• Tidak ada hasil yang ditemukan

Determinan Pemanfaatan Ulang Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Determinan Pemanfaatan Ulang Rumah Sakit Umum Daerah Sidikalang Tahun 2014"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut Dever (1984) dalam Donabedian (2005), pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah interaksi antara konsumen dengan provider (penyedia pelayanan). Pemanfaatan pelayanan kesehatan erat hubungannya dengan kapan seseorang memerlukan pelayanan kesehatan dan seberapa jauh efektifitas pelayanan tersebut. Menurut Dever (1984) dalam Donabedian (2005), ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, yaitu:

1. Faktor Sosiokultural a. Teknologi

Kemajuan teknologi dapat memengaruhi pemanfaatan pelayanan kesehatan, dimana kemajuan dibidang teknologi disatu sisi dapat meningkatkan pemanfaatan pelayanan kesehatan seperti transplantasi organ, penemuan organ-organ artifisial, serta kemajuan dibidang radiologi, sedangkan disisi lain kemajuan teknologi dapat menurunkan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sebagai contoh dengan ditemukannya berbagai vaksin untuk pencegahan penyakit menular akan mengurangi pemanfaatan pelayanan kesehatan.

b. Norma dan Nilai yang Ada di Masyarakat

(2)

2. Faktor Organisasional a. Ketersediaan Sumber Daya

Suatu sumber daya tersedia apabila sumber daya itu ada atau bisa didapat, tanpa mempertimbangkan sulit ataupun mudahnya penggunaannya. Suatu pelayanan hanya bisa digunakan apabila jasa tersebut tersedia.

b. Akses Geografis

(3)

c. Akses Sosial

Akses sosial terdiri dari dua dimensi, yaitu dapat diterima dan terjangkau. Dapat diterima mengarah kepada faktor psikologis, sosial, dan faktor budaya, sedangkan terjangkau mengarah kepada faktor ekonomi. Konsumen memperhitungkan dan karakteristik yang ada pada provider seperti etnis, jenis kelamin, umur, ras, dan hubungan keagamaan.

d. Karakteristik dari Struktur Perawatan dan Proses

Praktek pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, praktek dokter tunggal, praktek dokter bersama, grup praktek dokter spesialis atau yang lainnya membuat pola pemanfaatan yang berbeda.

3. Faktor yang Berhubungan dengan Konsumen

Pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah interaksi antara konsumen dengan

provider (penyedia pelayanan). Tingkat kesakitan atau kebutuhan yang dirasakan oleh konsumen berhubungan langsung dengan penggunaan atau permintaan terhadap pelayanan kesehatan.

Kebutuhan, terdiri atas kebutuhan yang dirasakan (perceived need) dan diagnosa klinis (evaluated need). Kebutuhan yang dirasakan (perceived need) ini dipengaruhi oleh:

(4)

b. Faktor sosial psikologis terdiri dari persepsi, sikap dan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan.

4. Faktor yang Berhubungan dengan Produsen

Faktor yang berhubungan dengan produsen, yaitu faktor ekonomi konsumen tidak sepenuhnya memiliki referensi yang cukup akan pelayanan yang diterima, sehingga mereka menyerahkan hal ini sepenuhnya ketangan provider. Karakteristik

provider, yaitu tipe pelayanan kesehatan, sikap petugas, serta fasilitas yang dimiliki oleh pelayanan yang bersangkutan.

2.2. Determinan yang Memengaruhi Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Konsumen akan memutuskan menggunakan atau memanfaatkan sarana pelayanan kesehatan berdasarkan perilaku dan faktor-faktor yang memengaruhinya. 2.2.1. Model Pemanfaatan Sarana Kesehatan

(5)

Pelayanan kesehatan ditujukan langsung kepada pemakai pribadi (individual costumer). Studi tentang penggunaan pelayanan kesehatan dikaitkan dengan penggunaan pelayanan kesehatan pribadi. Karena itu, kita akan mengatasi bahasan kita mengenai penggukuran pelayanan kesehatan ke kategori pelayanan kesehatan pribadi.

Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) membuat suatu kerangka kerja teoritis untuk pengukuran pemanfaatan pelayanan kesehatan pribadi. Suatu hal yang sangat penting dari artikel mereka adalah diterimanya secara luas definisi dari dimensi-dimensi penggunaan atau pemanfaatan pelayanan kesehatan. Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) menyamakan 3 dimensi dari kepentingan utama dalam pengukuran dan penentuan pelayanan kesehatan, yaitu tipe, tujuan atau maksud, dan unit analisis.

a. Tipe Pelayanan Kesehatan

Tipe pelayanan kesehatan digunakan untuk memisahkan berbagai pelayanan kesehatan antara satu dengan yang lainnya. Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) menunjukkan bahwa ada perbedaan jangka waktu (panjang dan pendek) untuk masing-masing tipe pelayanan kesehatan (seperti pelayanan rumah sakit, pelayanan dokter, perawatan di rumah dan lain-lain).

(6)

b.Tujuan Pelayanan Kesehatan

Tingkatan pelayanan kesehatan berdasarkan perawatan yang dilakukan dibedakan menjadi: pelayanan tingkat I (primary), pelayanan tingkat II (secondary), pelayanan tingkat III (tertiary), pelayanan tingkat dan IV (custodial). Perawatan I dikaitkan dengan perawatan pencegahan (preventive care). Perawatan II dikaitkan dengan perawatan perbaikan (pengembalian individu ke tingkat semula dari fungsionalnya). Perawatan III dikaitkan dengan stabilitas dari kondisi yang memehartikan penyakit jangka panjang. Perawatan IV dikaitkan semata-mata dengan kebutuhan pribadi dari pasien dan tidak dihubungkan dengan perawatan penyakit. c. Unit Analisis Pelayanan Kesehatan

(7)

dokter dalam tahun tertentu atau presentasi orang yang mengunjungi seorang dokter dalam 1 tahun.

Ketiga indikator ini telah dipakai di Amerika dalam menguji kecenderungan penggunaan pelayanan kesehatan. Untuk itu perlu menaruh perhatian pada pengertian sifat umum pengaturan pelayanan kesehatan sebagaimana yang dicerminkan dalam konsep Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003).

2.2.2. Tipe Umum dari Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Sejumlah riset telah dilakukan ke dalam faktor-faktor penentu (determinan) pemanfaatan pelayanan kesehatan. Kebanyakan dari riset inilah model-model adanya penggunaan pelayanan kesehatan dikembangkan dan dilengkapi.

1. Tujuan Model Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa model pemanfaatan pelayanan kesehatan ini dapat membantu atau memenuhi satu atau lebih dari 5 tujuan sebagai berikut :

a. Untuk melukiskan hubungan kedua belah pihak antara faktor penentu dari pemanfaatan pelayanan kesehatan.

b. Untuk meringankan peramalan kebutuhan masa depan pelayanan kesehatan. c. Untuk menentukan ada atau tidak adanya pelayanan dari pemakaian pelayanan

kesehatan yang berat sebelah.

(8)

e. Untuk menilai pengaruh pembentukan program atau proyek-proyek pemeliharaan atau perawatan kesehatan yang baru.

2. Kategori Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan

Menurut Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003), kategori dari model-model pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah kependudukan, struktur sosial, psikologi sosial, sumber keluarga, sumber daya masyarakat, organisasi, dan model-model sistem kesehatan.

a. Model demografi (Kependudukan)

Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan model demografi dalam pemanfaatan pelayanan kesehatan terkait dengan variabel-variabel : umur, seks, status perkawinan, dan besarnya keluarga. Variabel-variabel yang digunakan sebagai ukuran mutlak atau indikator fisiologis yang berbeda (umur, seks) dan siklus hidup (status perkawinan, besarnya keluarga) dengan asumsi bahwa perbedaan derajat kesehatan, derajat kesakitan, dan penggunaan pelayanan kesehatan sedikit banyak akan berhubungan dengan variabel diatas. Karakteristik demografi juga mencerminkan atau berhubungan dengan karateristik sosial (perbedaan sosial dari jenis kelamin memengaruhi berbagai tipe dan ciri-ciri sosial).

b. Model-model struktur sosial (social structur models)

(9)

kesehatan adalah salah satu aspek dari gaya hidup ini, yang ditentukan oleh lingkungan sosial, fisik, dan psikologis. Masalah utama dari model struktur sosial dari pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah bahwa kita tidak mengetahui mengapa variabel ini menyebabkan penggunaan pelayanan kesehatan.

c. Model-model sosial psikologis (psychological models)

Dalam model ini, Anderson dan Newman dalam Notoatmodjo (2003) menyatakan variabel yang dipakai adalah ukuran dari sikap dan keyakinan individu. Variabel-variabel sosio-psikologis pada umumnya terdiri dari 4 kategori:

(1) Pengertian kerentanan terhadap penyakit (2) Pengertian keseluruhan dari penyakit

(3) Keuntungan yang diharapkan dari pengambilan tindakan, dalam menghadapi penyakit

(4) Kesiapan tindakan individu

Masalah utama dengan model ini adalah menganggap suatu mata rantai penyebab langsung antara sikap dan prilaku yang belum dapat dijelaskan.

d. Model sumber keluarga (family resource models)

(10)

e. Model sumber daya masyarakat (community resource models)

Pada model ini tipe model yang digunakan adalah penyediaan pelayanan kesehatan dan sumber-sumber di dalam masyarakat, dan ketercapaian dari pelayanan kesehatan yang tersedia dan sumber-sumber di dalam masyarakat. Model sumber daya masyarakat selanjutnya adalah suplai ekonomis yang berfokus pada ketersediaan sumber-sumber kesehatan pada masyarakat setempat (Notoatmodjo, 2003).

f. Model-model organisasi (organization models)

Dalam model ini variabel yang dipakai adalah pencerminan perbedaan bentuk-bentuk sistem pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2003). Biasanya variabel yang digunakan adalah:

1) Gaya (style) praktik pengobatan (sendiri, rekanan, atau grup)

2) Sifat (nature) dari pelayanan tersebut (membayar langsung atau tidak) 3) Letak dari pelayanan (tempat pribadi, rumah sakit, atau klinik)

4) Petugas kesehatan yang pertama kali kontak dengan pasien (dokter, perawat asisten dokter).

g. Model sistem kesehatan

(11)

kebijaksanaan dan struktur ekonomi pada masyarakat yang lebih luas (negara). Dengan demikian apabila dilakukan analisis terhadap penyediaan dan penggunaan pelayanan kesehatan oleh masyarakat maka harus diperhitungkan juga faktor-faktor yang terlibat didalamnya (Notoatmodjo, 2003).

h. Model kepercayaan kesehatan (the health belief models)

Model kepercayaan adalah suatu bentuk penjabaran dari model sosiopsikologis seperti disebutkan di atas. Munculnya model ini didasarkan pada kenyataan bahwa problem-problem kesehatan ditandai oleh kegagalan-kegagalan orang atau masyarakat untuk menerima usaha-usaha pencegahan dan penyembuhan penyakit yang diselenggarakan oleh provider (Notoatmodjo, 2003). Kegagalan ini akhirnya memunculkan teori yang menjelaskan perilaku pencegahan penyakit (preventive health behavior), yang dikembangkan dari teori lapangan oleh Lewin dalam Notoatmodjo (2003) menjadi model kepercayaan kesehatan (health belief model).

Teori Lewin menganut konsep bahwa individu hidup pada lingkup kehidupan sosial (masyarakat). Dalam kehidupan ini individu akan bernilai, baik positif maupun negatif di suatu daerah atau wilayah tertentu. Apabila keadaan individu dalam keadaan sehat maka individu tersebut dianalogikan dalam kondisi positif atau berada pada daerah positif, artinya individu tersebut bebas dari suatu penyakit atau rasa sakit yang dianalogikan sebagai daerah negatif (Notoatmodjo, 2003).

(12)

dirasakan, manfaat yang diterima dan rintangan yang di alami dalam tindakannya melawan penyakitnya, dan hal-hal yang memotivasi tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

1) Kerentanan yang dirasakan (Perceived susceptibility)

Agar seorang bertindak untuk mengobati atau mencegah penyakitnya, ia harus merasakan bahwa ia rentan (susceptibility) terhadap penyakit tersebut. Dengan kata lain, suatu tindakan pencegahan terhadap suatu penyakit akan timbul bila seseorang telah merasakan bahwa ia atau keluarga rentan terhadap penyakit tersebut (Notoatmodjo, 2003).

2) Keseriusan yang dirasakan (Perceived serioussness)

Tindakan individu untuk mencari pengobatan dan pencegahan terhadap suatu penyakit akan didorong pula oleh keseriusan penyakit tersebut terhadap individu atau masyarakat. Penyakit demam berdarah, misalnya, akan dirasakan lebih serius dibandingkan dengan demam biasa. Oleh karena itu, tindakan pencegahan demam berdarah akan lebih banyak dilakukan bila dibandingkan dengan pencegahan (pengobatan) demam biasa (Notoatmodjo, 2003).

3) Manfaat dan rintangan-rintangan yang dirasakan (Perceived benefit and barriers)

(13)

menentukan dari pada rintangan-rintangan yang mungkin ditemukan di dalam melakukan tindakan tersebut (Notoatmodjo, 2003).

4) Isyarat atau tanda-tanda (cues)

Untuk mendapatkan tingkat penerimaan yang benar tentang kerantanan, kegawatan dan keuntungan tindakan, maka diperlukan isyarat-isyarat yang berupa faktor-faktor eksternal seperti : pesan-pesan dari media massa, nasihat atau anjuran kawan-kawan atau anggota keluarga (Notoatmodjo, 2003).

i. Model sistem kesehatan (health system model)

2.2.3. Faktor yang Memengaruhi Pemanfaatan Ulang

Perilaku pembeli atau pengguna dapat dijadikan kiat dasar untuk menghubungkan kualitas pelayanan dan minat. Perilaku konsumen untuk menggunakan pelayanan yang sama apabila mereka merasa terpenuhi keinginannya dengan pelayanan yang mereka terima. Pembeli atau pengguna yang merasa terpenuhi keinginannya akan kualitas jasa yang mereka terima akan membeli atau mengguna ulang produk atau jasa itu kembali. Minat perilaku konsumen untuk membeli atau menggunakan jasa dari pemberi jasa yang sama sangat dipengaruhi oleh pengalaman terhadap pelayanan yang diberikan sebelumnya.

(14)

Menurut Kotler (2000), beberapa faktor yang memengaruhi pemanfaatan barang atau jasa, yaitu ;

1. Faktor pertama adalah marketing stimuli, faktor ini terdiri dari product, price, place

dan promotion.

2. Faktor kedua adalah stimuli lain yang terdiri dari technological, political dan

cultural.

2.3. Persepsi

Persepsi adalah suatu proses seorang individu memilih, mengorganisasi, dan menafsirkan informasi untuk menciptakan suatu gambaran yang bermakna. Persepsi seorang dapat berbeda satu sama lainnya, meskipun dihadapkan pada suatu situasi dan kondisi yang sama. Hal ini dipandang dari suatu gagasan bahwa seseorang menerima suatu objek rangsangan melalui penginderaan, penglihatan, pendengaran, pembauan, dan perasaan (Robbins, 2006).

Robbins (2006) menyatakan terdapat tiga faktor yang memengaruhi persepsi, yakni pelaku persepsi, target yang dipersepsikan dan situasi. Ketika individu memandang kepada objek tertentu dan mencoba menafsirkan apa yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik pribadi individu pelaku persepsi itu. Karakteristik pribadi yang memengaruhi persepsi adalah sikap, kepribadian, motif, kepentingan atau minat, pengalaman masa lalu, dan harapan.

(15)

dibandingkan dengan yang objektif, novelty atau hal baru, biasanya lebih menarik untuk dipersepsikan daripada hal-hal lama, velocity atau percepatan, misalnya pemikiran atau gerakan yang lebih cepat dalam menstimulasi munculnya persepsi lebih efektif dibanding yang lambat, conditioned stimuli yakni stimulus yang dikondisikan, sedangkan faktor internal adalah motivasi, yaitu dorongan untuk merespon sesuatu interest dimana hal-hal yang menarik lebih diperhatikan daripada yang tidak menarik, need adalah kebutuhan akan hal-hal tertentu dan terakhir

asumptions yakni persepsi seseorang dipengaruhi dari pengalaman melihat, merasakan dan lain-lain.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (2006), persepsi diartikan sebagai: (a) tangapan (penerimaan) langsung dari sesuatu dan (b) proses seseorang mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Komarudin (2006), secara etimologis, persepsi berasal dari bahasa Latin percipere yang mempuyai pengertian: (a) kesadaran intuitif (berdasarkan firasat) terhadap kebenaran atau kepercayaan langsung terhadap sesuatu, (b) proses dalam mengetahui objek-objek dan peristiwa-peristiwa obyektif, (c) sesuatu proses psikologis yang memproduksi bayangan sehingga dapat mengenal obyek melalui berfikir asosiatif dengan cara inderawi sehingga kehadiran bayangan itu dapat disadari yang disebut juga dengan wawasan.

(16)

rangsangan yang pertama kali diperolehnya. Pengalaman pertama yang tidak menyenangkan pada pelayanan rumah sakit atau informasi yang tidak benar mengenai rumah sakit akan berpengaruh terhadap pembentukan persepsi seorang terhadap kebutuhan untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan di rumah sakit.

Menurut Zastrow et al. (2004) persepsi merupakan suatu proses yang timbul akibat adanya aktifitas (pelayanan yang diterima) yang dapat dirasakan oleh suatu objek. Mengingat bahwa persepsi setiap orang terhadap suatu objek (pelayanan) akan berbeda-beda. Oleh karena itu persepsi memiliki sifat subjektif yang merupakan suatu rasa puas atau tidak oleh adanya pelayanan.

Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan diatas terdapat perbedaan namun dapat disimpulkan bahwa pengertian atau pendapat satu sama lain saling menguatkan, yaitu bahwa yang dimaksud dengan persepsi adalah suatu proses yang muncul lewat panca indera, baik indera penglihat, pendengar, peraba, perasa, dan pencium, kemudian terus-menerus berproses sehingga mencapai sebuah kesimpulan yang berhubungan erat dengan informasi yang diterima dan belum sampai kepada kenyataan yang sebenarnya, proses ini yang dimaksud dengan persepsi.

2.4. Pengetahuan

(17)

memperoleh pengetahuan yang didapatnya dari pesan yang disampaikan oleh sumber pengetahuan dan berkenaan dengan sesuatu hal (disiplin ilmu).

Pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2003). Pengetahuan terdiri dari 6 (enam) tingkatan, yaitu:

a. Tahu (know)

Tahu diartikan sebagai mengingat sesuatu yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh badan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. b. Memahami (comprehension)

Memahami diartikan sebagai suatu untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi dan dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan terhadap objek yang dipelajari. c. Aplikasi (application)

(18)

d. Analisa (Analysis)

Analisa adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan materi atau objek analisa komponen-komponen tetapi di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.

e. Sintesa (synthesis)

Sintesa menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu keseluruhan yang baru atau kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi yang telah ada.

f. Evaluasi (evaluation)

Kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih langgeng dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan. Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003), dari hasil penelitiannya mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku baru, dalam dirinya orang tersebut terjadi proses berurutan, yaitu:

a. Awareness (kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui terlebih dahulu terhadap stimulus (obyek).

b. Interest, dimana orang mulai tertarik kepada stimulus.

c. Evaluation, orang sudah mulai menimbang-nimbang terhadap baik tidaknya stimulus tersebut bagi dirinya.

d. Trial, dimana orang telah mulai mencoba perilaku baru.

(19)

2.5. Sikap

Thurstone dalam Azwar (2007), mendefinisikan sikap sebagai derajat afek positif atau afek negatif terhadap suatu objek psikologis. Sikap atau Attitude

senantiasa diarahkan pada suatu hal, suatu objek. LaPierre dalam Azwar (2007) mendefinisikan sikap sebagai suatu pola perilaku, tendensi, atau kesiapan antisipatif, predisposisi untuk menyesuaikan diri dalam situasi sosial, atau secara sederhana, sikap adalah respon terhadap stimuli sosial yang telah terkondisikan. Definisi Petty & Cacioppo dalam Azwar (2007), menyatakan sikap adalah evaluasi umum yang dibuat manusia terhadap dirinya sendiri, orang lain, objek atau isu-isu.

Menurut Fishbein dan Ajzen dalam Dayakisni dan Hudaniah (2003), sikap sebagai predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten dalam cara tertentu berkenaan dengan objek tertentu. Sherif dalam Dayakisni & Hudaniah (2003) menyatakan bahwa sikap menentukan keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungannya dengan stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu. Sikap merupakan suatu keadaan yang memungkinkan timbulnya suatu perbuatan atau tingkah laku.

Azwar (2007), menggolongkan definisi sikap dalam tiga kerangka pemikiran: a. Kerangka pemikiran yang diwakili oleh para ahli psikologi seperti Louis

(20)

maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut.

b. Kerangka pemikiran ini diwakili oleh ahli seperti Chave, Bogardus, LaPierre, Mead dan Gordon Allport dalam Azwar (2007),. Menurut kelompok pemikiran ini sikap merupakan semacam kesiapan untuk bereaksi terhadap suatu objek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang dimaksud merupakan kecenderungan yang potensial untuk bereaksi dengan cara tertentu apabila individu dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon.

c. Kelompok pemikiran ini adalah kelompok yang berorientasi pada skema triadik (triadic schema). Menurut pemikiran ini suatu sikap merupakan konstelasi komponen kognitif, afektif dan konatif yang saling berinteraksi di dalam memahami, merasakan dan berperilaku terhadap suatu objek.

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa sikap adalah kecenderungan individu untuk memahami, merasakan, bereaksi dan berperilaku terhadap suatu objek yang merupakan hasil dari interaksi komponen kognitif, afektif dan konatif.

(21)

juga dengan kaitannya dengan pengalaman-pengalaman masa lalu, oleh situasi di saat sekarang, dan oleh harapan-harapan untuk masa yang akan datang (Azwar, 2007).

Sikap dapat bersifat positif dan dapat pula bersifat negatif, (1) sikap positif adalah apabila timbul persepsi yang positif terhadap stimulus yang diberikan dapat berkembang sebaik-baiknya karena orang tersebut memiliki pandangan yang positif terhadap stimulus yang telah diberikan. (2) sikap negatif apabila terbentuk persepsi negatif terhadap stimulus yang telah diberikan. Struktur sikap menurut Kothandapani (dalam Azwar, 2007) dibagi menjadi 3 komponen yang saling menunjang. Ketiga komponen tersebut pembentukan sikap, yaitu sebagai komponen kognitif (kepercayaan), emosional (perasaan) dan komponen konatif (tindakan).

2.6. Rumah Sakit

2.6.1. Definisi Rumah Sakit

(22)

(kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang dilaksanakan secara menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.

World Health Organization (WHO) memberikan pengertian mengenai rumah sakit dan peranannya sebagai berikut: “The hospital is an integral part of social and faktoral organization, the function of which is to provide for population complete

health care both curatie and preventive, and whose out patient services reach out to

the family and its home environment; the training of health workers and for

bio-social research” (Adisasmito, 2009). 2.6.2. Fungsi Rumah Sakit

Fungsi rumah sakit berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit yaitu:

a. Penyelenggaraan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan sesuai dengan standar pelayanan rumah ;

b. Pemeliharaan dan peningkatan kesehatan perorangan melalui pelayanan kesehatan yang paripurna tingkat kedua dan ketiga sesuai kebutuhan medis;

c. Penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia dalam rangka peningkatan kemampuan dalam pemberian pelayanan kesehatan; dan

(23)

2.6.3. Jenis Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang rumah sakit, rumah sakit dapat dibagi berdasarkan jenis pelayanan dan pengelolaannya. Berdasarkan jenis pelayanan yang diberikan, rumah sakit dikategorikan dalam rumah sakit umum dan rumah sakit khusus. Rumah sakit umum memberikan pelayanan kesehatan pada semua bidang dan jenis penyakit. Rumah sakit khusus memberikan pelayanan utama pada satu bidang atau satu jenis penyakit tertentu berdasarkan disiplin ilmu, golongan umur, organ, jenis penyakit, atau kekhususan lainnya.

Berdasarkan pengelolaannya rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat. Rumah sakit dapat dikelola oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah diselenggarakan berdasarkan pengelolaan Badan Layanan Umum atau Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Rumah sakit publik yang dikelola pemerintah dan pemerintah daerah tidak dapat dialihkan menjadi rumah sakit privat. Rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.

(24)

menyelenggarakan pendidikan dan penelitian secara terpadu dalam bidang pendidikan profesi kedokteran, pendidikan kedokteran berkelanjutan, dan pendidikan tenaga kesehatan lainnya. Dalam penyelenggaraan rumah sakit pendidikan dapat dibentuk jejaring rumah sakit pendidikan.

2.6.4. Klasifikasi Rumah Sakit Umum

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 tentang Klasifikasi Rumah Sakit, rumah sakit umum berdasarkan fasilitas dan kemampuan pelayanan dapat diklasifikasikan menjadi: A. Rumah Sakit Umum Kelas A

Rumah sakit umum kelas A harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar, 5 (lima) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain dan Pelayanan Medik Sub Spesialis yang tidak terbatas. Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas A meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik, dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 400 (empat ratus) buah.

B. Rumah Sakit Umum Kelas B

Rumah sakit umum kelas B harus mempunyai fasilitas dan kemampuan

(25)

4 (empat) PelayananSpesialis Penunjang Medik, 8 (delapan) Pelayanan Medik Spesialis Lainnya dan 2 (dua) Pelayanan Medik Subspesialis Dasar. Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas B meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Lain, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Medik Subspesialis, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 200 (dua ratus) buah.

C. Rumah Sakit Umum Kelas C

Rumah Sakit Umum Kelas C harus mempunyai fasilitas dan kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) Pelayanan Medik Spesialis Dasar dan 4 (empat) Pelayanan Spesialis Penunjang Medik. Kriteria, fasilitas dan kemampuan Rumah Sakit Umum Kelas C meliputi Pelayanan Medik Umum, Pelayanan Gawat Darurat, Pelayanan Medik Spesialis Dasar, Pelayanan Spesialis Penunjang Medik, Pelayanan Medik Spesialis Gigi Mulut, Pelayanan Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik. Jumlah tempat tidur minimal 100 (seratus) buah.

D. Rumah Sakit Umum Kelas D

(26)

Keperawatan dan Kebidanan, Pelayanan Penunjang Klinik dan Pelayanan Penunjang Non Klinik.

2.6.5. Organisasi Rumah Sakit

Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, setiap rumah sakit harus memiliki organisasi yang efektif, efisien, dan akuntabel. Organisasi rumah sakit paling sedikit terdiri atas kepala rumah sakit atau Direktur rumah sakit, unsur pelayanan medis, unsur keperawatan, unsur penunjang medis, komite medis, satuan pemeriksaan internal, serta administrasi umum dan keuangan. Kepala rumah sakit harus seorang tenaga medis yang mempunyai kemampuan dan keahlian di bidang perumahsakitan. Tenaga struktural yang menduduki jabatan sebagai pimpinan harus berkewarganegaraan Indonesia. Pemilik Rumah Sakit tidak boleh merangkap menjadi kepala Rumah Sakit.

2.6.6. Ketenagaan di Rumah Sakit

Pada saat ini, rumah sakit berkembang sebagai sebuah industri padat karya, padat modal dan padat teknologi. Disebut demikian karena rumah sakit memanfaatkan sumber daya manusia (SDM) dalam jumlah yang besar dan beragam kualifikasi. Rumah Sakit Umum Sidikalang adalah rumah sakit tipe C, berdasarkan peraturan menteri kesehatan republik Indonesia Nomor 340/MENKES/PER/III/2010 tentang klasifikasi rumah sakit maka ketenagaan pada rumah sakit tipe C disesuaikan dengan jenis dan tingkat pelayanan.

(27)

Spesialis Dasar harus ada masing-masing minimal 2 (dua) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda. Pada setiap Pelayanan Spesialis Penunjang Medik masing-masing minimal 1 (satu) orang dokter spesialis setiap pelayanan dengan 2 (dua) orang dokter spesialis sebagai tenaga tetap pada pelayanan yang berbeda. Perbandingan tenaga keperawatan dan tempat tidur adalah 2:3 dengan kualifikasi tenaga keperawatan sesuai dengan pelayanan di Rumah Sakit.Tenaga penunjang berdasarkan kebutuhan Rumah Sakit. (Kemenkes RI, 2010).

2.6.7. Jenis Pelayanan di Rumah Sakit

Rumah sakit merupakan sub sistem dari pelayanan kesehatan dan juga merupakan suatu industri jasa yang berfungsi untuk memenuhi salah satu kebutuhan primer manusia, baik sebagai individu, masyarakat atau bangsa secara keseluruhan untuk meningkatkan hajat hidup yang utama yaitu kesehatan. Pelayanan jasa tersebut dapat berupa usaha-usaha promotif, kuratif dan rehabilitatif.

Pelayanan jasa rumah sakit dikelompokkan atas: 1. Pelayanan Medik

(28)

dari jenis rumah sakit (umum dan khusus), kelas rumah sakit dan jenis peralatan faktor serta ahli yang tersedia.

2. Pelayanan Penunjang Medik

Pelayanan penunjang medik merupakan tugas pokok (jasa profesional) dari kegiatan rumah sakit tetapi lebih bersifat structural sehingga pengontrolan oleh pihak manajemen oleh pihak rumah sakit lebih mudah karena ada prosedur-prosedur khusus yang terdiri dari pelayanan radiologi, pelayanan laboratorium, pelayanan anestesi, pelayanan gizi, pelayanan farmasi, dan pelayanan rehabilitasi faktor. Jenis pelayanan yang bisa diberikan kepada pasien dari tiap-tiap rumah sakit tergantung dari kelas rumah sakit, jenis perawatan yang tersedia dan jenis tenaga yang ada.

3. Pelayanan Penunjang

Pelayanan penunjang merupakan pemberian dukungan untuk melaksanakan jasa professional, terdiri dari administrasi yaitu administrasi umum yang mengelola informasi yang cepat, teliti dalam bidang ketatausahaan, keuangan, kepegawaian sesuai dengan pelayanan yang ada dan administrasi pasien yaitu mengelola informasi yang cepat, tepat, teliti dalam bidang asuhan pasien sesuai dengan pelayanan yang ada.

2.7. BOR (Bed Occupancy Rate) atau Pemanfaatan Tempat Tidur

(29)

rumah sakit dapat bertambah menjadi besar atau lebih kecil. Hal ini sesuai dengan tuntutan perubahan yang harus dijalankan oleh manajemen rumah sakit. Bila peningkatan demand masyarakat akan pelayanan rumah sakit meningkat, akan berefek terhadap peningkatan beban kerja personel yang selanjutnya berefek terhadap penambahan kebutuhan tenaga (Ilyas, 2011).

Mengukur tingkat pemanfaatan rumah sakit, umumnya digunakan ukuran jumlah tempat tidur (bed) yang terisi oleh pasien rawat inap, dibandingkan dengan jumlah tempat tidur yang tersedia. Suatu rumah sakit dikatakan baik pemanfaatannya apabila BOR-nya mencapai ideal. Beberapa pendekatan bisa digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi angka BOR suatu rumah sakit. Pendekatan-pendekatan itu adalah analisis utilitas, analisis pasar (pemasaran) dan analisis pendekatan sistem. Melihat permasalahan di rumah sakit baik pada tingkat bagian atau secara keseluruhan maka akan lebih mudah dan representatif melalui analisis sistem (Supranto, 2000).

2.7.1. Penghitungan BOR

Standar efisiensi BOR adalah 75 – 85 %, apabila BOR > 85 % berarti tempat tidur yang terpakai di rumah sakit tersebut terlalu penuh. Adapun rumus penghitungan BOR yaitu:

Jumlah Hari Rawatan

BOR = x 100% Jumlah Tempat Tidur x 365 Hari

(30)

menghitung rata-rata tempat tidur yang ditempati penderita per hari dibagi kapasitas tempat tidur siap pakai dikali seratus persen.

2.8. Landasan Teori

Mengacu kepada konsep pemanfaatan pelayanan kesehatan yang dikemukakan oleh Dever (1984) dalam Donabedian (2005), maka landasan teori yang digunakan seperti pada Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Landasan Teori

Sumber : Dever (1984) dalam Donabedian (2005) Sociocultural factors

1. Teknologi

2. Norma dan Nilai Keyakinan

Organizational factors

1. Ketersediaan Sumber Daya 2. Akses Geografis

3. Akses Sosial

4. Karakteristik dari Struktur Perawatan dan Proses

Consumers factors

1. Tingkat kesakitan dan kebutuhan yang dirasakan (Perceived need)

a. Faktor sosiodemografis b. Faktor sosial psikologis 2. Diagnosa klinis (Evaluated need)

Provider factors

1. Sikap petugas 2. Keahlian petugas 3. Fasilitas yang dimiliki

(31)

Beberapa indikator yang diabaikan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Sociocultural factors; norma dan nilai keyakinan sulit diukur dan sukar mencapai kesepakatan tentang pengertian dari variabel tersebut. Responden yang dijadikan sampel berasal dari masyarakat yang homogen jadi tidak terdapat nilai-nilai tertentu yang dianggap berpengaruh terhadap pemanfaatan RSUD Sidikalang. 2. Organizational factors; karakteristik dari struktur perawatan dan proses hal ini

dapat diukur dari ketersediaan SDM rumah sakit.

3. Faktor konsumen; tingkat kesakitan dan kebutuhan yang dirasakan (Perceived need) diukur melalui persepsi tentang penyakit dan persepsi tentang pelayanan. 4. Faktor sosiodemografis dan sosial psikologis dapat diakomodir variabel

(32)

2.9. Kerangka Konsep

Pemanfaatan RSUD Sidikalang yang belum optimal oleh pasien rawat inap menuntut untuk dilakukannya penelitian ini. Sebagai kerangka konsep mengacu kepada teori Dever (1984) dalam Donabedian (2005) dengan kerangka konsep sebagai berikut:

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian FaktorOrganisasional

a.Ketersediaan Sumber Daya Manusia b.Akses Geografis

c.Akses Sosial

FaktorKonsumen a. Pengetahuan tentang pelayanan c.Persepsi tentang penyakit d.Persepsi tentang pelayanan e.Diagnosa klinis

FaktorPenyedia Jasa Pelayanan Kesehatan

a. Sikap petugas Kesehatan (a) Dokter

(b) Perawat b. Ketersediaan obat

Gambar

Gambar 2.1. Landasan Teori
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian

Referensi

Dokumen terkait

Rumah sakit umum, dalam Undang-Undang tersebut didefinisikan sebagai rumah sakit yang memberikan pelayanan kesehatan untuk semua bidang dan jenis penyakit,

MANUSIA DAN PENDIDIKAN BAGIAN UMUM BAGIAN KEUANGAN BAGIAN PERLENGKAPAN PEMELIHARAAN SUB BAGIAN TATA USAHA SUB BAGIAN PERBENDAHARAA N SUB BAGIAN INVENTARIS

MANUSIA DAN PENDIDIKAN BAGIAN UMUM BAGIAN KEUANGAN BAGIAN PERLENGKAPAN PEMELIHARAAN SUB BAGIAN TATA USAHA SUB BAGIAN PERBENDAHARAA N SUB BAGIAN INVENTARIS

Salah satu provider pelayanan kesehatan program JKN di Kabupaten Begkalis adalah Rumah Sakit Umum Daerah Kecamatan Mandau yang merupakan Rumah Sakit Umum Daerah kelas C, berupaya

Maka dari itu dibutuhkan sebuah wadah yang mampu memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan baik medik maupun non medik yang direalisasikan melalui perancangan ” Rumah Sakit

Maka dari itu dibutuhkan sebuah wadah yang mampu memenuhi kebutuhan akan pelayanan kesehatan baik medik maupun non medik yang direalisasikan melalui perancangan ” Rumah Sakit

Peningkatan kualitas pelayanan, ketersediaan fasilitas, dan kemandirian menjadi tuntutan Rumah Sakit sebagai sub sistem kesehatan nasional. Dengan demikian rumah

Dalam Undang-undang RI Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit pada pasalnya yang ke 7 dan ke 15 disebutkan bahwa selain rumah sakit harus memenuhi persyaratan lokasi, bangunan,