• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Media Edisi Kesembilan, September 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisa Media Edisi Kesembilan, September 2012"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id Keterwakilan 30% Perempuan: Menuntut Kepastian Partai Politik

Provinsi DKI Jakarta baru saja menyelesaikan perhelatan akbar untuk memilih gubenur dan wakil gubenur periode 2012-2017. Bulan September ini merupakan putaran kedua, setelah sebelumnya pada Juli 2012 telah berlangsung putaran pertama, yang diikuti oleh 6 pasang calon. Dari keenam calon, 4 calon pasangan diusung oleh partai politik, dan dua calon maju melalui jalur independen (non parpol). Dalam putaran pertama, tak ada satu calon pun memperoleh suara lebih dari 50%, sesuai dengan Undang-Undang No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Daerah Khusus Ibukota Jakarta sebagai Ibu kota Negara Kesatuan Republik Indonesia, pasal 11 ayat 1, yang menyatakan bahwa “Pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang memperoleh suara lebih dari 50% ditetapkan sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih”. Maka bulan September 2012 dilangsungkan pemilu Gubenur dan Wakil Gubenur putaran kedua, yang menyisakan dua calon pasangan, yakni pasangan petahana Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli, yang diusung berbagai partai besar dan kecil, seperti Demokrat, Golkar, PKS, PKB, PAN dan sebagainya dengan nomor urut 1; dan pasangan Joko Widodo dan Basuki Tjahaya Purnama yang diusung oleh PDIP dan Partai Gerindra dengan nomor urut 3.

Dalam pemilukada DKI Jakarta kali ini tak ada satu calon perempuan pun. Padahal daftar pemilih yang dikeluarkan KPUD DKI Jakarta, pemilih perempuannya mencapai 3.428.507 orang atau separuh kurang sedikit dari total pemilih yang mencapai 6.982.179 orang. Jumlah pemilih perempuan yang hampir separuh dari total jumlah pemilih teryata tak menjadi pertimbangan partai-partai politik untuk mengusung calon perempuan. Pada awalnya, memang beberapa bakal calon mengajukan diri sebagai calon, seperti ramai diberitakan media massa. Sebut saja Wanda Hamidah, Hasnaeni (sering disebut sebagai Wanita Emas), dan Ribka Tjiptaning (politisi PDIP). Nama-nama ini beberapa kali diberitakan media massa akan maju dalam proses pemilihan gubenur dan calon gubenur di DKI Jakarta. Dalam perjalanannya, keenam kandidat yang maju dalam pilkada DKI Jakarta semuanya laki-laki. Hal itu menunjukkan bahwa hingga kini perempuan belum diberi ruang dalam politik dan kredibilitas perempuan belum diperhitungkan oleh partai-partai politik, walaupun jumlah mereka hampir setengahnya.

Tak adanya calon perempuan dalam pilkada sangat disesalkan berbagai kalangan, misalnya Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang mengeluhkan tidak adanya calon gubernur atau calon wakil gubernur perempuan yang diusung pada pilkada DKI tahun 2012. "Sangat disesalkan karena tidak ada satu pun kandidat perempuan pada Pilkada ini," ujar Manajer Pemantauan JPPR, Masykuruddin Hafidz (www.republika.co.id), 20 Maret 2012. Senada dengan JPPR, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA), Linda Amalia Sari Gumelar juga mengaku

(2)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

kecewa karena ketiadaan calon gubernur dan calon wakil gubernur perempuan pada pemilihan umum daerah (Pilkada) DKI Jakarta. "Saya sebenarnya kecewa karena tidak ada calon perempuan pada Pilkada DKI Jakarta," (www.analisadaily.com), 17 Juli 2012.

Di tengah situasi persiapan pemilukada putaran kedua DKI Jakarta, dan dalam rangka mempersiapkan pemilihan umum tahun 2014 mendatang, maka Komisi Pemilihan

Umum (KPU) merevisi Peraturan KPU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pendaftaran,

Verifikasi, dan Penetapan Parpol Calon Peserta Pemilu 2014 menjadi PKPU Nomor 12 Tahun 2012. Perubahan peraturan tersebut sebagai konsekuensi logis Keputusan Mahkamah Konstitusi No 52/PUU-X/2012, atas perkara permohonan Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Salah satu keputusan Mahkamah Konstitusi No. 52 /PUU-X/2012 adalah membatalkan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (2) sepanjang frasa ”yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara

pada Pemilu sebelumnya atau partai politik baru”.Oleh karena itu, menurut Mahkamah,

Pasal 8 ayat (2) UU 8/2012 selengkapnya menjadi:

(2). Partai politik dapat menjadi Peserta Pemilu setelah memenuhi persyaratan:

a. berstatus badan hukum sesuai dengan Undang-Undang tentang Partai Politik; b. memiliki kepengurusan di seluruh provinsi;

c. memiliki kepengurusan di 75% (tujuh puluh lima persen) jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;

d. memiliki kepengurusan di 50% (lima puluh persen) jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan;

e. menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat;

f. memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 (seribu) orang atau 1/1.000 (satu perseribu) dari jumlah Penduduk pada kepengurusan partai politik sebagaimana dimaksud pada huruf c yang dibuktikan dengan kepemilikan kartu tanda anggota; g. mempunyai kantor tetap untuk kepengurusan pada tingkatan pusat, provinsi, dan

kabupaten/kota sampai tahapan terakhir Pemilu;

h. mengajukan nama, lambang, dan tanda gambar partai politik kepada KPU; dan i. menyerahkan nomor rekening dana Kampanye Pemilu atas nama partai politik

kepada KPU;

Berdasarkan keputusan Makamah Konstitusi, maka dalam Peraturan KPU No. 12 tahun 2012, pasal 16 ayat 2a dinyatakan bahwa “Dalam hal syarat keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) pada kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota tidak terpenuhi, partai politik membuat surat pernyataan sebagaimana formulir Model F-13”. Padahal dalam pasal 4 ayat 2e menyatakan “Partai politik peserta Pemilu Anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah

(3)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

partai politik yang memenuhi persyaratan: menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan di kepengurusan tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kota”. Revisi tersebut jelas bahwa Komisi Pemilihan Umum masih tunduk pada partai-partai politik dan belum melihat pentingnya keterwakilan perempuan di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Karena melalui pasal tersebut, kewajiban partai-partai politik untuk memenuhi 30% kepengurusan perempuan di partai-partai politik hanya berlaku di pusat saja, sementara di jenjang propinsi dan kabupaten kota jika tidak dapat memenuhinya, partai politik hanya diharuskan membuat surat peryataan kepada KPU.

Ketua KPU, Husni Kamil Manik menilai pengaturan tersebut merupakan terobosan KPU dalam memperhatikan keterwakilan perempuan. "KPU memperhatikan keterwakilan perempuan dalam semangat adanya pemberdayaaan Parpol yang mengikutsertakan partisipasi perempuan," (www.tribunnews.com), 8 September 2012. Menurut Husni Kamil Manik, adanya surat pernyataan itu merujuk pada UU mengenai partai politik, sehingga KPU mengakomodir aturan itu secara maksimal. "Dalam UU yang mengatur tentang parpol masih memperhatikan. Jadi, kata Husni memperhatikan itu yang enggak kuat," ujarnya. Husni mengatakan keterwakilan perempuan diharuskan dalam aturan. Namun dalam UU, masih ada kata memperhatikan sehingga belum wajib. Namun, Husni mengatakan partai-partai yang mendaftar sebagai peserta pemilu 2014 sudah mempersiapkan keterwakilan tersebut.

Keputusan KPU tentu menimbulkan kontroversi di masyarakat, baik di kalangan aktivis perempuan maupun dari partai politik itu sendiri. Ketua DPP Garnita Malahayati Partai NasDem, Irma Suryani, misalnya mengatakan bahwa keputusan KPU memberikan ruang kepada parpol yang tidak bisa memenuhi kuota keterwakilan perempuan sebesar 30% di tubuh partainya dalam verifikasi parpol peserta Pemilu 2014 sudah mencederai perjuangan perempuan. “Kami sangat menyayangkan keputusan KPU. Ini bertentangan dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK). Ketidakpatuhan KPU adalah pelecehan perjuangan wanita yang selama ini mengucurkan keringat untuk berjuang,” tulis Seputar Indonesia, 9 September 2012. Selain itu, Irma Suryani juga menganggap keputusan KPU itu merupakan bentuk pembenaran politik patriarkhal, domestifikasi perempuan, dan bentuk pelecehan perjuangan politik perempuan.

Ketidaksiapan beberapa partai politik untuk memenuhi 30% kepengurusan partai politik hingga jenjang kabupaten/kota menjadi salah satu pertimbangan KPU merevisi peraturan, yang sebelumnya mewajibkan hingga 30% kemudian diganti wajib hanya dipusat, sedangkan di tingkat provinsi hingga kabupaten/kota cukup melampirkan surat pernyataan. Ketidaksiapan itu tak hanya didominasi oleh partai-partai kecil yang ingin mengikuti Pemilu tahun 2014, tetapi juga partai-partai besar yang kini sudah memiliki wakilnya di DPR/DPRD. PDI Perjuangan, melalui Puan Maharani selaku Ketua DPP PDIP Bidang Politik dan Hubungan antar lembaga, mengatakan partainya siap memenuhi syarat keterwakilan perempuan di kepengurusan parpol agar menjadi peserta

(4)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

Pemilu tahun 2014, namun menurutnya, kesiapan kader perempuan di parpolnya belum mencapai angka yang ditetapkan (30%).

Yuda Irlang, Koordinator Kelompok Kerja Keterwakilan Perempuan, menuding partai-partai politik yang sudah 10 tahun mengenal kebijakan afirmasi masih tidak sungguh-sungguh menempatkan keterwakilan perempuannya di parlemen. “Selama ini (keterwakilan perempuan) sekadar komoditas politik belaka” (Jawa Pos, 11 September 2012). Senada dengan Yuda Irlang, Koordinator Kajian KIPP (Komiten Independen Pemantau Pemilu) Indonesia, Girindra Sandino juga menyatakan keputusan Komisi

Pemilihan Umum (KPU) dinilai memperlemah aturan mengenai 30 persen keterwakilan

perempuan di partai politik. "KPU jelas memperlemah kekuatan pasal afirmatif dalam UU Pemilu. Seharusnya, parpol tetap didorong untuk mewujudkan keterwakilan 30 persen di daerah" (www.tribunennews.com, 8 September 2012). Girindra juga mengatakan bahwa aturan 30 persen keterwakilan perempuan tak hanya diterapkan di pusat, namun di daerah. Sehingga, tujuan dari pasal tersebut mengacu pada nilai-nilai keadilan gender dapat dilaksanakan secara konsisten. "Artikulasi kepentingan perempuan melalui DPRD Provinsi dan DPRD Kota sangat strategis bagi konsolidasi demokrasi," katanya.

Keterwakilan Perempuan di Lembaga Legislatif

Indonesia telah meratifikasi konvensi CEDAW (Convention on all eliminations of all

forms of discrimination against women) melalui Undang-Undang No. 7 tahun 1984

tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Sampai tahun 2011, Konvensi CEDAW telah diratifikasi/aksesi oleh 187 negara anggota PBB, yakni lebih dari 90% negara anggota PBB. Dengan meratifikasi Konvensi CEDAW, berarti Negara Indonesia mengakui adanya diskriminasi terhadap perempuan di segala bidang kehidupan, dan Indonesia berkewajiban melakukan langkah-langkah penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Konsekuensi ratifikasi tersebut adalah negara berkewajiban mengimplementasikan aturan-aturan yang ada dalam konvensi dan berkewajiban memberikan informasi perkembangan pelaksanaan Konvensi CEDAW di Indonesia dengan mengirimkan Laporan negara ke Komite CEDAW PBB setiap 4 tahun sekali.

Berkait dengan partisipasi perempuan dalam politik dan kehidupan publik, Pasal 7 Konvensi CEDAW mewajibkan negara pihak melakukan berbagai upaya menghapuskan diskriminasi terhadap perempuan di bidang politik dan publik, juga agar menjamin bahwa perempuan mempunyai persamaan hak dengan laki-laki terutama dalam (a) memberikan suara di dalam Pemilihan Umum dan kegiatan publik lainnya dan berhak untuk dipilih di dalam berbagai badan/lembaga; (b) untuk berpartisipasi dalam perumusan kebijakan pemerintah, melaksanakannya dan menduduki jabatan dalam arena publik dan pemerintahan; (c) untuk berperan serta dalam lembaga non-pemerintah dan lembaga swasta baik di arena publik maupun politik.

(5)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

Untuk menjamin terwujudnya keterwakilan perempuan di parlemen, diperlukan tindakan afirmatif (affirmative action). Dengan kebijakan affirmatif tersebut diharapkan meningkatkan keterwakilan perempuan di lembaga legislatif. Kebijakan afirmatif itu diatur dalam pasal 4 ayat 1: “Penerapan tindakan-tindakan khusus sementara oleh negara-negara Peserta yang ditujukan untuk mempercepat kesetaraan de facto antara laki-laki dan perempuan tidak dianggap sebagai diskriminasi sebagaimana didefinisikan dalam Konvensi ini, tetapi tidak boleh mengakibatkan dipertahankannya standar-standar yang tidak setara atau terpisah ini seterusnya; tindakan-tindakan ini harus dihentikan bilamana tujuan kesetaraan dalam kesempatan dan perlakuan telah dicapai”. Selain itu, diatur pula dalam Rekomendasi Umum No. 23. Tentang Kehidupan Politik dan Publik Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan pasal 7 dan 8 Konvensi CEDAW dan Rekomendasi Umum No. 25. Tentang Pasal 4 Ayat 1 Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Tindakan-tindakan Khusus Sementara).

Tindakan afirmatif diperlukan karena selama ini masalah-masalah khusus perempuan luput dari kebijakan-kebijakan negara. Sebabnya, karena masalah-masalah yang sejatinya dapat dirasakan perempuan harus “dititipkan” pada wakil rakyat yang kebanyakan laki-laki. Kebijakan publik adalah hasil tawar-menawar antara pembuat keputusan (aktor politik). Hasil kebijakan sangat dipengaruhi oleh pemahaman, persepsi, sikap, moral, dan pengalaman pembuatnya. Jika masalah-masalah perempuan harus dititipkan pada wakil-wakil yang tidak mengetahui atau tidak memiliki perspektif perempuan, hampir dipastikan kebijakan yang dihasilkan akan tidak peka terhadap persoalan perempuan.

Untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di legislatif melalui tindakan afirmatif kemudian dikenal sistem kuota, yakni penetapan sejumlah tertentu atau prosentase dari sebuah badan, kandidat, majelis, komite, atau suatu pemerintahan. Kuota untuk perempuan bertujuan untuk, setidaknya, perempuan akan menjadi “minoritas kritis” (critical minority) terdiri dari 30 atau 40 persen. Ide dasar kuota ialah memastikan bahwa perempuan akan masuk dan terlibat dalam politik, sekaligus tidak akan menjadi kelompok masyarakat yang mengalami isolasi. Penetapan sejumlah tertentu perempuan dalam politik harus secara nyata dituangkan dalam bentuk perundang-undangan. Selama ini pelaksanaan kuota dilakukan melalui cara penetapan dalam Konstitusi, peraturan-peraturan dalam undang-undang Pemilu atau Partai Politik, dan komitmen informal partai politik.

Angka 30% diyakini sebagai “angka kritis” yang harus dicapai untuk memungkinkan sebuah perubahan. Angka 30 persen menunjukan “massa kritis” yang akan memberikan dampak pada kualitas keputusan yang diambil dalam lembaga-lembaga publik (legislatif). Jumlah 30% ditetapkan untuk menghindari dominasi salah satu jenis kelamin dalam lembaga-lembaga politik yang merumuskan kebijakan public. Dengan kata lain, jumlah keterwakilan laki-laki maupun perempuan tidak boleh lebih dari 70%.

(6)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

Sistem kuota telah melahirkan kontroversi tersendiri. Berbagai alasan dikemukakan baik oleh mereka yang mendukung atau pun menentang sistem itu. Bagi mereka yang mendukung, beberapa alasan sering disampaikan:

- Kuota bukanlah diskriminasi, melainkan kompensasi bagi kendala nyata yang dihadapi perempuan untuk secara adil bisa bepartisipasi dalam kehidupan politik.

- Kuota berarti adanya sejumlah perempuan yang duduk bersama-sama dalam suatu komisi atau majelis, yang dengan demikian bisa mengurangi tekanan yang dirasakan para perempuan yang keberadaannya dalam suatu tempat sudah dialokasikan.

- Sebagai warga Negara, perempuan memiliki hak perwakilan yang setara.

- Pengalaman perempuan berbeda dari laki-laki.

- Kualitas perempuan sama dengan laki-laki tetapi kualitas perempuan dihargai lebih rendah dan dikecilkan dalam sistem politik yang dikuasai laki-laki.

- Partai politiklah yang mengontrol pencalonan, bukan pemilih yang menentukan.

Bagi sebagian yang menolak diberikannya kuota beranggapan, bahwa cara affirmative

action dianggap sebagai bentuk diskriminasi. Mereka berkeyakinan bahwa kalau ingin

bersaing dalam politik, maka bersainglah secara “fair” dengan mekanisme yang telah ada. Kalangan ini melupakan bahwa negara Indonesia telah meratifikasi CEDAW yang dalam pasal 4 ayat 1 telah mengatur mengenai tindakan khusus sementara ini.

Walaupun telah menerapkan sistem kuota 30% keterwakilan perempuan di parlemen melalui tindakan afirmasi, namun hingga kini belum memperoleh hasil nyata. Bahkan hingga kini, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif belum pernah mencapai 30%. Pada periode antara tahun 1950 dan 1955, keterwakilan perempuan di DPR RI hanya sebesar 3,8 persen, dan 6,3 persen antara tahun 1955 dan 1960. Kemudian selama 30 tahun berikutnya, keterwakilan perempuan di parlemen merupakan yang tertinggi selama ini, yakni mencapai 13 persen pada periode 1987 sampai 1992. Selama periode 1992 sampai 1997, representasi perempuan sebesar 12,5 persen. Jjumlah ini menurun ke 10,8 persen pada periode 1997-1998. Kecenderungan ini terus berlanjut pada periode 1999-2000 yang turun menjad 9,0 persen. Pada periode 2004-2009 mengalami peningkatan menjadi 11% dan periode 2009-2014 meningkat lagi menjadi 18%. Namun peningkatan itu tidak secara otomatis terjadi pada jenjang DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ternyata semakin ke bawah, keterwakilan perempuan makin menciut pula. Saat ini, keterwakilan perempuan di DPRD Propinsi berkisar antara 6,7% hingga 26,1% dan di Kabupaten/Kota jumlahnya kian sedikit, bahkan di beberapa wilayah seperti Poso dan Belitung Timur tidak memiliki keterwakilan perempuan sama sekali.

Melihat kondisi ini, maka kebijakan afirmatif 30% keterwakilan perempuan masih sangat dibutuhkan terutama di partai-partai politik, karena dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di partai-partai politik akan membuka peluang yang lebih besar bagi perempuan untuk duduk di lembaga legislatif. Selain itu, Perserikatan Bangsa-Bangsa

(7)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

(PBB) telah menghimbau agar tiap negara dapat mengalokasikan sekurang-kurangnya 50% keterwakilan perempuan di parlemen. Angka 50% dipilih dengan pertimbangan bahwa dengan angka tersebut, maka keterwakilan perempuan dibandingkan dengan laki-laki di parlemen akan makin seimbang, dilihat dari segi jumlahnya sehingga akan dapat menyuarakan aspirasi dan kepentingan perempuan dengan lebih vocal.

Belum tercapainya 30% keterwakilan perempuan di Indonesia menjadi salah satu keprihatinan Komite CEDAW dalam dialog konstruktif Laporan Negara Indonesia periode ke-6 dan ke-7 dalam sesi sidang Komite CEDAW yang ke-52 pada 11 Juli 2012 lalu di New York. Dalam Concluding Observation-nya Komite CEDAW mengapresiasi penerapan Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang telah memberikan kuota bagi perempuan dalam struktur partai politik di tingkat pusat dan daerah, dan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan umum yang telah mengatur kuota 30% untuk calon perempuan di semua partai politik, terutama di level daerah.

Komite juga menyambut baik penerapan UU No 2/2011 tentang partai politik, di mana ada ketentuan tentang kuota bagi perempuan dalam struktur partai politik, dan UU No 8/2012 tentang pemilihan umum, di mana ada ketentuan 30 persen kuota kandidat perempuan di daftar pemilih partai-partai politik untuk pemilu badan legislatif daerah. Komite menyesali, bagaimana pun, bahwa hukum tidak mensyaratkan setidaknya satu dari tiap tiga calon di daftar pemilih adalah perempuan, dan prihatin tentang situasi hukum yang muncul menyusul keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 23 Desember 2008 yang menyerang sistem kuota yang ditetapkan untuk pemilihan DPR. Patut dicatat keprihatinan akan rendahnya partisipasi perempuan dalam politik dan publik. Komite juga kembali mengingatkan rekomendasi umum No 23 (1997) dan No 25 (2004). Selain Negara Indonesia diharapkan dapat me-review UU No. 8 tahun 2012 tentang Partai Politik dan memastikan bahwa setidaknya satu dari daftar calon anggota legislatif adalah perempuan atau memperkenalkan sistem alternatif yang akan memastikan setidaknya 30% calon perempuan yang akan terpilih. Hal tersebut tentu dengan mempertimbangkan untuk memperluas kuota 30 persen calon perempuan di DPR RI, DPRD Propinsi, DPRD Kabupaten/Kota, dan dalam pemilihan kepala daerah. Selain itu, negara juga diharapkan dapat memberikan insentif bagi partai-partai politik yang telah mencalonkan perempuan sesuai dengan ketentuan, dan negara juga diharapkan dapat menciptakan lingkungan yang kondusif bagi partisipasi perempuan di semua tingkatan, termasuk dalam forum perencanaan pembangunan desa, misalnya mendidik pemimpin muda perempuan dan memperkuat sayap perempuan dari partai-partai politik.

Tanggapan Komite Cedaw tentang keterwakilan perempuan di politik dan di ruang publik tidak hanya kali ini disampaikan. Dalam Komentar Akhir-nya atas laporan ke-4 dan ke-5 Indonesia yang disampaikan dalam sesi ke-39 Sidang Umum Umum CEDAW, pada 27 Juli 2007, Komite juga telah menyampaikan keprihatinannya mengenai tidak adanya kemajuan peningkatan partisipasi perempuan dalam partai politik. Komite juga menyatakan keprihatinan mengenai rendahnya tingkat keterwakilan perempuan dalam

(8)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

kehidupan publik dan politik serta dalam jabatan-jabatan pengambilan keputusan di Indonesia termasuk dalam dinas luar negeri, peradilan, pemerintahan daerah, sektor pendidikan dan swasta.Komite mendesak negara pihak untuk memperkuat sistem kuota 30% bagi calon legislatif perempuan dalam UU Pemilu dengan menjadikan kuota ini persyaratan wajib serta menjatuhkan sanksi apabila persyaratan ini tidak dipenuhi, serta menegakkan mekanisme guna memastikan bahwa persyaratan wajib tersebut dilaksanakan. Komite juga mendorong negara pihak untuk melaksanakan dan memperkuat penerapan tindakan khusus sementara sesuai dengan pasal 4 ayat 1 konvensi dan rekomendasi umum Komite No. 23 dan 25, untuk mempercepat peningkatan partisipasi perempuan secara utuh dan setara dengan laki-lak di semua sektor dan semua tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan publik, politik dan ekonomi, termasuk dalam dinas luar negeri, peradilan, pemerintah daerah, sektor pendidikan dan swasta. Namun dalam dialog konstruktif dengan Komite CEDAW PBB untuk Laporan Negara Indonesia periode ke-6 dan ke-7 dalam sesi sidang Komite CEDAW yang ke-52 pada 11 Juli 2012 lalu, hal tersebut kembali disampaikan oleh Komite CEDAW.

Mengapa perempuan harus terlibat politik

Salah satu hal terpenting menuju proses pemerintahan yang demokratis yakni pembagian kekuasaan, antara satu tingkat pemerintahan ke tingkat yang lebih rendah, antara birokrasi pemerintahan dan warga, serta antar kelompok-kelompok warga sendiri. Distribusi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan public merupakan upaya untuk mencapai kehidupan yang lebih demokratis.

Demokrasi yang diandaikan sebagai partisipasi sejajar seluruh komponen warga negara hanya terwujud ketika dominasi dan subordinasi antara individu atau antar kelompok terhapus. Pada titik ini, menyuarakan tuntutan keterwakilan politik perempuan seharusnya tidak dimaknai sebagai tindakan berlebihan yang hanya berpihak pada kepentingan perempuan semata. Tuntutan ini harus disadari sebagai bentuk hak asasi manusia. Porsi keterwakilan politik perempuan juga merupakan tindakan strategis untuk mengurangi hambatan individu dalam berkiprah. Kuota merupakan instrument yang efektif untuk dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam politik sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam praktik kehidupan masyarakat. Apalagi sistem kuota yang diberlakukan dalam lembaga-lembaga politik strategis, seperti partai politik secara langsung dapat mempengaruhi kebijakan dan out put proses politik.

Untuk mendorong meningkatnya keterwakilan perempuan di DPR RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota diperlukan kebijakan yang nyata dan jelas. Harus ada sanksi bagi partai politik yang tidak dapat memenuhi kebijakan tersebut, bukan malah memperlemah kebijakan yang sudah ada. Syarat keharusan 30% keterwakilan perempuan dalam partai politik harus dijadikan pintu masuk perempuan untuk dapat duduk di lembaga legislatif dan badan-badan negara lainnya. Karena tanpa ada

(9)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

peraturan yang jelas dan tegas tentang hal tersebut, sangat sulit perempuan harus terjun bebas di arena politik yang sangat menjujung tinggi nilai partriarkhal dan maskulinitas. Itu mengapa kebijakan afirmatif, seperti sistem kuota menjadi satu hal yang sangat penting karena kesempatan perempuan untuk bepartisipasi dapat terbuka lebar.

Melihat kondisi di lapangan yang mana angka kematian ibu masih sangat tinggi, angka kekerasan terhadap perempuan pun terus meningkat, dan perempuan terus mengalami berbagai macam diskriminasi. Sangat penting perempuan duduk dalam lembaga legislative. Perempuan harus dapat menyuarakan kebutuhannya di level pembuat kebijakan, karena mereka memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dipahami paling baik oleh perempuan itu sendiri, antara lain: kesehatan reproduksi, seperti cara KB yang aman; kesejahteraan keluarga, seperti harga sembilan bahan pokok yang terjangkau; masalah kesehatan dan pendidikan anak; kepedulian terhadap anak, kelompok usia lanjut dan tuna daksa; kekerasan seksual. Dalam banyak kasus, keterlibatan perempuan mampu memperbaiki masalah-masalah yang sering menghambat lajunya pembangunan.

Dengan kondisi yang ada, nampak jelas meskipun perempuan adalah jumlah penduduk dan pemilih terbesar, tingkat keterwakilan mereka dalam lembaga strategis seperti DPR dan DPRD sangatlah rendah. Ketimpangan tersebut sangat jelas dalam hubungannya dengan kebijakan publik negara. Akses dan kontrol perempuan terhadap suatu kebijakan publik sangat terbatas. Perempuan masih dijadikan sebatas sasaran penerima kebijakan publik tanpa memiliki ruang untuk memberikan masukan, kritik atau pun perubahan terhadap sesuatu kebijakan publik. Ketimpangan dan ketidakadilan gender yang dialami perempuan di Indonesia dalam bidang ekonomi, pendidikan, ketenagakerjaan, kesejahteraan sosial dan lain-lainnya sebagai akibat ketimpangan keterwakilan politik perempuan serta keterbatasan peluang perumusan kebijakan publik.

Ketimpangan keterwakilan perempuan itu juga melahirkan kebijakan-kebijakan daerah yang diskriminatif terhadap perempuan di berbagai daerah melalui Perda. Perda diskriminatif merupakan imbas negatif otonomi daerah yang dimulai tahun 2002. Pada tahun 2012 ini, Komnas Perempuan mencatat ada 282 kebijakan diskriminatif atas nama agama dan moralitas merugikan perempuan Indonesia. Komnas Perempuan. Berbagai bentuk diskriminasi dalam dalam ratusan kebijakan tersebut, misalnya 60 kebijakan memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan; 96 kebijakan mengkriminalkan perempuan melalui aturan tentang prostitusi atau pornografi; 38 kebijakan membatasi ruang gerak perempuan melalui aturan jam malam yang mewajibkan perempuan untuk bepergian hanya bila ada pendampingnya (“muhrim” di Aceh) dan 7 kebijakan membedakan perempuan dan laki-laki dalam menikmati hak-haknya untuk bekerja lewat aturan tentang penempatan tenaga kerja di luar negeri. Kebijakan-kebijakan itu lebih banyak di provinsi dan kabupaten kota. Artinya, kebijakan itu adalah produk DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

(10)

EdEEEEEE

Analisa Media

Edisi Kesembilan, September 2012

Jl. SMA 14 No. 17, RT 009/09, Cawang, Jakarta Timur 13630 Tel. 021-8004712, Fax. 021-8004713

Email: ykm@indo.net.id Website: www.kalyanamitra.or.id

Dalam konteks itu, Komite CEDAW menekankan kepada pemerintah Indonesia bahwa partisipasi politik dan kepemimpinan perempuan yang setara, bermakna dan efektif ialah pra syarat mendasar bagi kemajuan demokrasi, perdamaian abadi dan keadilan gender. Pemerintah Indonesia harus berusaha keras untuk menyeimbangkan posisi dan peranan perempuan maupun laki-laki di ranah politik dan publik lainnya. Dengan adanya keseimbangan dalam partisipasi perempuan dan laki-laki inilah diharapkan pembangunan di tingkat daerah, nasional maupun internasional kelak lebih responsif gender.

Referensi

Dokumen terkait

Informasih yang diperoleh dari hasil analisis daya dukung secara umum akan menyangkut masalah kemampuan (daya dukung) yang dimiliki oleh suatu daerah dalam mendukung

Dari kasus sengketa tanah yang sampai ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dengan nomor perkara 72/G.TUN/2005/PTUN-MDN tersebut gugatan datang dari

Jika murid tiada akses atau menghadapi kesukaran akses kepada PdP secara dalam talian, pihak sekolah perlu berbincang dengan ibu bapa/penjaga untuk menentukan kaedah

Database menurut Hartono (2005:217) merupakan “kumpulan dari data yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, tersimpan disimpan luar komputer dan digunakan

Perusahaan yang sudah mendapat sertifikasi SMM dari pihak Ketiga, maka di berikan keterangan sebagai berikut :6. (Please fill out the below table if company has got

Multimedia merupakan media periklanan yang unik dan sangat kuat karena mengandung elemen penglihatan, video dan suara yang dapat dikombinasikan dengan strategi

Dengan menggunakan metode Penelitian dan Pengembangan (research & development), pada penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan suatu produk baru atau

Bank Negara Indonesia (BBNI) memproyeksikan target pertumbuhan kredit pada tahun 2016 akan mencapai di kisaran 15%-17% atau lebih tinggi dari proyeksi pertumbuhan industri yang