• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HAK ASASI MANUSIA. lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP HAK ASASI MANUSIA. lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP HAK ASASI MANUSIA

A. Latar belakang lahirnya Hak Asasi Manusia

Umumnya para pakar Eropa berpendapat bahwa lahirnya HAM dimulai dengan lahirnya Magna Charta pada tahun 1215 di Inggris. Magna Charta antara lain mencanangkan bahwa raja yang tadinya memiliki kekuasaan absolut (raja yang menciptakan hukum, tetapi ia sendiri tidak terikat pada hukum), menjadi dibatasi kekuasaannya dan mulai dapat dimintai pertanggungjawaban di muka umum. Dari sinilah lahir doktrin raja tidak kebal hukum lagi dan mulai bertanggungjawab kepada hukum. Sejak itu mulai dipraktekkan kalau raja melanggar hukum harus diadili dan harus mempertanggungjawabkan kebijakasanaannya kepada parlemen. Jadi, sudah mulai dinyatakan dalam bahwa raja terikat kepada hukum dan bertanggungjawab kepada rakyat, walaupun kekuasaan membuat Undang-undang pada masa itu lebih banyak berada di tangan raja. Dengan demikian, kekuasaan raja mulai dibatasi sebagai embrio lahirnya monarkhi konstitusional yang berintikan kekuasaan raja sebagai simbol belaka.

Lahirnya Magna Charta ini kemudian diikuti oleh perkembangan yang lebih konkret, dengan lahirnya Bill of Rights di Inggris pada tahun 1689. Pada masa itu mulai timbul adagium yang intinya adalah bahwa manusia sama di muka hukum (equality before the law). Adagium ini memperkuat dorongan timbulnya negara hukum dan

(2)

demokrasi. Bill of rights melahirkan asas persamaan. Para pejuang HAM dahulu sudah berketatapan bahwa hak persamaan harus diwujudkan betapapun beratnya resiko yang dihadapi karena hak kebebasan baru dapat diwujudkan kalau ada hak persamaan. Untuk mewujudkan semua itu, maka lahirlah teori Roesseau (tentang contract social/perjanjian masyarakat), Motesquieu dengan Trias Politikanya yang mengajarkan pemisahan kekuasaan guna mencegah tirani, John Locke di Inggris dan Thomas Jefferson di Amerika dengan hak-hak dasar kebebasan dan persamaan yang dicanangkannya.

Perkembangan HAM selanjutnya ditandai dengan munculnya The American Declaration of Independence yang lahir dari paham JJ.Roesseau dan Montesqueu. Jadi, walaupun di Perancis sendiri belum dirinci apa HAM itu, tetapi di Amerika Serikat lebih dahulu mencanangkan secara lebih rinci. Mulailah dipertegas bahwa manusia adalah merdeka sejak di dalam oerut ibunya, sehingga tidaklah logis bila sesudah lahir, ia harus dibelenggu.

Selanjutnya pada tahun 1789 lahirlah The French Declaration, dimana hak-hak yang lebih rinci lagi melahirkan dasar The Rule of Law. Antara lain dinyatakan tidak boleh ada penangkapan dan penahanan yang semena-mena, termasuk ditangkap tanpa alasan yang sah dan ditahan tanpa surat perintah yang dikeluarkan oleh pejabat yang sah. Dinyatakan pula presumption of innocence, artinya orang-orang yang ditangkap kemudian ditahan dan dituduh, berhak dinyatakan tidak bersalah sampai ada keputusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan ia bersalah. Dipertegas juga dengan freedom of expression (bebas mengelaurkan pendapat), freedom of

(3)

(perlindungan terhadap hak milik) dan hak-hak dasar lainnya. Jadi, dalam French Declaration sudah tercakup semua hak, meliputi hak-hak yang menjamin tumbuhnyademokrasi maupun negara hukum yang asas-asasnya sudah dicanangkan sebelumnya.

Perlu juga diketahui The Four Freedoms dari Presiden Roosevelt yang dicanangkan pada tanggal 6 Januari 1941, dikutip dari Encyclopedia Americana, p.654 tersebut di bawah ini :

"The first is freedom of speech and expression everywhere in the world. The second is freedom of every person to worship God in his own way-every where in the world. The third is freedom from want which, translated into world terms, means economic understandings which will secure to every nation a healthy peacetime life for its inhabitants-every where in the world. The fourth is freedom from fear-which, translated into world terms, means a worldwide reduction of armaments to such a point and in such a through fashion that no nation will be in a position to commit an act of physical agression against any neighbor-anywhere in the world".

Semua hak-hak ini setelah Perang Dunia II (sesudah Hitler memusnahkan berjuta-juta manusia) dijadikan dasar pemikiran untuk melahirkan rumusan HAM yang bersifat universal, yang kemudian dikenal dengan The Universal Declaration of Human Rights yang diciptakan oleh PBB pada tahun 19485

5 http://imadekariada.blogspot.com/2008/08/sejarah-hak-asasi-manusia.html .

(4)

Hak asasi manusia bersifat universal dan tak dapat dicabut; tidak bisa dibagi; saling berkaitan dan tak bisa dipisah-pisahkan. Hak asasi bersifat universal karena setiap orang terlahir dengan hak yang sama, tanpa memandang di mana mereka tinggal, jenis kelamin atau ras, agama, latar belakang budaya atau etnisnya.

Tak bisa dicabut karena hak-hak setiap orang itu tidak akan pernah bisa ditanggalkan dan direbut. Saling bergantung satu sama lain dan tak bisa dipisah-pisahkan karena semua hak itu―baik hak sipil, politik, sosial, ekonomi, maupun budaya―kedudukannya setara dan tidak akan bisa dinikmati sepenuhnya tanpa adanya pemenuhan hak-hak lainnya. Setiap orang diperlakukan secara setara, dan diberi hak pula untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang akan berpengaruh pada hidupnya. Mereka menegakkannya dengan peraturan hukum dan dikuatkan dengan adanya jaminan penuntutan terhadap para pengemban tanggung jawab (negara) untuk mempertanggungjawabkannya dengan standar internasional6.

1. Bersifat universal dan tak dapat dicabut (universality and inalienability)

Hak asasi merupakan hak yang melekat, dan seluruh umat manusia di dunia memikinya. Hak-hak tersebut tidak bisa diserahkan secara sukarela atau dicabut. Hal ini selaras dengan pernyataan yang tercantum dalam pasal 1 Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia: “Setiap umat manusa dilahirkan merdeka dan sederajat dalam harkat dan martabatnya”.

6 http://www.komnasham.go.id/pendidikan-dan-penyuluhan/848-prinsip-prinsip-pokok-hak-asasi-manusia

(5)

2. Tidak bisa dibagi (indivisibility)

Hak asasi manusia―baik hak sipil, politik, sosial, budaya, dan ekomoni―semuanya inheren, menyatu dalam harkat- martabat umat manusia. Konsekuensinya, semua orang memiliki status hak yang sama dan sederajat, dan tidak bisa digolong-golongkan berdasarkan tingkatan hirarkis. Pengabaian pada satu hak akan berdampak pada pengabaian hak-hak lainnya. Hak setiap orang untuk bisa memperoleh penghidupan yang layak adalah hak yang tidak bisa ditawar-tawar lagi: hak tersebut merupakan modal dasar agar setiap orang bisa menikmati hak-hak lainnya, seperti hak atas kesehatan atau hak atas pendidikan.

3. Saling bergantung dan berkaitan satu sama lain (interdependence and interrelatedness)

Pemenuhan dari satu hak seringkali bergantung kepada pemenuhan hak lainnya, baik secara keseluruhan maupun sebagian. Sebagai contoh, dalam situasi tertentu, hak untuk mendapatkan pendidikan atau hak untuk memperoleh informasi adalah hak yang saling bergantung satu sama lain.

4. Sederajat dan tanpa diskriminasi (equality and non-discrimination)

Setiap individu sederajat sebagai umat manusia dan memiliki kebaikan yang inheren dalam harkat-martabatnya masing-masing. Setiap umat manusia berhak sepenuhnya atas hak-haknya tanpa ada pembedaan dengan alasan apapun,

(6)

seperti yang didasarkan atas perbedaan ras, warna kulit, jenis kelamin, etnis, usia, bahasa, agama, pandangan politik dan pandangan lainnya, kewarganegaraan dan latar belakang sosial, cacat dan kekurangan, tingkat kesejahteraan, kelahiran atau status lainnya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh badan pelaksana hak asasi manusia.

5. Turut berpartisipasi dan berperan aktif (participation and inclusion)

Setiap orang dan seluruh masyarakat berhak untuk turut berperan aktif secara bebas dan berarti dalam partisipasi dan berkontribusi untuk menikmati kehidupan pembangunan, baik kehidupan sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya demi terwujudnya hak asasi dan kebebasan dasar.

6. Ada pertanggungjawaban dan penegakkan hukum (accountability and rule of law).

Negara dan para pemangku kewajiban lainnya bertanggung jawab untuk menaati hak asasi. Dalam hal ini, mereka harus tunduk pada norma-norma hukum dan standar yang tercantum di dalam instrumen-instrumen hak asasi manusia. Seandainya mereka gagal dalam melaksanakan tanggung jawabnya, pihak-pihak yang dirugikan berhak untuk mengajukan tuntutan secara layak, sebelum tuntutan itu diserahkan pada sebuah pengadilan yang kompeten atau ajudikator (penuntut) lain yang sesuai dengan aturan dan prosedur hukum yang berlaku.

(7)

C . Hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional

Hak asasi manusia harus dianggap sebagai salah satu dari beberapa pencapaian utama filsafat modern. Pesona moral dan kekuatan revolusionernya telah menjadi penentu jalan sejarah sepanjang 250 tahun terakhir melalui banyak cara yang masih berlangsung. Pernyataannya yang cukup beralasan adalah bahwa HAM merupakan satu-satunya sistem nilai yang diakui secara universal, meskipun sistem nilai tersebut, tidak seperti ideologi atau agama, bukan merupakan suatu sitem nilai yang sudah tertutup. Sistem tersebut tidak menawarkan jawaban-jawaban yang sudah siap untuk berbagai pertanyaan tentang kehidupan yang tak terhingga jumlahnya, tetapi sebaliknya, sistem tersebut menawarkan seperangkat standar minimum dan aturan prosedural yang terjalin secara longgar untuk hubungan antar manusia, yang seluruhnya dapat diaplikasikan bukan hanya untuk pemerintahan, badan-badan penegak hukum ataupun militer, tetapi juga pada prinsipnya untuk berbagai badan usaha/bisnis, organisasi internasional ataupun perorangan7

Fokus HAM adalah tentang kehidupan dan martabat manusia. Martabat seseorang dilanggar ketika mereka menjadi subyek penyiksaan, terpaksa hidup dalam perbudakan dan kemiskinan, seperti tanpa adanya pangan, pakaian, dan perumahan yang minimum. Hak ekonomi, sosial dan budaya lainnya seperti akses terhadap pendidikan, pelayanan kesehatan dan keamanan sosial minimum yang pada dasarnya penting bagi kehidupan bermartabat sebagai penghormatan atas kehidupan pribadi dan keluarga ataupun kebebasan pribadi.

.

7 Manfred Nowak, Pengantar pada Rezim HAM Internasional, Pustaka HAM Raoul Wallenberg Institute, 2003, hlm 1

(8)

Hak-hak yang menekankan bahwa manusia bebas memilih tindakan mereka, yang pada dasarnya merupakan manifestasi dari martabat manusia, membentuk inti yang mendasari pembentukan sejumlah hak-hak lainnya, seperti hak-hak kebebasan , hak-hak kesetaraan, hak-hak politik, hak-hak untuk kehidupan ekonomi, hak-hak kolektif, hak-hak prosedural (khususnya untuk pelaksanan hukum pidana) , atau hak-hak khusus untuk anak, lanjut usia, orang sakit, orang cacat, orang asing, pencari suaka, dan kelompok-kelompok rentan lainnya. Seluruh hak-hak tersebut diatas memberikan hak hukum kepada seluruh umat manusia untuk hidup sesuai dengan prinsip-prinsip kebebasan, kesetaraan dan martabat manusia.

Abad pencerahan, yang mengakui hak-hak individu dalam komunitas mereka masing-masing, telah berhasil membebaskan umat manusia dari berbagai pandangan dunia yang lazim pada abad pertengahan, yang ditentukan berdasarkan kewajiban saja. Manusia diciptakan untuk menjadi subyek sistem hukum dan bukan sebagai obyeknya, mereka dibebaskan dari kehidupan yang bersifat pasrah/menyerah dan diberikan hak-hak sebagai warga negara. Ini merupakan hal esensial yang membedakan HAM dengan sistem-sistem nilai lainnya, khususnya agama. Proses emansipasi, proses pemberdayaan inilah yang telah membentuk esensi revolusioner dari HAM.

HAM merupakan seperangkat standar normatif universal yang tersusun dengan baik dan sah menurut hukum. Adalah elemen universal dan normatif ini yang secara mendasar membedakan HAM dari berbagai pandangan atau sistem nilai dunia lainnya. Beberapa pemerintahan secara bertahap menerima HAM sebagai kewajiban hukum, dan saat Konferensi Dunia tentang HAM di Wina tahun 1993, menyingkirkan pemikiran bahwa HAM hanya merupakan masalah kedaulatan negara. Setidaknya, dalam kasus-kasus pelanggaran HAM yang berat ataupun sistematik, komunitas internasional

(9)

diberikan legitimasi dan bahkan diminta untuk melakukan intervensi, demi kebaikan para korban, untuk melawan pemerintahan atau kekuatan non-pemerintah yang bertanggung jawab atas pelanggaran tersebut.

Prinsip Universalitas dalam bentuk apapun tidak dapat menghapuskan perbedaan dan kekhususan regional atau nasional. Sesuatu yang valid secara universal adalah prinsip hak-hak yang tidak dapat dicabut, berdasarkan pada martabat manusia, sama dengan berbagai standar minimal lainnya yang diakui oleh hukum kebiasaan internasional ataupun hukum perjanjian internasinal;ini termasuk larangan penyiksaan penyiksaan dan perbudakan, larangan diskriminasi ras dan apartheid, hak bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri atau hak-hak minimal dari anak-anak. Diluar itu tentunya, setiap negara atau organisasi regional bebas menetapkan sendiri HAM mereka, standar yang lebih tinggi atau tambahan lainnya8

Hukum internasional secara tradisional hubungan antara negara-negara yang berdaulat dan karenanya belum dianggap bertanggung jawab untuk mengatur hubungan antara negara-negara itu dengan para warganegaranya ataupun antar warganegara. Jenis hubungan yang terakhir ini merupakan bagian dari masing-masing negara berdaulat tersebut dan, karena statusnya yang demikian, diatur oleh hukum negara (hukum konstitusi, administratif, pidana dan sipil). Sebagai reaksi atas kekejaman-kekejaman Sosialisme Nasional, hukum internasional baru mulai mengatur hak-hak individual dalam hubungannya dengan pemerintah masing-masing, meskipun masih banyak negara yang menolak menyerahkan bagian yang telah menjadi tradisi dari kedaulatan nasionalnya ini kepada hukum internasional. Itulah sebabnya mengapa

.

(10)

perkembangan perlindungan HAM internasional merupakan suatu pertarungan yang berlangsung melawan kedaulatan nasional.

Perkembangan HAM, landasan-landasan filosofisnya serta perwujudan nyata dan legalnya, telah menjadi suatu dialektika dan hampir sepenuhnya merupakan proses yang bersifat revolusioner. Pada tahun 1970an, Karel Vasak, pakar HAM Cekoslovakia, menciptakan ungkapan ‘generasi HAM’ untuk menggambarkan proses yang terputus-putus ini. Asalkan istilah ini tidak digunakan untuk mengimplikasikan bahwa masing-masing generasi pengganti digantikan oleh generasi sebelumnya, istilah ini seringkali digunakan untuk memberikan ilustrasi bagi debat tentang ideologi HAM semasa Perang Dingin. Para pakar lainnya memilih untuk menggunakan istilah dimensi HAM.

Tentu saja, terlalu sederhana apabila mencoba dan mengklasifikasikan semua hak-hak asasi manusia ke dalam tiga generasi atau dimensi, tetapi hal tersebut merupakan cerminan jernih dari diskusi-diskusis grafis tentang HAM yang terjadi antara Barat, Timur dan Selatan. Negara-negara di Barat suka menekankan, dan sebagian sangat yakin hingga hari ini, bahwa hak sipil dan politik merupakan generasi pertama, yaitu hak-hak liberal untuk dicampuri dan hak partisipasi demokratik yang terkandung dalam konsep HAM klasik, merupakan hak asasi yang sesungguhnya dalam arti hak-hak individu yang dapat ditegakkan oleh hukum terhadap negara. Pandangan yang terbatas ini tercermin dalam beberapa konstitusi Barat, serta dalam teori konstitusi liberal tentang hak-hak dasar dan jurusprudensi dari banyak institusi pengadilan di Eropa, AS dan negara-negara lainnya. Pandangan tersebut membatasi HAM pada hubungan vertikal antara negara dengan individu dan pada pengaduan individual terhadap campur tangan negara.

(11)

Konsep sosialis tentang generasi kedua adalah sama sempitnya karena konsep tersebut mengklaim bahwa hak-hak sipil dan politik hanya akan membantu dan mendukung kepentingan-kepentingan kapitalis untuk memisahkan negara dan masyarakat. Akibatnya, satu-satunya HAM adalah yang didasarkan pada harmonisasi kepentingan-kepentingan individu dan kolektif dalam masyarakat sosialis, dengan kata lain, hak ekonomi, sosial dan budaya sudah dengan sendirinya dipahami. Oleh karena itu, tugas negara adalah menjamin hak-hak atas pekerjaan, jaminan sosial, pangan, perumahan, kesehatan, pendidikan dan lain sebagainya melalui pemberian manfaat-manfaat yang positif.

Generasi ketiga dari hak kolektif masyarakat (dari kelompok selatan) mencoba menambahkan dimensi ketiga pada HAM, yang mendekat pada konsep universalisme. Mengingat kerapuhan HAM di Selatan, dan di Afrika khususnya, yang sebagian penyebabnya adalah berabad-abad sejarah kolonialisme dan imperialisme, mengemukakan bahwa hak-hak individu pada tataran nasional tidak akan memecahkan masalah. Perlindungan HAM internasional, daripada dibatasi pada pemantauan internasional oleh negara-negara pengamat HAM, harus dapat menjamin bahwa bangsa-bangsa di Selatan diberikan hak-hak solidaritas kolektif seperti bangsa-bangsa-bangsa-bangsa di utara. Pasal 28 dari Deklarasi Universal HAM pada tahun 1948 memberikan landasan untuk konsep generasi ketiga ini, menyatakan bahwa setiap orang berhak atas ketertiban sosial dan internasional di mana hak-hak dan kebebasan-kebebasan yang dikemukakan dalam Deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya’. Hak-hak pokok dari generasi ketiga adalah hak untuk menentukan nasib sendiri, yang pada pokoknya ditafsirkan sebagai hak-hak terjajah atas kemerdekaan politik dari kekuasaan-kekuasaan kolonial Eropa dan kebebasan mengatur sumber daya alam, serta hak atas pembangunan yang ditentukan sendiri, yang sangat erat berhubungan dengan hak-hak yang disebutkan sebelumnya.

(12)

Konsep tiga generasi ini mendapatkan rumusan normatifnya dalam Kovenan Internasional PBB tahun 1966 (Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik serta Kovenan tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, termasuk didalamnya hak untuk menentukan nasib sendiri seperti tertuang dalam ayat satu dari kedua Piagam tersebut), dan dalam Piagam Afrika tentang Hak-hak Manusia dan Bangsa,19819

Pada masa-masa awal diasumsikan, sesuai dengan ‘teori status’ dari Georg Jellinek ( status negativus = hak-hak liberal untuk tidak dicampuri-tangani, status activus = hak-hak partisipasi demokrasi, status positivus = hak-hak social yang

.

Subyek hukum hak asasi manusia internasional adalah sebuah entitas (seorang individu secara fisik, sekelompok orang, sebuah perusahaan atau organisasi) yang memiliki hak dan kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada prinsipnya, suatu subjek hukum internasional dapat menerapkan haknya atau mengajukan perkara ke hadapan pengadilan internasional, ia juga dapat mengikatkan dirinya dengan subyek hukum lainnya melalui perjanjian, dan subyek hukum lainnya dapat melakukan kontrol (dalam konteks dan tingkatan tertentu) terhadap bagaimana sebuah subyek hukum melaksanakan wewenang dan tanggung jawabnya. Negara merupakan fokus utama hukum internasional. Organisasi internasional seperti PBB dan juga individu dapat menjadi subjek hukum internasional. Peraturan yang sama juga berlaku bagi hukum hak asasi manusia internasional, karena dasar dari hukum hak asasi manusia internasional adalah hukum internasional.

(13)

menuntut aksi positif dari negara ) dan teori tiga generasi HAM ) bahwa berkaitan dengan hak-hak sipil negara berkewajiban untuk tidak melakukan intervensi, sedangkan berkaitan dengan hak-hak ekonomi dan sosial negara berkewajiban memberikan layanan-layanan positif saja. Sejak ketakterpisahan dan saling bergantung HAM telah dibuat menjadi sangat jelas maka secara bertahap dapat diterima bahwa pada prinsipnya negara berkewajiban untuk menghormati, memenuhi dan melindungi seluruh HAM.

Kewajiban untuk menghormati HAM mengacu pada kewajiban untuk menghindari tindakan intervensi oleh negara, mempersyaratkan bahwa yang disebutkan terakhir tadi tidak dapat diterima berdasarkan klausul-klausul tentang keterbatasan dan kondisi hokum yang relevan. Intervensi-intervensi yang tidak dapat dijustifikasi dianggap sebagai pelanggaran terhadap HAM terkait. Oleh karena itu hak untuk hidup berkorespondensi dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan pembunuha; hak atas integritas fisik dan mental berkorespondensi dengan kewajiban negara untuk tidak melakukan penyiksaan; hak untuk memilih berkorespondensi kewajiban negara untuk tidak menyingkirkan orang dari pemilihan umum demokratis secara sewenang-wenang; sementara hak untuk mendapatkan pekerjaan, kesehatan dan pendidikan berkorespondensi dengan kewajiban negara untuk tidak menyingkirkan orang secara sewenang-wenang dari sistem pasar tenaga kerja, layanan kesehatan dan pendidikan.

(14)

Kewajiban untuk memenuhi HAM mengacu pada kewajiban negara untuk mengambil tindakan-tindakan legislatif, administratif, peradilan dan praktis yang diperlukan untuk memastikan bahwa hak-hak yang diperhatikan dilaksanakan sebesar mungkin. Tekanan khusus dalam konteks ini ditempatkan pada konsep pencegahan.

Kewajiban untuk melindungi HAM juga menuntut aksi negara yang positif, namun berbeda dari kewajiban-kewajiban untuk memenuhi yang disebutkan diatas tadi yang ditujukan untuk menghindari pelanggaran HAM oleh orang sebagai pribadi. Meskipun pada prinsipnya diakui, cakupan sesungguhnya dari perlindungan negara terhadap orang-orang sebagai pribadi sangatlah controversial dan tidak jelas baik dalam teori maupun praktiknya.

D. Perjanjian-perjanjian Internasional yang mengatur tentang hak-hak asasi manusia

Dalam masyarakat internasional dewasa ini, perjanjian internasional memainkan peranan yang sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara. Melalui perjanjian internasional, tiap negara menggariskan dasar kerjasama mereka, mengatur berbagai kegiatan, menyelesaikan berbagai masalah demi kelangsungan hidup masyarakat itu sendiri. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan dewasa ini, tidak ada satu negara yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak ada satu negara yang tidak diatur oleh perjanjian dalam kehidupan internasionalnya.

(15)

Perjanjian internasional yang pada hakekatnya merupakan sumber hukum internasional yang utama adalah instrumen-instrumen yuridik yang menampung kehendak dan persetujuan negara atau subjek hukum internasional lainnya untuk mencapai tujuan bersama. Persetujuan bersama yang dirumuskan dalam perjanjian tersebut merupakan dasar hukum internasional untuk mengatur kegiatan negara-negara atau subjek hukum internasional lainnya di dunia ini.

Oleh karena pembuatan perjanjian merupakan perbuatan hukum maka ia akan mengikat pihak-pihak pada perjanjian tersebut. Dengan demikian secara umum dapat dikatakan bahwa ciri-ciri suatu perjanjian internasional ialah bahwa ia dibuat oleh subjek hukum internasional, pembuatannya diatur oleh hukum internasional dan akibatnya mengikat subjek-subjek yang menjadi pihak.

Sampai tahun 1969, pembuatan perjanjian-perjanjian internasional hanya diatur oleh hukum kebiasaan. Berdasarkan draft pasal-pasal yang disiapkan oleh Komisi Hukum Internasional, diselenggarakan suatu Konferensi Internasional di Wina dari tanggal 26 Maret s/d 24 Mei 1968 dan dari tanggal 9 April s/d 22 Mei 1969 untuk mengkodifikasikan hukum kebiasaan tersebut. Konferensi kemudian melahirkan Vienna Convention on the Law of Treaties yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969. Konvensi ini mulai berlaku sejak tanggal 27 Januari 1980 dan telah merupakan hukum

(16)

internasional positif. Sampai Desember 1999, sudah 90 negara menjadi pihak pada Konvensi tersebut10.

Praktek pembuatan perjanjian di antara negara-negara selama ini telah melahirkan berbagai bentuk terminologi perjanjian internasional yang kadang kala berbeda pemakaiannya menurut negara, wilayah maupun jenis perangkat internasionalnya. Terminologi yang digunakan atas perangkat internasional tersebut umumnya tidak meengurangi hak dan kewajiban yang terkandung didalamnya. Suatu terminologi perjanjian internasional digunakan berdasarkan permasalahan yang diatur dan dengan memperhatikan keinginan para pihak pada perjanjian tersebut dan dampak politisnya terhadap mereka.

Walaupun judul suatu perjanjian internasional dapat beragam, namun apabila ditelaah lebih lanjut, pengelompokan suatu perjanjian dalam judul tertentu dimaksudkan untuk menunjukkan adanya kesamaan materi yang diatur. Selain itu, penggunaan judul tertentu pada suatu perjanjian internasional juga dilakukan untuk menunjukkan bahwa materi tersebut memiliki bobot kerjasama yang berbeda tingkatannya dengan perjanjian internasional lainnya, atau untuk menunjukkan hubungan antara perjanjian internasional tersebut dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya yang telah dibuat sebelumnya.

10 DR, Boer Mauna, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Alumni, Edisi ke-2 2005, hlm 83

(17)

Konvensi Wina tahun 1969 mengenai Hukum Perjanjian dan Konvensi Wina tahun 1986 mengenai Hukum Perjanjian antara Negara dan Organisasi Internasional atau antara Organisasi-organisasi Internasional tidak melakukan pembedaan atas berbagai bentuk perjanjian internasional. Selain itu, Pasal 102 Piagam PBB hanya membedakan perjanjian internasional menurut terminologi treaty dan international agreement, yang hingga saat ini pun tidak ada defenisi yang tegas antara kedua terminologi tersebut11

PBB mempunyai kontribusi yang sangat penting dalam pemajuan dan perlindungan hak-hak asasi diseluruh dunia. Tiga tahun setelah PBB berdiri, Majelis Umum mencanangkan Pernyataan Umum tentang Hak-hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights ) pada tanggal 10 Desember 1948. dapat dikatakan bahwa Deklarasi tersebut merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan hak-hak asasi manusia, sebagai standar umum untuk mencapai keberhasilan bagi semua rakyat dan semua bangsa

.

12

11 Ibid, hlm 88.

12 Basic facts about the United Nations, hlm 218.

. Deklarasi tersebut terdiri dari 30 pasal yang mengumandangkan seruan agar rakyat menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan yang telah ditetapkan dalam Deklarasi. Deklarasi Universal tersebut diterima oleh 49 negara, tidak ada yang menentang, 9 abstein dan berisikan hak-hak sipil dan politik tradisional beserta hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Hak-hak yang diuraikan dalam Deklarasi tersebut dapat dikatakan sebagai sintesa antara konsepsi liberal Barat dan konsepsi sosialis. Dalam

(18)

Deklarasi Universal tersebut belum ada ketentuan mengenai hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri13

Perjanjian Internasional mengenai Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya mulai berlaku sepuluh tahun kemudian yaitu tanggal 3 Januari 1976 dan sampai bulan

.

Setelah diterimanya Deklarasi Universal pada tahun 1948, timbullah pemikiran uintuk mengukuhkan pemajuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi dalam dokumen-dokumen yuridik yang mengikat negara-negara yang menjadi pihak. Bila Deklarasi Universal hanya bersifat himbauan betapapun nilai politis dan historisnya, dokumen-dokumen yuridik hak-hak asasi mengingat sifatnya yang mengikat akan dapat mengawasi pelaksanaan yang efektif hak-hak asasi tersebut. Sejalan dengan itu maka pada tanggal 16 Desember 1966, Majelis Umum menerima dua perjanjian mengenai hak-hak asasi manusia yaitu International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan International Covenant on Civil and Political Rights. Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam kedua perjanjian tersebut adalah hasil dari upaya yang lama dan matang, berisikan hak-hak yang telah menjadi klasik dan dirumuskan secara rinci sebagai pencerminan dari kompromi antara negara-negara anggota. Yang baru dalam kedua perjanjian tersebut adalah disebutkannya hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri termasuk hak untuk mengatur kekayaan dan sumber-sumber nasional secara bebas seperti tercantum pada Pasal 1 masing-masing Perjanjian.

(19)

Desember 2003 sudah diratifikasi oleh 148 negara14

1. hak untuk bekerja dalam kondisi yang adil dan menguntungkan;

. Perjanjian Internasional ini berupaya meningkatkan dan melindungi 3 kategori hak yaitu:

2. hak atas perlindungan sosial, standar hidup yang pantas, standar kesejahteraan fisik dan mental tertinggi yang bisa dicapai;

3. hak atas pendidikan dan hak untuk menikmati manfaat kebebasan kebudayaan dan kemajuan ilmu pengetahuan.

Perjanjian tentang Hak-hak Sipil dan Politik dengan Protokol Opsional Pertamanya mulai berlaku pada bulan Maret 1976. Sampai bulan Desember 2003 Perjanjian tersebut telah diratifikasi oleh 151 negara dan Protokol Opsional Pertamanya telah diratifikasi oleh 104 negara. Protokol Opsional Pertama ini merupakan instrumen prosedural yang memberikan hak petisi kepada individu-individu yang memenuhi semua persyaratan untuk melakukannya. Pada tanggal 15 Desember 1989, PBB mengesahkan Protokol Opsional Kedua yang secara khusus mengatur upaya-upaya yang ditujukan untuk menghapuskan hukuman mati. Protokol kedua ini mulai berlaku tanggal 11 Juli 1991 sesuai dengan Pasal 8 (1) nya. Perjanjian tersebut mencakup hak-hak seperti kebebasan bergerak, persamaan di depan hukum, praduga tidak bersalah, kebebasan berpikir, berkesadaran dan beragama, kebebasan berpendapat dan menyatakan pendapat, kebebasan berserikat, berpartisipasi dalam kegiatan pemerintahan dan pemilihan umum dan perlindungan terhadap kelompok-kelompok minoritas. Perjanjian itu juga melarang perampasan secara sewenang-wenang atas kehidupan;penyiksaan, perlakuan, atau hukuman yang kejam atau merendahkan martabat;perbudakan, kerja

(20)

paksa;penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang dan lain-lainnya. Deklarasi Universal bersama dengan Perjanjian mengenai hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya beserta Perjanjian tentang hak-hak Sipil dan Politik bersama Protokol Opsionalnya dinamakan International Bill of Human Rights.

Deklarasi Universal telah memberikan inspirasi terhadap sekitar 80 konvensi, deklarasi atau dokumen lainnya mengenai hak-hak asasi manusia antara lain:

1. konvensi tentang Pencegahan dari penghukuman terhadap Kejahatan Pemusnahan Ras ( Convention on the Protection and Punishment of the Crime of Genocide ) tahun 1948. konvensi ini merupakan jawaban terhadap kekejaman-kekejaman yang terjadi selama Perang Dunia II dan mengkategorikan kejahatan pemusnahan ras sebagai perbuatan untuk menghancurkan kelompok-kelompok nasional etnis atau agama serta meminta negara-negara untuk mengadili para pelaku kejahatan tersebut.

2. Konvensi tentang status para pengungsi ( Convention Relating to the Status of Refugees ) tahun 1951. Konvensi ini menjelaskan hak-hak dan kewajiban para pengungsi, terutama hak mereka untuk tidak dipaksa kembali ke negeri mereka dan membuat ketentuan-ketentuan untuk mengatur berbagai aspek kehidupan mereka sehari-hari termasuk hak untuk bekerja, pendidikan, bantuan publik dan jaminan sosial. Protokol yang berkaitan dengan status pengungsi ini diterima SMU PBB pada tanggal 16 Desember 1966 dan mulai berlaku pada tanggal 4 Oktober 1967 sesuai dengan pasal VIII Konvensi tersebut.

(21)

3. Konvensi internasional mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial (International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination) tahun 1966. Konvensi ini sampai bulan Desember 2003 telah diratifikasi oleh dari 169 negara.. Konvensi ini mengutuk segala macam bentuk diskriminasi rasial dan meminta negara-negara mengambil tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi tersebut baik dari segi hukum maupun dalam praktiknya. Konvensi ini juga mempunyai badan pemantau (monitoring body) yaitu Komite Untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial yang bertugas untuk mempelajari laporan dari negara-negara pihak dan dalam hal-hal tertentu menerima petisi dari individu-individu atas pelanggaran hak-hak mereka yang dilindungi oleh Konvensi.

4. Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of all Forms of Discrimination against Women) 1979. Sampai bulan Desember 2003, Konvensi ini telah diratifikasi oleh 175 negara15

15 Ibid, hlm 684

. Konvensi ini memberikan jaminan hak yang sama di depan hukum antara wanita dan pria dan menjelaskan tindakan-tindakan untuk menghapuskan diskriminasi terhadap wanita sehubungan dengan kehidupan politik dan publik, kewarganegaran, pendidikan, lapangan kerja, kesehatan, perkawinan, dan keluarga. Konvensi juga mendirikan Komite tentang Penghapusan Diskriminasi terhadap Wanita sebagai badan yang memantau implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi dan membahas laporan dari negara-negara pihak. Perundingan-perundingan telah dilakukan semenjak tahun 1996 untuk membuat suatu protokol dari Konvensi yang akan memungkinkan

(22)

individu-individu untuk menyampaikan pengaduan mereka atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan terhadap Konvensi.

5. Konvensi menentang Penyiksaaan dan Perlakuan atau Hukuman lain yang Kejam dan tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat (Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment) tahun 1984. Sampai pada bulan Desember 2003 Konvensi tersebut sudah diratifikasi oleh 134 negara16. Konvensi ini mengkategorikan penyiksaan sebagai kejahatan internasional dan meminta negara bertanggungjawab untuk mencegah penyiksaan dan menghukum para pelakunya. Juga dibentuk Komite menentang Penyiksaan yang bertugas bukan saja mempelajari laporan negara-negara mengenai pelaksanaan Konvensi tetapi juga dapat melakukan investigasi di negara-negara yang diperkirakan mempraktikan penyiksaan secara sistematik. Bahkan, juga sudah ada seorang pelapor khusus (Special Rapporteur on the Question of Torture) yang diangkat oleh Komisi Hak-hak Asasi Manusia (KHAM) untuk membuat laporan tahunan mengenai praktik penyiksaan di seluruh dunia dan membuat rekomendasi kepada pemerintah negara-negara pihak untuk menghentikan praktik tersebut.

6. Konvensi mengenai Hak-hak Anak (Convention on the Rights of Child) tahun1989. Konvensi ini menegaskan hak-hak anak-anak untuk memperoleh perlindungan dan kesempatan serta fasilitas khusus bagi kesehatan dan

(23)

pertumbuhan mereka secara normal. Konvensi ini paling banyak diratifikasi dengan jumlah 192 negara pada bulan Desember 2003. Konvensi ini juga membentuk Komite tentang Hak-hak Anak yang mengawasi implementasi ketentuan-ketentuan Konvensi dan membahas laporan-laporan yang disampaikan negara-negara anggota.

Enam Konvensi ”inti” yang disebutkan di atas merupakan perjanjian-perjanjian HAM PBB yang didukung oleh mekanisme pemantauan independen sekarang ini. Pada 1 Juli 2003, Konvensi Internasional Perlindungan Hak Semua Pekerja Migran dan anggota Keluarganya tahun 1990 mulai berlaku, yang juga mengatur pembentukan ’Komite Pekerja Migran’ tersendiri dengan 10 pakar (setelah pengesahan ke-41 oleh suatu negara, komite itu akan meningkat menjadi 14 anggota yang berwenang untuk memeriksa laporan negara, komunikasi antar negara dan individu. Perjanjian HAM ’inti’ ketujuh’ ini berisi daftar keseluruhan hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya pekerja migran dan keluarganya, tetapi sebagian besar negara industri, tempat sebenarnya para pekerja migran tinggal (sering di bawah kondisi yang tidak bisa diterima), menolak kewajiban perjanjian ini. Sesaat setelah 31 Mei 2003, 21 negara meratifikasi Konvensi Pekerja Migran, di antara mereka hanya Azerbaijan dan Bosnia dan Herzegovina yang merupakan anggota Dewan Eropa.

Perjanjian utama HAM PBB lainnya adalah sebagai berikut (menunjukkan tahun diadopsinya dan mulai pemberlakuannya) :

• Konvensi Perbudakan (1926/27)

(24)

• Konvensi Suplementer tentang Penghapusan Perbudakan, Perdagangan Budak, serta Lembaga dan Praktik yang menyerupai Perbudakan (1926/57)

• Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (1948/51) • Empat Konvensi Jenewa tentang Hukum Humaniter (1949/50)

Dua protokol tambahan pada Konvensi Jenewa (1977/78)

• Konvensi yang Berkaitan dengan Status Pengungsi (1951/54) Protokol yang berkaitan dengan status pengungsi (1967/67)

• Konvensi yang berkaitan dengan Status Orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan (1954/60)

• Konvensi Pengurangan Ketiadaan Kewarganegaraan (1961/75)

• Konvensi Persetujuan Atas Pernikahan, Usia minimal Pernikahan dan Pendaftaran Pernikahan (1962/64)

• Konvensi Internasional Pengendalian dan Penghukuman Kejahatan Apartheid (1973/76)

• Konvensi Internasional Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya (1990/2003)17

Dengan instrumen-instrumen internasional ini, PBB telah menciptakan kerangka kerja standar minimum universal normatif. Meskipun proses kodifikasi HAM bisa dianggap selesai, Komisi HAM terus menetapkan standarnya untuk menjawab tantangan baru atau meningkatkan mekanisme pemantauan internasional.

.

(25)

Hampir semua Konvensi tersebut dilengkapi dengan mekanisme pengawasan atau badan pemantau untuk mengawasi apakah negara-negara pihak telah melaksanakan dengan baik ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam konvensi disamping terbukanya pula kemungkinan bagi individu-individu untuk menyampaikan pengaduan bila terjadi pelanggaran terhadap hak-hak mereka. Walaupun pada umumnya tidak mempunyai kekuatan represif, pembentukan badan-badan pemantau tersebut telah merupakan suatu kemajuan penting dalam upaya perlindungan internasional atas hak-hak asasi manusia di berbagai negara.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini akan lebih terarah dan tidak menyimpang dari topik yang dipersoalkan, maka penulis memberikan pembatasan masalah dalam penelitian ini pada pembahasan yang di

Pengecualian dari instrumen ekuitas yang diklasifikasikan sebagai tersedia untuk dijual, jika, pada periode berikutnya, jumlah kerugian penurunan nilai berkurang dan

Dalam kasus terjadinya bencana alam, seperti kebakaran, diterpa angin puting beliung, dilanda banjir bandang atau tanah longsor, sebagai pihak yang memegang

Secara umum proses yang terjadi yaitu partikel-partikel kecil zat penyerap (adsorben) ditempatkan di dalam suatu adsorber (kolom adsorpsi),kemudian fluida dialirkan melalui

Apa saja fungsi-fungsi Modalpartikeln (aber, denn, doch, ja, mal) dalam tiap jenis kalimat yang terdapat dalam video buku ajar Redaktion-D..

Tujuan studi kasus ini adalah melaksanakan asuhan keperawatan pada klien pneumonia dengan masalah gangguan prtukaran gas?. Desain penelitian ini menggunakan

Pengaruh Perilaku Keberagamaan Orang Tua terhadap Motivasi Belajar Pendidikan Agama Islam Anak Kelas VI SDN. Purworejo Kecamatan Ringinarum Kabupaten Kendal Tahun Pelajaran

Kegunaan Teoritik: Penelitian ini akan memberikan sumbangan pemikiran bagi perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bimbingan dan konseling tentang model-model pembinaan