• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Semar untuk Persamaan Hak Kaum LGBT sebagai Pendekatan Konseling Masyarakat T2 752015028 BAB I"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

Bab I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Keragaman rientasi seksual merupakan salah satu bentuk keragaman kecil

di tengah banyaknya keragaman yang ada di tengah kehidupan. Mengacu pada

jenis kelamin mana seseorang tertarik secara emosional dan seksual, sebuah

ketertarikan tidaklah kasat mata, artinya hanya si individu sendiri yang bisa

merasakan kepada siapa ia tertarik. Dilihat dari sudut pandang orientasi seksual,

manusia dibagi menjadi 4 kategori. Kategori yang pertama adalah ketertarikan

manusia pada jenis kelamin yang sama (homoseksual), kedua, ketertarikan

manusia pada lawan jenis (heteroseksual), ketiga, ketertarikan manusia pada

keduanya, baik jenis kelamin yang sama maupun ketertarikan pada lawan jenis

(biseksual) dan terakhir, tidak tertarik pada jenis kelamin manapun (aseksual).1

Dari kategori ini jelas bahwa manusia sebagai makhluk seksualitas memiliki salah

satu dari empat kemungkinan orientasi seksual, dan ketika orientasi seksualnya

tidak sama dengan yang lain bukan berarti ia bukan manusia. Dari keberagaman

orientasi seksual ini, tanggapan berbeda muncul dari berbagai kalangan. Ada yang

menerima keberagaman orientasi seksual ini, tetapi tidak sedikit yang

mempermasalahkannya.

Munculnya perbedaan antara heteroseksual dan homoseksual dilihat dan

ditanggapi dengan baik oleh Alfred Kinsey yang disadur oleh Lingga dalam

Seksualitas Rasa Rainbow Cake dengan membuat skala perilaku seksual yang

1 Lingga Tri Utama,

(2)

2

masih sering dipakai sampai dengan saat ini untuk menjelaskan posisi perilaku

seksual seseorang.

Tabel 12: Skala Perilaku Seksual Alfred Kinsey

Exclusive

Dalam penelitiannya, Alfred Kinsey menemukan 7 kategori untuk

mengukur skala perilaku seksual manusia, ukurannya dimulai dari skala 0 yang

mewakili perilaku heteroseksual eksklusif sampai dengan 6 yang mewakili

homoseksual eksklusif. Angka 1 menunjukkan sebagian besar seseorang memiliki

kelakuan heteroseksual dan 5 menunjukkan sebagian besar seseorang memiliki

kelakuan homoseksual tetapi mereka memiliki paling sedikit beberapa kali

pengalaman seksual dengan orientasi yang berlawanan. Skala 2 menunjukkan

seseorang mempunyai pengalaman lebih dari sekadar insiden perilaku seks sejenis

tetapi ia masih lebih mempunyai kecenderungan pada orientasi heteroseksual,

2 Gary F. Kelly,

(3)

3

skala 4 menunjukkan seseorang mempunyai pengalaman lebih dari sekedar

insiden perilaku seks heteroseksual tetapi ia masih lebih mempunyai

kecenderungan pada orientasi homoseksual. Dan skala nomer 3 orang-orang yang

mempunyai pengalaman atau ketertarikan seksual yang kira-kira sebanding antara

heteroseksual dan homoseksual, atau yang dikenal dengan biseksual.3 Dari skala

Kinsey dapat terlihat, seksualitas bukanlah permasalahan yang sederhana yang

melulu dapat dilihat dari kacamata heteronormatif. Seksualitas merupakan hal

kompleks dan keberadaannya diwakili oleh keberagaman individu dari berbagai

jaman.

Akhir-akhir ini berkembang analisis SOGI atau SOGIE yang dipaparkan

dalam buku A Guide to Gender4, dimana analisis ini merupakan gambaran yang

dapat digunakan dalam menjelaskan peta gender dan seksualitas.

3

Gary F. Kelly, Sexuality Today, h. 366

4 The Genderbread Person.

(4)

4

Dari gambar diatas, dapat dilihat bahwa gender dan seksualitas manusia

terbagi menurut 4 aspek :

A. Identitas Gender (gender identity) menyangkut konsep diri, cara pandang seseorang terhadap dirinya sendiri. Pembahasan transgender

(waria atau priawan) berada dalam aspek ini.

B. Ekspresi gender (gender expression) berkaitan dengan bagaiaman seseorang menampilkan atau mengekspresikan dirinya : feminin,

maskulin atau androgynous (keduanya maskulin dan feminin).

C. Jenis kelamin (biological sex) merupakan aspek biologis yang ditetapkan sejak ia lahir : apakah ia berjenis kelamin laki-laki atau

male, perempuan atau female, atau diantaranya (biasa disebut intersex) D. Orientasi seksual (sexual orientation) membahas tentang ketertarikan

kepada yang lain. Pembahasan tentang aspek ini sudah dipaparkan

penulis pada penjelasan sebelumnya. Homoseksualitas berada di ranah

aspek orientasi seksual.

Keempat faktor ini ada dalam diri setiap manusia. Spektrum ini bervariasi

dan berbeda antar satu manusia dengan manusia lainnya. Penulis tidak akan

terlalu berfokus pada pembahasan ini. Namun setidaknya gambaran tentang

genderbread person menjelaskan isu seksualitas telah berkembang sedemikian rupa dan bukan dilihat dalam pandangan biner : suatu hitam dan putih, benar dan

salah.

Dengan kenyataan keberagaman orientasi seksual tersebut, belakangan ini

sedang marak sekali perbincangan mengenai LGBT baik dari awam, akademisi,

(5)

5

ini benar-benar meletus sehubungan dengan banyaknya LGBT mulai mengakui

dan menunjukkan identitas (coming out) mereka pada publik dalam segi orientasi seksualnya. Banyak yang menganggap orientasi seksual selain heteroseksual

merupakan ancaman bagi masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat melakukan

resistensi berupa penolakan terhadap mereka. Penolakan tersebut dilakukan

dengan cara memandang dan bersikap bahwa apa yang mereka alami (orientasi

seksual) bukan merupakan budaya (yang umum) di Indonesia. Pelakunya

mayoritas adalah keluarga atau kerabat dengan jumlah 162 responden (76,4%) dan

teman dengan jumlah 57 responden atau setara dengan 26,9%.5 Terkhusus untuk

kaum homoseksual selalu diberi sebutan negatif dan direndahkan, orientasi

seksualnya dianggap menular seperti penyakit, dianggap tidak normal dan

menjadi korban tindak kriminalisasi.6 Perlakuan tidak menyenangkan ini tidak

hanya berhenti pada perlakuan terhadap kaum homoseksual sebagai individu,

penolakan dari masyarakat juga tampak pada tindak penolakan kegiatan yang

dilakukan ketika kaum homoseks berada dalam sebuah komunitas.

Pada tahun 2010 tercatat beberapa kasus yang dilakukan oleh

kelompok-kelompok fundamentalis terhadap kaum homoseks yang tergabung dalam

komunitas LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) antara lain: penolakan

kegiatan dan pengusiran adanya konferensi ILGA-Asia (International Lesbian Gay Association) ke-4 yang direncanakan diadakan di Surabaya pada Maret 2010, serta seminar HIV & AIDS di Bandung dan Peringatan Hari Internasional

5

Arus Pelangi, Menguak Stigma Kekerasan dan Diskriminasi Pada LGBT Di Indonesia,

(Jakarta Selatan : Arus Pelangi, 2013), h. xvi 6

(6)

6

Melawan Homophobia di Yogyakarta pada bulan Mei 2010.7 Selain itu, LGBT

juga mengalami bullying, bullying terhadap mahasiswa LGBT juga menjadi hal yang memprihatinkan.8 Ada tiga aspek bullying yaitu pertama adanya perbedaan

kekuatan antara pelaku dan korban. Kedua, perilaku bullying diulang-ulang dan

ketiga perilaku ini dilakukan secara intensif.9 Bullying tidak hanya lewat hal-hal

fisik dan kata-kata saja melainkan juga bisa dilakukan dengan membiarakan hal

buruk tentang seseorang di belakangnya. Selain itu bullying juga bisa dengan

membuat seseorang merasa tidak nyaman dan tidak aman atau merasa takut.10

Diskriminasi yang terjadi tersebut bertolak belakang dengan falsafah hidup

masyarakat Jawa. Falsafah yang dimaksud adalah falsafat tentang prinsip

kerukunan dan harmonitas sosial. Tidak hanya itu, diskriminasi juga bertolak

belakang dengan pergaulan masyarakat jawa yang dimana pergaulan itu

ditentukan oleh dua kaidah. Kaidah pertama adalah prinsip kerukunan dan kaidah

yang kedua adalah prinsip hormat.11 Tujuan dari prinsip kerukunan adalah

mempertahankan masyarakat agar tetap dalam keharmonisan. Rukun adalah

keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam hubungan sosial,

hubungan keluarga, dalam rukun tetangga. Ada dua segi yang perlu disadari dan

diperhatikan dalam tuntutan kerukunan ini yaitu dalam pandangan Jawa konsep

7 Lingga Tri Utama,

Seksualitas Rasa Rainbow Cake,...,h. 51. 8

Dede Oetomo dan Khanis Suvianita dkk, Laporan LGBT Nasional Indonesia - Hidup Sebagai LGBT di Asia (United Nations Development Programme : 2013), h. 11

9

Lingga Tri Utama, Seksualitas Rasa Rainbow Cake, (Yogyakarta : PKBI DIY, 2013), h. 82 10 Lingga Tri Utama,

Seksualitas Rasa Rainbow Cake, (Yogyakarta : PKBI DIY, 2013), h. 83 11

(7)

7

kerukunan ini bukan terletak pada menciptakan keadaan keharmonisan sosial

melainkan lebih pada tidak mengganggu keharmonisan yang sudah ada.12

Dalam pepatah jawa sering disebut-sebut tentang “rukun agawe santosa”.

Pepatah ini memiliki arti bahwa kerukunan yang terjalin antar umat manusia dapat

membawa kehidupan yang penuh dengan kesejahteraan. Apabila terjadi

pertengkaran di tengah kehidupan masyarakat atau di tengah komunitas sosial

maka hal itu dipahami karena adanya motivasi watak keserakahan baik dari

individu maupun secara kolektif demi meraih materi juga kemewahan duniawi.

Akan tetapi yang disayangkan juga adalah terkadang motivasi-motivasi tersebut

mengatasnamakan Tuhan.13 Jika hal-hal demikian terjadi maka tidak ada

harmonitas sosial disana sebab sebuah keharmonisan sosial perlu dijaga yakni

dengan cara menjaga agar kehidupan sosial selalu berada pada keselarasan,

keserasian, dan juga kerukunan. Jika demikian maka harmonitas sosial memiliki

arti bahwa jika semua interaksi sosial berjalan tanpa adanya tekanan-tekanan yang

menghalangi terjadinya suatu kebebasan dari setiap individu. Jadi suatu

harmonitas sosial nampaknya memang mensyaratkan adanya jaminan kebebasan

bagi setiap individu.14 Bahkan konsep kehidupan yang demikian itu juga

terkandung dalam wayang, nilai-nilai yang ada pada budaya jawa selalu dengan

menarik diceritakan dalam cerita-cerita pewayangan.15

12

Franz Magnis-Suseno. Etika Jawa sebuah analisa falsafati tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa ,..., h. 39

13 Drs. Moh. Roqib,

Harmoni Dalam Budaya Jawa. (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2007), h. 20

14

Drs. Moh. Roqib, Harmoni Dalam Budaya Jawa, h. 21 15 Ignas G. Saksono & Djoko Dwiyanto,

Terbelahnya Kepribadian Orang Jawa.

(8)

8

Cerita-cerita pewayangan sering dijadikan sebagai sarana memberikan

pengajaran akan nilai-nilai kehidupan, terlebih wayang purwa. Wayang Purwa

mengandung konsepsi yang sering digunakan untuk memberikan pedoman sikap

dan perbuatan dari kelompok masyarakat tertentu yang kemudian konsepsi

tersebut membentuk suatu sistem nilai. Dalam pertunjukan wayang purwa, ada

gambaran sikap hidup dan karakter manusia yang diwakili oleh setiap tokoh

dalam pewayangan tersebut.16 Tokoh-tokoh pewayangan tersebut diantaranya

Bima, Arjuna, Semar, Gatutkaca, Kumbakarna, Dewi Kunti, Sinta, Arimbi, Utara,

Permadi, Wibisama Adipati Karna.

Adanya diskriminasi yang terjadi dan menimpa LGBT seperti yang sudah

dipaparkan dalam latar belakang di atas, maka dapat dilihat betapa kontradiktifnya

kehidupan di tengah masyarakat khususnya di Jawa yang menjadikan prinsip

hidup rukun sebagai salah satu falsafah hidup serta juga yang menjaga harmonitas

sosial. Dari beberapa tokoh dalam pewayangan yang menggambarkan berbagai

macam sikap dan sifat hidup manusia ini penulis mengambil satu model atau

tokoh pewayangan yaitu Semar. Ada sikap dan sifat Semar yang dapat dicontoh

manusia dalam berperilaku dan khususnya bagi orang Jawa untuk

mengembangkan falsafah hidup di tengah-tengah keberadaan kaum LGBT beserta

permasalahan yang menimpa mereka.

Dengan melihat realitas adanya diskriminasi terhadap kaum LGBT dan

kenyataan akan keberagaman orientasi seksual manusia di atas, maka disini

penulis ingin menggali peran Semar guna upaya mewujudkan kesamaan hak

untuk kaum LGBT yang akan dikaji dari konseling masyarakat. Usaha menggali

16

(9)

9

peran dan nilai-nilai pastoral yang ada pada diri Semar ini akan dilakukan di kota

Blitar Jawa Timur, khususnya kepada Dalang yang ada disana. Akan tetapi

penelitian juga akan dilakukan kepada masyarakat Blitar sebagai salah satu

konteks yang berbudaya Jawa. Pemilihan tempat penelitian ini tidak didasarkan

pada alasan khusus misalnya karena ada diskriminasi terhadap kaum LGBT yang

ada disana. Pemilihan tempat ini murni dalam rangka menggali pandangan dan

pendapat masyarakat tentang LGBT dan juga nilai kebijaksanaan dari Semar

tanpa menunggu dahulu kasus yang berkenaan dengan LGBT itu terjadi.

Penelitian ini akan mengacu pada teori konseling masyarakat. Konseling

masyarakat dipakai guna mendukung temuan yang akan digali dalam diri Semar

sebagai upaya pemberdayaan masyarakat pada umumnya. Semar merupakan

sosok yang dapat dijadikan sebagai gambaran seorang yang bijaksana dan

memiliki kemampuan untuk menciptakan keharmonisan di tengah kehidupan.

Kehadirannya memiliki arti tersendiri diantara tokoh-tokoh pewayangan lainnya

dalam hal perdamaian diantara para ksatria. Sosok Semar akan dilihat juga terkait

kehadirannya di tengah adegan gara-gara dalam pewayangan. Ketika melihat adegan gara-gara dalam pewayangan, maka berarti akan dilihat cara Semar mengakhiri ketidakharmonisan yang ada. Peran dan kehadiran Semar dalam

adegan gara-gara ini maka akan akan dilakukan upaya untuk melihat upaya pendamaian yang ada dalam diri Semar.

Selanjutnya teori tentang konseling masyarakat sebagai teori yang dapat

dijadikan untuk mengkaji cara Semar menyelesaikan konflik diantara para kstaria

pada cerita pewayangan itu. Sosok Semar dalam dunia pewayangan, telah

(10)

10

Purwa.17 Tujuan Semar ada adalah untuk membimbing manusia berjiwa ksatria

tersebut, untuk dapat memenangkan pertempuran batinnya dan kemudian

mengalahkan kejahatan yang ada di dunia ini. Konseling masyarakat memiliki

model diantaranya pelayanan langsung kepada suatu komunitas yang bisa

berisikan tentang pendidikan preventif, pelayanan langsung kepada konseli

(dalam suatu komunitas), pelayanan komunitas secara tidak langsung dan

pelayanan tidak langsung kepada seorang konseli (misal memberikan bantuan

hukum).18

Gara-gara merupakan sebuah adegan lawak, yang dilakukan oleh para Punakawan di tengah-tengah konflik yang sedang terjadi. Tujuan dari adegan ini

adalah untuk mencairkan suasana, agar situasi konflik yang tengah terjadi dapat

segera diselesaikan dengan baik.19 Soegiono berpendapat bahwa gara-gara,

merupakan penggambaran dari keadaan dunia, yang sedang mengalami kekacauan

dan kekalutan. Kekacauan dan kekalutan tersebut, nyatanya akan dapat melanda

semua kalangan baik itu kepada manusia, dewa-dewa maupun alam semesta itu

sendiri.20 Setelah semua kekacauan dalam adegan ini dimunculkan, maka

selanjutnya juga akan memunculkan harapan, bahwa permasalahan tersebut akan

selesai. Harapan tersebut akan bertumpu pada kehadiran para Punakawan,

terkhusus dalam hal ini melalui tokoh Semar. Inilah alasan mengapa dalam

17 Clifford Geertz,

Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa,(Jakarta: 1989), h. 354

18

David B. Hershenson dkk, Community Counseling (Contemporary Theory and Practice).

Amerika : Library of Congress Cataloging in Publication Data. 1996, h. 27. 19

Sartono Katodirdjo, dkk, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 1987), h. 119

20 Soegiono, Pu akawa da Gara-gara , dala

(11)

11

penelitian ini akan memakai penggambaran tentang Semar dan juga Konseling

Masyarakat.

I.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas maka masalah penelitian dirumuskan sebagai

berikut : bagaimana peran Semar untuk upaya persamaan hak bagi kaum LGBT

sebagai pendekatan konseling masyarakat? Rumusan masalah tersebut dijabarkan

dalam dua pokok penelitian sebagai berikut : Pertama, bagaimana peran Semar untuk persamaan hak LGBT di tengah masyarakat kota Blitar dikaji dari

konseling masyarakat? Kedua, bagaimana peran Semar dikembangkan sebagai pendekatan konseling masyarakat?

Berdasarkan rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian ini ialah

mengkaji dan menganalisis peran Semar untuk upaya persamaan hak kaum LGBT

sebagai konseling masyarakat. Selanjutnya tujuan penelitian ini dijabarkan

menjadi dua sasaran pencapaian penelitian yaitu : Pertama, mengkaji peran Semar untuk persamaan hak LGBT di tengah masyarakat kota Blitar dari perspektif

konseling masyarakat. Kedua, mengembangkan peran Semar sebagai pendekatan konseling masyarakat.

I.3 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dalam memberikan sumbangsih yang positif

dalam bidang akademisi, gereja, konselor serta masyarakat pada umumnya.

Sumbangsih ini terkait cara untuk menyikapi keberadaan kaum LGBT di

tengah-tengah masyarakat pada umumnya, dan kalangan akademisi serta gereja

(12)

12

para konselor dapat memiliki suatu pendekatan baru yang dapat dipakai untuk

membuka cara pandang dan sikap masyarakat terkait keberadaan kaum LGBT.

Cara pandang dan sikap tersebut tidak lain adalah belajar dari sikap dan nilai

pastoral dari diri Semar. Kemudian dengan begitu maka harapan berikutnya

adalah msayarakat, akademisi dan gereja serta konselor dapat menjadi teman yang

dapat memanusiakan LGBT tanpa adanya sentimentil dan diskriminasi.

I.4 Metode Penelitian :

Menurut Sugiyono, metode penelitian merupakan cara ilmiah untuk

mendapatkan data dengan tujuan dan kegunaan tertentu.21 Di dalam mendapatkan

data tersebut, tentunya diperlukan teknik pengumpulan data. Dimana teknik

pengumpulan data ini merupakan langkah yang paling strategis dalam penelitian,

karena tujuan utama dari penelitian adalah mendapatkan data.22 Untuk teknik

pengumpulan data ini, penyusun akan memakai dua teknik pengumpulan data

yaitu teknik wawancara dan teknik pengamatan. Sutrisno Hadi dalam Sugiyono

mengemukakan bahwa, observasi merupakan suatu proses yang kompleks. Hal yang terpenting di dalamnya adalah proses-proses pengamatan dan ingatan.23

Untuk pengamatan ini penyusun akan melakukannya dengan melihat

pertunjukkan wayang kulit yang ada di jawa timur. Pertunjukkan ini tidak dapat

ditentukan secara pasti tempatkan karena tergantung rombongan wayang itu

diundang dan dipentaskan dimana. Oleh karena itu penyusun harus mencari

21

Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. (Bandung : Penerbit Alfabeta, CV. 2013), h. 14

22 Prof. Dr. Sugiyono,

Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 224 23

(13)

13

informasi akan hal ini kepada dalang yang ada. pemilihan dalang ini adalah

dalang dan pertunjukan wayang dari kota Blitar Jawa Timur.

Sedangkan wawancara merupakan pertemuan dua orang untuk bertukar

informasi dan ide melalui tanya jawab, sehingga dapat dikontruksikan makna

dalam suatu topik tertentu.24 Wawancara ini akan dilakukan kepada dalang

wayang yang berasal dari kota Blitar. Selain itu penyusun juga akan melakukan

wawancara kepada masyarakat di Blitar. Dalam pemilihan responden wawancara

ini penyusun akan menentukannya ketika sudah melihat situasi setelah

pengamatan dilakukan. Hal ini karena mengacu pada apa yang dikemukakan oleh

Sugiyono mengenai purposive sampling yang artinya adalah teknik pengambilan sampel sumber data dengan pertimbangan tertentu. Pertimbangan tertentu ini,

misalnya orang tersebut yang dianggap paling tahu tentang apa yang kita

harapkan, atau mungkin dia sebagai penguasa sehingga akan memudahkan

peneliti menjelajahi obyek atau situasi sosial yang diteliti.25

I.5 Sistematika Penulisan

Bab Pertama, pendahuluan. Berisi tentang latar belakang, rumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi penelitian beserta

lokasi penelitian, sistematika penulisan. Bab Dua, tentang Semar yang meliputi

Semar dan Sejarah kemunculannya serta adegan gara-gara ; Konseling Masyarakat yang meliputi dua kompetensi dalam konseling masyarakat dan

model konseling komunitas ; bagian terakhir tentang LGBT. Kemudian Bab Tiga

tentang hasil penelitian yang meliputi deskripsi asal-usul dan pemaknaan Semar,

24 Prof. Dr. Sugiyono,

Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, h. 231 25

(14)

14

serta deskripsi permasalahan persamaan hak LGBT di tengah masyarakat Blitar.

Bab Empat, tentang pembahasan dan analisis yang meliputi kajian terhadap

asal-usul dan peran Semar dari perspektif konseling masyarakat, kajian terhadap

persamaan hak kaum LGBT dari perspektif peran Semar. Bab Lima

mengembangkan peran Semar sebagai pendekatan konseling masyarakat untuk

kaum LGBT yang meliputi pertama, landasan filosofis dan nilai Spiritual Semar,

kedua tentang desain pendekatan konseling Semar untuk persamaan hak kaum LGBT. Bab Enam adalah penutup berisikan tentang kesimpulan berupa temuan

dari hasil penelitian, pembahasan serta saran-saran berupa kontribusi dan

Gambar

Tabel 12: Skala Perilaku Seksual Alfred Kinsey

Referensi

Dokumen terkait

Peran Perempuan Paska Perceraian di GPM Jemaat Kategorial Lanud Pattimura dari Perspektif Konseling

Isu tersebut sesuai asas perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang merupakan salah satu ciri penting negara hukum (baik rechtsstaat mapun rule of law). Hadjon 1

Pengaturan tentang agama dan kepercayaan harus mencerminkan prinsip universalitas hak asasi sehingga tidak menimbulkan diskriminasi dan intoleransi terhadap

Bagaimana kasus pindah agama di GKJW Jemaat Ponorogo ditinjau dari perspektif.

Peran Single Parent Terhadap Anak Dari Perspektif Konseling Feminis Di GPM Jemaat Rehoboth Sektor Bethania. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan

Skripsi yang berjudul “ Peran Pers Dalam Pemberitaan Tentang Korupsi Ditinjau Dari Perspektif Hak Asasi Manusia ” ini, disusun untuk gelar Sarjana Hukum

Pemahaman masyarakat adat Kei Besar mengenai ain ni ain serta langkah rekonsiliasi penyelesaian konflik dalam konseling perdamaian ain ni ain dapat. menjadi

dapat digunakan dalam proses konseling agar dapat menghadirkan perdamaian yang. diinginkan