• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan pemlastis (plasticizer) adalah bahan organik dengan berat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bahan pemlastis (plasticizer) adalah bahan organik dengan berat"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bahan Pemlastis

2.1.1 Uraian bahan pemlastis

Bahan pemlastis (plasticizer) adalah bahan organik dengan berat molekul rendah yang ditambahkan dengan maksud memperlemah kekakuan dari polimer, meningkatkan fleksibilitas dan ekstensibilitas polimer. Bahan pemlastis larut dalam tiap-tiap rantai polimer sehingga akan mempermudah gerakan molekul polimer dan bekerja menurunkan suhu transisi gelas, suhu kristalisasi atau suhu pelelehan dari polimer (Wypych, 2004).

Mekanisme kerja plasticizer pada resin adalah memisahkan rantai melalui pemutusan ikatan yaitu ikatan hidrogen dan ikatan van der Waals atau ikatan ion, yang menyebabkan rantai polimer bersatu dan melapisi tenaga di tengahnya melalui pembentukan ikatan polimer-plasticizer. Kemudian kelompok polymer-phylic akan memperbaiki kelarutannya, sedangkan kelompok polymerphobic memperbaiki pengaruhnya. Beberapa jenis plasticizer yang dapat digunakan adalah gliserol, polivinilalkohol, sorbitol, asam laurat, asam oktanoat, asam laktat dan trietilen glikol.

Kompatibilitas yang baik menunjukkan campuran pemlastis dan polimer yang stabil dan homogen, yang mana ditentukan oleh interaksi molekul polimer–pemlastis, bahan aditif, tekanan, suhu, kelembaban dan cahaya. Kompatibilitas campuran dapat ditentukan melalui panas reaksi

(2)

campuran, transisi gelas, morfologi, sifat mekanikal dinamis secara viskometrik (Chattopadhyay, 2000).

Pemlastis bisa saja kompatibel pada suhu proses namun dapat keluar kembali dari polimer (blooming) pada suhu kamar. Polimer pemlastis berada dalam kesetimbangan dinamis pada suhu tertentu, begitu suhu berubah efektifitas gaya-gaya juga berubah. Pada kondisi normal, difusi selalu terjadi yaitu sejumlah tertentu pemlastis berada di permukaan polimer karena kesetimbangan adsorpsi/ desorpsi antara polimer dan pemlastis terganggu (Zhong, dkk., 1998).

Proses pemlastis, prinsipnya adalah terjadinya dispersi molekul pemlastis ke dalam fase polimer. Bilamana pemlastis mempunyai gaya interaksi dengan polimer, proses dispersi akan berlangsung dalam skala molekul dan terbentuk larutan polimer pemlastis sehingga keadaan ini disebut kompatibel. Interaksi antara pemlastis–polimer ini sangat dipengaruhi oleh sifat afinitas kedua komponen. Kalau afinitas polimer–pemlastis tinggi, maka molekul pemlastis akan terdifusi ke dalam bundel, di sini molekul pemlastis akan berada di antara rantai polimer dan mempengaruhi mobilitas rantai (Efendi, 2001).

Komponen terbesar dalam film biodegradable adalah plasticizer sama seperti pembuatan film polimer. Penambahan plasticizer pada film biodegradable ditujukan untuk mengurangi kerapuhan yang disebabkan tekanan intermolecular yang tinggi. Plasticizer umumnya bermolekul kecil seperti polyol seperti sorbitol, gliserol dan polietilen glikol (PEG) yang

(3)

memasuki dan menyelingi diantara rantai polimer, memutuskan ikatan hydrogen dan memisahkan rantai yang tidak hanya meningkatkan fleksibilitas, tetapi juga permeabilitas uap air dan gas (Gontard, et al., 1993).

2.1.2 Gliserin

Gliserol memiliki rumus kimia C3H5(OH)3. Gliserol merupakan trihidrat alkohol, dimana mempunyai dua gugus hidroksil primer dan satu gugus hidroksil sekunder. Gliserol alami merupakan hasil samping konversi lemak dan minyak dari splitting lemah yang dapat diperoleh 15-20% larutan gliserol dalam air. Proses transesterifikasi menghasilkan 75-90% larutan gliserol dalam alkohol. Proses ini bergantung pada perbandinngan jumlah alkohol dan lemak ataupun minyak dan konsentrasi katalis (Noureddini dan Medikonduru, 1997).

Fungsi utama gliserol adalah sebagai humektant (suatu zat yang berfungsi untuk menjaga kelembutan dan kelembaban). Gliserol juga dapat digunakan sebagai pelarut, pemanis, pengawet dalam makanan serta sebagai zat emollient dalam kosmetik. Berdasarkan sifatnya, gliserol banyak digunakan sebagai zat pemlastis dan minyak pelumas dalam mesin pengolahan makanan dan minuman. Hal ini disebabakan karena gliserol tidak beracun (Noureddini dan Medikonduru, 1997).

Gliserin digunakan diberbagai jenis formulasi farmasetik, termasuk sediaan oral, otic, mata, topical dan sediaan parenteral, dapat dilihat pada Tabel 2.1. Pada formulasi sediaan topical dan kosmetik, gliserin digunakan sebagai humektan dan emolien. Gliserin digunakan sebagai pelarut dan cosolvent.

(4)

Gliserin ditambahkan dalam larutan dan gel dan jugan sebagai zat adiktif. Dalam formulasi sediaan parenteral, gliserin umumnya digunakan sebagai pelarut dan cosolvent. Dalam larutan oral, gliserin digunakan sebagai pelarut, zat pemanis, pengawet antimikroba dan zat peningkat kekentalan. Gliserin digunakan sebagai plasticizer dalam pembuatan kapsul lunak gelatin dan supositoria gelatin (Rowe, et al., 2009).

Tabel 2.1 Kegunaan gliserin (Rowe, et al., 2009)

Kegunaan Konsentrasi (%) Pengawet Antimikroba < 20 Emolien ≤ 30 Pembentuk Gel, 5,0 – 15,0 Pembentuk Gel, 50,0 – 80,0 Humektan ≤ 30 Formulasi Optikum 0,5 – 3,0

Zat Tambahan Bervariasi

Plasticizer dalam tablet selaput film Bervariasi

Pelarut dalam formulasi parenteral ≤ 50

Zat Pemanis dalam eliksir alcohol ≤ 20

2.2 Kapsul

Kapsul dapat didefinisikan sebagai bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan obat atau lebih dan/atau bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai. Tergantung pada formulasinya kapsul dapat berupa kapsul gelatin lunak atau keras (Ansel, 2005).

Kulit kapsul terutama terdiri dari gelatin pelentur, dan air; kulit kapsul dapat juga mengandung bahan-bahan tambahan seperti pengawet, bahan pewarna dan bahan pengeruh, pemberi rasa, gula, asam, dan bahan obat untuk mendapat efek yang diinginkan. Plasticizer (pelentur) yang digunakan dengan

(5)

gelatin pada pembuatan kapsul lunak relative sedikit. Yang paling banyak adalah Gliserin USP, Sorbitol USP, Pharmaceutical Grade Sorbitol Special, dan kombinasi-kombinasinya. Perbandingan berat plastisator kering terhadap gelatin kering menentukan “kekerasan” kulit/cangkang gelatin, dengan anggapan tidak ada pengaruh dari bahan yang dikapsulkan (Lachman, dkk., 2008).

Kapsul dapat disalut, atau, lebih umumnya, granul yang dienkaspulasi dapat disalut untuk menahan pelepasan obat dalam cairan lambung dimana suatu penundaan penting untuk mengurangi masalah yang mungkin terjadi pada inaktifasi obat atapun iritasi mukosa lambung.

Tabel 2.2 Penerimaan beberapa sediaan delayed release (USP, 2009) No. Sediaan Medium Persyaratan

1 Kapsul delayed release Aspirin

Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%

Basa pH 6,8 Terdisolusi tidak kurang dari 75% dalam waktu 90 menit

2

Tablet delayed release Natrium diklofenak

Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%

Basa pH 6,8 Terdisolusi tidak kurang dari 75% dalam waktu 45 menit

3

Tablet delayed release

Diritromicin

Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%

Basa pH 6,8 Terdisolusi tidak kurang dari 80% dalam waktu 45 menit

4

Kapsul delayed release

Eritromicin

Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%

Basa pH 6,8 Terdisolusi tidak kurang dari 80% dalam waktu 120 menit

5

Kapsul delayed release

Lansoprazole

Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%

Basa pH 6,8 Terdisolusi tidak kurang dari 80% dalam waktu 60 menit

6

Kapsul delayed release

Omeprazole

Asam Terdisolusi tidak lebih dari 15%

Basa pH 7,6 Terdisolusi tidak kurang dari 75% dalam waktu 30 menit

7

Tablet delayed release

Sulfasalazin

Asam Terdisolusi tidak lebih dari 10%

Basa pH 7,5 Terdisolusi tidak kurang dari 85% dalam waktu 60 menit

(6)

Istilah “delayed-release” digunakan pada monografi Farmakope pada kapsul salut enterik yang ditujukan untuk menunda pelepasan dari bahan obat hingga kapsul melewati lambung (USP, 2009). Tabel penerimaan beberapa sediaan delayed release dapat dilihat pada Tabel 2.2.

2.3 Natrium Alginat

Natrium alginat merupakan produk pemurnian karbohidrat yang diekstraksi dari alga coklat (Phaeophyceae) dengan menggunakan basa lemah. Natrium alginat larut dengan lambat dalam air, membentuk larutan kental, tidak larut dalam etanol dan eter. Alginat ini diperoleh dari spesies Macrocystis pyrifera, Laminaria, Ascophyllum dan Sargassum (Belitz, et al., 1987).

2.4 2.5 2.6 2.7

Gambar 2.1 Struktur alginat

Asam alginat adalah kopolimer biner yang terdiri dari residu β-D-mannuronat (M) dan α-L-asam guluronat (G) yang tersusun dalam blok-blok yang membentuk rantai linear (Grasdalen, et al., 1979). Kedua unit tersebut berikatan pada atom C1 dan C4 dengan susunan homopolimer dari masing-masing residu (MM dan GG) dan suatu blok heteropolimer dari dua residu (MG) (Thom, et al., 1980).

(7)

Asam alginat tidak larut dalam air, karena itu yang digunakan dalam industri adalah dalam bentuk garam natrium dan garam kalium. Salah satu sifat dari natrium alginat adalah mempunyai kemampuan membentuk gel dengan penambahan larutan garam-garam kalsium seperti kalsium glukonat, kalsium tartrat dan kalsium sitrat. Pembentukan gel alginat dengan ion kalsium, disebabkan oleh adanya ikatan silang membentuk khelat antara ion kalsium dan anion karboksilat pada blok G-G melalui mekanisme antar rantai. Natrium alginat mempunyai rantai poliguluronat menunjukkan sifat pengikatan ion kalsium yang lebih besar (Morris, et al., 1980).

Kegunaan alginat dan kemampuannya mengikat air bergantung pada jumlah ion karboksilat, berat molekul dan pH. Kemampuan mengikat air meningkat bila jumlah ion karboksilat semakin banyak dan jumlah residu kalsium alginat kurang dari 500, sedangkan pada pH dibawah 3 terjadi pengendapan .Secara umum , alginat dapat mengabsorpsi air dan dapat digunakan sebagai pengemulsi dengan viskositas yang rendah (Zhanjiang, 1990).

Di Laboratorium Farmasi Fisik Fakultas Farmasi USU dalam beberapa tahun terakhir telah dikembangkan kapsul yang tahan terhadap asam lambung. Cangkang kapsul ini dibuat dari natrium alginat dengan kalsium klorida menggunakan cetakan. Telah terbukti bahwa cangkang kapsul alginat tahan atau tidak pecah dalam cairan lambung buatan (pH 1,2). Kapsul mengembang dan pecah dalam cairan usus buatan yaitu pH 4,5 dan pH 6,8 (Bangun, dkk., 2005).

(8)

Utuhnya cangkang kapsul kalsium alginat di dalam medium pH 1,2 disebabkan komponen penyusun cangkang alginat yaitu kalsium guluronat masih utuh, sedangkan pelepasan kalsium kemungkinan berasal dari kalsium yang terperangkap dalam kapsul dan terikat dengan manuronat saja. Hal itu berarti kalsium guluronat yang bertanggung jawab terhadap keutuhan kapsul di dalam medium pH 1,2 (Bangun, dkk., 2005).

Cangkang kapsul kalsium alginat dapat mengembang dan pecah di dalam medium pH 4,5 dan 6,8 (cairan usus buatan). Hal ini disebabkan terjadi pertukaran ion kalsium dari kalsium alginat (kalsium guluronat) dengan ion natrium yang terdapat pada cairan usus buatan, sehingga terbentuk natrium alginat (natrium guluronat). Pembentukan natrium alginat pada kapsul dapat menyebabkan kapsul bersifat hidrofilik, sehingga mudah menyerap air, mengembang dan pecah (Bangun, dkk., 2005).

2.4 Kesetimbangan Kandungan Uap Air

Hubungan antara kelembaban dan kandungan uap air pada temperatur yang sama (isoterm) dikenal sebagai kesetimbangan isoterm sorpsi uap air (Equilibrium Moisture Sorption Isotherm) seperti yang dikemukakan oleh Bell dan Labuza. Masing-masing produk mempunyai kesetimbangan kandungan uap air yang unik karena perbedaan interaksi (efek koligatif larutan, efek kapiler, dan interaksi permukaan) antara air dengan komponen padat pada kandungan uap air yang berbeda. Peningkatan aw biasanya dibarengi dengan peningkatan kandungan uap air, walaupun tidak secara linier. Kesetimbangan

(9)

kandungan uap air biasanya berbentuk sigmoidal untuk kebanyakan makanan, walaupun makanan tersebut mengandung gula dalam jumlah besar (Fontana, 2000).

Informasi mengenai mekanisme sorpsi uap air pada suatu bahan dapat diketahui dari bentuk kesetimbangan kandungan uap airnya, karena hal itu sangat tergantung pada interaksi antara molekul air dengan suatu bahan padat. Isoterm sorpsi fisis ini dapat digolongkan menjadi 6 tipe utama (I-VI), berdasarkan klasifikasi IUPAC. Isoterm tipe V dan VI tidak umum untuk dijumpai (Sing, et al., 1985).

Tipe I adalah tipe Langmuir, yang ditandai oleh adanya adsorpsi yang terbatas yang diasumsikan sebagai terbentuknya suatu lapisan tunggal yang sempurna. Tipe I memiliki adsorben dengan mikropori yang luas permukaannya relatif kecil, yang dapat menyimpan banyak uap air pada RH yang rendah (Sing, et al., 1985).

Isoterm tipe II, bentuk sigmoidal atau bentuk S umumnya berhubungan dengan sorpsi lapisan tunggal-multi lapisan pada bahan dengan permukaan yang tidak berpori atau makropori. Isoterm tipe II dan IV menunjukkan pengikatan tertentu pada kelembaban rendah yang diikuti dengan adsorpsi yang rendah pada kelembaban menengah, selanjutnya meningkat lagi pada kelembaban yang lebih tinggi. Adanya histeresis menunjukkan adanya mesopori dan umum terjadi pada isoterm tipe II dan IV (Sing, et al., 1985).

Berbeda dengan isoterm tipe IV, isoterm tipe II tidak memiliki penyerapan yang stabil pada aw yang tinggi. Isoterm tipe IV terjadi karena

(10)

tertutupnya mesopori yang diikuti dengan kondensasi kapiler atau pengisian pori (Sing, et al., 1985).

Isoterm tipe III dan V menandakan adanya interaksi adsorbent-adsorbat yang lemah dan ditandai dengan penyerapan yang rendah pada kelembaban rendah dan terjadi peningkatan yang pesat pada kelembaban yang lebih tinggi. Isoterm tipe VI, isoterm bertingkat dimana terjadi sorpsi tingkat demi tingkat pada permukaan bahan tidak berpori yang seragam (Sing, et al., 1985).

Gambar 2.2 Klasifikasi isoterm sorpsi uap air dan berbagai bentuknya (Sing, et al., 1985)

Kesetimbangan dari adsorpsi uap air (dimulai dari keadaan kering) tidak sama persis dengan kesetimbangan yang dihasilkan dari desorpsi uap air (dimulai dari keadaan basah). Fenomena dari kandungan uap air yang berbeda dengan aw yang sama ini dikenal sebagai histeresis sorpsi uap air (moisture sorption hysteresis) dan dimiliki oleh kebanyakan makanan (Fontana, 2000).

(11)

Gambar 2.3 Skema histeresis antara adsorpsi dan desorpsi uap air (Chaplin, 2005)

Ada beberapa alasan hal ini dapat terjadi, seperti perbedaan pengisian dan pengosongan uap air pada pori-pori, pengembangan bahan polimer, transisi keadaan gelas dan karet, dan supersaturasi beberapa zat terlarut selama desorpsi. Kesetimbangan kandungan uap air ini biasanya digambarkan dalam bentuk grafik, dengan memplot kandungan uap air sebagai suatu fungsi aw atau dalam suatu bentuk persamaan (Fontana, 2000).

2.5 Kerapuhan Cangkang Kapsul

Perlu diketahui bahwa cangkang kapsul bukan tidak reaktif, secara fisika atau kimia. Perubahan kondisi penyimpanan seperti temperatur dan kelembaban dapat mempengaruhi sifat kapsul. Dengan terjadinya kenaikan temperatur dan kelembaban dapat menyebabkan kapsul mengikat/melepaskan uap air. Sebagai akibatnya kapsul dapat menjadi rapuh atau lunak (Margareth, et al., 2009).

(12)

Laju pengeringan kapsul juga mempengaruhi kekerasan dan kerapuhan kapsul, kemampuan pelarutan, dan kecenderungan untuk melekat satu sama lain.. Kadar air yang rendah pada kapsul dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Jika kadar air pada kapsul kurang dari 10%, kapsul cenderung menjadi rapuh, dan sebaliknya jika kadar air lebih tinggi dari 18% kapsul melunak. Kondisi penyimpanan yang direkomendasikan untuk bentuk sediaan kapsul berkisar 15-300 C dan 30%-60% kelembaban relatif (RH) (Margareth, et al., 2009).

2.6 Natrium Diklofenak 2.6.1 Uraian bahan Rumus Bangun :

Rumus Molekul : C14H10Cl2NNaO2

Nama Kimia : Asam benzenasetat, 2-[(2,6-diklorofenil)amin]-, garam monosodium

Nama lain : Natrium [o-(2,6-dikloroanilino)fenil]asetat Berat Molekul : 318,13 (USP, 2009).

(13)

Pemerian : Serbuk kristal putih atau sedikit kuning, agak higroskopis

Kelarutan : Sedikit larut dalam air, mudah larut dalam methanol, larut dalam etanol (96 persen), sedikit larut dalam aseton (British Pharmacopoeia, 2009).

pKa : 4,2 (Moffats, 2005). 2.6.2 Farmakologi natrium diklofenak

Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang menyerupai florbiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek anti inflamasi, analgesik dan anti piretik. Diklofenak cepat diabsorbsi setelah pemberian oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Seperti flurbiprofen, obat ini berkumpul di cairan sinovial. Potensi diklofenak lebih besar dari pada naproksen. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti artritis rematoid dan osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka akut (Katzung, 2004). 2.6.3 Ulkus peptikum dan NSAIDs

Ulkus peptikum merupakan lesi yang dalam yang terjadi pada mukosa dan muskularis mukosa saluran cerna (g.i.t). Ulkus peptikum yang sering terjadi adalah ulkus gastritis dan ulkus duodenum. Ulkus terjadi akibat ketidakseimbangan antara faktor agresif (asam hidroklorida, pepsin, H. pylori, NSAIDs, asam lambung) dengan faktor protektif (antioksidan enzimatis, antioksidan non enzimatis, aliran darah, proses regenerasi sel, musin,

(14)

bikarbonat, prostaglandin), yang akhirnya menyebabkan kerusakan mukosa (Amandeep, et al., 2012).

NSAID nonselektif menyebabkan kerusakan mukosa lambung melalui dua mekanisme penting: (a) langsung atau iritasi topikal pada epitel lambung dan (b) penghambatan sistemik sintesis prostaglandin mukosa endogen. Meskipun cedera awal dimulai dari iritasi topikal oleh sifat asam dari banyak dari NSAID, penghambatan sistemik prostaglandin memainkan peran utama dalam pengembangan ulkus lambung. Siklooksigenase (COX) adalah enzim yang mengatur konversi asam arakidonat menjadi prostaglandin dan dihambat oleh NSAID (Dipiro, et al., 2008).

a. Efek lokal

Efek lokal yang ditimbulkan NSAIDs diakibatkan konsentrasi obat yang tinggi pada permukaan mukosa di wilayah lapisan difusi, yang terjadi saat obat terdisolusi dalam cairan lambung (Abdou, et al., 2001).

b. Penghambatan sistemik

Prinsip efek terapetik turunan NSAIDs adalah kemampuan menghambat produksi prostaglandin. Prostaglandin berpengaruh dalam peningkatan sekresi mukosa (sitoproteksi), mengurangi sekresi asam dan pepsin. NSAIDs menghambat proses pembentukan prostaglandin dengan menghambat siklooksigenase sehingga asam arachidonat tidak dapat berubah menjadi prostaglandin. Dengan penghambatan pembentukan prostaglandin, maka sekresi mukosa menjadi menurun dan sekresi asam ditingkatkan. Ion H+ terakumulasi pada mukosa, system intraseluler buffer menjadi jenuh, pH

(15)

menurun sehingga sel menjadi rusak dan dapat menyebabkan kematian sel (Kelly, 2005).

2.7 Uji Disolusi

Uji disolusi yaitu uji pelarutan invitro mengukur laju dan jumlah pelarutan obat dalam suatu media “aqueous” dengan adanya satu atau lebih bahan tambahan yang terkandung dalam produk obat. Pelarutan obat merupakan bagian penting sebelum kondisi absorbsi sistemik (Shargel dan Andrew, 1988).

Faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi dibagi atas 3 kategori yaitu: a. faktor-faktor yang berhubungan dengan sifat fisikokimia obat, meliputi:

i. efek kelarutan obat. Kelarutan obat dalam air merupakan faktor utama dalam menentukan laju disolusi. Kelarutan yang besar menghasilkan laju disolusi yang cepat.

ii. efek ukuran partikel. Ukuran partikel berkurang dapat memperbesar luas permukaan obat yang berhubungan dengan medium, sehingga laju disolusi meningkat.

b. faktor-faktor yang berhubungan dengan sediaan obat, meliputi:

i. efek formulasi. Laju disolusi suatu bahan obat dapat dipengaruhi bila dicampur dengan bahan tambahan. Bahan pengisi, pengikat dan penghancur yang bersifat hidrofil dapat memberikan sifat hidrofil pada bahan obat yang hidrofob, oleh karena itu disolusi bertambah, sedangkan bahan tambahan yang hidrofob dapat mengurangi laju disolusi.

(16)

ii. efek faktor pembuatan sediaan. Metode granulasi dapat mempercepat laju disolusi obat-obat yang kurang larut. Penggunaan bahan pengisi yang bersifat hidrofil seperti laktosa dapat menambah hidrofilisitas bahan aktif dan menambah laju disolusi.

c. faktor-faktor yang berhubungan dengan uji disolusi, meliputi :

i. tegangan permukaan medium disolusi. Tegangan permukaan mempunyai pengaruh nyata terhadap laju disolusi bahan obat. Surfaktan dapat menurunkan sudut kontak, oleh karena itu dapat meningkatkan proses penetrasi medium disolusi ke matriks. Formulasi tablet dan kapsul konvensional juga menunjukkan penambahan laju disolusi obat-obat yang sukar larut dengan penambahan surfaktan kedalam medium disolusi.

ii. viskositas medium. Semakin tinggi viskositas medium, semakin kecil laju disolusi bahan obat.

iii. pH medium disolusi. Larutan asam cenderung memecah tablet sedikit lebih cepat dibandingkan dengan air, oleh karena itu mempercepat laju disolusi (Gennaro, 2000).

Obat-obat asam lemah disolusinya kecil dalam medium asam, karena bersifat nonionik, tetapi disolusinya besar pada medium basa karena terionisasi dan pembentukan garam yang larut (Martin, dkk., 1993).

United States Pharmacopeia (USP) XXX memberi beberapa metode resmi untuk melaksanakan uji pelarutan. Antara lain metode keranjang (basket) dan metode dayung (paddle). Berikut dapat dilihat perbedaan antara kedua metode disolusi ini:

(17)

a. metode keranjang (basket)

Metode keranjang terdiri atas keranjang silindrik yang ditahan oleh tangkai motor. Keranjang menahan cuplikan dan berputar dalam suatu labu bulat yang berisi media pelarutan. Keseluruhan labu tercelup dalam suatu bak yang bersuhu konstan 37oC. Kecepatan berputar dan posisi keranjang harus memenuhi rangkaian syarat khusus dalam USP yang terakhir beredar. Tersedia standar kalibrasi pelarutan untuk meyakinkan bahwa syarat secara mekanik dan syarat operasi telah dipenuhi.

b. metode dayung (paddle)

Metode dayung terdiri atas suatu dayung yang dilapisi khusus, yang berfungsi memperkecil turbulensi yang disebabkan oleh pengadukan. Dayung diikat secara vertikal ke suatu motor yang berputar dengan suatu kecepatan yang terkendali. Tablet atau kapsul diletakkan dalam labu pelarutan yang beralas bulat yang juga berfungsi untuk memperkecil turbulensi dari media pelarutan. Alat ditempatkan dalam suatu bak air yang bersuhu konstan, seperti pada metode basket dipertahankan pada 37oC. Posisi dan kesejajaran dayung ditetapkan dalam USP. Metode dayung sangat peka terhadap kemiringan dayung.

Pada beberapa produk obat, kesejajaran dayung yang tidak tepat secara drastis dapat mempengaruhi hasil pelarutan. Standar kalibrasi pelarutan yang sama digunakan untuk memeriksa peralatan sebelum uji dilaksanakan (Shargel dan Andrew, 1988).

Gambar

Tabel 2.1  Kegunaan gliserin (Rowe, et al., 2009)
Tabel 2.2  Penerimaan beberapa sediaan delayed release (USP, 2009)  No.  Sediaan  Medium  Persyaratan
Gambar 2.1 Struktur alginat
Gambar 2.2  Klasifikasi isoterm sorpsi uap air dan berbagai bentuknya  (Sing,  et al., 1985)
+2

Referensi

Dokumen terkait

Krim adalah bentuk sediaan setengah padat yang mengandung satu atau lebih bahan obat yang terlarut atau terdispersi dalam bahan dasar yang sesuai.Krim mempunyai

Parem, pilis, dan tapel adalah sediaan padat obat tradisional, bahan bakunya berupa serbuk simplisia, sediaan galenik, atau campurannya dan digunakan sebagai obat luar. 1)

obat atau lebih dan bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Anief, 1991).. Gelatin merupakan bahan

2) Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut. Digunakan untuk pemakaian oral. Cangkang yang digunakan untuk kapsul

Tujuan instalasi farmasi rumah sakit yaitu melaksanakan pengelolaan sediaan farmasi dan pengelolan perbekalan kesehatan. Sediaan farmasi dan perbekalan yaitu obat, bahan obat,

Dispersi padat adalah dispersi satu atau lebih bahan aktif dalam pembawa inert atau matris pada keadaan padat yang dilakukan dengan pelelehan, pelarutan, atau

Tablet adalah bentuk sediaan padat yang terdiri dari satu atau lebih bahan obat yang dibuat dengan pemadatan, kedua permukaannya rata atau cembung.. Tablet memiliki

Kapsul adalah sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut.. Cangkang umumnya terbuat dari gelatin tetapi dapat juga terbuat dari pati