• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Mk. Pengantar Teknologi Pendidikan (2) Dewi Salma Prawiradilaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Mk. Pengantar Teknologi Pendidikan (2) Dewi Salma Prawiradilaga"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

Makalah Mk. Pengantar Teknologi Pendidikan (2)

Dewi Salma Prawiradilaga

Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan

Fakultas Ilmu Pendidikan

IKIP Jakarta

1999

(2)

Tulisan ini merupakan makalah lanjutan yang digunakan sebagai bahan bacaan untuk matakuliah Pengantar Teknologi Pendidikan. Walaupun para mahasiswa jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan tidak disiapkan untuk menjadi guru, namun mereka harus mengetahui suka duka dan situasi belajar mengajar yang terjadi di sekolah atau di mana saja. Dengan mengacu pada pendapat ini maka, bagian akhir makalah membahas hal tersebut secara sederhana.

Namun, sebelumnya, agar mahasiswa mampu menganalisis proses belajar mengajar dengan sebaik-baiknya, maka mereka memerlukan landasan berpikir yang stabil dan menjadi ciri khas dari seseorang yang mendalami bidang teknologi pendidikan. Berpikir sistemik dan berlandaskan system dibahas pada bagian awal makalah ini. Dengan demikian, mahasiswa sudah dipersiapkan sebelumnya bagaimana mengamati kejadian sehari-hari di kelas, bagaimana proses belajar bisa terjadi dalam diri seseorang dan bagaimana lingkungan belajar yang sehat harus dipersiapkan.

Dengan makalah ini, diharapkan bacaan dasar di bidang teknologi pendidikan sementara dapat diatasi. Tentu saja masukan dari pembaca sangat bermanfaat bagi perbaikan yang akan dilaksanakan nanti. Selamat belajar !

(3)

Pengantar hal. 2

Daftar Isi hal. 3

I. Landasan Berpikir hal. 4

 Pengertian hal. 4

 Proses Belajar hal. 4

 Analisis Siswa hal. 7

 Persepsi hal. 9

II. Sistem hal. 11

 Ruang Lingkup Sistem hal. 11

 Pendekatan Sistem hal. 14

III. Interaksi Belajar-Mengajar hal. 18

* Interaksi Belajar-Mengajar hal. 18

* Model Interaksi Belajar-Mengajar hal. 19

* Peran Guru hal. 21

IV. Media Instruksional dan Sumber Belajar hal. 24

 Media Instruksional hal. 24

 Peran Sumber Belajar hal. 25

(4)

Pengertian

Teknologi pendidikan memandang proses belajar sebagai suatu peristiwa

internal. Proses belajar disebut internal karena terjadi dalam diri siswa. Sejauh ini sudah banyak sekali teori belajar yang dirumuskan oleh para pakar dengan berbagai pendekatan ilmu. Proses belajar dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu. Sebagai contoh, psikolog beranggapan bahwa proses belajar sebagai suatu proses kognitif, sedangkan pakar komunikasi beranggapan bahwa proses belajar adalah suatu pemrosesan informasi dalam diri seseorang.

Teknologi pendidikan mengadaptasikan konsep pendekatan sistem sebagai kerangka berpikir. Tatakerja pendekatan sistem menelaah masalah pendidikan atau belajar dari berbagai sudut pandang hingga menghasilkan beberapa alternatif. Penyelesaian masalah dipilih dari alternatif tadi. Pendekatan sistem juga memandu pola berpikir penyelesaian masalah dengan efisiensi.

Banyak sekali faktor yang dapat menghambat atau mendukung terjadinya proses belajar. Upaya teknologi pendidikan bersifat kongkrit, yaitu penciptaan atau rancangan lingkungan belajar, atau sering disebut faktor eksternal belajar. Rancangan kegiatan instruksional beserta guru adalah lingkungan belajar yang biasa ditemui sehari-hari dan dianggap berpengaruh banyak terhadap proses belajar. Kedua factor eksternal tersebut akan dibahas sebagai bagian dari Kegiatan Belajar 2 dari modul ini.

Proses Belajar

Perhatian teknologi pendidikan terhadap proses belajar dikemukakan oleh Percival dan Ellington, 1984 dalam rumusan konsep orientasi siswa (student-oriented) sebagai suatu pendekatan dalam mengatasi kesulitan proses belajar- mengajar. Keduanya berpendapat bahwa kebutuhan setiap individu siswa

(5)

merupakan bahan pertimbangan terpenting dibandingkan komponen lainnya dalam dunia pendidikan; terutama demi tercapainya tujuan belajar. Berikut rincian proses belajar.

a. Definisi Belajar

Bagi Kemp & Dayton, 1985, belajar “sebagai suatu proses terjadi pada seseorang sebagai suatu pengalaman. Belajar berlangsung manakala perilaku seseorang dimodifikasi – atau terjadi jika seseorang berpikir atau bertindak berbeda”. Heinich, et al, 1993 menganggap belajar sebagai pengembangan pengetahuan, keahlian, atau sikap ketika seseorang berinteraksi dengan informasi dan lingkungan. Bagi mereka, waktu dan tempat belajar tidak tertentu, belajar bisa terjadi kapan saja. Bagi Ellington & Haris, 1986, proses belajar adalah perubahan perilaku menetap (permanen) akibat pengalaman dan instruksional terarah.

b. Peristiwa Belajar

(1). Belajar sebagai suatu pemrosesan informasi

Gagne, Briggs, dan Wager menjabarkan peristiwa belajar berdasarkan pola pemrosesan informasi seperti berikut ini.

Menurut teori pemrosesan informasi, belajar terjadi karena seseorang

menerima informasi dari lingkungan. Informasi kemudian diterima seketika melalui memori jangka pendek. Pengendapan dan penyimpanan informasi tadi dilakukan oleh memori jangka panjang. Sebelum diendapkan, informasi tadi diolah dan disesuaikan dengan pola berpikir individu. Untuk optimalisasi proses belajar, diperlukan pemantauan dan harapan sebagai penggerak dan motor bagi kemajuan belajar agar mudah jika informasi tersebut dibutuhkan. Gambar proses belajar dapat dilihat pada halaman berikuti.

(6)

(Belajar sebagai suatu pemrosesan informasi, Gagne, et al, 1992).

Kegiatan belajar tidak hanya terjadi di sekolah, tetapi mengandung arti luas. Belajar dapat multidimensi, tidak tergantung usia dan jadwal atau bisa terjadi di mana saja selama situasi memungkinkan. Plomp & Ely, 1996 dalam

International Encyclopedia of Educational Technology berhasil merumuskan beberapa model belajar.

Model-model belajar tersebut diantaranya adalah

- belajar langsung (direct instruction) yaitu kegiatan belajar yang berpola pada belajar berstruktur dengan mengikuti kurikulum yang berlaku. Pola belajarnya adalah pola konvensional yang memerlukan kehadiran guru, mengandalkan kegiatan tatapmuka, serta membutuhkan

L

I

N

G

K

U

N

G

A

N

KONTROL PELAKSANA P E M E B F E E R K

I

PENGHASIL RESPON HARAPAN/ KEINGINAN P E N E R I M A P E N M I E E N R L D I A E M L R A U A A I N MEMORI JANGKA PENDEK M MEEMMOORRII J JAANNGGKKAA P PAANNJJAANNGG

(7)

lingkungan khusus. Penyediaan media, ruang kelas, dan perpustakaan adalah contoh-contoh yang termasuk lingkungan khusus.

- Belajar secara terbuka (open learning) : kegiatan belajar yang tidak terpaku pada kegiatan belajar di kelas, atau tidak memiliki jadwal dan lokasi tetap untuk bertatap muka. Belajar terbuka juga tidak mengenal batasan umur. Sudah tentu kehadiran guru tidak lagi menjadi syarat mutlak bagi proses belajar. Kemandirian sangat dituntut dari siswa. Belajar terbuka dapat diterapkan untuk peserta dalam jumlah yang banyak (massa). Kurikulum yang digunakan sama dengan kurikulum bagi kelas konvensional.

- Belajar kooperatif (cooperative learning) : suatu inovasi dari situasi belajar di kelas, yang memanfaatkan keterlibatan dan kerjasama seluruh siswa. Belajar kooperatif memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar lebih banyak lagi dari siswa lain sewaktu penyelesaian suatu tugas kelompok. Bagi siswa yang memiliki kemampuan di atas rata-rata temannya, ia dapat dipilih untuk menjadi tutor.

Analisis Siswa

Seperti tersebut tadi, peristiwa belajar merupakan proses internal. Pengamatan terhadap siswa sebaiknya dilakukan sejak dini, karena siswa memerlukan kesiapan mental dan akademik. Pengamatan diprioritaskan pada aspek :

a. Karakteristik umum

Kondisi fisik sejak lahir, merupakan karakteristik umum siswa yang tidak dapat diubah. Sebagai contoh, kondisi indera penglihatan siswa, yaitu mengenai ketajaman visual. Setiap individu siswa memiliki ketajaman visual berbeda. Bagi siswa yang memiliki ketajaman visual kurang dari rata-rata, maka ia dapat dibantu dengan penggunaan kacamata. Siswa juga memiliki

(8)

sifat dan karakter tertentu yang tidak atau belum tentu dapat diubah melalui proses belajar.

Bagi Heinich, Molenda, dan Russell, 1996, karakteristik umum adalah

analisis keadaan siswa dan latar belakangnya; tidak terkait dengan materi belajar, tetapi dapat membantu menentukan tingkat kesulitan, pemilihan pesan (materi belajar). Umur, kelas/tingkat, pekerjaan, serta posisi adalah contoh dari karakteristik umum. Ketiga pakar menyebutkan pentingnya karakteristik umum siswa untuk dikaji. Karakteristik umum cenderung

statis, dan menetap selama beberapa waktu, dan tidak berubah hanya karena seseorang belajar.

b. Karakteristik Akademik

Karakteristik akademik berkaitan dengan kemampuan prasyarat siswa. Kemampuan prasyarat merupakan kemampuan yang menjadi landasan bagi penguasaan materi yang akan dipelajari oleh siswa. Kemampuan prasyarat bisa bersifat inti (essential), yaitu kemampuan yang menjadi bagian dari penguasaan materi atau keahlian yang akan dipelajari. Kemampuan prasyarat bersifat pendukung (supportive) yaitu kemampuan prasyarat yang membantu memperlancar penguasaan materi baru.

c. Tipe Belajar

Analisis siswa dapat dilakukan dengan menganalisis unsur psikologis serta kebiasaan belajar. Unsur psikologis tersebut misalnya tentang pengelompokkan tipe kecerdasan setiap individu siswa berdasarkan suatu teori; misalnya teori Gardner tentang kecerdasan ganda. Gardner berpendapat bahwa setiap individu memiliki lebih dari satu kemampuan. Klasifikasi kemampuan menurutnya yaitu logika-matematis, kebahasaan,

kelenturan gerak, musik, ruang, hubungan antar manusia (interpersonal), dan intra-diri (intrapersonal).

(9)

Persepsi

a. Konsep dasar persepsi

Satu hal yang perlu diwaspadai sehubungan dengan proses belajar adalah persepsi. Persepsi adalah awal dari segala macam kegiatan belajar yang bisa terjadi pada setiap kesempatan, disengaja atau tidak. Fleming & Levie mempercayai persepsi sebagai “suatu proses penerimaan informasi yang rumit, yang diterima atau diekstrasi manusia dari lingkungan …….. persepsi termasuk penggunaan indera manusia”. Kemp & Dayton, 1985 menganggap persepsi “sebagai suatu proses dimana seseoang menyadari keberadaan lingkungannya serta dunia yang mengelilinginya”. Persepsi terjadi karena setiap manusia memiliki indera untuk menyerap obyek-obyek serta kejadian di sekitarnya.

c. Persepsi visual

Secara khusus, Rieber, 1994 menyatakan pentingnya persepsi visual. Persepsi visual sangat berperan karena proses ini menunjukkan kemampuan seseorang untuk mengikuti, menyadari, menyerap arti atau makna dari tampilan visual di sekitarnya secara selektif. Ia juga percaya bahwa manusia terbiasa untuk berpikir secara visual atau memiliki gambaran visual dalam

otaknya, walau informasi yang diterima berbentuk verbal. Sebagai contoh, si Ani membaca kata ‘kucing’. Pesan verbal yang diterima si Ani, selanjutnya sudah diterima dalam bentuk visual. Ani dapat membayangkan wujud kucing dalam pikirannya walaupun ia tidak melihat kucing melintas di depannya. Persepsi visual tergantung atas pengetahuan dan pengalaman

sebelumnya.

d. Prinsip dasar persepsi

Prinsip-prinsip dasar persepsi (Fleming & Levie, 1978) meliputi antara lain : - persepsi bersifat relatif

(10)

Prinsip relatif menyatakan bahwa setiap orang akan memberikan persepsi yang berbeda, sehingga pandangan terhadap sesuatu hal sangat tergantung dari siapa yang melakukan persepsi.

- persepsi bersifat sangat selektif

Prinsip kedua menyatakan bahwa persepsi tergantung pada pilihan, minat, kegunaan, kesesuaian bagi seseorang.

- persepsi dapat diatur

Persepsi perlu diatur atau ditata agar orang lebih mudah mencerna lingkungan atau stimulus (baca : materi belajar).

- persepsi bersifat subyektif

Persepsi seseorang dipengaruhi oleh harapan atau keinginan tesebut. Pengertian ini menunjukkan bahwa persepsi sebenarnya bersifat subyektif.

- persepsi seseorang atau kelompok bervariasi, walaupun mereka berada dalam situasi yang sama. Prinsip ini berkaitan erat dengan perbedaan karakteristik individu, sehingga setiap individu bisa mencerna stimuli dari lingkungan tidak sama dengan individu lain.

(11)

 Ruang lingkup Sistem.

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, disiplin teknologi pendidikan membutuhkan alur pemikiran yang tegas dan jelas dalam mengatasi masalah belajar. Pendekatan sistem merupakan suatu “budaya” berpikir bagi setiap orang yang berkecimpung dalam bidang teknologi pendidikan. Berkaitan dengan pola berpikir pendekatan sistem, modul ini membahas subtopik yang relatif mempunyai hubungan erat. Sistem dikelompokkan berdasarkan :

a. Jenis

Penjabaran sistem menurut kamus, seperti dikutip oleh Banathy, adalah “…. …. satu rangkaian obyek yang terintegrasi oleh interaksi atau unsure ketergantungan reguler; keseluruhan yang terorganisasi, sebagaimana sistem tatasurya atau sistem telegraf”. Banathy menggarisbawahi kedua contoh – sistem tatasurya dan sistem telegraf. Pakar tersebut membedakan ada sistem

alam dan buatan manusia. Untuk teknologi pendidikan, maka yang dibahas adalah sistem yang termasuk buatan manusia.

b. Jenjang

Kategorisasi sistem menurut jenjang meliputi : (1). Sistem

Sistem menurut Banathy sendiri, yaitu “organisme sintetis yang sengaja dirancang, terdiri atas komponen-komponen yang terkait dan tergantung satu sama lain, dan bekerja sama secara terintegrasi untuk mencapai tujuan belajar yang sudah ditetapkan “. AECT (1977) merangkum beberapa definisi dari beberapa sumber. Definisi-definisi tersebut diantaranya berasal dari Silvern, yang merumuskan sistem sebagai “struktur atau pengaturan dari keseluruhan, menunjukkan keterkaitan antar bagian-bagiannya pada suatu proses dalam satu kerangka berpikir”, menurut Kaufman, sistem itu,

(12)

“(sistem sebagai proses rancangan) keseluruhan bagian-bagian yang bekerja secara independen dan bersama-sama untuk mencapai hasil yang baik”.

(2). Subsistem

Sistem mempunyai bagian atau unsur di dalamnya. Unsur atau bagian yang terlibat di dalam sistem disebut subsistem. Kutipan AECT atas pendapat Silvern mengenai subsistem, yaitu “……ada dua atau lebih bagian yang tertata rapih, …. bsa berbentuk komponen –komponen atau satu kelompok komponen bersama-sama melaksanakan pekerjaan dalam suatu sistem yang rumit”. Dalam satu sistem, biasanya setiap subsistem memiliki tata kerja berbeda dari subsistem-subsistem lain. Koordinasi dan kerjasama diantara komponen itu sendiri merupakan hal yang lebih penting.

(3). Suprasistem

Di lingkungan masyarakat banyak sekali sistem; selanjutnya sistem-sistem tadi membentuk sistem lainyang jauh lebih besar, lebih rumit, dan lebih

canggih. Sistem terbesar disebut suprasistem. Ilustrasi pada halaman berikut mewakili konsep sistem secara hierarkikal.

c. Cara bekerja / berpikir

Cara kerja sistem sangat bervariasi. Di bawah ini uraian cara kerja sistem yang berkaitan denga fungsi sistem tersebut dalam bidang teknologi pendidikan.

(1). Terbuka vs tertutup

Ditinjau dari cara kerja, sistem bisa bersifat terbuka. Suatu sistem terbuka biasanya menerima masukan dari lingkungan, kemudian mentransformasi masukan tersebut menjadi kegiatan-kegiatan dalam sistem, lalu menghasilkan keluaran untuk lingkungan tadi sehingga dapat memperoleh umpan-balik. Dengan mengkaji umpan-balik, diharapkan sistem tersebut dapat memperbaiki diri.

(13)

Sistem tertutup bekerja sebaliknya. Sistem jenis ini tidak dapat menerima masukan dari luar tatakerjanya. Sistem tertutup bersifat baku. Proses pencernaan makanan pada manusia, cara kerja komputer (dengan subsistem keyboard, CPU, monitor, disk drive, serta printer) adalah dua contoh dari sistem tertutup.

(konsep sistem secara hierarkikal)

(2). Sistem analisis

Heinich dan Schiffman dalam Anglin, 1996 mengajukan rumusan sistem analisis. Bagi Heinich, sistem analisis merupakan tehnik yang menggabungkan dan mengkaitkan komponen-komponen – lama dan baru – kemudia membentuk sistem baru, atau rancang-ulang sistem dengan maksud agar sistem baru bekerja lebih efektif lagi dalam mencapai tujuannya. Sedangkan Schiffman berpendapat bahwa sistem tersebut dapat

Subsistem

Sistem

Sistem

S

(14)

terbagi dua menjadi pengumpulan data dan analisis data. Berdasarkan kedua pendapat pakar, maka sistem analisis sangat bermanfaat untuk menguji keefektifan program kerja, berdasarkan data dan hasil analisis. Hasil analisis dijadikan acuan untuk memperbaiki sistem lama atau membentuk sistem baru berdasarkan dukungan data dan masukan.

(3). Sistem pandang (system view)

Pola berpikir a la sistem perlu ditanamkan untuk berbagai masalah pendidikan atau instruksional. Penerapan pola berpikir dalam menanggapi masalah disebut sistem pandang (system view). Hal ini seiring dengan pendapat Banathy, yakni bahwa konsep berpikir sistem (buatan) utuh perlu diterapkan. Penerapan ini dikembangkan dan ditata sedemikian rupa agar tujuan dapat tercapai. Seandainya pola berpikir sistem sudah melekat atau menjadi kebiasaan, maka seseorang yang berpatokan pada konsep sistem akan menghasilkan rumusan yang sistemik.

Pendekatan Sistem

a. Pengertian Pendekatan sistem

(1). Rumusan konsep

Dalam buku mengenai definisi, AECT mengutip definisi pendekatan sistem. Salah satu definisi tersebut dirumuskan oleh Kaufman. Ia menyatakan “pendekatan sistem merupakan suatu proses pencapaian hasil atau tujuan logis dari pemecahan masalah dengan cara efektif dan efisien, dan dianggap sebagai suatu metode ilmiah”. Pakar ini menambahkan bahwa bisa saja pendekatan sistem dianggap sebagai suatu proses yang harus diidentifikasikan , kemudian masalahnya dipilih, persyaratan dan alternatif

pemecahan diatur dan dipilih. Setelah itu, ditentukan metode serta sarana yang dibutuhkan. Pemecahan masalah terpilih perlu dievaluasi melalui serangkaian ujicoba untuk mendapat masukan. Masukan tersebut kemudian dijadikan bahan perbaikan atas alternatif terpilih tadi.

(15)

(2). Penerapan

Teknologi pendidikan menggunakan konsep pendekatan sistem sebagai pola berpikir dalam menanggulangi kesulitan suatu proses belajar (dan mengajar). Masalah yang timbul tidak hanya dipertanyakan dalam wujud saja atau dengan kata tanya “apa?”, tetapi mengupayakan agar penyebab serta alternatif bisa segera dirumuskan. Dalam hal ini, teknologi pendidikan perlu mempertanyakan “mengapa?”, selain “bagaimana?”. Kedua kata tanya tersebut perlu dijawab dan disusun jawabannya secara logis. Setelah itu, masalah kembali dikaji ulang dengan baik sehingga tercapai suatu struktur alternatif yang mampu menjawab seluruh pertanyaan tadi.

b. Model penerapan pendekatan sistem

(1). Model pendekatan sistem untuk disain belajar.

Skema di bawah ini adalahmodel penerapan pendekatan sistem yang dikembangkan oleh Brown, Lewis, dan Harcleroad, 1977. Skema ini dianggap multiguna karena dapat digunakan untuk menjabarkan pandangan bidang teknologi pendidikan terhadap proses belajar. Skema ini juga menjelaskan suatu model kegiatan instruksional yang mengacu pada pola pemikiran pendekatan sistem.

(2). Proses individualisasi sebagai suatu pendekatan sistem.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, teknologi pendidikan sangat memperhatikan kepentingan siswa dengan mengacu pada pola berpikir pendekatan sistem. Usaha penerapan pendekatan sistem telah diteapkan bagi kepentingan individu yang belajar. Romiszowski berhasil merumuskan proses individualisasi yang sudah dilakukan oleh bidang teknologi instruksional selama ini.

(16)

(model penerapan pendekatan sistem dari Brown, et al, 1977).

(2). Proses individualisasi sebagai suatu pendekatan sistem.

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, teknologi pendidikan sangat memperhatikan kepentingan siswa dengan mengacu pada pola berpikir pendekatan sistem. Usaha penerapan pendekatan sistem telah diteapkan bagi kepentingan individu yang belajar. Romiszowski berhasil merumuskan proses individualisasi yang sudah dilakukan oleh bidang teknologi instruksional selama ini. Penjelasan ilustrasi di atas sebagai berikut.

a. Rumusan

Konsep individualisasi (individualized learning) merupakan upaya teknologi pendidikan yang mencoba mengatasi perbedaan setiap individu siswa dalam pola belajar mengajar konvensional. Perbedaan tersebut biasanya berkaitan dengan kemampuan, tipe belajar dan laju belajar. (lihat : Anderson dalam Plomp & Ely, ibid, pp. 353 – 358). Keunikan dan kebutuhan siswa secara

Siswa

A. Tujuan Belajar

Tujuan khusus dan

materi

B. Kondisi

2. Pengalaman

Belajar

3. Model

Mengajar - belajar

4. Staf

5. Bahan, peralatan,

dan perangkat keras

6. Fasilitas fisik

C. Sumber

7. Evaluasi dan

revisi,

ubah total

D. Hasil

(17)

individu sulit diterapkan karena kendala-kendala tertentu. Keterbatasan kemampuan dan waktu guru, sarana belajar yang tidak memadai, serta waktu yang kaku merupakan hambatan sehari-hari dalam pola

konvensional.

b. Belajar dan pendekatan sistem

Untuk mengatasi masalah tadi, teknologi pendidikan menawarkan pola belajar beragam seperti belajar secara terbuka dan belajar mandiri, dan sebagainya. Alternatif kegiatan belajar ini sangat berbeda dari model belajar konvensional. Kehadiran guru, jadwal tetap, atau ritme belajar yang harus sama diantara siswa merupakan persyaratan pola konvensional yang perlu lagi dipenuhi dalam proses belajar. Upaya penyediaan pola belajar tersebut termasuk penerapan konsep pendekatan sistem.

c. Pendapat Romiszowski

Romiszowski mengemukakan beberapa alasan mengenai alternatif proses belajar tersebut. Alasan-alasan tersebut diantaranya adalah :

- alternatif tadi sebagai suatu contoh pola belajar yang memperhatikan siswa

- perbedaan karakteristik siswa jauh lebih diperhatikan karena siswa tidak perlu lagi menunggu teman lainnya untuk melanjutkan proses belajar - model belajar tadi memberi kesempatan kepada siswa untuk

mengembangkan rasa tanggung-jawab terhadap keberhasilan belajar sendiri.

Individualisasi belajar dapat dilakukan terhadap :

- laju belajar : korelasi kecepatan seseorang dalam mengkaji atau menelaah materi dengan waktu yang dibutuhkan

- materi belajar, media, dan metode : berkaitan dengan disain pesan - tujuan belajar, metode serta kriteria evaluasi (belajar).

(18)

* Interaksi Belajar – Mengajar

a. Faktor eksternal

Belajar memerlukan dukungan dari lingkungan atau faktor eksternal.

Guru, sekolah, serta sarana belajar lain termasuk lingkungan belajar. Situasi

interaktif dituntut agar proses belajar berjalan lancar. Situasi interaktif adalah situasi yang memungkinkan seorang siswa atau peserta didik berinteraksi dengan lingkungan belajar fisik (media dan sumber belajar lain) dan guru atau narasumber. Situasi interaktif perlu memberi kesempatan kepada siswa / peserta didik untuk menciptakan respon selama proses penyerapan materi berlangsung. Situasi belajar interaktif juga ditandai dengan pemberian umpan-balik segera yang dibutuhkan siswa.

b. Kegiatan instruksional

Kegiatan instruksional dianggap sebagai faktor eksternal atau lingkungan fisik harus dirancang agar bisa menjadi landasan situas interaktif tadi. Gagne mengungkapkan pada pelaksanaannya kegiatan instruksional, atau selama peristiwa belajar terjadi, berupa satu rangkaian kegiatan yang memberi peluang untuk maju. Siswa perlu dilibatkan dalam kegiatan instruksional.

Heinich, et al, edisi ke 5, 1996 menganggap kegiatan instruksional sebagai

upaya pengaturan informasi dan lingkungan untuk membantu dan menyediakan berbagai keperluan (facilitate) proses belajar. Lingkungan

tidak hanya berarti lokasi atau tempat proses belajar berlangsung. Termasuk di dalamnya adalah metode, media, serta perangkat keras yang dibutuhkan untuk menyampaikan dan menuntun / membina siswa aau peserta didik untuk belajar. Rumusan mereka itu sejalan dengan pendapat Gagne (edisi ke

(19)

empat, 1992) mengenai kegiatan instruksional sebagai faktor eksternal belajar.

* Model Interaksi Belajar-Mengajar

Heinich, et al., 1996 merumuskan interaksi belajar-mengajar berbentuk suatu proses yang melibatkan pemilihan, pengaturan, dan penyampaian informasi (materi belajar) serta cara atau usaha siswa untuk berinteraksi terhadap materi tersebut. Berdasarkan definisi ini kegiatan instruksional perlu dirancang secara optimal dan hati-hati agar respons atau interaksi bisa terjadi. Jika interaksi terjadi, maka situasi interaktif berhasil diciptakan. Heinich, et al. menganjurkan penerapan konsep komunikasi dari Schramm sebagai jalan keluar untuk menciptakan situasi interaktif.

a. Model interaksi belajar-mengajar dari Schramm

Skema Schramm menggambarkan konsep dasar komunikasi yang disesuaikan dengan kondisi belajar mengajar.

(Interaksi B – M dari Schramm, dikutip oleh Heinich, et al, 1996).

Landasan skema di atas adalah konsep dasar komunikasi. Interaksi belajar-mengajar yang baik berwujud sebagai suatu komunikasi. Komunikasi terjadi

PENGIRIM PERUMUS kode (AKTIF)

S

SIIGGNNAALL PERUMUS kode PENERIMA (PASIF) NOISE

UMPAN BALIK

BIDANG PENGALAMAN (Penerima) BIDANG PENGALAMAN (Penerima)

(20)

karena ada pengiriman pesan atau informasi untuk penerima melalui metode atau saluran tertentu.

Tugas utama pengirim secara aktif, merumuskan pesan dalam bentuk kode-kode atau mengolah pesan sesuai dengan kebutuhan penerima. Kemudian, pengirim menentukan saluran, metode tertentu disesuaikan dengan pesan dan sifat penerima. Sebaliknya, tugas utama penerima yaitu mempersiapkan diri untuk menerima dan mengolah pesan (dan kode-kode) tadi. Penerima, setelah mencerna pesan, diharapkan dapat memberikan reaksi terhadap proses pengiriman pesan.

Reaksi atau umpan balik dibutuhkan agar pengirim bisa memantau kelancaran proses komunikasi. Titik temu atau persinggungan bidang

pengalaman pengirim dan penerima pesan (arsir pada gambar) merupakan peningkatan pengetahuan atau informasi di pihak penerima sebagai akibat proses komunikasi.

b. Penerapan dalam PBM

Jika diterapkan pada situasi kelas, skema ini menunjukkan bahwa guru sebagai pengirim, sedangkan siswa sebagai penerima. Metode penyampaian dan media disimbolkan sebagai signal. Signal sebenarnya menunjuk pada proses pengolahan informasi meliputi pemilihan bentuk, rangkaian serta cara sampai bentuk informasi yang diterima pada siswa. Misalnya, dalam bentuk metode ceramah dan diskusi kelompok. Adapun titik temu atau persinggungan yang terjadi antara bidang pengalaman guru dan siswa dianggap sebagai hasil belajar yang berbentuk peningkatan kemampuan atau ketrampilan siswa.

c. Model kegiatan instruksional Gagne

Gagne percaya bahwa faktor eksternal sangat berpengaruh terhadap kelancaran proses belajar. Seperti dikutip oleh Gagne, Briggs, dan Wager,

(21)

model kegiatan instruksional yang diusulkan oleh Gagne meliputi 9 langkah, tetapi dapat dibagi menjadi 4 fase. Fase-fase instruksional itu adalah :

(1). Fase Motivasi

Fase ini meliputi dua kegiatan awal, yaitu memusatkan konsentrasi belajar, menjelaskan tujuan belajar, serta fase pengaktifan materi belajar sebelumnya. Fase ini menunjukkan bahwa proses belajar perlu dikendalikan oleh guru. (2). Fase Penyampaian materi belajar.

Fase ini meliputi penyampaian materi belajar (penyampaian materi inti – materi berkaitan dengan topik, bimbingan belajar, penerapan / latihan kinerja, serta pemberian umpan balik.

(3). Fase Evaluasi

Fase evaluasi adalah fase pemantauan proses belajar. Fase ini memberi kesempatan kepada siswa untuk mencobakan kemampuan atau ketrampilannya dalam situasi tertentu.

(4). Fase Penerapan.

Fase penerapan berkaitan dengan pengaktifan kinerja belajar pada situasi berbeda dari kondisi belajar-mengajar. Pada fase ini, siswa dituntut untuk memperlihatkan kemampuannya mengadaptasi kemampuan dalam situasi lain di luar proses belajar mengajar (PBM).

* Peran Guru

Di Indonesia, seorang guru memiliki tanggung jawab yang sangat besar. Ia bekerja dengan waktu yang tidak terbatas. Ia tidak hanya mengajar, namun seringkali ia juga harus mengemban peran mendidik dalam arti yang luas. Berikut penjelasan tentang profesi guru.

a. Guru sebagai penyaji materi

Fungsi guru yang utama selama ini adalah sebagai penyaji materi. Peran guru ini menempatkan posisi guru bagi siswa sebagai narasumber. Ia harus menjabarkan atau menjelaskan materi selama proses belajar berlangsung. Peran ini terbagi dua, yakni sebagai guru kelas dan guru bidang studi.

(22)

(1). Guru kelas

Pada tingkat pendidikan dasar, konsep guru kelas diterapkan menyeluruh. Guru kelas bertanggung jawab atas penyajian seluruh materi belajar serta pengelolaan kelas di tingkat tertentu. Seorang guru kelas 3 SD, bertanggung jawab untuk mengajar semua materi yang tercantum dalam kurikulum. Selain itu, dia juga harus menjadi wali kelas serta mengelola kelancaran proses belajar mengajar sehari-hari.

(2). Guru bidang studi

Guru bidang studi bertanggung jawab atas satu bidang ajaran, namun mengajar di seluruh jenjang pendidikan. Guru bidang studi biasanya ditemui pada tingkat pada tingkat pendidikan menengah (SMP dan SMU). Jadi, sebagai guru ia bertanggung jawab atas penyajian materinya saja serta pengelolaan belajar bagi materinya.

b. Multiperan Guru dalam PBM

(1). Guru adalah komunikator

Berkaitan dengan penyajian materi dan penciptaan situasi interaktif di kelas, guru harus bertindak sebagai komunikator. Seorang guru harus memikirkan sistem penyampaian materi yang efektif. Untuk melaksanakan tugas ini, guru perlu mengolahmateri, memilih cara penyampaian, serta menentukan umpan balik seperti yang dibutuhkan siswa.

(2). Guru adalah perancang sekaligus pengelola PBM

Disamping penyaji materi serta komunikator, seorang guru harus mampu menjadi perancang lingkungan dan kondisi belajar mengajar. Salah satu wujud tuga ini berbentuk pengembangan ‘satuan pelajaran’ (SATPEL). Satuan pelajaran ini merupakan ‘terjemahan’ dari garis-garis besar materi yang tertuang dalam kurikulum. Satuan pelajaran disusun untuk kebutuhan materi belajar sehari-hari. Sebagai pengelola, guru harus dapat mengoptimalkan serta menerapkan teori-teori belajar dan teori

(23)

instruksional bagi penciptaan proses belajar. Selain itu, guru dituntut harus jeli untuk memanfaatkan lingkungan bagi kepentingan siswa.

Cangelosi & Ely mendeteksi perubahan peran guru sebagai perancang dan pengelola seiring dengan tuntutan zaman. Menurutnya, ternyata kewajiban

guru itu multiperan. Ia dituntut harus mampu membina siswa untuk bersikap kooperatif. Siswa memang perlu dipersiapkan untuk dilibatkan dalam proses belajar mengajar di kelas. Keberhasilan belajar harus

didukung oleh sikap kooperatif seluruh siswa yang ada di kelas.

(3). Guru adalah evaluator

Sebagai evaluator, guru harus dapat mengamati tingkat keberhasilan siswa. Ia juga harus menentukan tehnik pengukuran dan criteria keberhasilan belajar, menentukan format pengurukan hasil belajar. Berkaitan dengan kesulitan belajar, guru harus mendeteksi kesulitan serta menentukan

penyelesaiannya. Pada akhir masa belajar, biasanya guru tersebut harus menentukan keberhasilan atau “nilai” yang diperoleh siswa sebagai bahan pertimbangan untuk kenaikan jenjang belajar.

(24)

* Peran Media Instruksional

a. Pengertian Media Instruksional

(1). Media sebagai saluran komunikasi belajar –mengajar

Sebagai suatu proses komunikasi, interaksi belajar-mengajar memerlukan saluran tertentu untuk menyampaikan materi. Media sangat penting dalam proses penyampaian materi tersebut. Heinich, et al, edisi keempat, merumuskan media instruksional sebagai suatu saluran komunikasi, berbentuk apa saja selama dapat menyampaikan pesan dari pengirim ke penerima. Dengan demikian, media instruksional bisa dipilih apa saja selama media tersebut mampu menyampaikan materi dan “membelajarkan” penerima pesan atau siswa.

(2). Peran media instruksional

Media instruksional digunakan dalam PBM untuk mencegah timbulnya gejala verbalisme. Gejala ini terjadi karena pesan berupa kata-kata (pengertian abstrak) yang bisa membingungkan. Media instruksional juga diharapkan agar menciptakan suasana yang “mendekati” kenyataan. Kenyataan atau bentuk fisik diwakili oleh media. Seperti disarankan oleh Bruner dan Dale – dua ahli instruksional – dengan digunakan media dalam proses belajar, maka proses belajar menjadi lebih mudah. Apalagi jika materi dimulai dari bersifat kongkrit menuju abstrak kontinum.

b. Kategori media instruksional

Penggunaan media dalam menyampaikan materi berkaitan erat dengan upaya penggunaan indera manusia secara optimal. Dengan mengaktifkan seluruh indera manusia, proses komunikasi dapat terbentuk melalui lebih dari satu saluran saja.

(25)

(Penyerapan materi menurut Bruner & Dale, dikutip dari Heinich, et al, 1996).

Berdasarkan indera ini, rumusan kategori media instruksional terdiri atas : - benda nyata atau model

- media audio, misalnya audio kaset - media visual, misalnya foto

- media audiovisual, misalnya video

- media interaktif : komputer, interactive video, CD-ROM

* Sumber belajar

Sumber belajar merupakan upaya pelembagaan segala bentuk dan karakteristik media instruksional. Pelembagaan tidak dimaksudkan untuk menunjuk satu gedung atau satu atap. Sumber belajar adalah segala sesuatu yang dapat dijadikan materi belajar dan dimanfaatkan oleh lembaga penyelenggara pendidikan. Bagi

Demonstrasi Simbol Verbal Simbol Visual Gambar Gerak Televisi Pameran

Pengalaman “Buatan” (Drama)

Penggalan Pengalaman

Pengalaman Langsung

Abstrak

(26)

Percival dan Ellington, seperti dikutip oleh Prawiradilaga, sumber belajar diarahkan untuk penyelenggaraan proses belajar secara optimal. Sumber belajar terbagi atas sumber belajar nonmanusia dan manusia.

a. Sumber belajar nonmanusia : Lingkungan

Pada uraian sebelumnya, seringkali lingkungan disebut-sebut dalam proses belajar. Lingkungan memang merupakan materi belajar yang sangat bermanfaat. Lingkungan dimana individu berada dapat dimanfaatkan sebagai sumber materi, baik materi yang terikat dengan kurikulum, maupun materi yang tidak mengikat namun dapat digunakan pada satu peristiwa belajar. Lingkungan belajar memang ada yang sengaja diciptakan, seperti museum, perpustakaan, dan sebagainya. Disamping itu, ada lingkungan alam dan kebendaan lain yang dimanfaatkan karena kebutuhan akan penyerapan materi tersebut. Lingkungan belajar tadi termasuk lingkungan belajar bersifat nonmanusia. Lingkungan yang dirancang sebagai sumber belajar misalnya museum dan perpustakaan.

b. Manusia sebagai sumber belajar

Manusia, selain guru, bisa berperan sebagai sumber belajar. Istilah sumber belajar manusia adalah narasumber. Para pakar dan seseorang yang dianggap ahli atau tahu secara mendalam akan sesuatu hal termasuk kelompok narasumber. Persyaratan utama narasumber adalah memiliki wawasan luas mengenai penerapan bidang ilmunya. Selain itu, narasumber perlu memiliki kemampuan untuk “menularkan” kemampuan atau keahliannya kepada siswa atau peserta didik.

c. Pusat Sumber Belajar

Pusat Sumber Belajar adalah tempat yang sengaja dirancang untuk mengembangkan, menggunakan, menyimpan berbagai sumber belajar yang dimanfaatkan untuk proses belajar. Tentu saja suatu pusat sumber belajar memerlukan pengelolaan tersendiri agar pemanfaat seluruh sumber belajar

(27)

yang ada dapat terlaksana secara maksimal. Suatu pusat sumber belajar terdiri atas sumber belajar nonmanusia dan manusia. Khusus sumber belajar manusia adalah para tenaga ahli atau pakar yang dapat membantu dan mendukung setiap pengguna atau peserta didik untuk memanfaatkan sumber belajar dan mengatasi kesulitan belajar. Beberapa contoh tenaga ahli adalah tenaga ahli bidang tertentu, misalnya ahli fisika, matematik, ilmu sosial serta pakar untuk bidang proses belajar, pengembang instruksional serta ahli media instruksional. Seluruh aspek pusat sumber belajar bersifat sistem, sehingga setiap pihak memiliki peran penting terhadap proses belajar.

(28)

Heinich, Robert M.; Michael H Molenda & James D.Russell (1993). Instructional

Media and the New Technologies of Instruction (4th ed.). New York : MacMillan

Publishing, Co.

Kemp, Jerold E. & Diane K. Dayton (1985). Planning and Producing Instructional

Media (5th ed.). New York : Harper & Row, Publ.

Prawiradilaga, Dewi Salma, “Antara PSDM dan Teknologi Pendidikan : Suatu Gagasan untuk Penerapan Teknologi Pendidikan di Dunia Bisnis”, Makalah. Kongres II IPTPI di Malang, 1992.

---, “Restrukturisasi Peran PSB bagi Masyarakat Akademik”, Makalah. Temukarya LSB di IKIP Jakarta, 1993.

Fleming, Malcolm & W Howard Levie (1978). Instructional Message Design

Principles. Englewood Cliffs, NJ : Educational Technology Publ.

Gagne, Robert M & Leslie J. Briggs, Walter W. Wager (1992). Principles of

Instructional Design (4th ed.). Fort Wort, TX : Harcorut, Brace, Jovanovich.

Slavin, Robert E. (1993). Cooperative Learning : Theory, Research, and Practice. Boston, MA : Allyn & Bacon.

Armstrong, Thomas (1994). Multiple Intelligences in the Classroom. Alexandria, VA : Association for Curriculum Development.

Saettler, Paul (1990). The Evolution of American Educational Technology. Englewood, COL. : Libraries Ltd.

Wittich, Walter A. & Charles F. Schuller (1973). Instructional Technology : Its

Nature and Use. New York : Harper & Row, Publ.

Gagne, Robert M. (Ed., 1987). Instructional Technology Foundations. Hillsdale, NJ : Lawrence Erlbaum Assc., Publ.

Ellington, Hendry & Duncan Harris (1986). Dictionary of Instructional Technology. London, UK : Kogan Page.

AECT (1977). The Definition of Educational Technology. Washington, DC : AECT. NSPI (1986). Introduction to Performance Technology. Washington, DC : NSPI.

(29)

Seels, Barbara & Rita C. Richey (1994). Instructional Technology : The Definitions

and Domains of the Field. Washington, DC : AECT.

Ely, Donald P. & Tjeerd Plomp (1996). Classic Writings on Instructional Technology. Englewood, COL. : Libraries Unlimited, Inc.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang penelitian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian lebih mendalam dengan judul “Pengaruh Promosi Melalui Media

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, penulis ucapkan karena skripsi dengan judul “ PENERAPAN SISTEM INFORMASI AKUNTANSI BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI DENGAN METODE

Strategi pembelajaran mata pelajaran Aqidah Akhlak di MTS Al-Aliim yang masih konvensional. Minat belajar siswa pada mata pelajaran Aqidah Akhlak di

(2007) yang menguji hubungan antara partisipasi anggaran dengan kinerja, dimana job relevant information (JRI) dan kepu- asan kerja digunakan sebagai variabel intervening

Demikian juga halnya upah yang cukup besar belum mampu menyerap tenaga kerja serta pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi tidak menjamin pertumbuhan ekonomi

Pengotoran citra hitam penuh dengan derau menggunakan teknik pengkotoran salt and paper (Gonzales, 2002). Citra tiruan yang telah dikotori dengan derau putih

Penerapan Levels of Inquiry Model Pada Pembelajaran Fisika Untuk Mengetahui Hasil Belajar Siswa SMA Menurut New.. Taxonomy For Science

(1) Badan Usaha yang akan menyelenggarakan prasarana Perkeretaapian Umum harus terlebih dahulu ditetapkan sebagai Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian Umum oleh