• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sudut Pandang. Hubungan Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Dengan Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sudut Pandang. Hubungan Efikasi Diri dan Dukungan Sosial Dengan Penyesuaian Diri Remaja di Panti Asuhan"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Hubungan Efikasi Diri dan Dukungan Sosial

Dengan Penyesuaian Diri Remaja

di Panti Asuhan

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan efikasi diri dan dukungan sosial dengan penyesuaian diri remaja di panti asuhan.

Subjek penelitian ini adalah remaja usia 13-17 tahun yang tinggal di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang berjumlah 47 anak. Penentuan subjek menggunakan studi populasi. Pengambilan data dilakukan dengan

menggunakan tiga skala, yaitu Skala Penyesuaian Diri, Skala Efikasi Diri, dan Skala Dukungan Sosial. Hasil analisa data dengan metode analisis regresi ganda menghasilkan koefisien korelasi (rxy) sebesar 0,695

dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,01). Efektifitas regresi efikasi diri dan dukungan sosial secara bersama-sama ditunjukkan oleh angka 0,483.

Hasil tersebut menunjukkan bahwa dalam penelitian ini efikasi diri dan dukungan sosial mempengaruhi penyesuaian diri remaja sebesar 48,3 %.

Kata Kunci: Efikasi Diri, Dukungan Sosial, Penyesuaian Diri Remaja Panti Asuhan.

Ayu Nuzulia Rahma

Program Pascasarjana Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

PSIKOISLAMIKA, Jurnal Psikologi Islam (JPI) Copyrigth © 2011 Lembaga Penelitian Pengembangan Psikologi dan Keislaman (LP3K). Vol 8 No. 2, Januari 2011 231-246

(2)

Muqadimah

Tidak setiap anak beruntung dalam menapaki hidupnya. Beberapa anak dihadapkan pada pilihan bahwa anak harus berpisah dari keluarganya karena sesuatu alasan, seperti menjadi yatim, piatu atau bahkan yatim piatu, tidak memiliki sanak keluarga yang mau atau mampu mengasuh, dan terlantar. Hal ini mengakibatkan kebutuhan psikologis anak menjadi kurang dapat terpenuhi dengan baik, terutama jika tidak adanya orang yang dapat dijadikan panutan atau untuk diajak berbagi, bertukar pikiran dalam menyelesaikan masalah.

Data yang tercatat pada Dinas Kesejahteraan Sosial Propinsi Jawa Tengah, diketahui pada tahun 2010 jumlah anak terlantar di Jawa Tengah sebanyak 188.425 anak (Central Java, 2010). Jumlah ini diperkirakan akan dapat terus meningkat seiring dengan terjadinya perubahan sosial secara terus-menerus dewasa ini.

Anak-anak ini kemudian dirawat oleh pemerintah maupun swasta dalam suatu lembaga yang disebut panti asuhan. Panti asuhan merupakan suatu lembaga yang bertujuan untuk membantu perkembangan anak-anak yang tidak memiliki keluarga ataupun yang tidak dapat tinggal dengan keluarganya. Data yang diperoleh dari Ketua Panti Asuhan Darul Hadlonah, menyebutkan bahwa alasan utama anak-anak tinggal di Panti Asuhan Darul Hadlonah adalah karena faktor ketidakmampuan ekonomi keluarga. Listyaningsih (2004) mengartikan kemiskinan sebagai kondisi serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia yang meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, kebutuhan hidup sehat, kebutuhan akan pendidikan dasar, kebutuhan memperoleh penghargaan.

Latar belakang keluarga miskin ini dapat menyebabkan terjadinya gangguan psikologis pada remaja panti asuhan. Menurut De Panfilis (2006), kondisi permasalahan ekonomi keluarga yang kompleks dapat berakibat pada kecenderungan orangtua melakukan pengabaian (fisik, pendidikan, dan emosional) karena perhatian dan waktu lebih berfokus pada pemenuhan kebutuhan sehari-hari.

Panti asuhan pada akhirnya menjadi salah satu solusi untuk meminimalisir dampak stres yang diakibatkan kemiskinan, terutama dalam pelayanan kesejahteraan anak dan pemenuhan kebutuhan

(3)

pendidikan anak. Panti asuhan inilah yang selanjutnya juga dianggap sebagai keluarga oleh anak-anak tersebut. Mulyati (1997) mengatakan bahwa panti asuhan berperan sebagai pengganti keluarga dalam memenuhi kebutuhan anak dalam proses perkembangannya, namun, beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan lebih rentan mengalami gangguan psikologis.

Hasil wawancara yang dilakukan dengan Ketua Panti Asuhan Darul Hadlonah Semarang menyatakan bahwa masih banyak anak-anak panti asuhan yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri, terutama anak-anak yang baru tinggal di panti asuhan. Mereka cenderung pendiam, tidak suka berkumpul dengan teman-teman yang lain, dan sering bersembunyi jika ada orang asing yang datang bertamu.

Seorang anak juga bahkan pernah diberitakan kabur dari Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang. Peristiwa ini terjadi pada 7 Mei 2010. Seorang anak diberitakan kabur dari Panti Asuhan Darul Hadlonah, Mangkang, Semarang. Anak itu diketahui bernama RM (bukan nama sebenarnya). RM berusia 12 tahun. RM dititipkan di panti asuhan oleh kerabatnya karena para kerabatnya merasa tidak mampu untuk merawat RM. Ayah RM sudah meninggal dunia dan ibunya bekerja sebagai TKW di Singapura. Kejadian ini bukanlah kejadian yang pertama, sebelumnya RM pernah kabur dari panti asuhan tersebut namun saat itu RM kembali ke rumah neneknya di Sendangmulyo, Tembalang. Paman RM mengungkapkan kemungkinan RM tidak betah tinggal di panti asuhan (Suara Merdeka, 2010). Menurut Hj. Salma Damiri, hal ini dimungkinkan karena anak tersebut pada dasarnya nakal dan kurang dapat menyesuaikan diri dengan baik dengan lingkungan sekitarnya setelah anak tersebut ditinggalkan oleh ibunya bekerja di luar negeri.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yancey (1998) menunjukkan bahwa remaja yang tinggal di panti asuhan mengalami prevalensi tinggi terhadap gangguan emosi. Spitz (dalam Jersild, 1975) menambahkan bahwa anak-anak yang tinggal di panti asuhan mengalami suatu keadaan haus emosi, yaitu anak membutuhkan ekspresi kasih sayang dan perhatian. Shaffer (1985) mengemukakan bahwa anak-anak yang diasuh di dalam panti asuhan mengalami ketidakmatangan dalam perkembangan sosial.

(4)

Kerangka Kerja Teoritik

Menurut Hurlock (1994) masa remaja berlangsung antara umur 13 – 18 tahun. Pada saat melewati masa remaja ini, anak selain menghadapi perubahan-perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional juga dituntut untuk dapat melakukan perubahan-perubahan dan memenuhi tuntutan-tuntutan sosial. Hal ini dikarenakan masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa (Hurlock, 1994). Transisi dalam kehidupan ini juga mengharuskan remaja untuk dapat melakukan penyesuaian diri. Chaplin (1999) mengungkapkan bahwa penyesuaian diri merupakan variasi kegiatan organisme dalam mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan-kebutuhan serta menegakkan hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik dan sosial.

Penyesuaian diri terhadap tuntutan dan perubahan tersebut diperlukan remaja sebagai mekanisme yang efektif untuk mengatasi stres dan menghindarkan terjadinya krisis psikologis (Calhoun dan Acocella, 1990). Hal ini dikarenakan masa transisi remaja banyak menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam penyesuaian terhadap dirinya maupun terhadap lingkungan dan perkembangan pada remaja pada hakekatnya adalah usaha penyesuaian diri yaitu usaha secara aktif mengatasi tekanan dan mencari jalan keluar dari berbagai masalah.

Hurlock (1994) menyatakan bahwa masa remaja dianggap sebagai masa labil yaitu dimana individu berusaha mencari jati dirinya dan mudah sekali menerima informasi dari luar dirinya tanpa ada pemikiran lebih lanjut. Remaja yang berusaha menemukan identitas dirinya dihadapkan pada situasi yang menuntut harus mampu menyesuaikan diri bukan hanya terhadap dirinya sendiri tetapi juga pada lingkungannya, dengan demikian remaja dapat mengadakan interaksi yang seimbang antara diri dan kesempatan ataupun hambatan di dalam lingkungan. Penyesuaian diri menuntut kemampuan remaja untuk hidup dan bergaul secara wajar terhadap lingkungannya, sehingga remaja merasa puas terhadap dirinya dan terhadap lingkungannya.

Bagi remaja yang tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik cenderung menjadi anak yang rendah diri, tertutup, tidak dapat menerima dirinya sendiri dan kelemahan-kelemahan orang lain, serta merasa malu jika berada diantara orang lain atau situasi yang

(5)

terasa asing baginya. Hartini (2001) dalam penelitiannya pada anak-anak panti asuhan menemukan bahwa anak-anak-anak-anak panti asuhan cenderung menunjukkan kesulitan dalam penyesuaian sosialnya yang menggambarkan adanya kebutuhan psikologis untuk dapat menyesuaikan diri dengan tata cara atau aturan lingkungannya.

Menurut Schneider (1964), ada beberapa faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri individu, yaitu kondisi fisik, perkembangan dan kematangan, keadaan psikologis, faktor lingkungan, dan kebudayaan. Banyaknya aturan yang ditetapkan di panti asuhan juga seringkali membuat remaja mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hartini (2001) menun-jukkan bahwa anak yang tinggal di panti asuhan mengalami banyak problem psikologis dengan karakter sebagai berikut kepribadian yang inferior, pasif, apatis, menarik diri, mudah putus asa, penuh dengan ketakutan dan kecemasan.

Berhasil tidaknya remaja dalam mengatasi masalah nya tersebut sangat tergantung dari bagaimana remaja mempergunakan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan nya dan selanjutnya kemampuan menyelesaikan masalah ini akan dapat membentuk sikap pribadi yang lebih mantap dan lebih dewasa. Schneiders (1964) menyebutkan bahwa kondisi psikologis merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi penyesuaian diri. Kondisi psikologis meliputi keadaan mental individu yang sehat. Individu yang memiliki mental yang sehat mampu melakukan pengaturan terhadap dirinya sendiri dalam perilakunya secara efektif. Menurut Bandura (dalam Smet, 1994) untuk mengatur perilaku akan dibentuk atau tidak, individu tidak hanya mempertimbangkan informasi dan keyakinan tentang keuntungan dan kerugian, tetapi juga mempertimbangkan sampai sejauhmana individu mampu mengatur perilaku tersebut. Kemampuan ini disebut dengan efikasi diri.

Bandura (1986) menyatakan efikasi diri adalah perasaan individu akan kemampuannya mengerjakan suatu tugas. Efikasi diri mengacu pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan mengimplementasi tin dakan pada yang dibutuhkan untuk menampilkan kecakapan tertentu, akan tetapi, Caprara, Scabini, dan Regalia (2006) mengemukakan bahwa efikasi diri tidak datang dengan sendirinya, tetapi merupakan hasil dari

(6)

berbagi pengetahuan dan tanggung jawab, hubungan yang beragam, tugas-tugas yang bermanfaat, dan interaksi dengan orang lain.

Interaksi sosial yang dialami oleh remaja yang tinggal di panti asuhan lebih banyak dilakukan dengan para pengasuh dan teman-teman yang sama-sama tinggal di panti asuhan. Remaja yang tinggal di panti asuhan berkembang dengan bimbingan dan perhatian dari pengasuh yang berfungsi sebagai pengganti orangtua dalam keluarga. Para pengasuh berperan membantu, melatih, dan membimbing remaja panti asuhan untuk dapat mengembangkan dirinya secara optimal, akan tetapi kenyataan ini sering sulit dicapai secara memuaskan.

Proses interaksi yang terjadi secara terus menerus dalam kehidupan remaja di panti asuhan ini sangatlah penting. Interaksi ini dimaksudkan agar remaja dapat melakukan penyesuaian dirinya dengan perubahan baik di dalam panti maupun perubahan dalam hubungannya dengan interaksi yang dilakukan di dunia luar. Hal ini dikarenakan penyesuaian diri sebagai proses yang menyertai kehidupan juga tidak terlepas dari pengalaman yang diperoleh dari orang-orang yang ada di sekitarnya, diantaranya dukungan dari orang terdekat.

Bagi remaja panti asuhan, lingkungan panti asuhan merupakan lingkungan sosial utama yang dikenalnya dan merupakan sumber dukungan sosial yang utama. Dukungan sosial tersebut remaja dapatkan dari pengasuh dan teman-teman sesama penghuni panti asuhan. Thoits (dalam Rutter, Chesham, dan Quine, 1993) mengatakan bahwa dukungan sosial adalah derajat dimana kebutuhan dasar individu akan afeksi, penerimaan, kepemilikan, dan rasa aman didapatkan melalui interaksi dengan orang lain. Menurut Sarafino (1998), dukungan yang diberikan dapat berupa dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan informasi, dan dukungan instrumental. Akan tetapi dukungan sosial yang diterima oleh remaja di panti asuhan kurang dapat diberikan secara maksimal.

Salah satu penyebabnya adalah karena ketidakseimbangan rasio jumlah antara anak asuh dan pengasuh yang menyebabkan kualitas dan kuantitas dukungan, perhatian, dan kasih sayang dari pengasuh kurang maksimal. Bagi remaja yang tinggal di panti asuhan, jumlah orang dewasa yang bersedia mengurus, memberi perawatan,

(7)

perhatian, kasih sayang, stimulasi intelektual, dan pembentukan nilai merupakan faktor yang penting dalam perkembangan anak (Mussen, dkk, 1989).

Dukungan sosial remaja di panti asuhan sebenarnya tidak hanya dapat diperoleh dari para pengasuh, tetapi juga dari teman-temannya sesama penghuni panti asuhan. Meskipun demikian, dukungan sosial dari teman-teman di panti asuhan juga terhambat oleh beberapa hal. Teman-teman yang berada di lingkungan panti asuhan kurang dapat saling memberi dukungan sosial karena mereka sama-sama membutuhkan perhatian lebih, sehingga tidak mudah untuk dapat saling memberi bimbingan positif.

Berdasarkan uraian tersebut, hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

Ada hubungan positif antara efikasi diri dan dukungan sosial 1.

dengan penyesuaian diri pada remaja.

Ada hubungan positif antara efikasi diri dengan penyesuaian 2.

diri pada remaja.

Ada hubungan positif antara dukungan sosial dengan 3.

penyesuaian diri pada remaja.

Metode

Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan menggu-nakan tiga variabel, yaitu satu variabel tergantung (penyesuaian diri) dan dua variabel bebas (efikasi diri dan dukungan sosial). Subjek penelitian ini adalah remaja usia 13 – 17 tahun yang tinggal di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang sebanyak 47 orang.

Metode pengumpulan data pada penelitian ini diperoleh dengan menggunakan metode skala. Ada tiga skala yang digunakan untuk mengumpulkan data, yaitu skala penyesuaian diri, skala efikasi diri, dan skala dukungan sosial. Selanjutnya data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis regresi yang bertujuan untuk melihat untuk mengetahui bagaimana variabel tergantung dapat diprediksikan melalui variabel bebas dan melihat seberapa besar kontribusi efektif yang dapat diberikan oleh variabel bebas terhadap variabel tergantung.

(8)

Hasil

Uji asumsi terhadap variabel dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas dan uji linieritas, sebagai berikut:

Uji normalitas dilakukan dengan menggunakan teknik

Kolmogorov-Smirnov Z. Hasil uji normalitas dapat dilihat pada table

di bawah ini:

Tabel 1

Rangkuman Hasil Uji Normalitas Sebaran

Variabel K-SZ p (p > 0,05) Status

Penyesuaian diri 0,540 0,933 Normal

Efikasi diri 0,675 0,753 Normal

Dukungan sosial 0,708 0,697 Normal

Hasil uji linieritas secara lengkap dapat dilihat pada table di

bawah ini:

Tabel 2

Rangkuman Hasil Uji Linearitas

Korelasi F Sig (p < 0,05) Status

X1 X2Y 20,528 0,000 Linier

X1Y 27,209 0,000 Linier

X2Y 16,778 0,000 Linier

Berdasarkan uji asumsi yang dilakukan, maka dapat dikatakan bahwa sebaran data penelitian termasuk normal dan antara variabel bebas dan variabel tergantung terdapat hubungan yang linier, sehingga memenuhi persyaratan untuk dianalisis menggunakan teknik analisis regresi.

Hasil Uji Hipotesis

Hipotesis pertama penelitian ini adalah ada hubungan positif antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan penyesuaian diri pada remaja. Berdasarkan hasil analisis regresi diketahui bahwa nilai R (koefisien korelasi) adalah 0,695 dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,05), artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara efikasi diri dan dukungan sosial dengan penyesuaian diri pada remaja. Hal

(9)

tersebut menunjukkan bahwa hipotesis pertama diterima. Sumbangan efektif kedua variabel bebas secara bersama-sama adalah 48,3%.

Hipotesis kedua adalah ada hubungan positif antara efikasi diri dengan penyesuaian diri pada remaja. Hasil uji korelasi antara variabel efikasi diri dengan penyesuaian diri menunjukkan bahwa nilai R (koefisien korelasi) adalah 0,614 dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,05), artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara efikasi diri dengan penyesuaian diri pada remaja. Dengan demikian hipotesis kedua diterima. Sumbangan efektif variabel efikasi diri terhadap penyesuaian diri adalah sebesar 30,2%.

Hipotesis ketiga adalah ada hubungan positif antara duku-ngan sosial deduku-ngan penyesuaian diri pada remaja. Hasil uji korelasi antara variabel dukungan sosial dengan penyesuaian diri menunjukkan bahwa nilai R (koefisien korelasi) adalah 0,521 dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,05), artinya ada hubungan yang sangat signifikan antara dukungan social dengan penyesuaian diri pada remaja. Hal tersebut menunjukkan bahwa hipotesis ketiga diterima. Sumbangan efektif variabel dukungan social terhadapa penyesuaian diri adalah sebesar 18,1%.

Diskusi

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa secara bersama-sama variabel efikasi diri dan dukungan sosial memiliki pengaruh yang signifikan dengan penyesuaian diri dengan taraf signifikansi sebesar 0,000 (p < 0,05) dan F = 20,528. Nilai R (koefisien korelasi) sebesar 0,695. Hal ini membuktikan bahwa hipotesis diterima yakni bahwa efikasi diri dan dukungan sosial mempunyai peran yang signifikan dengan penyesuaian diri pada remaja yang tinggal di panti asuhan.

Hasil penelitian ini juga menemukan bahwa secara terpisah, variabel efikasi diri memberikan pengaruh positif terhadap penyesuaian diri remaja yang tinggal di panti asuhan. Hasil analisis menunjukkan nilai F = 27,209 dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,000) yang menerangkan bahwa hipotesis tersebut diterima. Nilai R (koefisien korelasi) sebesar 0,614. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi efikasi diri maka semakin tinggi penyesuaian diri remaja yang tinggal di panti asuhan.

(10)

Temuan ini mendukung pendapat Bandura (1997) yang menegaskan bahwa seseorang yang memiliki persepsi efikasi diri akan dapat menentukan jenis perilaku penyelesaian, seberapa tekun usaha yang dilakukan individu untuk mengatasi persoalan atau menyelesaikan tugas, dan berapa lama individu akan mampu berhadapan dengan hambatan-hambatan yang tidak diinginkan. Liebert & Priegler (dalam Warsito, 2004) menegaskan efikasi diri dapat mempengaruhi usaha yang dilakukan dan daya tahan dalam menghadapi hambatan atau rintangan. Semakin tinggi efikasi diri yang dimiliki individu maka semakin besar usaha dan daya tahan serta keuletan yang dimiliki.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pintrich & Garcia (dalam Warsito, 2004) mengatakan bahwa mahasiswa yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan menggunakan strategi kognitif dan metakognitif yang lebih baik. Seseorang yang memiliki efikasi diri tinggi pada umumnya lebih fleksibel dalam menghadapi berbagai situasi yang menuntut kemampuan penyesuaian diri tanpa harus mengasingkan diri dari kompleksitas persoalan yang mengitari kehidupannya.

Efikasi diri dibutuhkan remaja yang tinggal dipanti asuhan dalam usaha untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan dan tuntutan. Seperti yang diungkapkan Bandura (1986), efikasi diri merupakan dasar utama dari tindakan individu. Efikasi diri menunjuk pada keyakinan individu akan kemampuannya dalam menentukan, mengatur, dan melaksanakan sejumlah perilaku yang tepat untuk menghadapi rintangan untuk mencapai keberhasilan yang diharapkan dan mencapai hasil prestasi tertentu.

Remaja dengan tingkat efikasi diri yang tinggi lebih mampu mengatasi stres dan ketidakpuasan dalam dirinya daripada remaja dengan tingkat efikasi diri yang rendah. Remaja yang memiliki efikasi diri yang tinggi akan lebih giat, bersemangat, dan tekun dalam usaha yang dilakukannya serta memiliki suasana hati yang lebih baik, seperti rendahnya tingkat kecemasan atau depresi ketika melakukan suatu tugas atau pekerjaan karena merasa mampu mengontrol ancaman. Sementara remaja dengan efikasi diri rendah akan mengurangi usahanya atau bahkan menyerah ketika menghadapi hambatan. Efikasi diri yang dimiliki remaja mempengaruhi strategi penanggulangan masalah yang dilakukan. Pemilihan tindakan, usaha dan ketekunan, pola pemikiran dan reaksi emosional, serta strategi penanggulangan masalah menjadi penentu keberhasilan remaja dalam melakukan penyesuaian diri.

(11)

Hasil penelitian ini juga menyebutkan bahwa dukungan sosial memberikan pengaruh positif terhadap penyesuaian diri remaja yang tinggal di panti asuhan. Hasil analisis menunjukkan nilai F = 16,778 dengan taraf signifikansi 0,000 (p < 0,000) yang menerangkan bahwa hipotesis tersebut diterima. Nilai R (koefisien korelasi) sebesar 0,521. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi dukungan sosial maka semakin tinggi penyesuaian diri remaja yang tinggal di panti asuhan.

Temuan ini mendukung pendapat Smet (1994) yang mene-gaskan bahwa jika individu merasa didukung oleh lingkungan, segala sesuatu dapat menjadi lebih mudah pada saat mengalami kejadian-kejadian yang menegangkan. Tidak adanya dukungan sosial dapat menimbulkan perasaan kesepian dan kehilangan yang juga dapat mengganggu proses penyesuaian diri. Hal senada juga diungkapkan oleh Caplan (dalam Cohen & Syme, 1985) bahwa kehadiran sumber-sumber dukungan yang sesuai dapat membantu penyesuaian diri individu dalam menghadapi peristiwa-peristiwa yang menekan.

Temuan dalam penelitian ini juga mendukung penelitian sebe lumnya yang dilakukan oleh Maharani & Andayani (2003) bahwa remaja membutuhkan dukungan dari orang dewasa yang ada di sekitarnya untuk membantu mengatasi permasalahan yang dihadapi dan dalam mengahadapi tuntutan-tuntutan. Dagun (1990) mengatakan bahwa dukungan sosial yang diberikan dapat membantu remaja dalam melakukan penyesuaian yang lebih baik dan membentuk kepribadian remaja yang tangguh dalam menghadapi berbagai tuntutan lingkungan di masa-masa selanjutnya.

Hasil penelitian Eggens, Van Der Werf & Bosker (2007) menyatakan bahwa dukungan sosial dapat berfungsi sebagai “jaring penyelamat” yang membantu pelajar dalam penanggulangan stres dan kesulitan-kesulitan selama masa belajar. Hasil penelitian lain menyatakan bahwa dukungan sosial dapat mengurangi tekanan akibat aktivitas yang menimbulkan stres (Kors & Linden, 1995; Lepore, Allen & Evans, 1993, dalam Sarafino, 1998).

Bagi para remaja yang tinggal di panti asuhan, para pengasuh dan teman-teman di panti adalah keluarga mereka. Dukungan yang diberikan para pengasuh dan juga teman-teman di panti asuhan menimbulkan perasaan dekat secara emosional, rasa aman, diperhatikan, dihargai, dan dicintai. Hasil penelitian Levitt, Webber & Grucci (1983) mengatakan bahwa dukungan dari keluarga

(12)

merupakan dukungan sosial pertama yang diterima seseorang karena anggota keluarga adalah orang-orang yang berada di lingkungan paling dekat dengan diri individu dan memiliki kemungkinan yang besar untuk dapat memberikan bantuan. Effendi & Tjahjono (1999) mengatakan bahwa melalui dukungan sosial, kesejahteraan psikologis individu akan meningkat karena adanya perhatian dan pengertian yang menimbulkan perasaan memiliki, meningkatkan harga diri, dan kejelasan identitas diri serta memiliki perasaan positif mengenai diri sendiri.

Kesimpulan

Efikasi diri dan dukungan sosial mempunyai pengaruh positif 1.

terhadap penyesuaian diri remaja yang tinggal di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang dan secara bersama-sama memberikan kontribusi terhadap penyesuaian diri sebesar 48,3%. Hal ini berarti apabila remaja memiliki efikasi diri dan dukungan sosial yang tinggi maka semakin tinggi pula kemampuan penyesuaian diri remaja tersebut. Sebaliknya, apabila efikasi diri dan dukungan sosialnya rendah maka semakin rendah pula kemampuan penyesuaian diri remaja.

Efikasi diri mempunyai pengaruh positif terhadap penyesuaian 2.

diri remaja di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang, begitu pula dengan variabel dukungan sosial. Dukungan sosial mempunyai pengaruh positif terhadap penyesuaian diri remaja di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang. Sumbangan efektif masing-masing variabel secara terpisah terhadap penyesuaian diri remaja di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang adalah efikasi diri sebesar 30,2% dan dukungan sosial sebesar 18,1%.

Rata-rata penyesuaian diri remaja di Panti Asuhan Darul 3.

Hadlonah Kota Semarang berada pada kategori tinggi, sedangkan efikasi diri dan dukungan sosial remaja di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang berada pada kategori sedang.

Dari hasil penelitian tersebut, saran yang peneliti berikan adalah: Bagi pengasuh Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang. 1.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa dukungan sosial juga memegang peranan penting dalam meningkatkan kemampuan penyesuaian diri remaja. Oleh karena itu, sebaiknya

(13)

orang-orang terdekat dalam hal ini para pengasuh panti asuhan dapat memberikan dukungan baik secara emosi, penghargaan, materiil, informasi, maupun hanya sebagai tempat untuk berbagi keluh kesah. Hal ini dilakukan agar para remaja dapat menyesuaikan diri dengan baik.

Bagi remaja di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang. 2.

Remaja di Panti Asuhan Darul Hadlonah yang telah dapat menyesuaikan diri dengan baik diharapkan dapat terus

mempertahankan kemampuannya dalam melakukan

penyesuaian diri dan bagi remaja yang masih belum dapat menyesuaikan diri di panti asuhan dapat terus meningkatkan kemampuannya dalam penyesuaian dirinya. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan efikasi dirinya melalui pencapaian prestasi, belajar dari pengalaman sukses orang lain, dan menjaga kondisi fisik serta psikisnya. Selain itu, remaja diharapkan dapat mempersepsikan positif dukungan yang diberikan oleh para pengasuh serta teman-teman yang tinggal di Panti Asuhan Darul Hadlonah Kota Semarang.

Bagi penelitian selanjutnya. Ada baiknya bila pada penelitian 3.

selanjutnya diidentifikasi faktor-faktor lain yang sekiranya berhubungan dengan penyesuaian diri remaja. Peneliti juga bisa menggunakan metode lain, atau memodifikasi angket yang berbeda. Hal ini dikarenakan angket yang digunakan juga memiliki keterbatasan dalam menggambarkan kemampuan penyesuaian diri remaja. Selain itu, faktor biaya juga perlu dipertimbangkan karena tidak sedikit biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan penelitian di panti asuhan.

(14)

Daftar Pustaka

Bandura, A. (1986). Social foundation of thought and action: A social

cognitive theory. Englewood Cliffs, New York : Prentice Hall.

Bandura, A. (1997). Self-efficacy, the exercise of control. New York: Freeman and Company.

Calhoun, J. F. & Acocella, J. R. (1990). Psychology of adjustment and

human relationship. 3rd Edition. New York: Mac Graw-Hill Inc.

Caprara, G. V., Scabini, E. & Regalia, C. (2006). The impact of perceived family efficacy beliefs on adolescent development. In F. Pajares & T. Urdan (Eds.). Self-Efficacy Beliefs of Adolescents. Connecticut: Information Age Publishing, Inc.

Central Java. (22 Juli 2010). Penanganan anak terlantar di Jawa Tengah. www.jatengprov.go.id.

Chaplin, J. P. (1999). Kamus lengkap psikologi. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Cohen, S & Syme, S. L. (1985). Social support and health. London: Academic Press, Inc.

Dagun, S. M. (1990). Psikologi keluarga: Peranan ayah dalam keluarga. Jakarta: Rineka Cipta.

De Panfilis, D. (2006). Child neglect: A guide for prevention, assessment,

and intervention. USA: US. Departement of Health and Human

Service Administration for Children and Families.

DuBois, D. L., Braxton, C. B., Swenson, L. P., Tevendale, H. D., Lockerd, E. M., & Moran, B. L. (2002). Getting by with a little help from self and others: Self-esteem and social support as resources during early adolescence. Journal of Developmental Psychology, 38(5), 822-839. Effendi & Tjahjono. (1999). Hubungan antara perilaku coping dan

dukungan sosial dengan kecemasan pada ibu hamil anak pertama. Anima, 14(54), 214-227.

Eggens, L., Van Der Werf, M. C. P., & Bosker, R. J. (2007). The influence of personal networks and social support on study attainment of students in university education. Journal of Educational Psychology,

(15)

Hartini, N. (2001). Karakteristik kebutuhan psikologi pada anak panti asuhan. Insan Media Psikologi, 3(2), 109-118.

Hoglund, W. L. & Leadbeater, B. J. (2004). The effect of family, school, and classroom ecologies on changes in children’s social competence and emotional and behavioral problems in first grade. Journal of Developmental Psychology, 40(4), 533-544.

Hurlock, E. B. (1994). Psikologi perkembangan; Sepanjang rentang

kehidupan. Alih Bahasa: Istiwidayanti & Soedjarwo. Edisi Kelima.

Jakarta: Erlangga.

Jersild, A. T. (1975). Child psychology. Seventh Edition. New Jersey: Prentice Hall, Inc.

Levitt, M. J., Webber, R. A. & Grucci, N. (1983). Conveys of social support: Integrational analysis. Journal of Psychology Aging, 4(3), 117-130.

Listyaningsih, U. (2004). Dinamika kemiskinan di Yogyakarta: Analisis

data hasil survei aspek kehidupan rumah tangga Indonesia Tahun 1997 dan 2000. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan

Universitas Gadjah Mada dan Partnership for Economic Growth United States Agency for International Development.

Maharani, O. P. & Andayani, B. (2003). Hubungan antara dukungan sosial dengan penyesuaian sosial pada remaja laki-laki. Jurnal Psikologi, 2, 23-35.

Mulyati, R. (1997). Kompetensi interpersonal pada anak panti asuhan dengan sistem pengasuhan tradisional dan anak panti asuhan dengan sistem pengasuhan ibu asuh. Jurnal Psikologika, II(4), 24-35.

Mussen, P. H., Conger, J. J., Kagan, J. & Huston, A. C. (1989).

Perkembangan dan kepribadian anak. Alih Bahasa: Meitasari.

Jakarta: Gramedia.

Rutter, D. R., Chesham, D. J., & Quine, L. (1993). Social psychological

approaches to health. New York: Harvester Wheatsheaf.

Sarafino. (1998). Health psychology: Biopsychosocial interactions. New York: John Willey & Sons.

Schneiders, A. A. (1964). Personal adjustment and mental health. New York: Holt, Rinehart & Winston Inc.

(16)

Shaffer, D. R. (1985). Development psychology. Belmont, California: Wodsworth Publishing Company, Inc.

Smet, B. (1994). Psikologi kesehatan. Jakarta: PT. Grasindo.

Suara Merdeka Cyber News. (7 Mei 2010). Anak kabur dari panti asuhan. www.suaramerdeka.com.

Warsito, H. (2004). Hubungan antara efikasi diri dengan penyesuaian akademik dan prestasi akademik. Jurnal Psikologi, 14(2), 92-109. Yancey, A. K. (1998). Building positive self-image in adolescents

in foster care: The use of role models in an interactive group approach. Adolescence, 33, 253-267.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam kajian ini, pengkaji mengenal pasti ujaran yang mengandungi kesantunan bahasa dalam drama Zahira dan seterusnya menghuraikannya berdasarkan Prinsip Kesopanan yang

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta yang telah terungkap di persidangan berdasarkan keterangan saksi-saksi dan terdakwa, tabrakan antara mobil Pick Up Suzuki Carry

arsitektur pohon terhadap aspek hidrologi terutama curahan tajuk ( troughfall ) yang mengitegrasikan komponen curah hujan sebagai peubah bebas yang merupakan salah

( market-based view ); (4) Masukan bagi konsumen jasa pendidikan tinggi swasta sebagai bahan evaluasi apakah keinginan mereka ( voice of the customers ) telah

PENGEMBANGAN TES TERTULIS PADA MATERI PENGANTAR KIMIA MENGGUNAKAN MODELTRENDS IN INTERNATIONAL MATHEMATICS AND SCIENCE STUDY(TIMSS).. Universitas Pendidikan Indonesia |

Pembelajaran berjalan dengan lancer, yang diawali dengan presentasi kelompok yang bertugas dalam menjadi pemateri, kemudian ada sesi tanya jawab sekaligus diluruskan oleh

Menurut Dewan Pertimbangan Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia (DPP PPNI) tahun 1999, standar praktik keperawatan merupakan komitmen profesi keperawatan dalam

M aka t indakan yang dapat dilakukan oleh pemerint ah adalah mengurangi jumlah uang beredar dan meningkat kan persediaan barang.. perubahan fisik