• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Disolusi Tablet Parasetamol Dengan Metode Dayung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Disolusi Tablet Parasetamol Dengan Metode Dayung"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINAJAUAN PUSTAKA 2.1 Tablet

Tablet adalah bentuk sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau

tanpa bahan pengisi. Berdasarkan metode pembuatan, tablet dapat digolongkan

sebagai tablet cetak dan tablet kempa. Tablet cetak dibuat dengan cara menekan

massa serbuk lembab dengan tekanan rendah kedalam lubang cetakan. Tablet

kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul

menggunakan cetakan baja. Tablet dapat dibuat dalam berbagai ukuran, bentuk

dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995).

Tablet merupakan suatu sediaan utuh dan praktis diberikan secara oral

dengan dosis yang tepat dan variasi minimal. Tablet merupakan bentuk sediaan

oral dengan biaya produksi paling murah, juga paling ringan dan paling banyak.

Tablet terdiri dari zat aktif dan bahan tambahan. Bahan tambahan dapat dibagi

menjadi dua kelompok besar. Pertama bahan tambahan yang mempengaruhi

biofarmasi, stabilitas fisika dan kimia, termasuk didalamnya penghancuran, zat

pewarna, perasa dan pemanis (Lachman, dkk., 1994).

2.1.1 Komposisi tablet

Tablet pada umumnya disamping zat aktif, juga mengandung zat pengisi,

zat pengikat, zat penghancur dan zat pelican. Untuk tablet tertentu zat pewarna.

Zat perasa dan bahan-bahan lainnya dapat ditambahkan jika diperlukan.

(2)

1. Zat Berkhasiat/ Zat harus Aktif

Zat berkhasiat atau zat aktif jarang diberikan dalam keadaan murni,

tetapi harus dikombinasikan terlebih dahulu dengan zat-zat yang bukan obat

mempunyai fungsi khusus agar dapat dibentuk menjadi sediaan tablet (Anief,

1996).

2. Zat Pengisi

Zat pengisi adalah suatu zat yang ditambahkan ke dalam suatu

formulasi tablet yang bertujuan untuk penyesuaian bobot dan ukuran tablet

sehingga sesuai dengan persyaratan, untuk membantu kemudahan dalam

pembuatan tablet, dan meningkatkan mutu sediaan tablet. Zat pengisi yang biasa

digunakan adalah pati (amilum), laktosa, manitol, sorbitol dan lain-lain (Siregar

dan Wikaras, 2010).

3. Zat Pengikat

Zat pengikat dimaksudkan agar tablet tidak pecah atau retak, dan dapat

dibentuk menjadi granul sehingga dapat dikempa atau dicetak (Anief, 1994). Ada

dua golongan bahan pengikat yaitu bahan gula atau zat polimerik. Bahan

polimerik terdiri atas dua kelas yaitu (1) polimer alam seperti pati, atau gom

mencakup akasia, tragakan dan gelatin. (2) polmer sintetis seperti

polivinilpirolidon, metilselulosa, etilselulosa, dan hidroksipropilselulosa (Siregar

dan Wikarsa, 2010).

4. Zat Penghancur

Zat penghancur dimaksudkan untuk memudahkan pecahnya tablet

ketika berkontak dengan cairan saluran pencernaan dan mempermudah absorbs.

(3)

dikempa, tetapi juga menjadi partikel serbuk yang berasal dari granul (Lachman,

dkk, 1994).

2.1.2 Metode Pembuatan Tablet

Dalam pembuatan tablet, zat berkhasiat dan zat-zat lain kecuali pelican

dibuat granul (butiran kasar), karena serbuk halus tidak mengisi cetakan serta

menjaga agar metode pembuatan tablet, yaitu :

1. Metode granulasi basah

Masing-masing zat berkhasiat, zat pengisi, dan zat penghancur dihaluskan

terlebih dahulu dalam mesin penghalus, seluruh serbuk dicampur bersama-sama

dalam alat pencampur, lalu dibasahi dengan larutan bahan pengikat. Setelah itu

massa lembab diayak menjadi granul menggunakan ayakan 6 atau 8 mesh, dan

dikeringkan dalam lemari pengering pada suhu 500-600C, setelah kering diayak

lagi untuk memperoleh granul dengan ukuran yang diperlukan (biasanya

digunakan ayakan 12-20 mesh). Tambahkan bahan pelican (lubrikan) kemudian

dicetak menjadi tablet dengan mesin tablet (Ansel, 1989).

2. Metode granulasi kering (slugging)

Dilakukan dengan mencampurkan zat berkhasiat, zat pengisi, dan zat

penghancur, serta jika perlu ditambahkan zat pengikat dan zat pelican hingga

menjadi massa serbuk yang homogeny, lalu dikempa cetak pada tekanan yang

tinggi, sehingga menjadi tablet besar (slung) yang tidak berbentuk baik, kemudian

digiling dan diayak hingga dioperoleh granul dengan ukuran partikel yang

diinginkan. Setelah itu dicetak sesuai ukuran tablet yang diinginkan (Ansel,

(4)

3. Metode kempa langsung

Masing-masing zat aktif, zat pengisi, zat penghancur, dan zat pelican

dihaluskan terlebih dahulu dalam mesin penghalus. Seluruh serbuk dicampur

bersama-sama dalam alat pencampur. Campuran serbuk yang telah homogeny

dikempa dalam mesin tablet menjadi tablet jadi (Siregar dan Wikarsa 2010).

Komposisi tablet pada umumnya terdiri atas bahan aktif ekspien (ada

sejumlah kecil tablet yang dapat dibuat tanpa eksipien). Untuk dapat

menghantarkan obat dalam jumlah (dosis) yang cukup pada penggunaan klinik,

diberikan bentuk sediaan yang dapat diterima pasien. Eksipien ditambahkan

dengan berbagai fungsi dan tujuan spesifik sebagai pengisi, pengikat, penghancur,

pelicir, antilengket, pelinci, pembasah, zat warna, peningkat rasa, pemanis,

penutup rasa (Agoes, 2008).

2.1.3 Penggolongan tablet

Tablet digolongkan berdasarkan cara pemberian atau fungsinya, system

penyampain obat yang disesuaikan dengan cara pemberian tersebut, dan bentuk

serta metode pembuatannya. Susunan macam-macam penggolongan tablet dengan

penggolongan utama berdasarkan cara pemberiannya atau fungsinya dapat dilihat

pada table :

Tabel 2.1 Penggolongan tablet

No. Golongan Jenis

1. Tablet oral untuk dimakan a. Tablet kempa atau tablet kempa standar

b. Tablet multikempa atau tablet kempa lapis ganda

c. Tablet aksi diperlama atau tablet salut enteric

(5)

e. Tablet salut lapis tipis

Pemerian : Serbuk hablur, putih; tidak berbau; rasa sedikit pahit.

Kelarutan : Larut dalam air mendidih dan dalam natrium Hidroksida

1N; mudah larut dalam etanol; tidak larut dalam benzene

(6)

2.2.1 Mekanisme kerja

Golongan obat ini menghambat enzim siklo-oksigenase sehingga

konversi asam penting arakidonat menjadi PGG2 (prostaglandin yang

mengandung peroksida yang sangat reaktif) terganggu. Setiap obat menghambat

siklooksigenase dengan cara yang berbeda. Khusus paracetamol, hambatan

biosintesis prostaglandin hanya terjadi bila lingkungannya rendah kadar peroksida

seperti dihipotalamus. Lokasi inflamasi biasanya mengandung banyak peroksida

yang dihasilakan oleh leukosit. Ini menjelaskan mengapa efek anti-inflamasi

parasetamol praktis tidak ada (Ganiswara, 1995).

2.2.2 Farmakokinetik

Asetaminofen diberikan secara oral. Penyerapan dihubungkan dengan

penggosongan perut, dan konsentrasi darah puncak biasanya tercapai dalam 30-60

menit. Asetaminofen sedikit terikat pada protein plasma dan sebagian

dimetabolisme oleh enzim microsomal hati dan diubah menjadi sulfat

danglukoronida acetaminophen, yang secara farmakologis tidak aktif. Kurang dari

5% diekresikan dalam keadaan tidak berubah. Metabolit minor tetapi sangat aktif

(Nacetyle-p-benzoquinone) adalah penting dalam dosis besar karena efek

toksisnya terhadap hati dan ginjal. Waktu paruh asetaminofen adalah 2-3 jam dan

relative terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan kualitas toksik atau penyakit hati,

waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih (Katzung, 2002).

2.2.3 Farmakodinamik

Efek analgesic parasetamol dan fenasetin serupa dengan selisilat yaitu

menghilangkan atau mengurangi nyeri ringan sampai sedang. Keduanya

(7)

sentral seperti salisilat. Efek anti-inflamasinya sangat lemah, oleh karena itu

parasetamol dan fenasetin tidak digunakan sebagai antireumatik. Parasetamol

merupakan penghambat biosintesis PG yang lemah. Efek iritasi erosi dan

perdarahan lambung tidak terlihat pada kedua obat ini, demikian juga gangguan

pernapasan dan keseimbangan asam basa (Setiabudy, 2007)

2.2.4 Efek samping

Pada penggunaan kronis dari 3-4 g sehari dapat terjadi kerusakan hati,

pada dosis diatas 6 g mengakibatkan gangguan hati yang tidak reversibel.

Hepatotoksisitas ini disebabkan oleh metabolit-metabolitnya, yang pada dosi

normal dapat ditangkal oleh glutathione (suatu tripeptida dengan –SH). Pada dosis

diatas 10 g, persediaan peptide tersebut habis dan metabolit-metabolit mengikat

pada protein dengan –SH di sel-sel hati, dan terjadilah kerusakan irreversible.

Dosis dari 20 g dapat berakibat fatal.

Overdosis biasa meningkatkan antara lain mual, muntah dan anorexia.

Penanggulangannya dengan cuci lambung, juga perlu diberikan zat-zat penawar

(asam amino N-asetilsintein dan metionin) sedini mungkin, sebaiknya dalam 8-10

jam setelah intoksikasi (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.2.5 Indikasi

Penggunaan fenasetin dan asetaminofen sebagai analgetik dan antipiretik

adalah sama dengan salisilat. Analgesic, fenasetin dan asetaminofen dapat

diberikan tiap 3-4 jam untuk keadaan-keadaan seperti sakit kepala, migren, nyeri

haid, arthralgia, dan lain-lain. Tetapi sebaiknya terapi jangan diberikan terlalu

lama. Jika dosis terapi yang biasa diberikan tidak memberikan manfaat, dosis

(8)

Antipiretik, penggunaan fenasetin dan asetaminofen untuk meredakan

demam telah terdesak oleh penggunanya untuk menimbulkan analgesia. Untuk

dewasa dosis 325 mg- 1000 mg, diberikan secara oral tiap 3 atau 4 jam. Untuk

anak 20 mg per kg BB, diberikan tiap 4-6 jam, dosis total perhari jangan melebihi

3,6 g (Tanu, 1972)

Digunakan untuk mengurangi atau melenyapkan rasa nyeri dan

menurunkan suhu badan yang tinggi. Misalnya pada sakit kepala, sakit gigi, nyeri

haid, keseleo, demam imunisasi, demam flu dan lain sebagainya. Obat-obat

golongan ini yang beredar sebagi obat bebas adalah untuk sakit yang bersifat

ringan, sedangkan untuk sakit yang berat (misal: sakit karena batu ginjal dan batu

empedu, kanker) perlu menggunakan jenis obat keras, dan untuk demam yang

berlarut-larut membutuhkan pemeriksaan dokter.

2.3 Disolusi

Disolusi didefinisikan sebagai proses suatu zat padat masuk ke dalam

pelarut menghasilkan suatu larutan. Secara sederhana, disolusi adalah proses zat

padat melarut. Secara singkat, proses ini dikendalikan oleh afinitas antara zat

padat dan pelarut (Ansel, 1989).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam

cairan pada tempat absorbs. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu obat tergantung

dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan

berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses larutnya suatu obat

(9)

Pada suatu partikel obat mengalami disolusi, malekul-molekul obat pada

permukaan mula-mula masuk kedalam larutan menciptakan suatu lapisan jenuh

obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat yang dikenal

dengan lapisan difusi. Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar

melawati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis serta

absorbs terjadi (Anief, 1987).

Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatasan kecepatan sebelum

obat berada dalam darah. Apabila suatu sediaan padat berada dalam saluran cerna,

ada dua kemungkinan yang akan berfungsi sebagai pembatas kecepatan. Bahan

berkhasiat dari sedian tersebut pertama-tama harus terlarut, setelah itu barulah

obat yang berada dalam larutan melewati membran saluran cerna. Obat yang larut

baik dalam air akan melarut cepat dan akan berdisfusi secara pasif atau transport

aktif, kelarut obat merupakan pembatas kecepatan absorbs melalui membrane

saluran cerna. Sebaiknya kecepatan disolusi dari obat tidak larut atau disintagrasi

sediaan relative pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif. Apabila kecepatan

absorbs tidak dapat ditentukan oleh salah satu dari tahap, maka tidak satupun dari

kedua tahap merupakan pembatas kecpatan (Syukri, 2002).

2.3.1 Metode uji disolusi

Menurut Farmakope Indonesia Edisi V (2014), ada dua metode uji disolusi yaitu :

a. Metode basket

Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan

transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak.

Idak Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan

(10)

dalam darah, cairan, dan dalam jaringan lain dalam wadah 370 ± 0,50C selama

penguji berlangsung. Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan

tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikasi yang

melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah sdisolusi dianjurkan

berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter

dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. batang logam berada pada

posisi tertentu sehingga sumbuhnya tidak lebih drai 2 mm, berputar dengan halus

dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur mempertahankan kecepatan

alat.

b. Metode dayung

Sama seperti metode dayung, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang

terdiri atas dayung dan batang seperti pengaduk. Batang dari dayung tersebut

sumbunya tidak lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang

berarti. Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama

pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan

dapat disalut dengan suatu panyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan

tenggelam kedasar wadah sebelum dayung mulai berputar.

2.3.2 Prosedur pengujian disolusi

Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti

yang tertera dalam masing-masing monografi) kedalam wadah, pasang alat dan

dibiarkan media disolusi mencapai temperature 370C. Satu tablet dicelupkan

dalam keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian daar wadah, kemudian

(11)

Pada interval waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada

daerah pertengahan antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari

keranjang berputar atau daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding

wadah untuk analisis penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Tablet harus

memenuhi syarat seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi

(Ditjen POM, 1995).

2.3.3 Kriteria penerimaan hasil uji disolusi

Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang

diuji sesuai dengan table penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap.

Pada tahap 1 (S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka

akan dilanjutkan yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi.

Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3

(S3). Pada tahap ini 12 ini tablet tambahan diuji lagi.

Tabel 2.2 Kriteria penerimaan uji disolusi

Tahap Jumlah Yang di Uji

Kriteria Penerimaan

S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q+5%

S2 6 Rata – rata dari 12 unit (S1 +S2) adalah sama dengan

atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit dari sediaan yang lebih kecil dari Q – 15%

S3 12 Rata – rata dari 24 Unit (S1+S2+S3) adalah sama

dengan atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari @ unit sediaan yang lebih keil dari Q – 15% dan tidak satu unit pun yang lebih kecil dari Q – 25%

(12)

Factor-faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan

biasanya diklasifikasikan atas tiga katagori yaitu :

1. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat

Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi

kelarutan, bentuk Kristal, bentuk hidrat solvasi dan kompleksasi serta

ukuran-ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan berperan terhadap

munculnya permasalahan dalm disolusi seperti terbentuknya flokulasi, flotasi dan

aglomerasi (Syukri, 2002).

2. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan pembantu dan

cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan pada laju disolusi tergantung pada

kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung pada kecepatan pelepasan bahan

aktif yang terkandung di dalamnya. Secara umum laju disolusi akan menurun

menurut urutan sebagai berikut: suspense, kapsul, tablet, dan tablet salut. Secara

teoritis disolusi bermacam sediaan padat tidak selalu urutan dan masalahnya sama,

karena diantara masing-masing bentuk sediaan padat tersebut aka nada perbedaan

baik ditinjau dari segi teori maupun peralatan uji disolusi, seperti pada sediaan

berbentuk serbuk, kapsul, tablet-tablet, suppositoria, suspense, topikat,

penghancur, dan pelivin dalam proses formulasi mungkin akan menghambat atau

mempercepat laju disolusi tergantung pada bahan pembantu yang dipakai. Cara

pengolahan dari bahan baku, bahan pembantu dan prosedur yang dilaksanakan

dalam formulasi sediaan padat peroral juga akan mempengarusi pada laju disolusi.

Perubahan lama waktu pengaduan pada granulasi basah dapat menghasilkan

(13)

tablet dengan waktu hancur dan disolusi yang lama. Factor formulasi yang dapt

mempengaruhi laju disolusi diantaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat

dengan eksipien, kekerasan dan porositas (Siregar dan Wikarsa, 2010).

3. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji

Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang

meliputi kecepatan pengaduan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang

dipakai. Pengaduan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel yang berkontak

dengan pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Untuk zat

yang kelarutnya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan

mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro

penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat di sepanjang saluran

cerna, sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi obat (Syukri,

2002).

2.3.5 Penetapan kadar

Metode yang dipilih dalam penetapan kadar uji disolusi tablet Parasetamol

yaitu spektrofotometri sinar uv. Spektrofotometri sinar uv adalah pengukuran

berapa banyak radiasi yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan

untuk molekul dan ion-ion anorganik atau kompleks didalam larutan. Spectrum

UV-Vis mempunyai bentik yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang

struktur yang didapatkan, tetapi spectrum ini sangat berguna untuk pengukuran

secara kuantitatif (Dachtiyanus, 2004).

2.4 Spektrofotometri

Spektrofotometri UV-Vis adalah pengukuran serapan cayaha didaerah

(14)

Absorbansi spektrofotometri UV-Vis adalah istilah yang digunakan ketika radiasi

ultraviolet dan cayaha tampak diabsorbsi oleh molekul yang diukir. Alatnya

disebut UV-Vis spektrofotometer. Spektrofotometer UV-Vis adalah salah satu

dari sekian banyak instumen yang digunakan dalam menganalisa suatu senyawa

kimia. Spektrofotometer umumnya digunakan karena kemampuannya dalam

menganalisa begitu banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal

preparasi sampel apabila dibandingkan dengan beberapa metode analisa (Mulja

dan Suharman, 1995).

2.4.1 Instrumen

Suatu spektrofotometer tersusun dari sumber spectrum, monokromator, sel

pengabsorbsi dan detector sebagai berikut :

1. Sumber, yang biasa yang digunakan adalah lampu wolfram. Tetapi untuk

daerah UV digunakan lampu hydrogen atau lampu deuterium. Kenaikan

lampu wolfram adalah energy radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi

pada berbagai panjang gelombang.

2. Monokromator, digunakan untuk mendispersikan sinar kedalam

komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya akan

dipilih oleh celah (slit). Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga

kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampek sebagai scan

instrumen melewati spectrum (Gandjar dan Rohman, 2007)

3. Optik-optik, dapat didesain untuk memecahkan sumber sinar, sehingga

sumber sinar melewati 2 kompartemen, dan sebagaimana dalam

spektrofotometer berkas ganda (double beam), suatu larutan blanko dapat

(15)

spectrum sampel. Yang paling sering digunakan sebagai blanko dalam

spektrofotometri adalah semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan

sampel atau pereaksi (Gandjar dan Rohman, 2007).

4. Detektor, kebanyakan detector menghasilkan sinyal listrik yang dapat

mengaktifkan meter atau pencatat. Setiap pencatat harus menghasilkan

sinyal yang secara kuantitatif berkaitan dengan tenaga cahaya yang

mengenainya. Persyaratan-persyaratan penting untuk detector meliputi :

1. Sensitivitas tinggi hingga dapat mendeteksi tenaga cahaya yang

mempunyai tingkatan rendah sekalipun.

2. Waktu respon yang pendek (Sastrohamidjojo, 1991).

Gambar

Tabel 2.2 Kriteria penerimaan uji disolusi

Referensi

Dokumen terkait

Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya.. dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika

Orally Disintegrating Tablet adalah bentuk sediaan padat yang mengandung bahan aktif obat yang hancur atau melarut dengan cepat tanpa memerlukan air dalam waktu kurang dari 3

Tablet adalah sediaan padat, dibuat secara kempa - cetak berbentuk rata atau cembung rangkap, umumnya bulat mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan..

Tablet hisap adalah sediaan padat yang mengandung satu atau lebih bahan. obat, umumnya sebagai bahan dasar beraroma dan manis yang dapat

Tablet Hisap adalah sediaan padat mengandung satu atau lebih bahan.. obat, umumnya dengan bahan dasar beraroma dan manis,

Tablet Hisap adalah sediaan padat mengandung satu atau lebih bahan obat, umumnya dengan bahan dasar beraroma dan manis, yang dapat membuat tablet melarut atau hancur perlahan

Tablet adalah sediaan padat mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. 1) Tablet kempa : dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul

DeDe$%$%n%n%s% s% TTaa&l&letet Tablet adalah bentuk sediaan padat yang terdiri dari satu atau lebih bahan Tablet adalah bentuk sediaan padat yang terdiri dari satu atau lebih bahan