikan. Individu dalam krisis

biasanya merasa terbebani dengan tuntutan yang harus mereka hadapi serta

keyakinan bahwa mereka memiliki kekuatan pribadi ; 4. Identifikasi sumber

pendukung tambahan: Saat klien bersiap menghadapi krisis, konselor harus

mendorong mereka untuk mengidentifikasi sumber dukungan sosial dari anggota

keluarga, teman, dan lain-lain guna menjangkau klien secara emosional ; 5.

Identifikasi kekuatan pribadi klien: Dalam sebuah krisis, individu bisa kehilangan

pandangan mereka sendiri teruatama tentang kekuatan diri mereka sendiri ; 6. Gali

keadaan klien: Biasanya, krisis membangkitkan emosi yang dalam. Konselor bisa

61

Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk, Community Counseling - A Multicultural-Social Justice Perspective, h. 95

62 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(34)

48

menangani klien dengan menggali perasaan mereka, ini paling efektif jika mereka

bisa mengenali dan mengekspresikan perasaannya ; 7. Kembangkan strategi

mengatasi situasi: Konselor harus bekerja untuk meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah klien. Strategi yang digunakan selama fase konseling ini

mirip dengan yang digunakan klien yang tidak masuk krisis. Namun, klien dalam

krisis membutuhkan arah yang konkret dan dukunganan emosional yang besar

saat mencoba strategi pemecahan masalah baru ; 8. Perencanaan pencegahan

krisis: Saat klien kembali ke tingkat yang kurang stres, konselor dapat mendorong

mereka untuk mengambil stok situasi krisis dan mengidentifikasi kemungkinan

cara untuk mencegah masalah.

b. Penjangkauan klien Tertekan dan marjinal

Saat seseorang menghadapi stres di lingkungan maka mereka

membutuhkan pertolongan yang praktis, positif, dan memberdayakan. Terkadang

seseorang dipaksa untuk berurusan dengan tekanan yang benar-benar tak terduga,

baik yang disebabkan oleh krisis pribadi atau dengan bencana yang

mempengaruhi seluruh masyarakat. Apapun penyebab stres, seseorang yang

sedang stres mungkin merasa pesimistis, tidak percaya diri atau bahkan tidak

terpikirkan untuk mencari penolong. Untungnya, model konseling masyarakat,

memiliki penekanan pada penjangkauan, pemberdayaan, dan konteks

masyarakat.63 Orang yang terpinggirkan relatif hanya memiliki sedikit kontrol atas

hidup mereka dan sumber daya yang tersedia bagi mereka. Mereka yang

termarjinalkan sering menerima sikap publik yang negatif. Kesempatan mereka

63 Judith A. Lewis, Michael D. Lewis, dkk,

(35)

49

untuk membuat kontribusi dalam kehidupan sosial mungkin terbatas dan mereka

cenderung memiliki harga diri dan rasa percaya diri yang rendah.64 Dengan

demikian, maka konseling masyarakat dengan kompetensi keadilan masyarakat

sangat perlu diperhatikan untuk penanganan atau untuk menanggapi keadaan klien

yang tertekan dan marjinal ini. Akan tetapi kompetensi juga tidak bisa dilupakan

untuk penjangkauan ini sebab sebuah keadaan klien yang tertekan dan

termarjinalkan tetap perlu pengidentifikasian dalam banyak karakteristik seperti

yang terkandung dalam karakteristik respectfull.

II.3 Seksualitas dan Sejarah LGBT

Bagian ini perlu untuk dituliskan sebab kedua teori yang penulis tuliskan

di bab ini adalah teori yang akan digunakan dalam mengkaji tema ini. Tema

tersebut yaitu berkenaan dengan LGBT dan permasalahannya yang disini secara

khusus tentang adanya diskriminasi terhadap LGBT seperti yang telah terpapar

dalam latar belakang di bab satu yang kemudian melahirkan keinginan penulis

untuk menulis upaya persamaaan hak LGBT dari perspektif Semar yang

kemudian akan ditinjau dari konseling masyarakat. Untuk itu penulis ingin

menuliskan mengenai LGBT dalam bagian ini.

Lingga Tri Utama, dalam Seksualitas Rasa Rainbow Cake membedakan konsep gender dan seksualitas. Baginya gender adalah suatu yang dikonstruksi

oleh sosial. Gender dibentuk oleh dan disosialisasikan dalam masyarakat dan

budaya tertentu. Misalnya perempuan harus lemah lembut dan laki-laki tidak

boleh menangis atau cengeng. Sedangkan seksualitas adalah suatu aspek inti

64 Carolyn Kagan,

Community psychological perspectives and counselling psychology.

(36)

50

manusia sepanjang hidupnya. Seksualitas meliputi seks atau jenis kelamin

biologis, identitas dan peran gender, orientasi seksual, erotisisme, kenikmatan,

kemesraan dan reproduksi.65 Lingga mencoba menyajikan pemaparan bahwa

seksualitas terbagi dalam empat dimensi : (1) dimensi biologis, dimana berkaitan

dengan organ reproduksi dan organ seksual, (2) dimensi psikologis, berkaitan

dengan bagaimana menjalankan fungsi sebagai makhluk seksual, identitas peran,

emosi, (3) dimensi sosial, berkaitan dengan bagaimana seksualitas muncul dalam

hubungan antar manusia dan juga bagaimana pengaruh lingkungan dalam

membentuk pandangan tentang seksualitas yang akhirnya mempengaruhi perilaku

seksual, (4) dimensi budaya, yang menunjukkan bahwa seksualitas merupakan

bagian, mempengaruhi dan dipengaruhi, aspek-aspek lain dalam masyarakat

seperti sejarah, ekonomi, politik, etika, hukum dan agama.66

Anne K. Hersberger dalam Seksualitas Pemberian Allah mengatakan bahwa seksualitas adalah bagian integral dari keberadaan kita.67 Seksualitas

meliputi keseluruhan hidup kita. Bagian yang integral dari keberadaan manusia

ini, menurut Hersberger seksualitas juga merupakan pemberian Tuhan. Pemberian

seksualitas itu, sama seperti pemberian-pemberian lainnya, dimaksudkan untuk

menjadi sumber kebahagiaan dalam hidup.68 Seksualitas sebagai pemberian dan

untuk kegembiraan hidup ini justru seringkali menimbulkan permasalahan.

Seksualitas juga seolah menjadi hal yang tabu untuk dibicarakan sembarangan.

Menurut catatan sejarah, Pada awal abad ke-17, kegiatan seksual tidak ditutupi.

65 Lingga Tri Utama,

Seksualitas Rasa Rainbow Cake, h. 6 66

Lingga Tri Utama, Seksualitas Rasa Rainbow Cake, h. 6-7 67

Anne K. Hersberger, Seksualitas Pemberian Allah, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2008), h. 9

68

(37)

51

Ukuran untuk tingkah laku vulgar, jorok, tidak santun sangat longgar jika

dibandingkan abad ke-19.69

Alicia Izharuddin mengatakan bahwa menulis sejarah seksualitas

non-normatif dalam konteks non-Barat menyajikan berbagai tantangan metodologis

dan teoritis. Dalam kasus Indonesia, kurangnya ketersediaan bahan

mendokumentasikan masalah seksualitas masa lalu menjadi masalah utamanya.

Pemeriksaan yang cermat dari struktur sejarah sebagai wacana tidak hanya

memperhitungkan kontinuitas saja tetapi juga menyoroti hal yang tereduksi oleh

kekhususan budaya dan sejarah dari sekarang.70 Alicia menuliskan mengenai

pengenalan konvensional untuk sejarah seksualitas Indonesia ternyata menyajikan

teks Jawa dan naskah kolonial sebagai bukti awal keanekaragaman seksual.71

Salah satu sumber penting adalah Serat Centhini, sebuah puisi panjang yang

ditulis pada tahun 1616. Sebuah puisi yang terdiri dari deskripsi rinci dari sodomi,

fellatio, masturbasi, hubungan multiple-mitra, dan transvestisme. Sementara

homoseksualitas laki-laki ditampilkan sebagai sebuah masalah, namun justru

disana menunjukkan fakta bahwa keberadaannya menjadi bagian dari budaya

seksual Jawa yang berwarna-warni.72 Dalam bagian selanjutnya tulisan ini akan

mencoba melihat seksualitas di Barat dan di Indonesia, terutama yang berkaitan

dengan keberagaman orientasi seksual.

II.3.1 Sejarah LGBT di Barat

69

Michel Foucault, La Volonté de Savoir - Histoire de la Sexualité, terj: Rahayu S. Hidayat, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2008), h. 18

70

Alicia Izharuddin, dalam Inter-Asia Cultural Studies, 2013, Vol. 14, No. 4, 538–550, h. 539

71 Alicia Izharuddin, dalam

Inter-Asia Cultural Studies, h. 540

72

(38)

52

Berbicara mengenai keberagaman seksualitas, secara khusus dalam bagian

ini akan dibahas mengenai homoseksual (gay dan lesbi), transgender dan

biseksual. Ketiganya merupakan keberagaman dalam hal orientasi seksual, sebab

pada umumnya orang menganggap bahwa yang “normal” adalah heteroseksual.

Dalam masyarakat jaman Yunani Kuno, cinta homoseks dianggap ideal dan

dilembagakan. Terdapat bukti kuat bahwa Iskandar Agung (Iskandar Zulkarnain),

sang penakluk dari Macedonia itu, lebih menyukai hubungan emosional-seksual

dengan sahabat maupun budak laki-lakinya.73 Mitologi Yunani penuh dengan

kisah hubungan percintaan sesama jenis kelamin, seperti antara Zeus dan

Ganymede, Herakles dan Iolaus (Hylas), dan Apollo dan Hyakinthus.74 Agama

Kristen dan pendahulunya, agama Yahudi (Yudaisme) memang mempunyai

pandangan terhadap seks yang oleh sejarahwan seksualitas Vern L. Bullough

dinamakan sex-negative. Seks hanyalah bertujuan untuk prokreasi (mendapatkan

keturunan) di dalam pernikahan resmi (yang disahkan oleh gereja); pemanfaatan

kemampuan seks pada manusia untuk tujuan lain (rekreasi, misalnya) dipandang

sebagai penyimpangan yang penuh noda dan dosa.75 Sikap negatif ini masih ada

pada sebagian anggota masyarakat Barat. Namun perubahan sikap mulai terjadi

pada abad ke-19. Dengan berkembangnya alam pemikiran yang mulai berani

mempertanyakan dogma dan doktrin keagamaan di Barat, dengan berkembangnya

filsafat materialisme, dan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan kedokteran

dan psikiatri serta psikologi pada khususnya, maka homoseksualitas yang dulunya

dikategorikan sebagai dosa kemudian dianggap sebagai "penyakit”. Tidak hanya

itu hubungan homosekualitas juga dianggap sebagai gangguan jiwa, kelainan,

73

Dede Oetomo, Memberi Suara Pada Yang Bisu (Yogyakarta : Galang Press, 2001), h. 7 74 Dede Oetomo, Memberi Suara Pada Yang Bisu, h. 8

75

Gambar

Tabel 1 : Gambar Model Konseling Masyarakat

Referensi

Dokumen terkait

Analisa data dilakukan dengan membandingkan hasil data yang sudah diolah dengan Standarisasi ITU-T G.1010 dan standarisasi yang dipunyai PT PLN Persero APJ Surakarta untuk

Jenis data pada penelitian ini merupakan data kualitatif yang berupa pernyataan, uraian, pendapat, dan gambaran hasil pengamatan terhadap pengelolaan adiksi game online pada

[r]

Keberadaan masjid di sisi barat dan bangunan penting lain di sekitar alun-alun tersebut menurut Lisa Dwi Wulandari terkait dengan konsep alun-alun sebagai upaya untuk memadukan

Badan Pusat Statistika (BPS) Provinsi Sumatera Utara... Pengantar Hukum Indonesia , Citapustaka

[r]

Badan akreditasi ini memiliki kewenangan, kriteria akreditasi serta prosedur pelaksanaannya.Banyak yang beranggapan bahwa permintaan untuk diakreditasi

perut. c) Lemak subkutan tampak jarang, dengan penampakkan kurus dan lemah.. e) Fontanel anterior dapat tertekan. f) Dapat menangis kuat dan tampak waspada. g) Berat badan lahir