• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEARIFAN LOKAL SUKU AMUNGME DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN MIMIKA PAPUA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEARIFAN LOKAL SUKU AMUNGME DALAM PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN LINGKUNGAN DI KABUPATEN MIMIKA PAPUA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM DAN

LINGKUNGAN DI KABUPATEN MIMIKA

PAPUA

Frans P Kaiar

Program Studi Pendidikan Kimia Universitas Cenderawasih, Jl. Kamp Wolker Perumnas III Waena Jayapura, Papua 99351

Abstrak

Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus membentuk dan menuntun pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap sesama manusia. Etika yang berarti adat istiadat atau kebiasaan, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain. Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam kehidupan sehari-hari. Tanah digambarkan sebagai igure seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Tanah dengan lingkun-gan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berkebun, berburu dan pemaka-man juga tempat kediapemaka-man roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada beberapa loka-si tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan dianggap sebagai tempat keramat. Magaboarat Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidupan mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka. Maka dari itu penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam melakukan tin-dakan di lingkungan dimana mereka tinggal guna menghindari konlik-konlik sosial

Kata Kunci : Kearifan lokal, Etika, Tanah

Pendahuhulan

Banyak orang berasumsi, kehad-iran perusahaan pertambangan di suatu daerah niscaya membawa kemajuan terh-adap warga di sekitarnya. Asumsi ini lahir dari sebuah pengandaian yang menyatakan, berdiri atau beroperasinya sebuah pertam-bangan di suatu daerah akan menghadirkan kehidupan yang lebih sejahtera, keamanan yang terjamin, dan kehidupan sosial yang

lebih baik.

Pemikiran demikian didasarkan pada pandangan bahwa perusahaan per-tambangan merupakan agen perubahan sosial-ekonomi bagi masyarakat di sekitar lokasi pertambangan. Asumsinya, perusa-haan pertambangan akan membawa serta arus investasi, membongkar isolasi warga, dan membuka akses masyarakat terhadap dunia luar.

Dengan kehadiran perusahaan pertambangan, akan dibangun berbagai Email : franspither@gmail.com

(2)

infrastruktur yang diperlukan masyarakat, seperti jalan, aliran listrik, air bersih, trans-portasi, dan jaringan komunikasi. Namun, asumsi seperti yang diuraikan di atas, saat ini perlu diubah total.

Saat ini suku Amungme mau tidak mau harus menerima kenyataan yang tak bisa mereka tolak lagi, yaitu kehadiran Freeport dalam kehidupan dan aktivitas mereka. Freeport telah memasuki relung-relung kehidupan suku Amungme secara mendalam dan menghadirkan persoalan-persoalan baru bagi mereka.

Persoalan-persoalan baru itu mis-alnya hilangnya hak ulayat atas tanah, ru-saknya sistem sosial-ekonomi, ruru-saknya lingkungan hidup dan sumber daya alam akibat perubahan ekosistem, termasuk ter-jadinya berbagai tindak kekerasan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berkepanjangan, .

Persoalan-persoalan di atas telah memorak-porandakan kosmologi tradis-ional suku Amungme dan secara mendalam telah mengguncang tata sosial-budaya dan ekonomi mereka. Persoalan itu semakin diperberat dengan terjadinya pemindahan paksa permukiman warga, pemiskinan bu-daya dan sosial serta disintegrasi kultural. Sekilas Tentang Amungme.

Suku Amungme hidup di Pulau Papua yang merupakan pulau terbesar kedua di dunia dengan luas 892.000 km2. Letaknya antara 00 sampai 120 lintang sela-tan, dengan iklim tropis. Secara geograis, Pulau Papua dialiri oleh sungai-sungai yang lebar dan di beberapa tempat terdapat danau-danau yang luas.

Kontur permukaan Pulau Papua bergunung-gunung dengan tanah yang keras berkapur berwarna abu-abu dan cokelat tua. Curah hujan dan kelembaban yang rendah menghadirkan hutan tropis yang kaya akan lora dan fauna.

Saat ini telah diidentiikasi sekitar 255 suku dengan 268 bahasa daerah (BPS,

2010) yang mendiami pulau terbesar di In-donesia ini. Suku Amungme yang menjadi fokus dalam paper ini adalah salah satu dari sekian ratus suku yang ada di Papua. Secara geograis, Pulau Papua terbagi ke dalam tiga daerah. Pertama, daerah kaki gunung di sebelah utara. Kedua, daerah pantai di sebelah selatan, dan ketiga, daer-ah pegunungan di bagian tengdaer-ah atau Pegu-nungan Tengah. PeguPegu-nungan Tengah mem-belah provinsi Papua menjadi dua bagian yang membentang sepanjang 650 km dari timur ke barat. Pegunungan Tengah yang merupakan punggung Papua, terdiri atas Pegunungan Jayawijaya–dekat perbatasan dengan Papua Nugini–yang dipisahkan oleh Lembah Baliem dari Pegunungan Sudirman dan Pegunungan Weyland yang terletak di sebelah barat Danau Paniai.

Ke arah selatan dari daerah Pegu-nungan Tengah inilah terbentang wilayah hunian suku Amungme dan Kamoro. Daer-ah selatan ini merupakan dataran aluvial yang amat luas, yang dialiri sungai-sungai, seperti Sungai Digul, Braza, Lorentz, Ce-mara, dan Otakwa, dengan anak-anak sun-gainya yang berhulu di Pegunungan Ten-gah dan bermuara di Laut Arafuru. Dataran ini membentang mulai dari Mimika di ba-rat sampai ke Merauke di timur.

Daerah aliran sungai ini sebagian besar merupakan daerah suku Kamoro. Lebih ke utara dari wilayah huni suku Ka-moro menjadi wilayah huni suku Amungme sampai pada ketinggian 3.000 m dari per-mukaan laut (dpl). Wilayah hunian suku Amungme merupakan gugusan dari Pegu-nungan Sudirman yang dalam peta disebut Cartenz Toppen. Puncak Cartenz ini diliputi salju, yang dalam bahasa Amungme dike-nal dengan Nemangkawi Ninggok, artinya puncak salju abadi. Tempat itu merupakan daerah suci suku Amungme. Daerah inilah yang “dihajar” oleh Freeport selama ber-tahun-tahun untuk kepentingan eksplorasi dan eksploitasi pertambangan emas, perak, dan tembaga.

(3)

Sejarah Penemuan Freeport

Penemuan emas dan tembaga di Papua merupakan kejutan di zaman In-donesia modern. Kejutan itu mula-mula diletupkan oleh seorang geolog Belanda bernama Jean-Jacques Dozy, salah seorang anggota ekspedisi Colijin tahun 1936, saat hendak mendaki puncak Ngga Pulu (pun-cak Cartensz), yang bertengger pada ket-inggian 4.906 m dpl.

Ketika itu, pada ketinggian 3.500 meter dpl, Jean-Jacques Dozy terperangah melihat sebuah bukit yang tampak hitam pekat, menjulang dengan ketinggian 75 m di atas padang rumput alpin. Naluri geolog-inya mengatakan, bukit yang sedang dili-hatnya itu adalah sebuah cebakan mineral yang teramat kaya. Spontan ia menama-kan puncak itu Ertsberg atau Gunung Bi-jih. “Tak salah lagi,“ kata Dozy ketika itu, “tak seorang geolog pun bisa tertipu oleh gunung hitam ini. Titik hijau dan birunya terlalu nyata untuk mendeteksi kandungan tembaga yang kaya di dalamnya.” Jean-Jacques Dozy menerbitkan laporan tentang temuannya itu tahun 1939. Namun, karena Perang Dunia II pecah, laporan itu tidak menjadi prioritas yang akan ditindaklanjuti negara-negara Eropa pada saat itu.

Akhirnya, laporan Dozy terlupak-an dterlupak-an teronggok berdebu di Perpustakaterlupak-an Universitas Leiden. Barulah pada 1959, Forbes Wilson, geolog asal Freeport Sul-phur Company yang berpusat di Louisiana, Amerika Serikat, saat melakukakan riset kepustakaan, menemukan laporan Dozy tersebut. Laporan itu kontan membuat bulu kuduk Wilson bangkit karena ia tahu bahwa ia sedang dalam proses menemukan sebuah “harta karun” yang tak terhingga nilainya. Untuk membuktikan temuannya itu, pada 1960 Forbes Wilson terbang ke Papua yang saat itu masih dikuasai Belan-da untuk menBelan-daki puncak Ngga Pulu.

Bila pada 1936 untuk mencapai tempat itu Dozy memerlukan waktu 57 hari setelah diterjunkan dengan parasut, tetapi

di tahun 1960, Wilson hanya memerlukan 17 hari, dengan menggunakan tenaga para pemuda Amungme. Sesampainya di sana, Wilson, dengan peralatan yang lebih leng-kap dan canggih dari pendahulunya, segera menemukan kesalahan Dozy. Gunung Bi-jih itu bukan 75 meter tingginya, melaink-an 179 meter. Lebih dari itu, Wilson juga memperkirakan, kandungan tembaga dari Ertsberg bahkan bisa ditemukan hingga kedalaman 360 meter (George A. Mealey, 1996).

Kerarifan Lokal/Tradisional

Kearifan lokal atau tradisional se-sungguhnya merupakan bagian dari etika dan morolitas yang membantu manusia un-tuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertin-dak khususnya dibidang pengelolaan ling-kungan dan sumberdaya alam.

Etika yang berarti “adat istiadat” atau “kebiasaan”, dalam arti kebiasaan hidup yang baik, tata cara hidup yang baik, baik pada diri seseorang atau pada kelompok masyarakat. Kebiasaan hidup yang baik ini dianut dan diwariskan dari satu generasi ke generasi yang lain (Keraf, 2010).

Kebiasaan hidup yang baik ini kermudian dibakukan dalam bentuk kai-dah, aturan, norma yang disebarluaskan, dikenal, dipahami dan diajarkan dalam masyarakat. Oleh karena itu etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan aturan ten-tang bagaimana manusia harus hidup baik sebagai manusia dan juga etika dipahami sebagai ajaran yang berisikan perintah dan larangan tentang baik-buruknya perilaku manusia yaitu perintah yang harus dipatuhi dan larangan yang harus dihindari.

Pengertian keraifan lokal (tradis-ional) adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan ser-ta adat kebiasaan aser-tau etika yang menun-tun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Keraf (2010).

(4)

Dijelaskan pula bahwa kearifan lokal/tradisional bukan hanya menyangkut pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemaha-man dan adat kebiasaan tentang pemaha-manusia, alam dan bagaimana relasi di antara pen-ghuni komunitas ekologis ini harus diban-gun.

Pengertian di atas memberikan cara pandang bahwa manusia sebagai makhluk integral dan merupakan satu ke-satuan dari alam semesta serta perilaku penuh tanggung jawab, penuh sikap hor-mat dan peduli terhadap kelangsungan semua kehidupan di alam semesta serta mengubah cara pandang antroposentrisme ke cara pandang biosentrisme dan ekosen-trisme.

Nilai-nilai kerarifan lokal yang terkandung dalam suatu sistem sosial masyarakat, dapat dihayati, dipraktekkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke genarasi lainnya yang sekaligus mem-bentuk dan menuntun pola perilaku manu-sia sehari-hari, baik terhadap alam maupun terhadap alam.

Menurut Nababan (2003), men-gatakan bahwa masyarakat adat umumnya memiliki sistem pengetahuan dan pengelo-laan lokal yang diwariskan dan ditumbuh-kembangkan terus-menerus secara turun temurun.

Pengertian masyarakat adat disini adalah mereka yang secara tradisional ter-gantung dan memiliki ikatan sosio-kultural dan religius yang erat dengan lingkungan lokalnya. Pandangan ini sejalan dengan dasar dari Kongres I Masyarakat Adat Nu-santara tahun (1999) mengatakan bahwa masyarakat adat adalah komunitas-komu-nitas yang hidup berdasarkan asal-usul secara turun temurun atas satu wilayah adat, yang diatur oleh hukum adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan keka-yaan alam, kehidupan sosial budaya yang

diatur oleh hukum adat, dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidu-pan masyarakat.

Gambar. Daur Ulang Perilaku Manusia Sumber : Ronald Arya dalam Su Rito-hardoyo, 2006

Hasil Dan Pembahasan Gambaran Umum Kab. Mimika

Awalnya Mimika merupakan sebuah kecamatan dari wilayah admi-nistrasi Kabupaten Fakfak, berdasarkan peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun

1996, Kecamatan Mimika ditetapkan se-bagai Kabupaten Administratif, kemudian berdasarkan Undang-Undang Nomor 45 Tahun 1999, Mimika menjadi Kabupaten Otonom. Mimika didiami oleh 7 (tujuh) suku, dua diantaranya suku asli, yaitu suku

Amungme yang mendiami wilayah pegu-nungan dan suku Kamoro di wilayah pan-tai. Selain kedua suku tersebut masih ada lima suku kekerabatan lainnya, yaitu: Suku Dani (Lani), Suku Damal, Suku Mee, Suku Nduga, Suku Moni

Kabupaten Timika dibagi menjadi 12 di-strik, yaitu: Mimika Timur, Mimika Timur Tengah, Mimika Timur Jauh, Mimika Ba-rat, Mimika Barat Tengah, Mimika Barat Jauh, Mimika Baru, Kuala Kencana, Tem-bagapura, Agimuga, Jila, Jita

Kabupaten Mimika adalah salah satu ka-bupaten di provinsi Papua, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Timika. Di kabupaten ini terletak Kecamatan

Temba-Sistim Nilai

Perilaku Manusia

Norma Sikap

Pola Pikir Interpersonal

(5)

gapura di mana tambang emas terbesar di dunia milik PT. Freeport Indonesia berada. Terdapat sebuah bandar udara nasional di kabupaten ini, yaitu Bandara Moses Kilan-gin yang terletak di Timika.

Kata Amungme berasal dari dua kata, yaitu Amung yang berarti utama atau intisari dan Me yang berarti manusia. Jadi, Amungme memunyai pengertian manusia utama. Orang Amungme selalu berpikir bahwa ia adalah manusia utama di atas manusia lain. Menurut cerita dari para le-luhur mereka, suku Amungme berasal dari sebuah gua yang sekarang disebut Lembah Baliem atau Mepingama, yang berarti tem-pat manusia keluar dan suku Amungme adalah suku yang pertama kali keluar dari gua sebelum suku-suku lain.

Menurut mitos yang mereka per-cayai, pada zaman dahulu manusia berdiam di dalam gua. Di dalam gua terdapat ber-bagai jenis tanaman dan binatang. Alkisah pada suatu ketika orang-orang yang berada di dalam gua ingin keluar untuk melihat kehidupan di luar gua. Namun, tidak ada seorang pun dari mereka yang bisa mem-buka pintu gua, kecuali seorang tua, den-gan membaca mantra-mantra tertentu.

Orang tua itu dianggap sebagai kepala keluarga dari kelompok mereka. Ketika waktunya sudah tepat, si orang tua itu mencoba membuka pintu gua dengan memukul-mukul tongkatnya sambil mem-baca mantra.

Akan tetapi, usahanya tidak ber-hasil walau sudah dicoba beberapa kali. Sampai akhirnya, si orang tua meminta bantuan kepada seorang gadis yang belum pernah mendapat haid untuk memukul-mukul tongkat ke dinding gua sambil me-nirukan mantra dari si orang tua. Setelah itu, barulah pintu gua bisa terbuka. Ketika pintu berhasil dibuka, keadaan di luar gua masih belum memungkinkan karena per-mukaan bumi masih tergenang air. Untuk mengetahui kondisi lingkungan di seki-tar gua, diutuslah seekor burung nuri dan

mereka menanti burung itu kembali. Akan tetapi, burung nuri itu tidak kembali lagi. Kemudian, mereka mengutus seekor bu-rung murai atau negelarki. Saat bubu-rung itu kembali, di dalam paruhnya terbawa lumut dari air yang mulai mengering. Hal itu me-nandakan bumi telah cukup kering. Keeso-kan harinya orang-orang mulai keluar dari gua dan mulai berjalan searah matahari, arah ke barat.

Selama perjalanan, orang-orang mulai menebarkan bibit-bibit tanaman serta melepaskan binatang-binatang. Lalu, sam-pailah mereka di gunung Me-arrangguma-bugin, yang artinya gunung kebahagiaan dan perpisahan.

Rombongan pertama yang keluar dari gua adalah orang Amungme. Mereka membuat api untuk menghangatkan badan. Setelah itu, tiba rombongan berikutnya yang berniat untuk berdiam juga, tetapi karena tempatnya tidak mencukupi, rom-bongan itu pun melanjutkan perjalanan. Rombongan inilah yang menjadi moyang dari suku-suku Ekagi, Moni, dan Wolani, serta suku-suku kecil lain yang berada di sebelah barat dari wilayah kesatuan hidup suku Amungme.

Rombongan pertama lalu melan-jutkan perjalanan ke arah selatan dari Gu-nung Perangama-Bugin. Orang Amungme percaya mereka adalah intisari dari alam sekitarnya. Alam memberikan manfaat yang sangat besar bagi kehidupan sehingga orang Amungme sangat menghargai dan menjaga alam sekitarnya.

Caranya, dengan tidak semba-rangan merusak lingkungan hidup. Jika terjadi perusakan, hal itu sama saja den-gan merusak diri mereka sendiri. Besarnya penghargaan terhadap alam diungkapkan dalam bentuk upacara pengucapan syukur atas berkah yang didapat dari alam dan jika ada ada yang merusak alam terungkap da-lam perkataan bijak yang berbunyi:“Enane taram agan iwiatongengee, Em arap nap atendak, mesin arop nap atendak, oleh

(6)

arop nap atendak, ib arop nan atendak. Kela arop nap atendak iatong heno! Inak juo onen diamo!” Artinya: “Anak-anak, mengapa berbuat demikian, padahal kamu tahu bahwa pohon itu adalah diriku, anjing itu adalah aku, air itu juga diriku, tanah pun aku, dan batu itu pun diriku.

Berbuatlah semaumu, aku akan mengawasimu! ”(Beanal, 1997). Suku Amungme secara tradisional mendiami wilayah hampir sepanjang Pegunungan Jayawijaya dan terbagi dalam 66 klan. Klan-klan itu merupakan bagian dari masyarakat. Klan-klan tersebut terdiri atas Mom dan Magai. Perkawinan di antara mereka hanya bisaterlaksana jika kedua pasangan berasal dari dua klan yang ber-beda. Jika pasangan berasal dari klan yang sama, perkawinan tidak bisa terlaksana. Jika terjadi pelanggaran, perkawinan itu akan dikutuk dan akan mendapat sanksi adat berupa hukuman mati yang disebut hanom.

Secara tradisional, perkampungan orang-orang Amungme biasanya berada pada ketinggian 1.000 hingga 2.000 m dpl. Namun, mereka sering ditemukan di hutan dataran rendah, khususnya pada saat ber-buru atau bertukar barang dengan suku Ka-moro yang tinggal lebih dekat ke pantai. Namun, saat ini permukiman suku Amungme telah bercampur baur dengan suku-suku lainnya akibat program pemu-kiman kembali yang dilakukan Freeport atau karena kebijakan pemukiman kembali oleh Departemen Transmigrasi. Jumlah keseluruhan suku Amungme saat ini seki-tar 12.000 jiwa yang tersebar di sepuluh lembah. sungai Aijkwa, Kamoro, Otokwa, Mina Jerui, dan Kopi. Sungai dekat tempat mereka tinggal diberi nama sesuai dengan nama-nama klan asalnya.

Pemimpin lokal suku Amungme dipilih berdasarkan kemampuan individ-ual. Kepemilikan komunal atas hutan dan gunung tetap tidak berubah. Begitu pula dengan kepemilikan pribadi (keluarga)

atas tanah yang digarap, tetap terus ber-fungsi. Tanah yang dimiliki secara pribadi dapat disewakan dengan cara bagi hasil atau memberikan kompensasi berupa harta yang dimiliki.

Praktik-praktik komunal tetap ada dan hal itu memberikan dampak negatif maupun positif dalam perjuangan suku Amungme pada masa kini, khususnya untuk menga-tasi kesulitan sosial-ekonomi. Pemujaan terhadap roh leluhur tetap dipraktikkan meskipun sebagian besar dari mereka te-lah beragama Katolik dan Kristen. Agama Katolik dan Kristen merupakan hasil dari praktik zending yang dibawa oleh para mi-sionaris dari Belanda.

Namun, mereka melakukan itu dengan memegang teguh nilai-nilai untuk tidak merusak hutan. Mereka diajarkan agar menjaga hutan dengan baik. Suku Amungme menyakralkan dua gunung yang ditutupi salju abadi, yang menjulang di ket-inggian antara 3.000 m sampai lebih dari 4.000 m di atas permukaan laut. Kedua puncak ini disebut suku Amungme sebagai bugara (puncak utama). Puncak utama ini dalam mitologi suku Amungme merupak-an lambmerupak-ang kekuatmerupak-an, kebmerupak-anggamerupak-an, dmerupak-an ke-damaian. Dengan demikian, daerah itu di-pandang suci dan keramat, atau merupakan wilayah spirit of life-nya suku Amungme. Wilayah itu tidak dihuni karena merupakan daerah suci.

Konsep mengenai tanah, manusia dan lingkungan alam mempunyai arti yang intergral dalam kehidupan sehari-hari. Ta-nah digambarkan sebagai igure seorang ibu yang memberi makan, memelihara, mendidik dan membesarkan dari bayi hingga lanjut usia dan akhirnya mati. Ta-nah dengan lingkungan hidup habitatnya dipandang sebagai tempat tinggal, berke-bun, berburu dan pemakaman juga tempat kediaman roh halus dan arwah para leluhur sehingga ada beberapa lokasi tanah seperti gua, gunung, air terjun dan kuburan diang-gap sebagai tempat keramat. Magaboarat

(7)

Negel Jombei-Peibei (tanah leluhur yang sangat mereka hormati, sumber penghidu-pan mereka), demikian suku Amungme menyebut tanah leluhur tempat tinggal mereka.

Beberapa model kepemimpinan suku Amungme yaitu menagawan, kal-wang, dewan adat, kal-wang, dan wem-mum, untuk menjadi pemimpin tidak di-tentukan oleh garis keturunan, seorang pemimpin dapat muncul secara alamiah oleh proses waktu dan situasi sosial serta lingkungan ekologis yang mempengaruhi perilaku kepemimpinan tradisonal pada tingkat budaya mereka sendiri.

Tanah adalah Ibu Kami

Bagi orang Amungme, tanah tidak anya bernilai ekonomi, melainkan juga bermakna magis-religius. Mereka mempergunakan tanah untuk mendukung segala aktivitas dan menjalankan kehidu-pan sehari-hari. Tanah dibagi berdasarkan fungsinya.

Setiap bagian harussesuai dengan peruntukannya. Fungsi dan bagian dari tanah diatur secara adat dan sudah dilak-sanakan sejak beratus-ratus tahun yang lampau. Dalam pandangan suku-suku asli Papua pada umumnya, tak terkecuali suku Amungme, tanah adat adalah suatu hal yang sangat penting. Bagi mereka, tanah ibarat seorang ibu yang memberikan ke-hidupan kepada anaknya.

Dengan demikian, fungsi tanah terintegrasi ke dalam keseluruhan aktivitas kehidupan. Tanah adat dalam konsep orang Papua adalah hak milik dan sekaligus hak atas penguasaannya. Pentingnya tanah adat ini bagi suku Amungme digambarkan den-gan julukan yang melekat padanya: “tanah adalah ibu kami.” Tanah merupakan modal utama kehidupan. dalam tanah terkandung dan terkait berbagai nilai, di antaranya nilai ekonomi, politik, pertahanan, dan religius-magis. Lebih dari itu, kepemilikan tanah bagi suku Amungme bersifat komunal.

Atas dasar itu, jika terjadi perpindahan kepemilikan atas tanah, perpindahan terse-but menjadi urusan komunal atau urusan semua anggota suku, bukan urusan indi-vidu semata.

Dengan kata lain, suku Amungme memiliki hubungan yang begitu kuat den-gan tanah dan alam sehingga menghad-irkan konsep lingkungan yang diwarnai makna magis dan sosial. Alam sekitarnya dianggap sebagai tubuh seorang ibu yang memberi dan menjamin hidup mereka. Se-tiap bagian dari tubuh itu memiliki makna dan arti tersendiri dalam kehidupan suku Amungme, baik di masa lalu maupun di masa yang akan datang. Suku Amungme menganggap daerah pegunungan salju ter-masuk puncak-puncak gunung tertinggi, seperti Puncak Carstenz, Ertsberg, Grass-berg beserta lembah-lembah di sekitarnya, sebagai daerah suci serta keramat yang tidak boleh diganggu gugat. Mereka menyebut-nya sebagai kepala dari ibu mereka. Lebih tinggi daripada puncak-puncak gunung tersebut bersemayamlah Jomun-Temun Nerek, para leluhur suku Amungme.

Di kawasan kepala ibu tersebut, konon merupakan asal muasal keberadaan suku Amungme di atas bumi ini. Jika mer-eka meninggal, mermer-eka harus kembali ke daerah asal mereka atau ke pangkuan ibu untuk mencapai hai atau hari bahagia. Suku Amungme percaya bahwa setiap anggota suku yang meninggal dunia harus dikubur-kan di daerah pegunungan tersebut. Daer-ah asal yang bernilai religius-magis inilDaer-ah yang saat ini porak-poranda oleh kegiatan tambang emas dan tembaga oleh Freeport. Pembagian Tanah

Mengenai pembagian tanah dan penguasaan atas sumber daya alam lainnya telah berjalan secara turun-temurun, baik dalam tataran keluarga maupun antarmar-ga. Misalnya, hak pembagian tanah atau sumber daya alam lainnya yang dibagikan dari marga kepada keret-keret yang ada

(8)

da-lam marga tersebut.

Dari keret, nantinya akan dibagi-kan lagi kepada keluarga-keluarga yang ada di dalam keret. Setelah itu, dibagikan kepada individu-individu di dalam kelu-arga, terutama yang telah menikah. Untuk wilayah kepemilikan masing-masing mar-ga atau keluarmar-ga, jumar-ga terdapat mekanisme yang telah berjalan secara turun-temurun. Misalnya, setiap orang tua atau yang di-tuakan dalam marga selalu mengajak dan menunjukkan kepada anak-anak mereka tentang batas-batas wilayah kepemilikan warga dan keluarga mereka. Batas-batas ta-nah secara umum ditandai oleh batas-batas alam, seperti gunung, sungai, atau lembah. Mekanisme seperti ini terus berlanjut sam-pai sekarang. Dengan mekanisme seperti itu setiap marga dan keluarga dalam suku Amungme mengetahui dengan pasti batas-batas wilayah dan hak milik mereka.

Pembagian tanah tersebut juga se-suai dengan klasiikasi marga. Setiap mar -ga pada suku Amungme terbagi dalam ti-ga bagian, yaitu (1) marga tertua, (2) tengah, dan (3) bungsu. Klasiikasi marga ini bu -kan untuk menunjuk-kan sikap superioritas atau monopoli atas tanah oleh marga yang lebih tua, melainkan untuk menimbulkan sikap saling menghargai antar marga kar-ena mereka sama-sama mengetahui batas wilayah masing-masing. Pembagian tanah tidak menjadi mencolok atau fokus utama dalam klasiikasi ini. Klasiikasi yang di -lakukan tak lain hanya sekadar alat untuk menentukan keturunan seseorang dalam sebuah marga.

Hilangnya Gunung-gunung Suci

Kehadiran Freeport yang mengambil alih seluruh tanah masyarakat– yang dalam pandangan suku Amungme mengandung kekuatan magis dan mitolo-gis– menyebabkan kosmologi suku terse-but terguncang sampai ke akar-akarnya. Guncangan itu makin merasuk lebih dalam dengan hadirnya orang luar yang semakin

dominan, baik akibat pertambahan tenaga kerja Freeport yang berasal dari luar Ti-mika maupun akibat program transmigrasi yang dikembangkan pemerintah.

Dalam perkembangannya, suku Amungme yang dulunya merupakan pemi-lik tanah, saat ini hanya menjadi penonton atas tanah ulayat mereka sendiri. Peruba-han yang mengguncangkan tersebut da-pat dilihat dari lenyapnya beberapa puncak gunung yang bernilai magis dan mitologis bagi mereka, menjadi sumur-sumur rak-sasa yang menganga. Meskipun masih ada gunung-gunung yang kelihatannya masih utuh, di dalamnya telah keropos dengan adanya terowongan-terowongan besar yang berlapis-lapis.

Ditambah dengan penjagaan keamanan yang semakin hari semakin ketat, dan membuat orang-orang Amungme sama sekali tidak bisa menyentuh wilayah keramat mereka.

Yang lebih menyesakkan lagi, daerah yang dulunya menjadi sumber ke-hidupan suku Amungme itu semakin dis-esaki oleh kantor-kantor dan base camp perusahaan. Semua perusahaan itu juga dijaga ketat. Dengan demikian, yang telah terjadi saat ini adalah bila dulu tanah Ti-mika merupakan milik suku Amungme se-cara bersama-sama, sekarang kepemilikan atas tanah Timika itu berada dalam tangan Freeport dan berbagai perusahaan lainnya. Kesimpulan

Kearifan lokal sangat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan pengelolaan sumberdaya alam, dimana masyarakat se-tempat tinggal dan kemauan masyarakat untuk tetap menjaga keseimbangan dengan lingkungan meskipun menghadapi berba-gai tantangan.

Maka dari itu penting untuk melibatkan masyarakat lokal dalam melakukan tinda-kan di lingkungan dimana mereka tinggal guna menghindari konlik-konlik sosial

(9)

karena pengelolaan sumberdaya alam yang kurang memperhatikan kondisi sosial buda-ya masbuda-yarakat lokal akan dapat menimbul-kan konlik terutama dalam pengelolaan, alternatif pengelolaan lahan, dan pemetaan sumberdaya alam serta kepentingan antar kelompok masyarakat lokal.

Melihat pentingnya peran masyarakat lokal dalam menjaga kelestarian lingkungannya maka penting untuk mempertahankan dan melindungi tindakan-tindakan masyarakat yang merupakan bentuk dari kearifan ekol-ogis.

)* Penulis adalah penerima Beasiswa dari Bakrie Graduate Fellowship Tahun 2012. DAFTAR PUSTAKA

Amiruddin,2003, Perjuangan Amungme Antara Freeport dan Militer. Ja-karta.

Beanal,Tom dan Yohanes A. Deikme dan Silvester Wogan. 1997. “Perjuan-gan Atas Tanah dan Sumber Daya Alam Yang Dimiliki dan Diwaris-kan Menurut Pandangan Amungme Terhadap Amungsa.” Makalah sem-inar, KPA,.

BPS, 2010. Papua dalam Angka

Keraf, S. Sonny. 2010. Etika Lingkungan. PT. Kompas Media Nusantara. Ja-karta.

Laporan, 1995 Pelanggaran Hak Asasi Ter-hadap Penduduk Lokal, Di Wilayah Sekitar Timika, Kab. Fak-Fak, Irian Jaya Tahun 1994–1995,

Laporan 1998. Freeport McMoran Cop-per & Gold Inc. Environmental & Social Responsibility. Washington, D.C.

Muh Aris Marfai, 2005. Moralitas Ling-kungan: Releksi Kritis Atas Krisis Lingkungan Berkelanjutan, Wahana Hijau dan Kreasi Wacana, Yogya-karta.

Sedik, Andreas.1996. “Kehidupan Kelu-arga Amungme dan Kamaro di Ka-wasan Industri Pertambangan Freeport Irian Jaya.IPB, Bogor. Su Ritohardoyo, 2006. Bahan Ajar

Ekolo-gi Manusia. Program Studi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, UGM, Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Secara umum untuk tahun anggaran 2015 Kantor Informasi dan Komunikasi Kabupaten OKU TIMUR telah dapat melaksanakan target sasaran yang ingin dicapai, yang

Sistem dan prosedur yang bersangkutan dengan sistem akuntansi persediaan sangat banyak, beberapa diantaranya yaitu prosedur pencatatan produk jadi, prosedur

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi model pembelajaran Quantum Teaching dapat meningkatkan hasil belajar siswa dengan mengikuti fase- fase sebagai berikut:

Kesimpulan dalam penelitian ini bahwa partisipasi masyarakat merupakan sikap sadar, kemandirian serta kerja sama antar masyarakat maupun aparat desa dalam memanfaatkan

usaha pengolahan singkong dari hulu hingga hilir yang dimiliki Bapak Daud dapat dikatakan memiliki kemajuan dan keberhasilan walaupun terdapat beberapa kendala dalam melakukan

[r]

Penggunaan agregat halus di Kabupaten Fakfak sebagai penyusun campuran beton untuk pekerjaan konstruksi secara umum masih tergantung pada pasir laut yang potensinya cukup