• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Pengantar

Telah banyak penelitian yang dilakukan mengenai kesenian gambang kromong, namun sedikit yang menyentuh makna dan fungsi yang ada dalam nyanyian gambang kromong. Salah satunya yang sedang menjadi objek penelitian ini yakni nyanyian gambang kromong yang menganalisis gaya bahasa, makna dan fungsi

Pada Bab II ini berisi pembahasan mengenai pengertian foklor, ciri-ciri, bentuk, dan fungsinya: pengertian sastra lisan, ciri-ciri, bentuk dan fungsinya; pengertian, dan jenis-jenis nyanyian rakyat; serta pengertian nyanyian gambang kromong, sehubungan dengan analisis nyanyian gambang kromong dalam kacamata sastra lisan, dan yang terakhir adalah teknik analisis dengan menggunakan pendekatan unsur gaya bahasa, makna, dan fungsi. Gaya bahasa meliputi, gaya bahasa dalam kalimat, gaya bahasa dalam kata, dan gaya bahasa dalam bunyi.

2.2 Foklor

Istilah foklor merupakan pengindonesiaan dari bahasa Inggris folklore. Kata tersebut adalah kata majemuk yang berasal dari dua kata folk dan lore.

Dundes dalam Danandjaja (2002:1-2) menyebutkan bahwa folk adalah sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri pengenal fisik, sosial dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya. Ciri-ciri pengenal itu antara lain dapat berwujud : warna kulit yang sama, bentuk rambut yang sama, mata pencaharian yang sama, bahasa yang sama, taraf pendidikan yang sama dan

(2)

agama yang sama. Namun yang lebih penting lagi bahwa mereka telah memiliki suatu tradisi, yakni kebudayaan yang telah mereka warisi turun-temurun, sedikitnya dua generasi, yang dapat mereka akui sebagai milik bersamanya. Di samping itu, yang paling penting adalah mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri. Sedangkan yang dimaksudkan dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaan, yang diwariskan turun-temurun secara lisan melalui suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Zaidan (2000:74) menyebutkan bahwa foklor adalah semua tradisi rakyat, seperti kepercayaan, warisan kebudayaan, dan adat istiadat yang tradisional, istilah ini berasal dari tradisi Anglo Saxon, folk “rakyat” dan lore “pelajaran”, biasanya hanya mencakup bahan-bahan yang disebarkan secara lisan, tapi sekarang meliputi sumber tertulis tentang tradisi, pandangan hidup, dan kebiasaan rakyat, balada rakyat, dongeng, mitos, peribahasa, pepatah: tradisi lisan.

Danandjaja, (2002: 2) mendefinisikan foklor sebagai berikut: “foklor adalah sebagian kebudayaan kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, diantara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (mnemonic device).

Ciri-ciri foklor dijelaskan Danandjaja (2002: 3-4), sebagai berikut:

1) Penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya.

2) Foklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relative tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan diantara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama (paling sedikit dua generasi). 3) Foklor ada (exist) dalam versi-versi bahkan varian-varian yang berbeda. Hal ini diakibatkan oleh cara

(3)

oleh proses lupa diri manusia atau proses interpolasi, foklor dengan mudah dapat mengalami perubahan. Walaupun demikian perbedaannya hanya terletak pada bagian luarnya saja sedangkan bentuk dasarnya dapat tetap bertahan.

4) Foklor bersifat anonim, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi. 5) Foklor biasanya mempunyai bentuk berumus atau berpola.

6) Foklor mempunyai kegunaan (function) dalam kehidupan bersama suatu kolektif. Cerita rakyat misalnya mempunyai kegunaan sebagai alat pendidik, pelipur lara, protes sosial, dan proyeksi keinginan terpendam.

7) Foklor bersifat pralogis,yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum. Ciri pengenal ini terutama berlaku bagi foklor lisan dan sebagian lisan.

8) Foklor menjadi milik bersama (collective) dari kolektif tertentu. Hal ini sudah tentu diakibatkan karena penciptanya yang pertama sudah tidak diketahui lagi, sehingga setiap anggota kolektif yang bersangkutan merasa memilikinya.

9) Foklor pada umumnya bersifat polos dan lugu, sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan.

Setelah kita mengenal ciri-ciri foklor alangkah baiknya juga kita mengenal bentuk foklor. Menurut Jan Harold Brundvand dalam Danadjaja (2002: 21-22), berdasarkan tipenya dapat digolongkan dalam tiga kelompok yaitu:

1) Foklor lisan

Folklor lisan adalah foklor yang bentuknya memang murni lisan. Di dalam hubungan dengan foklor lisan, maka bahan-bahan foklor itu mencakup:

(4)

b) Ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah dan pemeo;

c) Pertanyaan tradisional, seperti teka-teki;

d) Puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair;

e) Cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng;

f) Nyanyian rakyat.

2) Foklor sebagian lisan (partly verbal folklore)

Foklor sebagian lisan adalah foklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Yang termasuk folklor setengah lisan adalah bahan-bahan foklor yang berupa: kepercayaan rakyat, permainan rakyat dan hiburan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, upacara-upacara adat, adat istiadat, Pesta-pesta rakyat, dan

3) Folklor bukan lisan (non verbal folklore).

Foklor bukan lisan adalah foklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan.

a) Yang berupa material: arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, pakaian dan perhiasan tubuh, makanan dan minuman rakyat, obat-obatan rakyat,

b) Yang berupa bukan material: gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan alat musik rakyat.

(5)

1) Sebagai system proyeksi (projective system), yakni sebagai alat pencermin angan-angan suatu kolektif;

2) Sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga-lembaga kebudayaan;

3) Sebagai alat pendidikan anak (pedagogical device);

4) Sebagai alat pemaksa dan pengawas agar norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi anggota kolektifnya.

2.3 Sastra Lisan

Dalam Hutomo (1991: 1), dijelaskan bahwa “Istilah ‘sastra lisan’, didalam bahasa Indonesia, merupakan terjemahan bahasa Inggris oral literature. Ada juga yang mengatakan bahwa istilah ini berasal dari bahasa belanda orale letterkunde. Yang dinamakan ‘sastra lisan’, sebenarnya adalah kesusastraan yang mecakup ekspresi kesusastraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan (dari mulut ke mulut).

Adapun ciri-ciri sastra lisan menurut Hutomo (1991; 3-4), yaitu:

1) Penyebarannya melalui mulut, maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan, baik dari segi waktu maupun ruang melalui mulut.

2) Lahir di dalam masyarakat yang masih bercorak desa, masyarakat di luar kota, atau masyarakat yang belum mengenal huruf.

(6)

3) Menggambarkan ciri-ciri budaya suatu masyarakat, sebab sastra lisan itu merupakan warisan budaya yang menggambarkan masa lampau, tetapi menyebut pula hal-hal baru (sesuai dengan perubahan sosial). Oleh karena itulah, sastra lisan disebut juga fosil hidup.

4) Tidak diketahui siapa pengarangnya, karena itu menjadi milik masyarakat.

5) bercorak puitis, teratur, dan berulang-ulang; maksudnya untuk menguatkan ingatan, dan menjaga keaslian supaya tidak cepat berubah.

6) Tidak mementingkan fakta dan kebenaran, lebih menekan pada aspek khayalan/fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat moderen, tetapi sastra lisan itu mempunyai fungsi penting di dalam masyarakatnya.

7) Terdiri atas berbagai versi.

8) bahasanya menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-hari), mengandung dialek, kadang-kadang diucapkan tidak lengkap.

Fungsi sastra lisan sendiri, masih menurut Hutomo (1991: 69-74) adalah sebagai berikut:

1) Sebagai sistem proyeksi.

2) Untuk pengesahan kebudayaan.

3) Sebagai alat pemaksa berlakunya norma-norma sosial, dan sebagai alat pengendali sosial.

4) Sebagai alat pendidikan anak.

5) Untuk memberikan suatu jalan yang dibenarkan oleh masyarakat agar dia dapat lebih superior daripada orang lain.

(7)

6) Untuk memberikan seorang jalan yang diberikan oleh masyarakat agar dia dapat mencela orang lain.

7) Sebagai alat untuk memprotes ketikadilan dalam masyarakat.

8) Untuk melarikan diri dari himpitan hidup. Atau dengan kata lain berfungsi sebagai hiburan semata.

Mengenai bentuk sastra lisan dijelaskan oleh Hutomo (1991: 62) dengan membuat skema sebagai berikut:

1) Bahan cerita: cerita-cerita biasa (tales), mitos (myths), legenda (legends), epik (epics), memori (memorates), dan cerita tutur/balada (ballads).

2) Bahan yang bercorak bukan cerita: ungkapan (folk speech), nyanyian (songs), peribahasa (proverb), teka-teki (riddles), puisi lisan (rhymes), nyanyian sedih waktu pemakaman (dirge), dan undang-undang atau peraturan adapt (law)

3) Bahan yang bercorak tingkah laku (drama): drama panggung dan Drama arena.

2.4 Nyanyian rakyat

Menurut Brunvand dalam Danandjaja, (2002: 14), nyanyian rakyat adalah salah satu genre atau bentuk foklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan diantara anggota kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai varian.

Nyanyian rakyat berbeda dari bentuk-bentuk foklor lainnya, karena nyanyian rakyat berasal dari bermacam-macam sumber dan timbul dalam berbagai macam media. Seringkali juga nyanyian rakyat ini kemudian dipinjam oleh pengguah nyanyian professional untuk diolah lebih lanjut menjadi nyanyian pop atau klasik (seriosa). Walaupun demikian, identitas fokloritasnya masih dapat kita kenali karena masih ada varian foklornya yang beredar dalam peredaran lisan (oral transmission) (Danandjaja, 2002: 141).

(8)

Brunvand dalam Danandjaja (2002: 146-152) menggolongkan nyanyian rakyat yang sesungguhnya (nyanyian yang mempunyai lirik dan lagu sama kuatnya) ke dalam tiga golongan, yakni sebagai berikut:

1. Nyanyian rakyat yang berfungsi (functional songs) adalah nyanyian rakyat kata-kata dan lagunya memegang peranan yang sama penting. Disebut berfungsi karena baik lirik maupun lagunya cocok dengan irama aktivitas khusus dalam kehidupan manusia. Jenis nyanyian rakyat ini selanjutnya dibagi lagi menjadi beberapa kategori:

a. Nyanyian kelonan (lullaby), yakni nyanyian yang mempunyai lagu dan irama yang halus, tenang, berulang-ulang, ditambah dengan kata-kata kasih sayang, sehingga membangkitkan rasa santai, sejahtera, dan akhirnya rasa kantuk bagi anak yang mendengarnya. Contoh : nyanyian “Nina Bobo” dari Jakarta.

b. Nyanyian kerja (working songs), yakni nyanyian yang mempunyai irama dan kata-kata yang bersifat menggugah semangat, sehingga dapat menimbulkan rasa gairah untuk bekerja. Contoh : nyanyian “Holopis Kuntul Baris” dari Jawa Timur, dan nyanyian “Rambate Rata” dari Sulawesi Selatan (Bugis, Makasar).

c. Nyanyian permainan (play songs), yakni nyanyian yang mempunyai irama gembira serta kata-kata lucu dan selalu dikaitkan dengan permainan bermain (play) dan permainan bertanding (game).

2. Nyanyian rakyat yang bersifat liris (lyrical folksongs), yakni nyanyian rakyat yang teksnya bersifat liris, yang merupakan pencetusan rasa baru pengarangnya yang anonim itu, tanpa menceritakan kisah yang bersambung (conherent). Nyanyian rakyat ini juga dibagi menjadi subkategori:

(9)

a. Nyanyian rakyat liris yang sesungguhnya (true folk lyric), yakni nyanyian-nyanyian yang liriknya mengungkapkan perasaan tanpa menceritaakan suatu kisah yang bersambung.

b. Nyanyian rakyat liris yang bukan sesungguhnya, yakni nyanyian rakyat yang liriknya menceritakan kisah yang bersambung (conherent).

1) Nyanyian rakyat yang bersifat kerohanian dan keagamaan (spiritual and other traditional religious songs), yakni nyanyian-nyanyian rakyat yang liriknya adalah mengenai cerita-cerita yang ada dalam Kitab Injil, kitab suci lainnya, legenda-legenda keagamaan, atau pelajaran-pelajaran keagamaan.

2) Nyanyian rakyat yang memberi nasihat untuk berbuat baik (homiletic songs).

3) Nyanyian rakyat mengenai pacaran dan pernikahan (folksongs of courtship and marriage).

4) Nyanyian bayi dan kanak-kanak (nursery dan children songs).

5) Nyanyian tertimbun banyak (cumulative songs), yakni nyanyian yang liriknya dapat bertimbun banyak, seperti halnya dengan dongeng bertimbun banyak (cumulative tales) saja.

6) Nyanyian jenaka (humorous songs), yaitu nyanyian yang isi liriknya lucu. Nyanyian jenaka ini dibagi menjadi tiga kategori:

a) Nyanyian dialek, yaitu nyanyian jenaka yang kata-katanya menirukan cara orang asing atau orang Indonesia dari daerah lain berbicara dalam bahasa Indonesia, atau bahasa daerah yang lucu kedengarannya.

(10)

b) Nyanyian yang bukan-bukan, yaitu nyanyian jenaka yang isi liriknya tidak masuk akal.

c) Nyanyian parodi, yaitu nyanyian jenaka yang bersifat mengajukan suatu nyanyian yang liriknya bersifat serius, dengan maksud untuk mengejek.

7) Nyanyian daerah dan orang-orang yang mempunyai mata pencaharian tertentu (regional and occupational folksongs), yaitu nyanyian-nyanyian rakyat yang beredar diantara para nelayan, penggembala sapi, tukang kayu, petani dan sebagainya.

3. Nyanyian rakyat yang bersifat kisah (narrative folksongs), yaitu nyanyian rakyat yang menceritakan suatu kisah. Nyanyian-nyanyian rakyat yang termasuk dalam kategori ini adalah balada (ballads) dan epos (epic)

Sebagai nyanyian rakyat tentu saja foklor ini memiliki fungsi. Fungsi-fungsi nyanyian rakyat dijelaskan oleh Danadjaja (2002: 152-153) sebagai berikut.

1. Fungsi rekreatif, yaitu untuk merenggut kita dari kebosanan hidup sehari-hari walaupun untuk sementara waktu, atau menghibur diri dari kesukaran hidup, sehingga dapat pula menjadi semacam pelipur lara, atau untuk melepaskan diri dari segala ketegangan perasaan, sehingga dapat memperoleh kedamaian jiwa.

(11)

3. Untuk memelihara sejarah setempat, klen, dan sebagainya.

4. Sebagai protes sosial, protes mengenai ketidakadilan dalam masyarakat atau bahkan dunia.

2.5 Nyanyian Gambang Kromong

Nyanyian gambang kromong merupakan jenis nyanyinian liris, nyanyian rakyat yang memberi nasihat untuk berbuat baik (homiletic songs). Menurut Yahya (http://www.kampungbetawi.com), Nyanyian Gambang kromong di bagi menjadi tiga jenis, yaitu:

1. Lagu pobin dibawakan secara instrumentalia, namun judulnya dalam bahasa Tionghoa dialek Hokkian. Jenis lagu ini memang berasal dari negeri Cina dan merupakan lagu tertua dalam repertoire lagu gambang kromong. Tapi ada juga lagu pobin Tukang Sado yang judulnya dalam bahasa Melayu. Lagu ini jelas lebih muda usianya dari pobin-pobin lainnya.

2. Lagu dalem adalah Jenis lagu gambang kromong tertua yang dinyanyikan oleh wayang cokek. Lagu dalem berirama tenang, lembut, dan jernih, karena itu tidak bisa dipakai untuk ngibing (menari) bersama wayang cokek, biasanya dinyanyikan oleh wayang cokek untuk menghibur para tamu yang sedang menikmati santapan. Lagu dalem memperlihatkan kombinasi yang serasi antara unsur Tionghoa dan Melayu. Seperti umumnya lagu tradisional, lagu dalem dibawakan dalam bentuk pantun-pantun dalam bahasa Melayu Betawi. Lagu ini sudah ada sejak abad ke-19.

3. Jenis lagu yang ketiga lagu sayur. Lagu sayur berirama riang dan cocok untuk dipakai ngibing. Lagu ini kira-kira mulai berkembang pada perempat terakhir abad ke-19, saat orang Tionghoa peranakan di Batavia mulai mengambil selendang (soder) untuk ngibing dengan wayang cokek.

(12)

Seperti juga suku-suku bangsa di Nusantara, masyarakat Betawi pun sudah sejak lama mengenal kesusastraannya. Disadari atau tidak, masyarakat Betawi akan menempatkan kesusastraannya di dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang didendangkan dan dikisahkan, ada pula yang dibacakan. Yang didendangkan dan dikisahkan, biasanya diambil dari kekayaan khasanah sastra lisan. Sedangkan yang dibacakan, diambil dari sastra tulis. Nyanyian dolanan yang sering dilantunkan anak-anak di surau atau tempat permainan, sebenarnya termasuk juga khasanah kesusastraan Betawi.

2.6 Analisis Gaya Bahasa

Gaya bahasa adalah alat tertentu yang menggunakan bahasa untuk mengekspresikan pikiran dan perasaan pengarang sehingga pembaca atau penikmat dapat tertarik atasnya (Hayati dan Winarno, 1990: 2). Pendapat yang tidak jauh berbeda dikemukakan oleh Keraf (1985: 113), gaya bahasa adalah cara menungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Sebuah gaya bahasa yang baik harus mengandung ketiga unsur berikut: kejujuran, sopan santun, dan menarik.

Gaya bahasa dapat dikategorikan dalam berabagai cara. Lain penulis lain pula klasifikasi yang dibuatnya. Tarigan mengelompokan gaya bahasa ke dalam empat kelompok yaitu:

1) gaya bahasa perbandingan 2) gaya bahasa pertentangan 3) gaya bahasa pertautan 4) gaya bahasa perulangan 2.6.1 Gaya Bahasa Perbandingan

(13)

2.6.1.1 Metafora

Metafora adalah sejenis gaya bahasa perbandingan yang paling singkat, padat, tersusun rapi. Di dalamnya terlihat dua gagasan, gagasan pertama adalah suatu kenyataan, sesuatu yang dipikirkan yang menjadi objek; dan gagasan yang kedua merupakan pembanding terhadap kenyataan tadi; dan kita menggantikan yang belakangan itu menjadi terdahulu tadi (Tarigan, 1985: 183).

2.6.1.2 Personifikasi

Personifikasi adalah penginsanan atau majas yang melekatkan sifat-sifat insan kepada barang yang tidak bernyawa dan ide yang abstrak (Tarigan, 1990: 13).

2.6.1.3 Simbolik

Simbolik adalah gaya bahasa kiasan yang melukiskan sesuatu dengan benda-benda lain sebagai simbol atau perlambang (Tarigan, 1990: 77).

2.6.2 Gaya Bahasa Pertentangan

Gaya bahasa pertentangan yang sering digunakan atu ditemui adalah sebagai berikut:

2.6.2.1 Hiperbola

Hiperbola adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung pernyataan yang berlebih-lebihan jumlahnya, ukurannya, atau sifatnya, dengan maksud memberi penekanan pada suatu pernyataan atau situasi untuk memperhebat, meningkatkan kesan dan pengaruhnya. Gaya bahasa ini melibatkan kata-kata, frase atau kalimat (Tarigan, 1985: 186).

2.6.2.2 Ironi

Ironi adalah majas yang menyatakan makna yang bertentangan dengan maksud berolok-olok, maksud itu dapat dicapai dengan mengemukakan:

(14)

1) makna yang berlawanan dengan makna yang sebenarnya;

2) ketidaksesuaian antara antara suasana yang diketengahkan dan kenyataan yang mendasarinya; 3) ketidaksesuaian antara harapan dan kenyataan.(Keraf, 1985: 128).

2.6.2.3 Klimaks

Klimaks adalah bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya (Keraf, 1985: 124).

2.6.2.4 Sinisme

Sinisme adalah gaya bahasa yang berupa sindiran yang berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keiklasan dan ketulusan hati. Sinisme adalah ironi yang lebih kasar sifatnya; namun kadang-kadang sukar ditarik batas yang tegas antara keduanya (Tarigan, 1985: 189).

2.6.2.5 Sarkasme

Sarkasme adalah sejenis gaya bahasa yang mengandung olok-olok atau sindiran pedas dan menyakiti hati. Bila dibandingkan dengan ironi dan sinisme, maka sarkasme ini lebih kasar (Poerwadarminta, 1976: 874). Ciri utama gaya bahasa sarkasme ialah selalu mengandung kepahitan dan celaan yang getir, menyakiti hati, kurang enak didengar (Tarigan, 1990: 92).

2.6.3 Gaya Bahasa Pertautan

Gaya bahasa pertautan yang sering digunakan dan ditemui adalah:

(15)

Metonimia adalah gaya bahasa yang memakai nama diri atau nama hal yang ditautkan dengan nama orang, barang atau hal sebagai penggantinya. Kita dapat menyebut pencipta atau pembuatnyajika yang kita maksudkan ciptaanya ataupun kita menyebut bahannya jika yang kita maksudkan barangnya (Moelyono, 1984: 3).

2.6.3.2 Gradasi

Gradasi adalah gaya bahasa yang mengandung suatu rangkaian atau urutan (paling sedikit tiga) kata atau istilah yang secara sintaksis bersamaan yang mempunyai satu atau beberapa ciri-ciri semantik secara umum dan yang diantara paling sedikit satu ciri diulang-ulang dengan perubahan-perubahan yang bersifat kuantitatif (Tarigan, 1985: 197).

2.6.3.3 Epitet

Epitet adalah gaya bahasa yang mengandung acuan yang menyatakan suatu sifat atau ciri yang khas dari seseorang atau sesuatu hal (Tarigan, 1993: 131).

(16)

Gaya bahasa perulangan atau repetisi yang sering digunakan dan ditemu adalah sebagai berikut:

2.6.4.1 Aliterasi

Aliterasi adalah gaya bahasa berwujud perulangan konsonan yang sama. Biasanya dipergunakan dalam puisi, kadang-kadang dalam prosa, untuk perhiasan atau penekanan (Keraf, 1985:130).

2.6.4.2 Kiasmus

Kiasmus adalah gaya bahasa yang berisikan perulangan dan sekaligus pula merupakan infersi hubungan dua kata dalam satu kalimat (Tarigan, 1993:277).

2.6.4.3 Epizeukis

Epizeukis adalah gaya bahasa perulangan yang bersifat langsung, yaitu kata yang ditekankan atau yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut (Tarigan, 1993: 188).

2.6.4.4 Asonansi

Asonansi adalah sejenis gaya bahasa repetisi yang berwujud perulangan vocal yang sama. Biasanya dipakai dalam karya puisi atau prosa untuk memperoleh efek penekanan atau menyelamatkan keindahan (Tarigan, 1993:182).

(17)

Analisis selanjutnya mengenai makna yang terkandung dalam syair nyanyian gambang kromong, karena sesungguhnya dalam syair nyanyian gambang kromong mengandung seni puisi tinggi ditilik dari kesusastraan Betawi. kesusastraan yang menggambarkan keadaan alam dan lingkungan kehidupan seseorang. Tetapi, tidak jarang pula mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan dan pandangan hidup masyarakatnya. Jadi dalam teks nyanyian gambang kromong banyak pesan yang disampaikan namun penyampaian pesan tersebut tidak diungkapkan secara langsung akan tetapi secara tersirat lewat teks yang diciptakan dalam nyanyian gambang kromong.

2.8 Analisis Fungsi

Fungsi yang akan peneliti kaji disini adalah fungsi dalam teks dan fungsi dalam pertunjukkan. Keduanya merupakan hal yang selalu berubah setiap waktunya berkaitan dengan sifat dari budaya yang selalu berkembang.

Fungsi dalam teks disesuaikan dengan makna yang terkandung dalam nyanyian gambang kromong, sedangkan fungsi dalam pertunjukkan disesuaikan dengan pertunjukkan nyanyian gambang kromong.

Referensi

Dokumen terkait

Modul cetak dapat didesain sebagai sarana untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan dan dapat digunakan sebagai sumber belajar mandiri (Rufii,

manajemen melakukan stock split didorong oleh perilaku praktisi pasar yang konsisten dengan anggapan bahwa dengan melakukan stock split dapat menjaga harga saham

Dalam perkembangan pelayanan di Indonesia, segala sesuatunya harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Karena perkembangan teknologi yang pesat sehingga dibutuhkan

Optimalisasi dalam pelaksanaan isi Renja merupakan hal penting yang perlu diupayakan dalam rangka mewujudkan kelancaran pelaksanaan program dan kegiatan yang telah

bahwa dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya Pegawai Aparatur Sipil Negara sesuai dengan kompetensi keilmuan dan keahlian yang diperlukan Pemerintah Kota Batu,

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan gambaran tentang manajemen keuangan dan teori pasar modal mengenai pengaruh persepsi investor terhadap

= Bentuk hilal / kemiringan dan ketinggiannya (altitude and lunate of moon) = Waktu pada saat Istiqbal / purnama penuh (full moon / oposition of moon) = Gerhana bulan; Gerhana

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Anisa (2016), perlakuan stabilisasi tanah lempung ekspansif di daerah Desa Jelu, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa