• Tidak ada hasil yang ditemukan

Uji Disolusi Kapsul Kloramfenikol Secara Spektrofotometri UV-Visible yang di Produksi Oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Uji Disolusi Kapsul Kloramfenikol Secara Spektrofotometri UV-Visible yang di Produksi Oleh PT. Kimia Farma (Persero) Tbk. Plant Medan"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengertian Obat

Secara umum obat dapat diartikan sebagai semua bahan tunggal atau campuran

yang dipergunakan oleh semua mahluk hidup untuk bagian dalam maupun luar,

guna mencegah, meringankan ataupun menyembuhkan penyakit. Menurut

undang-undang kesehatan, yang dimaksud dengan obat adalah suatu bahan atau

campuran bahan yang dimaksudkan untuk digunakan dalam menentukan

diagnosis, mencegah, mengurangi, menghilangkan, menyembuhkan penyakit atau

gejala penyakit, luka atau kelainan badaniah atau rohaniah pada manusia atau

hewan,termasuk memperelok tubuh atau bagian tubuh (Syamsuni, 2006).

Meskipun obat dapat menyembuhkan penyakit, tetapi masih banyak juga

orang yang menderita akibat keracunan obat. Oleh karena itu, dapat dikatakan

bahwa obat dapat bersifat sebagai obat dan dapat juga bersifat sebagai racun. Obat

itu akan bersifat sebagai obat apabila tepat digunakan dalam pengobatan suatu

penyakit dengan dosis dan waktu yang tepat.

Semakin cepat efek suatu obat muncul, semakin kuat pula racun yang

dikandungnya. Jika memilih obat, harap dilihat bahwa obat yang sangat efektif,

yang menghilangkan rasa sakit dengan cepat, jauh lebih berbahaya bagi tubuh dari

pada banyak obat-obatan lain. Obat-obatan bisa berguna jika terasa sakit yang tak

(2)

gejala-gejala yang harus diredakan. Jadi, apabila obat salah digunakan dalam

pengobatan atau dengan dosis yang berlebih maka akan menimbulkan keracunan.

Dan bila dosisnya kecil maka kita tidak akan memperoleh penyembuhan

(Anief, 1991).

2.2 Pengertian Kapsul 2.2.1 Kapsul secara umum

Kapsul merupakan suatu bentuk sediaan padat, dimana satu macam bahan

obat atau lebih dan bahan inert lainnya yang dimasukkan ke dalam cangkang atau wadah kecil yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai (Anief, 1991).

Gelatin merupakan bahan yang sesuai untuk pembentukan cangkang kapsul

karena larut, membentuk cangkang yang kuat, lapis tipis dan berubah dari bentuk

larutan menjadi bentuk gel sedikit diatas temperatur lingkungan. Gelatin segera

larut dalam air pada temperatur tubuh, dan tidak larut jika temperatur turun

dibawah 30 ̊C (Agoes, 2008).

2.2.2 Persyaratan Kapsul

Persyaratan kapsul adalah sebagai berikut:

1. Keseragaman Sediaan

Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua metode,

yaitu keseragaman bobot dan keseragaman kandungan. Jika bahan aktif dari

sediaan tidak kurang dari 50% dari bobot sediaan atau kapsul dan lebih besar dari

50 mg persyaratannya dapat ditetapkan dengan keseragaman bobot. Jika

kandungan bahan aktifnya lebih kecil dapat digunakan persyaratan keseragaman

(3)

2. Waktu Hancur

Pengujian kehancuran adalah suatu pengujian untuk mengetahui seberapa

cepat tablet hancur menjadi agregat atau partikel lebih halus. Pengujian dilakukan

berdasarkan asumsi bahwa jika produk hancur dalam periode waktu singkat, misal

dalam 5 menit, maka obat akan dilepas dan tidak ada antisipasi masalah dalam hal

kualitas produk obat. Waktu hancur setiap tablet atau kapsul dicatat dan

memenuhi persyaratan spesifikasi waktu (dalam 15 menit) (Syamsuni, 2007).

3. Disolusi

Disolusi adalah larutnya zat berkhasiat dalam suatu media disolusi. Uji ini

dimaksudkan untuk mengetahui berapa persentasi zat aktif dalam obat yang dapat

terlarut dan terabsorpsi dan masuk ke dalam peredaran darah untuk memberikan

efek terapi pada tubuh (Syamsuni, 2007).

4. Kadar Zat Berkhasiat

Pengujian ini dilakukan dengan cara kuantitatif dari pengujian identifikasi.

10-20 kapsul isinya di gerus dan bahan aktif yang larut diekstraksi menggunakan

pelarut yang sesuai menurut prosedur yang sudah ditetapkan. Umumnya rentang

kadar bahan aktif yang ditentukan berada diantara 90-110% dari pernyataan pada

etiket. Ada tiga kegunaan uji disolusi, yaitu dapat menjamin keseragaman satu

batch, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan

juga uji disolusi diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru. Obat

yang telah memenuhi persyaratan keseragaman kandungan, waktu hancur dan

penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat menjamin bahwa suatu obat

memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi

(4)

2.3 Antibiotik

Antibiotik berasal dari kata Yunani ( Anti = lawan, bios = hidup) adalah zat-zat

kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang memiliki khasiat mematikan

atau menghambat pertumbuhan kuman, sedangkan toksisitasnya bagi manusia

relatif kecil. Kegiatan antibiotik untuk pertama kalinya ditemukan secara

kebetulan oleh dr.Alexander Fleming ( Inggris,1928). Turunan zat-zar ini dibuat

secara semi-sintesis, juga termasuk kelompok ini, begitu pula semula senyawa

sintesis dengan khasiat antibakteri ( Tjay dan Rahardja,2010 ).

Antibiotik digunakan untuk mengobati berbagai jenis infeksi akibat kuman

misalnya radang paru-paru, tifus, luka yang berat dan sebagainya. Pemakaian

antibiotik harus di bawah pengawasan seorang dokter, karena obat ini dapat

menimbulkan kerja ikutan yang tidak dikehendaki dan dapat mendatangkan

kerugian yang cukup besar bila pemakaiannya tidak dikontrol dengan betul

(Widjajanti,1998).

2.3.1 Penggolongan Antibiotik Menurut (Tjay & Rahardja, 2007) yaitu :

a.Penggolongan antibiotik berdasarkan spektrum kerjanya :

-Antibiotika spektrum luas (broad spectrum) adalah antibiotik yang bersifat aktif bekerja terhadap banyak jenis mikroba yaitu bakteri gram positif dan gram

negatif. Contoh sulfonamid, ampisilin, sefalosforin, kloramfenikol, tetrasiklin, dan

rifampisin. Antibiotik berspektrum luas sering kali dipakai untuk mengobati

penyakit infeksi yang menyerang belum diidentifikasi dengan pembiakan dan

(5)

-Antibiotika spektrum sempit (narrow spectrum) golongan ini terutama efektif untuk melawan satu jenis organisme. Contohnya penisilin dan eritromisin dipakai

untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri gram positif. Karena

antibiotik berspektrum sempit bersifat selektif, maka obat-obat ini lebih aktif

dalam melawan organisme tunggal tersebut daripada antibiotik berspektrum luas

Sedangkan streptomisin, gentamisin, hanya bekerja terhadap kuman gram-negatif.

b.Penggolongan Antibiotik berdasarkan toksiknya yaitu:

-Bakterisida: Antibiotika yang bakterisid secara aktif membunuh bakteri.

Termasuk dalam golongan ini adalah penisilin, sefalosporin, aminoglikosida

(dosis besar), kotrimoksazol , polipeptida, rifampisin dan isoniazid.

-Bakteriostatik: Antibiotika bakteriostatik bekerja dengan mencegah atau

menghambat pertumbuhan bakteri, tidak membunuhnya sehingga pembasmian

kuman sangat tergantung pada daya tahan tubuh. Termasuk dalam golongan ini

adalah sulfonamida, tetrasiklin, kloramfenikol, eritromisin dan trimetropim.

2.3.2 Efek Samping Antibiotik

Penggunaan antibiotik yang sembarangan dan tidak tepat dosis, dapat

menggagalkan terapi pengobatan yang sedang dilakukan. Selain itu dapat

menimbulkan bahaya seperti :

1. Resistensi, ialah tidak terganggunya sel mikroba oleh antibiotik yang

merupakan suatu mekanisme alami untuk bertahan hidup. Ini dapat terjadi apabila

antibiotik diberikan atau digunakan dengan dosis yang terlalu rendah atau masa

(6)

2. Super infeksi, yaitu infeksi sekunder yang timbul ketika pengobatan terhadap

infeksi primer sedang berlangsung dimana jenis dan infeksi yang timbul berbeda

dengan infeksi primer (Tjay & Rahardja, 2010).

2.4 Kloramfenikol

2.4.1 Sejarah Kloramfenikol

Kloramfenikol digunakan sebagai antibiotik bersifat bakteriostatis dan

mempunyai spektrum luas terhadap semua kuman gram-positif dan sejumlah

kuman gram-negatif. Merupakan obat pilihan untuk pengobatan demam tifoid

akut yang disebabkan oleh Salmonella Sp. Kloramfenikol pada awalnya diisolasi

oleh Burkholder pada tahun 1947 dari contoh tanah yang diambil dari Venezuela,

sekarang telah dapat dibuat melalui sintesis total, yang metodenya relatif lebih

sederhana dan biayanya lebih murah. Kloramfenikol efektif terhadap

konjungtifitis bakterial yang disebabkan oleh mikoroorganisme, termasuk

Pseudomonas Sp. Senyawa ini juga efektif untuk pengobatan infeksi berat yang disebabkan oleh bakteri gram positif dan gram negatif (Siswandono dan

Soekardjo, 1995).

2.4.2 Struktur dan Sifat Kloramfenikol

OH CH2OH O

(7)

Menurut Dirjen POM (1995), kloramfenikol memiliki informasi yaitu:

Rumus Molekul : C11H12Cl2N2O5

Nama Umum : Kloramfenikol

Pemerian : Hablur halus berbentuk jarum atau lempeng memanjang;

putih hingga putih kelabu atau putih kekuningan; larutan

praktis netral terhadap lakmus P; stabil dalam larutan netral

atau larutan agak asam.

Kelarutan : Sukar larut dalam air,mudah larut dalam etanol, dalam

propilen glikol, dalam aseton dan dalam etil asetat.

Persyaratan :Pada sediaan kapsul kloramfenikol mengandung

kloramfenikol, C11H12Cl2N2O5, tidak kurang dari 90,0% dan

tidak lebih dari 120,0% dari jumlah yang tertera pada etiket.

PH : Antara 4,5 dan 7,5

Penyimpanan : Dalam wadah tertutup rapat dan tahan cahaya.

Indikasi : Sebagai antibiotik

Bentuk sediaan : Kapsul 250 mg

Kloramfenikol merupakan suatu antibiotik broad spectrum yang aktif

terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Antibiotik ini dihasilkan oleh

Streptomyces Venezuela dan antibiotik yang digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi yang disebabkan oleh mikroorganisme. Berbagai turunan

kloramfenikol berhasil disintesis akan tetapi tidak ada senyawa yang khasiatnya

melampaui khasiat kloramfenikol (Widjajanti,1998).

Kloramfenikol akan terasa pahit apabila diberikan secara oral tanpa

(8)

tidak berasa pahit, jadi dapat digunakan untuk anak-anak dan untuk pasien yang

tidak dapat menelan kapsul kloramfenikol diabsorpsi cepat dan hampir sempurna

dari saluran cerna, karena obat ini mengalami penetrasi membran sel secara cepat.

Setelah absorpsi, kloramfenikol didistribusikan secara luas ke seluruh jaringan

dan cairan tubuh. Metabolit utama kloramfenikol adalah glukuronida–nya yang

bekerja antibiotik, yang dibuat di hati dan diekskresikan melalui ginjal.

(Katzung, B. G., 2004).

Kloramfenikol bekerja menghambat pertumbuhan bakteri, mekanisme

kerja antibiotik ini ialah menghambat sintesis protein yang dibutuhkan untuk

pembentukan sel-sel bakteri sehingga kloramfenikol menghambat fungsi RNA

dari bakteri (Widjajanti,1998).

2.4.3 Farmakokinetika

Penyerapan obat melalui saluran cerna cukup baik (75-90%), kadar plasma

tertinggi dicapai dalam 2-3 jam. Waktu paruh kloramfenikol pada orang dewasa ±

3 jam, sedang pada bayi di bawah 1 bulan 12-24 jam (Siswandono dan Soekardjo,

1995).

2.4.4 Kontraindikasi

Kloramfenikol tidak diberikan pada penderita alergi, penyakit hati yang

berat, adanya penyakit darah, dalam kombinasi dengan obat hematotoksik lain

seperti sitostatik, pada pasien insufisiensi ginjal pada minggu terakhir kehamilan,

(9)

2.4.5 Efek Samping dan Toksikologi

Efek samping yang ditimbulkan kloramfenikol antara lain gangguan

lambung-usus, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang sangat berbahaya

yaitu dapat mengakibatkan kerusakan pada sumsum tulang belakang sehingga

produksi sel-sel darah merah menjadi terganggu (Tjay, 20010).

Sumsum tulang belakang, yang menimbulkan kelainan darah yang serius,

seperti anemia aplastik, granulositopenia, trombositopenia. Selain itu, obat ini

juga dapat menyebabkan gangguan saluran cerna dan reaksi hipersensitivitas.

Oleh karena itu kloramfenikol tidak boleh digunakan untuk pengobatan infeksi

yang bukan indikasinya seperti influenza, infeksi kerongkongan atau untuk

pencegahan infeksi (Siswandono dan Soekardjo, 1995 ).

Efek samping yang berupa depresi sumsum tulang dapat tampak dalam

dua bentuk anemia yakni sebagai berikut:

a.Penghambat pembentukan sel-sel darah (eritrosit,trombosis,dan granulosit) yang

timbul dalam waktu lima hari sesudah dimulainya terapi. Gangguan bersifat

reversible.

b.Anemia aplastis, yang dapat timbul sesudah beberapa minggu sampai

kerusakan sumsum tulang ini disebabkan oleh metabolit kloramfenikol

toksik yang dibentuk oleh kuman usus. Telah dipastikan bahwa obat

diuraikan oleh sinar UV menjadi senyawa nitro yang toksis bagi sel-sel sumsum

(10)

2.4.6 Metode Penetapan Kadar Kloramfenikol 2.4.6.1Secara Kualitatatif

Menurut ( Rohman, 2008) adalah :

1. Metode Titrasi Bebas Air ( TBA)

Titrasi bebas air adalah titrasi yang dilakukan untuk larutan yang tidak dapat

larut dalam air tetapi dapat larut dalam pelarut-pelarut organik lainnya seperti

asam salisilat. Titrasi bebas air sering digunakan untuk prosedur titrimetri yang

paling umum untuk uji-uji dalam farmakope. Prosedur yang paling umum

digunakan untuk titrasi basa dengan menggunakan titran asam perklorat dalam

asam asetat.

Klormfenikol dalam suasana asam akan terurai menjadi senyawa amina

primer melalui gugus amida. Senyawa amina primer hasil penguraian

kloramfenikol dalam suasana asam cukup basa untuk titrasi secara bebas air.

Penambahan raksa (II) asetat diperlukan untuk mengikat adanya klorida bebas

yang mungkin terjadi penguraian. Indikator yang digunakan adalah indikator

larutan kristal violet. Titik akhir titrasi ditandai dengan tepat berubahnya warna

larutan dari ungu menjadi hijau.

2. Metode Nitrimetri

Titrasi nitrimetri ini sangat sederhana dan sangat berguna untuk

menetapkan kadar-kadar senyawa antibiotik sulfonamide dan juga

senyawa-senyawa golongan asam amina benzoat. Metode titrasi nitrimetri yaitu metode

penetapan kadar secara kualitatif dengan menggunakan larutan baku NaNO2-.

Metode ini didasarkan pada reaksi antara amina aromatik primer dengan asam

(11)

apabila pada penggoresan larutan yang dititrasi pada pasta kanji iodide atau kertas

kanji iodide akan terbentuk warna hijau tosca atau biru (Rohman,2008).

3. Metode Bromometri

Gugus nitro aromatis pada kloramfenikol setelah diubah menjadi amin

aromatis primer dapat ditetapkan secara bromometri seperti pada sulfonamida.

Bromometri suatu metode oksidimetri yang didasarkan pada reaksi

oksidasi ion bromat, dalam reaksi ini bromat direduksi menjadi bromida. Adanya

bromida menyebabkan larutan berwarna kuning pucat. Warna tersebut tidak

terlalu jelas sehingga kesulitan untuk menetapkan titik ekivalen. Namun pewarna

organik tertentu terurai oleh brom bebas dan menyebabkan larutan menjadi tidak

berwarna. Zat warna yang paling bannyak digunkan dalam titrasi bromometri

adalah metil jingga dan metil merah. Zat warna tersebut tidak dikelompokan

dalam indikator redoks karena reaksinya tidak reversibel, sedang indikator redoks

reversibel. Pada analisa kualitatif digunakan sebagai identifikasi organoleptik.

4. Metode Argentometri

Argentometri merupakan metode umum untuk menetapkan kadar

halogenida dan senyawa-senyawa lain yang membentuk endapan dengan perak

nitrat (AgNO3) pada suasana tertentu. Metode ini disebut juga metode

pengendapan karena pada argentometri menghasilkan pembentukan senyawa yang

relatif tidak larut atau endapan (Gandjar, 2007).

Kalium kromat dapat digunakan sebagai suatu indikator yang akan

menghasilkan warna merah dengan kelebihan ion Ag+. Titrasi yang lebih banyak

digunakan adalah metode titrasi balik. Kelebihan AgNO3 ditambahkan ke dalam

(12)

dititrasi dengan ammonium tiosianat dan ammonium fero sulfat digunakan

sebagai indikator .

2.4.6.2Secara Kuantitatif 1. Metode Spektrofotometri

a. Spektrofotometri UV

Kloramfenikol dalam larutan air menunjukan spektrum absorbansi yang

lebar pada panjang gelombang maksimal 278 nm. Absorbansi ini disebabkan oleh

gugus p-nitrofenil, karenanya hasil peruraiannya juga memberikan spektrum yang serupa sehingga karena alasan ini metode spektrofotometri banyak digunakan

terhadap senyawa murni atau digunakan untuk menetapkan kadar hasil pemisahan

secara kromatografi. Kloramfenikol dalam air pada 278 nm adalah sebesar 298.

Kloramfenikol dalam etil asetat 15 % dan dalam Kloroform menunjukan

absorbansi maksimum di 272 nm. Pada senyawa yang telah tersimpan lama,

sebaiknya diuji terlebih dulu dengan KLT untuk melihat apakah ada peruraian

atau tidak. Bila setelah diujidengan KLT terdapat 1 bercak maka kloramfenikol

belum mengalami peruraian, jika lebih satu bercak berarti telah terjadi peruraian.

Jika kloramfenikol telah terurai maa metode penetapan kadarnya yang sesuai

adalah metode kromatografi.

Cara penetapan kadar kloramfenikol secar spektrofotometri : lebih kurang

30 mg kloramfenikol yang ditimbang seksama dilarutkan dalam etanol mutlak

secukupnya lalu diencerkan dengan air hingga 100 ml. Larutan ini diukur

(13)

b. Spektrofotometri Sinar Tampak (Visible) atau Kolorimetri

Kloramfenikol juga dapat ditetapkan secara kolorimetri setelah gugus

nitronya direduksi menjadi amin primer aromatis kemudian dilanjutkan dengan

diazotasi dan direaksikan dengan N-(1-naftil)-etilendiamin seperti telah dijelaskan

pada sulfonamida.

2. Kromatografi

a. Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

Metode spektrofotometri tidak dapat membedakan antar kloramfenikol

dan produk degradasinya. Metode KCKT telah dikembangkan untuk mentapkan

kadar kloramfenikol. Fase gerak digunakan adalah campuran buffer Kalium

Monobasik fosfat 0,01 Metanol dengan perbandingan 58: 42 dan dihantarkan

secara isokraktik dengan kecepatan alir fase gerak.1,5 ml/menit. Semua larutan

diinjeksikan dengan 5 volume µL. Larutan baku kloramfenikol yang mengandung

standart internal dari larutan stok dalam labu takar dan dibuat sampai volume

dengan metanol. Waktu retensi tergantung pada pH fase gerak. Pemisahan

optimum dari kloramfenikol dan bahan-bahan tambahan lain diperoleh pada pH

fase gerak.

b. Kromatografi Gas

Kloramfenikol dalam produk farmasi dapat ditetapkan dengan

kromatografi gas-cair dengan asetamid membentuk eter sebelum diinjeksikan ke

kromatografi gas dengan standar internal m-fenilen dibenzoat. Metode ini sukses

(14)

2.5Lambung

2.5.1 Pengertian Lambung

Lambung adalah tabung elastis, yang lebar dan lunak dengan isi kosong

volumenya 1-1,5 liter, sesudah makan lambung dapat membesar sampai 30 cm

dan panjangnya dengan volume 3-4 liter, dindingnya terdiri dari 3 lapisan otot

yang dari selaput-lendir dan dari luar oleh selaput-perut. Otot-otot ini berfungsi

menggerakkan peristaltik yang meremes makanan menjadi bubur.

Fungsi lambung adalah sebagai penampung makanan dan ditempat inilah

makanan diaduk secara intensif dengan getah lambung dan terjadi absorpsi dari

bahan makanan tertentu, mencerna makanan secara kimiawi yaitu dimana pertama

kali protein dirubah menjadi polipeptida ( Thay dan Rahardja, 2010).

Adapun 3 bagian utama lambung adalah:

1.Cardia ( bagian atas ) pintu masuk makanan yang berasal dari kerongkongan.

2.Fundus (bagian tengah) untuk mengakomodasi makanan tanpa banyak

meningkatkan tekanan dalam lambung dan membentuk kantong udara ( gas-gas

teakumulasi) dan berbentuk bulat. Di dalam fundus pula makanan yang tidak

dicerna disimpan selama kurang lebih satu jam.

3.Pylorus ( bagian bawah ) pintu pembuka lewatnya isi lambung kedalam organ

berikutnya yaitu duodenum. Di bagian pilorus inilah proses pencernaan secara

kimia terjadi. Apabila pH makanan asam, maka otot-otot pilorus mengendor

sehingga menyebabkan pintu pilorus terbuka dan sebaliknya jika makanan basa,

maka otot-otot pilorus akan berkontraksi yang menyebabkan pintu pilorus

(15)

2.5Gambar Bagian Lambung

2.5.2 Gerakan Lambung dan Waktu Lewat

Menurut (devissaguet,1993) adalah Gerakan lambung dimulai dari fundus

bagian tengah dan bepindah menuju pylorus. Gerakan dimulai 5-10 menit.

Sesudah makanan masuk ke dalam lambung dan terjadi 4-6 gerakan setiap menit

dan selanjutnya mencapai pylorus dalam waktu 20 detik. Dengan demikian

makanan tertimbun pada lapisan berikutnya tanpa energi pengadukan. Adanya

pengadukan dipermukaan menjamin pencampuran yang lebih baik antara cairan

lambung dan bahan yang akan diserap kecuali pada daerah pylorus yang

gelombang geraknya lebih kuat. Hanya campuran isi lambung yang cukup encer

yang dapat melewati pylorus secara bertahap.

Obat yang diserap tercampur dengan masa makanan tanpa benar-benar

teraduk ia berada di pylorus. Pelepasan, pelarutan dan penyerapan di lambung

terjadi dengan lambat bila obat digunakan bersamaan atau setelah makan.

(16)

yang ditelan berbentuk cairan dan diminum bersama segelas air. Pada saat puasa

pylorus akan terbuka atau terbuka sedikit dan pembukaan pertama menyebabkan

obat segera memasuki duodenum dan pylorus segera menutup kembali.

Mekanisme pembukaan dan penutupan pylorus sesungguhnya masih

kabur. Proses tersebut merupakan fungsi pH cairan duodenum ( pylorus hanya

bisa membuka bila pH diduodenum menjadi netral dan meutup kembali bila pH

nya kembali normal). Pylorus terbuka oleh gelombang peristaltik. Waktu tinggal

lambung dan faktor yang berperan pada pengosongan lambung. Obat akan berada

dilambung selama 10 menit sampai 1,5 jam. Bila sejumlah cairan dan obat

digunakan di luar jam makan tampaknya akan segera diteruskan ke duodenum,

makanan secara teratur berpindah dalam waktu relatif lama rata-rata 1-4 jam.

Sesampai diusus halus, makanan yang telah melalui serangkaian proses

tadi akan bertemu dengan enzim dan zat lainnya berasal dari sel-sel usus, empedu,

hati dan pankreas. Zat ini akan memecah karbohidrat, lemak dan protein menjadi

senyawa yang lebih sederhana sehingga dapat diserap oleh tubuh. Usus halus

merupakan lanjutan dari lambung. Fungsi dari usus halus untuk mencerna dan

mengabsorbsi dari lambung.

Usus halus terdiri atas 3 bagian adalah:

1.Duodenum (usus dua belas jari) bagian usus halus yang berhubungan langsung

dengan lambung. Bentuknya melengkung dan panjangnya 30 cm adalah bagian

pertama tempat terjadinya percernaan. Duodenum terdiri dari 2 saluran muara

yaitu saluran pankreas dan saluran empedu. Duodenum bersifat asam dengan pH

(17)

2.Jejunum (usus kosong) berfungsi memecah makanan menjadi lebih sederhana,

di dalam jejunum makanan menjadi bubur yang lumat dan encer dan sebagai

tempat penyelesaian dari semua proses pencernaan makanan dan menghasilkan

glukosa,asam amino, asam lemak dan gliserol. Di jejunum bersifat netral dengan

pH 6-7.

3.Ileum (usus penyerapan) adalah tempat penyerapan sari-sari makanan dan

diedarkan keseluruh pembuluh darah pada tubuh dan pHnya agak basa (7-8).

Setelah itu sisa makanan yang tidak diserap diusus halus akan menuju usus

besar yang berakhir dianus pada Lampiran 2.

Pemberian obat saat makan menyebabkan perjalanan obat yang lambat dan

teratur ketempat penyerapan, jadi memeungkinkan pengosongan usus terjadi lebih

lengkap karena adanya efek pengenceran oleh makanan.

Waktu mencerna berbeda-beda untuk setiap makanan atau minuman.

Makanan yang padat akan membutuhkan waktu yang lebih lama daripada zat cair

(minuman) sehingga menurut ilmu kesehatan dianjurkan mengunyah makanan 32

kali agar makanan menjadi lebih lembut, sehingga akan meringankan beban

lambung untuk melumatkan makanan tersebut.Semakin lumat makanan yang

masuk lambung, maka semakin cepat melintasi lambung. Jenis makanan lemak

dan sayuran hijau akan lebih lama berada di dalam lambung sehingga orang akan

merasa kenyang lebih lama.

Makanan yang masuk pada lambung bertahan selama 2-5 jam. Makanan

dalam lambung mengalami serangkaian proses kimiawi oleh getah lambung,

sekitar 1 – 2 liter yang dihasilkan oleh 35 juta kelenjar, antara lain HCl, enzim

(18)

akan memecah molekul protein menjadi peptida, enzim renin akan mencerna

protein susu menjadi kasein, sedangkan enzim lipase akan mengemulsikan lemak

dalam makanan. Jadi, perlakuan kimiawi protein pertama kali dilakukan di dalam

lambung (Tjay dan Rahardja,2010).

Lambung mendapat aktivitas penekanan, sehingga bila ia kosong

dindingnya melekat, meninggalkan kantong udara pada bagian atas, sedangkan

bila lambung terisi penekanan akan berkurang dan volume lambung bertambah .

Dalam keadaan puasa, lambung merupakan kantong memiliki volume 50 ml dan

mengandung sejumlah kecil cairan lambung (pH 1-3) maka penyerapan secara

filtrasi atau difusi pasif terjadi lebih cepat untuk masuk keperedaran darah.

Sedangkan saat lambung berisi makanan maka senyawa yang lama berada

dilambung akan berdifusi lebih lambat (pH 3-5). Hal ini disebabkan oleh adanya

pengenceran zat aktif dalam lambung dan kontak dengan penyerapan terbatas

akibatnya penembusan kedalam peredaran darah lebih sedikit (Devissaguet,1993).

Waktu transit total makanan dan bentuk sediaan mulai dari lambung

manusia kira-kira 3-6 jam dalam keadaan puasa dan 6-10 jam dalam keadaan

kenyang ini dimaksudkan pemberian zat aktif yang diabsorbsi didaerah usus

halus memiliki batasan waktu 10 jam ( siregar,2010).

2.6 Disolusi

Disolusi didefenisikan proses suatu zat padat masuk ke dalam pelarut

menghasilkan suatu larutan (proses zat padat melarut) dalam satuan waktu.

Kecepatan disolusi obat merupakan tahap sebelum obat berada dalam darah.

(19)

terlarut, sesudah itu barulah obat tersebut dapat melewati membran saluran cerna.

Obat yang larut baik dalam air akan melarut cepat dan berdifusi secara pasif.

Sebaliknya, obat yang kelarutannya kecil kecepatan disolusi tidak larut atau

disintegrasi sediaan relatif karena pengaruhnya kecil terhadap disolusi zat aktif

(Syukri, 2002).

Ada tiga kegunaan disolusi :

1. Menjamin tablet/ kapsul seragam dalaam 1 batch

2. Menjamin obat bahwa memberikan efek terapi yang diiinginkan

3. Uji disolusi digunakan dalam rangka pengembangan obat baru

2.6.1 Alat Uji Disolusi

Menurut Dirjen POM (1995), ada dua tipe alat uji disolusi sesuai dengan yang

tertera dalam masing-masing monografi yaitu :

a. Alat 1 (Metode Basket)

Alat terdiri atas wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan

transparan lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak.

Wadah tercelup sebagian dalam penangas sehingga dapat mempertahankan suhu

Tablet atau kapsul Granul atau agregat Partikel Halus Obat dalam larutan Obat

dalam darah, cairan, dan dalam jaringan lain dalam wadah 37° ± 0,5° C selama

pengujian berlangsung. Bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat

diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan

yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi

dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm,

(20)

berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar

dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur

mempertahankan kecepatan alat.

b. Alat 2 (Metode Dayung)

Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayung yang terdiri atas

daun dan batang sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut sumbunya tidak

lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Jarak

antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian

berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut

dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar

wadah sebelum dayung mulai berputar.

2.6Gambar Bagian Alat Uji Disolusi Tipe 1 ( keranjang ) dan Tipe 2 (Dayung)

2.6.2 Media Disolusi

Menurut Devissaguet (1993), media disolusi yang biasa digunakan adalah:

1. Air Suling ( PH 6 )

Pelarut air digunakan untuk uji penetapan pelarutan beberapa tablet. Pengujian

menggunakan cairan air memberikan hasil yang sangat berbeda dengan cairan

(21)

2. Larutan Ionik

Larutan ionik banyak digunakan untuk menyesuaikan pH organ tubuh :

a. Larutan asam (PH 1,2) dibuat dari asam klorida encer baik ditambah atau tidak

ditambah dengan larutan natrium atau kalium klorida, sehingga pH cairan

mendekati komposisi cairan lambung.

b. Larutan dapar alkali (pH 7-8) paling sering digunakan untuk meniru pH usus

dalam pengujian sediaan dengan aksi diperpanjang atau aksi terjaga setelah

melewati cairan yang asam.

2.6.3 Prosedur Pengujian Disolusi

Pada tiap pengujian, dimasukkan sejumlah volume media disolusi (seperti

yang tertera dalam masing-masing monografi) kedalam wadah, pasang alat dan

dibiarkan media disolusi mencapai temperatur C. Satu kapsul dicelupkan dalam

keranjang atau dibiarkan tenggelam ke bagian dasar wadah, kemudian pengaduk

diputar dengan kecepatan seperti yang ditetapkan dalam monografi. Pada interval

waktu yang ditetapkan dari media diambil cuplikan pada daerah pertengahan

antara permukaan media disolusi dan bagian atas dari keranjang berputar atau

daun dari alat dayung tidak kurang 1 cm dari dinding wadah untuk analisis

penetapan kadar dari bagian obat yang terlarut. Kapsul harus memenuhi syarat

seperti yang terdapat dalam monografi untuk kecepatan disolusi (Dirjen POM,

1995).

(22)

2.6.4 Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Persyaratan dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang

diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap :

Pada tahap 1 (S1), 6 kapsul diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat,

maka akan dilanjutkan ke tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6

kapsul tambahan diuji lagi. Bila tetap tidak memenuhi syarat, maka pengujian

dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S3). Pada tahap ini 12 kapsul tambahan diuji lagi.

Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan tabel dibawah

ini.

Tabel 2.6 Tabel Penerimaan Hasil Uji Disolusi

Tahap

atau lebih besar dari Q dan tidak satu unit sediaan

yang lebih kecil dari Q-15%

S3 12

Rata-rata 24 unit (S1+S2+S3) adalah sama dengan

atau lebih besar dari Q, tidak lebih dari 2 unit

sediaan yang lebih kecil dari Q-15% dan tidak satu

unit pun yang lebih kecil dari Q-25%

Keterangan:

S1 : Tahap pertama

(23)

S3 : Tahap ketiga

Q : Jumlah zat aktif yang terlarut yang tertera dalam masing-masing monografi

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah

yang tertera pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar

pada etiket, dengan demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali

dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan umum untuk

penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi 75% dalam waktu 45 menit dengan

menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50 rpm (Lachman, 1994).

2.6.5 Faktor yang Mempengaruhi Disolusi Zat Aktif

Menurut Syukri (2002), faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk

sediaan, antara lain:

a. Faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat

Sifat-sifat fisikokimia obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi :

kelarutan zat aktif, bentuk kristal, kompleksasi serta ukuran partikel. Sifat

fisikokimia lain seperti kekentalan dapat menimbulkan masalah disolusi.

b. Faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan

Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan tambahan dan

cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung

kecepatan pelepasan bahan aktif yang terkandung didalamnya. Penggunaan bahan

tambahan sebagai bahan pengisi, pengikat, penghancur dan pelicin dalam proses

formulasi dapat menghambat atau mempercepat laju disolusi tergantung bahan

(24)

diantaranya: kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan

tambahan) dan kekerasan.

c. Faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji

Faktor ini dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan meliputi:

kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang

digunakan. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal

lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan

pelarut. Suhu medium berpengaruh terhadap kelarutan zat aktif. Zat yang

kelarutannya tidak tergantung pH, perubahan pH medium disolusi tidak akan

mempengaruhi laju disolusi. Pemilihan kondisi pH pada percobaan in vitro

penting karena kondisi pH akan berbeda pada lokasi obat disaluran cerna. Metode

penentuan laju disolusi yang berbeda dapat menghasilkan laju disolusi sama atau

berbeda, tergantung pada metode uji yang digunakan.

Setelah granul pecah,baru zat aktif terlepas, bila daya larutnya cukup besar

Desintegrasi Deagregasi /Dipecah Disolusi Disolusi Disolusi

Absorpsi

(25)

Setelah granul pecah,baru zat aktif terlepas, bila daya larutnya cukup besar

maka zat aktif tersebut larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung dimana

obat berada pada saat itu. Hal ini ditentukan oleh penggosongan lambung yang

berkisar antara 2-3 jam setelah makan. Baru setelah obat larut proses absorpsi

oleh usus dapat dimulai. Untuk jenis obat bentuk sirup atau cairan tidak

mengalami proses desintegrasi menjadi granul dan fase melarut. Sedangkan pada

tablet menghasilkan kadar maksimal setelah 4 jam ( anief,1991)

2.7 Penetapan Kadar

Penetapan kadar dipilih berdasarkan sifat senyawa. Untuk penetapan kadar

dapat dilakukan dengan metode fisikokimia yaitu spektrofotometri UV-Visibel,

fluorometri dan konduktometri (Devissaquest, 1993). Metode yang dipilih dalam

penetapan kadar uji disolusi kapsul Kloramfenikol yaitu Spektrofotometri

Ultraviolet. Spektrofotometri Ultraviolet adalah pengukuran berapa banyak radiasi

yang diserap oleh sampel. Metode ini biasanya digunakan untuk molekul dan ion

anorganik atau kompleks di dalam larutan. Spektrum Ultraviolet mempunyai

bentuk yang lebar dan hanya sedikit informasi tentang struktur yang didapatkan,

tetapi spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara kuantitatif

(Dachriyanus, 2004).

Analisis spektrofotometri cukup teliti, cepat dan sangat cocok untuk

digunakan pada kadar yang kecil. Senyawa yang dianalisis harus mempunyai

gugus kromofor. Gugus kromofor adalah gugus molekul yang mengandung sistem

elektronik yang dapat menyerap energi pada daerah UV. Larutan yang dapat

(26)

Contoh: KMnO4. Apabila senyawa tersebut tidak berwarna, maka perlu

ditambahkan pengompleks yang dapat membentuk warna . Contoh : analisis

logam Pb. Pengamatan spektrum bermanfaat, karena dapat membandingkan

spektrum sebelum dan sesudah partisi (Sardjoko, 1993).

Menurut Dachriyanus (2004), umumnya spektrofotometri ultraviolet

dalam analisis senyawa organik digunakan untuk:

1. Menetukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjugasi dan auksokrom

dari suatu senyawa organik.

2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang serapan

maksimum suatu senyawa.

3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan menggunakan

hukum Lambert-Beer.

Umumnya pelarut yang sering dipakai untuk analisis Spektrofotometri

adalah air, etanol, sikloheksana dan isopropanol. Dalam pemilihan pelarut, yang

perlu diperhatikan yaitu polaritas pelarut yang dipakai karena sangat berpengaruh

terhadap pergeseran spektrum molekul yang dianalisis.

Menurut Gandjar dan Rohman (2007), hal-hal yang harus diperhatikan

dalam analisis spektofotometri ultraviolet adalah:

a. Pemilihan panjang gelombang maksimum

Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah panjang

gelombang dimana terjadi serapan maksimum. Untuk memperoleh panjang

gelombang serapan maksimum, dilakukan dengan membuat kurva hubungan

antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu larutan baku pada

(27)

b.Pembuatan kurva kalibrasi

Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai

konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi

diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi

dengan konsentrasi.

c. Pembacaan absorbansi sampel atau cuplikan

Absorbansi yang terbaca spektrofotometri antara 0,2-0,6. Anjuran ini berdasarkan

anggapan bahwa kisaran nilai absorbansi tersebut kesalahan yang paling minimal.

2.7.1 Pengertian Spektrofotometri UV-Vis

Spektrofotometri UV-Vis adalah istilah yang digunakan ketika radiasi

ultraviolet dan cahaya tampak diabsorpsi oleh molekul yang diukur. Alatnya

disebut UV-Vis spektrofotometer. Spektrofotometer UV-Vis (UltraViolet-Visible)

adalah salah satu dari sekian banyak instrumen yang biasa digunakan dalam

menganalisa suatu senyawa kimia. Spektrofotometer umum digunakan karena

kemampuannya dalam menganalisa begitu banyak senyawa kimia serta

kepraktisannya dalam hal preparasi sampel apabila dibandingkan dengan beberapa

metode analisa.

Spektrofotometri UV-Vis merupakan pengukuran serapan cahaya di

daerah ultraviolet (200-400 nm) dan sinar tampak (400-800 nm) oleh suatu

senyawa. Serapan cahaya UV atau cahaya tampak mengakibatkan transisi

elektronik, yaitu promosi elektron-elektron dari orbital keadaan dasar yang

berenergi rendah ke orbital keadaan tereksitasi berenergi lebih tinggi. Panjang

(28)

elektron.

Molekul-molekul yang memerlukan lebih banyak energi untuk promosi

elektron, akan menyerap pada panjang gelombang yang lebih pendek. Molekul

yang memerlukan energi lebih sedikit akan menyerap pada panjang gelombang

yang lebih panjang. Senyawa yang menyerap cahaya dalam daerah tampak

(senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah dipromosikan dari

pada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang lebih pendek

(Rohman,2010). Adapun Kegunaan Spektrofotometer UV- Vis adalah:

1. Membandingkan panjang gelombang maksimum

2. Membandingkan serapan (A), daya serap (a)

3. Membandingkan harga serapan relatif

4. Membandingkan spektrum serapannya

2.7.2 Komponen Spektrofotometer UV-Vis

Komponen-komponen yang terpenting dari suatu spektrofotometer UV-Vis terdiri

dari sumber spektrum, monokromator, sel pengabsorpsi, dan detektor.

1. Sumber : sumber yang biasa digunakan pada spektroskopi absorpsi adalah lampu

wolfram. Arus cahaya tergantung pada tegangan lampu. Lampu hidrogen atau

lampu deuterium digunakan untuk sumber pada daerah UV-Vis. Kebaikan lampu

wolfram adalah energi radiasi yang dibebaskan tidak bervariasi pada berbagai

panjang gelombang. Untuk memperoleh tegangan yang stabil dapat digunakan

(29)

2. Monokromator :digunakan untuk memperoleh sumber, sinar yang monokromatis.

Alatnya dapat berupa prisma ataupun grating. Untuk mengarahkan sinar

monokromatis yang diinginkan dari hasil penguraian ini dapat digunakan celah.

3. Sel absorpsi : pada pengukuran di daerah tampak kuvet kaca atau kuvet kaca

corex dapat digunakan, tetapi untuk pengukuran pada daerah UV-Vis kita harus

menggunakan sel kuarsa karena gelas tidak tembus cahaya. Umumnya tebal

kuvetnya adalah 10 mm, tetapi yang lebih kecil ataupun yang lebih besar dapat

digunakan. Sel yang biasa digunakan berbentuk persegi tetapi bentuk silinder

dapat juga digunakan. Kita harus menggunakan kuvet yang bertutup untuk pelarut

organik. Sel yang baik adalah kuarsa atau gelas hasil leburan serta seragam

keseluruhannya.

4. Detektor : peranan detektor penerima adalah memberikan respon terhadap

cahaya pada berbagai panjang gelombang (Khopkar, 2003).

Pada spektrofotometri Vis digunakan detektor spektrofotometri

UV-Vis dimana detektor jenis ini merupakan detektor yang paling banyak digunakan

dan sangat berguna untuk analisis di bidang farmasi karena kebanyakan senyawa

obat mempunyai struktur yang dapat menyerap sinar UV-Vis. Detektor ini

didasarkan pada adanya penyerapan radiasi ultraviolet (UV) dan sinar tampak

(Vis) pada kisaran panjang gelombang 190-800 nm oleh spesies solute yang

mempunyai struktur-struktur atau gugus-gugus kromoforik. Sel detektor

umumnya berupa tabung dengan diameter 1 mm dan panjang celah optiknya 10

mm, serta diatur sedemikian rupa sehingga mampu menghilangkan pengaruh

indeks bias yang dapat mengubah absorbansi yang terukur.

(30)

gelombang tetap (merupakan detektor yang paling sederhana) serta detektor

dengan panjang gelombang bervariasi. Detektor panjang gelombang tetap

menggunakan lampu uap merkuri sebagai sumber, energinya dan suatu filter optis

yang akan memilih sejumlah panjang gelombang, misal 254, 380 dan 436 nm.

Panjang gelombang yang dipilih biasanya 254 nm karena kebanyakan senyawa

obat menyerap di 254 nm sehingga panjang gelombang ini sangat berguna.

Detektor dengan panjang gelombang yang bervariasi lebih berguna dibanding

dengan detektor pada panjang gelombang yang tetap (Rohman, 2007).

2.7.3 Cara Kerja Spektrofotometer UV-Vis

Cara kerja spektrofotometer UV-Vis secara singkat adalah : tempatkan

larutan pembanding, misalnya blanko dalam sel pertama sedangkan larutan yang

akan dianalisis pada sel kedua. Kemudian pilih fotosel yang cocok 200 nm-650

nm (650-1100) agar daerah λ yang diperlukan dapat terliputi. Dengan ruang

fotosel dalam keadaan tertutup “nol” galvanometer dengan menggunakan tombol

dark-current. Pilih yang diinginkan, buka fotosel dan lewatkan berkas cahaya pada blanko dan “nol” galvanometer didapat dengan memutar tombol sensitivitas.

Dengan menggunakan tombol transmitansi, kemudian atur besarnya pada 100%.

Lewatkan berkas cahaya pada larutan sampel yang akan dianalisis. Skala

absorbansi menunjukkan absorbansi larutan sampel (Khopkar, 2003).

2.7.4 Kelebihan dan Kekurangan Spektrofotometri Uv-Vis

a. Kelebihan Spektrofotometri UV-Vis

(31)

 Caranya sederhana

 Dapat menganalisa larutan dengan konsentrasi yang sangat kecil

b. Kekurangan Spektrofotometri UV-Vis

 Absorbsi dipengaruhi oleh pH larutan, suhu dan adanya zat pengganggu dan

kebersihan dari kuvet

 Hanya dapat dipakai pada daerah ultra violet yang panjang gelombang >185 nm

 Pemakaian hanya pada gugus fungsional yang mengandung elektron valensi

dengan energy eksitasi rendah

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Jangka waktu penyelesaian pekerjaan: 30 (Tiga puluh) hari kalender.. PESERTA YANG DAPAT MENGIKUTI PEMILIHAN

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan

Paket pengadaan ini terbuka untuk penyedia barang yang memenuhi syarat dengan terlebih dahulu melakukan registrasi pada Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE)

54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang terakhir diubah dengan Peraturan Presiden No.. Gorontalo, 14 Mei 2013 Ketua Panitia

Peningkatan Produktivitas Kambing Potong Lokal Melalui Metode Persilangan antara Kambing Kacang dan Boer.. Masa Depan Daging Ada di Kambing

Salah satunya perkembangan zaman modern saat ini (globalisasi), yang mudah masuk dan keluarnya berbagai budayaan luar, yang menyebabkan merosotnya akhlak dikalangan

Agar propaganda ideologi dan cara hidup liberalis dan pluralis itu diterima oleh orang Islam, maka diikuti pula dengan bantuan fasilitas, popularitas dan juga