• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN. Sri Maharani

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN. Sri Maharani"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN

LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN

(Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Oleh :

Sri Maharani

A14204015

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

RINGKASAN

SRI MAHARANI (A14204015). Sikap Rasional Petani dan Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian di Perdesaan (Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat). Di bawah bimbingan Saharuddin.

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan bahwa kemerataan dalam struktur agraria akan membawa suatu komunitas menuju harmoni agraria dan ketimpangan dalam struktur agraria akan memungkinkan munculnya konflik agraria (Sitorus, 2004). Struktur agraria merupakan bentukan sosial dalam hubungan sosial terkait dengan distribusi akses terhadap tanah. Distribusi akses terhadap tanah memiliki dua kemungkinan yaitu merata (kesempatan yang sama untuk menguasai tanah) atau timpang (kesempatan yang tidak sama dalam akses menguasai tanah).

Data struktur penguasaan dan pemilikan dalam sensus pertanian 2003 menyatakan adanya perubahan jumlah rumah tangga petani gurem yang meningkat sebesar 26,46 persen sejak tahun 1993 dan sangat potensial untuk menimbulkan konflik antar aktor yang terlibat dalam hubungan sosio agraria. Namun melihat kondisi ini tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan bahwa kondisi pedesaan selama ini terlihat harmonis seakan-akan tidak terjadi sesuatu permasalahan apapun. Selama ini konflik yang mencuat ke permukaan adalah konflik-konflik restoratif, yaitu didasari adanya keinginan untuk mempertahankan hak-hak atas tanah.

Adanya dasar kenyataan ini, maka tujuan penelitian ini, yaitu menggambarkan pola hubungan antara aktor yang terlibat dalam penggunaan/pemanfaatan lahan pertanian. Pola hubungan ini terkait dengan

(3)

adanya ketimpangan dalam hal pemilikan/penguasaan lahan pertanian. Aktor-aktor yang berhubungan memiliki pemaknaan tertentu terhadap hubungan yang mereka lakukan. Hubungan aktor-aktor tersebut berimplikasi terhadap timbulnya potensi konflik maupun harmonisasi yang terjadi di pedesaan.

Penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan metode kualitatif. Strategi yang digunakan adalah studi kasus yang meneliti gejala sosial yang terjadi. Data primer penelitian ini dikumpulkan melalui panduan wawancara serta data sekunder berupa dokumen laporan studi, dari kantor desa. Panduan wawancara ini bersifat fleksibel (luwes), bisa berubah sesuai keadaan di lapang.

Hasil dan pembahasan menyatakan bahwa kondisi pemilikan dan penguasaan yang timpang di Desa Cibatok Satu dimana rata-rata pemilikan tanah pertanian di wilayah ini adalah 0,092 Ha per rumah tangga pertanian. Pemilikan dan penguasaan yang rendah ini berada jauh diambang nilai subsisten yaitu 0,5 Ha. Adanya pemilikan tanah yang kecil ini menuntut para petani sebagai aktor dan pemanfaat lahan pertanian di perdesaan untuk mencari tambahan dengan berhubungan dengan petani pemilik lahan luas.

Bentuk pola hubungan antara pemanfaat lahan pertanian ini dilihat dari hubungannya dengan tanah pertanian maupun dengan sesama pemanfaat tanah. Hubungan dengan lahan pertanian dapat dilihat dari setiap tahap produksi tanaman dimulai dari pengolahan tanah, pembibitan, perawatan dan pemanenan hasil. Masing-masing tahap memiliki aktor yang berbeda dalam memanfaatkan lahan pertanian.

Bentuk hubungan antara pemanfaat ini adalah hubungan kepemilikan, hubungan pengguasaan, hubungan jual-beli, hubungan kerja, hubungan kerja

(4)

sama, hubungan kerjasama ’tidak langsung’, pemanfaat langsung hasil sawah antara buruh dadakan dengan sawah.

Para pemanfaat lahan pertanian tersebut berhubungan karena adanya kepentingan masing-masing. Pemilik lahan luas membutuhkan buruh untuk mengolah lahannya. Sementara para buruh, penggarap berhubungan karena mempunyai kepentingan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Para pemilik lahan luas di desa ini memiliki pandangan yang berbeda terhadap buruh yang dipekerjakan. Perbedaan pandangan ini dipengaruhi oleh latarbelakang kehidupan para pemilik tanah. Perbedaan pandangan berpengaruh pada cara pemilik lahan ini memperlakukan para pekerjanya. Upah, makan, dan kebijakan kerja merupakan konsekuensi dari perbedaan pandangan tersebut, yang kemudian membuka terjadinya peluang ketidakpuasan terhadap apa yang mereka dapatkan khususnya mereka yang memiliki posisi tawar rendah, yaitu para buruh.

Pola hubungan antara pemanfaat lahan pertanian ini sangat terkait dengan adanya aspek pemaknaan, kekuasaan dan konstruksi sosial. Aspek pemaknaan dari tingkat pengetahuan yang dimiliki, kekuasaan dari posisi tawar mereka terhadap pemilikan/penguasaan lahan dan terakhir konstruksi sosial dari lingkungan bagaimana seharusnya berhubungan antara buruh dan majikan.

Ketiga hal ini sangat berpengaruh kemungkinan munculnya perlawanan para buruh terhadap ketidakadilan dan ketidakpuasan yang peroleh. Konflik tidak menjadi sebuah konflik terbuka karena konstruksi sosial dari lingkungan, yaitu bagaimana seharusnya para buruh bertindak. Bentuk perlawanan para buruh hanya terbatas pada tindakan-tindakan yang manipulatif. Tindakan ini dilakukan karena adanya rasionalitas pada diri petani untuk menghasilkan keuntungan.

(5)

SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN

LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN

(Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Oleh :

Sri Maharani

A14204015

SKRIPSI

Sebagai prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Pertanian Pada

Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

(6)

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh:

Nama : Sri Maharani

Nomor Pokok : A14204015

Judul : Sikap Rasional Petani dan Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian di Perdesaan (Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Dapat diterima sebagai syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Saharuddin, MS NIP 132 047 078

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr NIP. 131 124 019

(7)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL

“SIKAP RASIONAL PETANI DAN KONFLIK PEMANFAATAN LAHAN PERTANIAN DI PERDESAAN (STUDI KASUS DESA CIBATOK SATU, KECAMATAN CIBUNGBULANG, KABUPATEN BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT)” INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA

YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNGJAWABKAN PERNYATAAN INI.

Bogor, 21 Agustus 2008

Sri Maharani

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pekanbaru, 12 Sepetember 1986, Provinsi Riau. Penulis merupakan putri ke enam dari tujuh bersaudara dari pasangan Bambang Sudarto dan Wirda Kamuli, BA. Pendidikan yang ditempuh penulis pertama kali di Taman Kanak-Kanak Baiturrahman (1900-1992). Kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar Negeri 12 Pekanbaru pada tahun 1992-1998, Madrasah Tsanawiyah Negeri 1 Pekanbaru tahun 1998-2001, Sekolah Menengah Umum Negeri 2 Pekanbaru tahun 2001 dan Sekolah Menengah Atas Negeri 5 Bogor tahun 2001-2004. Pada tahun 2004, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur USMI (Undangan Seleksi Masuk IPB) pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM)

Pada masa kuliah penulis aktif sebagai anggota dan pengurus Organisai Masyarakat Daerah Riau IKPMR, Divisi Penelitian dan Pengembangan Sahabat PILI tahun 2006, anggota Departemen Pengembangan Sumber Daya Manusia Miseta tahun 2006-2007. Disamping kegiatan organisasi, penulis juga aktif sebagai Asisten Matakuliah Dasar-dasar Komunikasi empat semester berturut-turut 2006-2008, Asisten Matakuliah Pengantar Ilmu Kependudukan 2 semester 2007 dan 2008, Asisten Matakuliah Komunikasi Bisnis dua semester (2007) , Asisten Matakuliah Sosiologi Pedesaan semester ganjil tahun 2007. Pada saat kuliah penulis juga pernah magang pada Divisi Community Development di PT. International Power Mitsui Operation and Maintenance Indonesia periode Juli-Agustus 2006.

(9)

UCAPAN TERIMA KASIH

Selama masa penyelesaian skripsi ini, tentunya tidak terlepas dari dorongan dan dukungan, baik moril maupun materiil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT, atas segala nikmat, karunia, dan hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Sekaligus penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1) Dr. Ir. Saharuddin, MSi. atas saran dan masukan untuk kelancaran proses penulisan Skripsi.

2) Keluarga besar, Bapak Bambang Sudarto dan Ibu Wirda Kamuli BA atas segala dukungan, rasa cinta dan kasih serta semua doa malam-malam mu. M’endang, m’dewi, m’juni, mas budi, m’nana, dan d’tri atas curahan kasih sayang, semangat dan dukungannya yang tak pernah henti dan tak akan pernah terhenti meskipun kita semua berjauhan.

3) Ir Said Rusli, MA selaku dosen penguji utama atas saran dan kritikannya.

4) Ratri Virianita S.Sos Msi selaku dosen penguji perwakilan departemen atas saran dan kritikannya.

5) Dr. Ninuk Purnaningsih atas dukungan dan semangatnya kepada peneliti selama masa penulisan skripsi ini.

6) Dr. Ekawati S. Wahyuni selaku dosen pembimbing akademik atas perhatian dan masukan yang berharga.

(10)

7) Kepala Desa Cibatok Satu atas izin yang diberikan sehinggga penelitian ini dapat dilakukan.

8) Masyarakat Desa Cibatok Satu yang telah menerima peneliti dengan segala kekurangan yang saya miliki.

9) Teman-teman terbaiku, teman-teman senasib seperjuangan dalam mengejar impian Retno, Arta, Nurina, Leo, Nuricha, Tyas dan KPM 41 (Munir, llham, Rianti, Putu, Sukma, Yuliya, Adisty, Galuh, Gita, Lusy, Depu, Fitri, Cidta, Ina, Nesa, Nita, Any, Ayu, Desi, Tutut, Ria, Ubi, Tina, Bayu, Dhini, Uci, Intan, Elin, Hadim, Refi, Mira, Amie, meita, Yoyo, Dini, Yudie, Yundha, Frita, Momon, Lala, Nceq, Uphi, Sani, Tias, Dewi, Olin, Qori, Adi, Zay)

10) Mas Yusup Napiri atas kuliah singkat dan pinjaman buku-bukunya.

11) Mas Anton antas pinjaman buku-buku agrarianya.

12) Teman-teman satu kost Zulfa, IKPMR Bogor

13) Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, untuk segala perhatian, dorongan semangat, dukungan materiil dan moril berupa masukan maupun kritik.

(11)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan Skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Skripsi ini berjudul : Sikap Rasional Petani dan

Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian di Perdesaan (Studi Kasus Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat)

Kegiatan skripsi ini berupa penelitian yang menelaah aspek sosial yang aktual di masyarakat. Melalui skripsi ini, memungkinkan penulis mengenal, mempelajari, dan menganalisis permasalahan nyata di lapangan, tepatnya di tingkat komunitas.

Demikianlah skripsi ini disusun dengan suatu tema tulisan yang dipandang cukup relevan untuk ditelaah lebih lanjut saat ini. Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Bogor, 21 Agustus 2008

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR ... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.4 Kegunaan Penelitian ... 6

BAB II PENDEKATAN TEORITIS ... 7

2.1 Tinjauan Pustaka ... 7

2.1.1 Lingkup Agraria dan Pola Hubungan Agraria ... 7

2.1.1.1 Objek dan Subjek Agraria... 7

2.1.1.2 Pola Hubungan Agraria... 9

2.1.1.2.1 Pola Hubungan teknis ... 10

2.1.1.2.2 Pola Hubungan Sosial ... 12

2.1.1.2.3 Implikasi Hubungan Agraria... 14

2.1.2 Ekonomi Moral dan Ekonomi Politik Petani ... 14

(13)

2.2 Kerangka Pemikiran... 20

2.3 Hipotesis Pengarah... 23

BAB III METODE PENELITIAN ... 24

3.1 Strategi Penelitian ... 24

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 26

3.3 Teknik Pengumpulan Data... 26

3.4 Teknik Analisis Data... 27

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 29

4.1 Letak Administrasi dan Kondisi Geografis... 29

4.2 Sistem Peruntukan Tanah di Desa Cibatok Satu... 30

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Cibatok Satu ... 33

4.4 Sistem Sosial Budaya Masyarakat Desa Cibatok Satu ... 35

4.5 Kondisi Kependudukan Masyarakat Desa Cibatok Satu ... 37

BAB V POLA HUBUNGAN ANTAR AKTOR-AKTOR ... 38

5.1 Aktor-aktor di Pedesaan... 38

5.2 Pemilikan dan Penguasaan Tanah di Desa Cibatok Satu... 41

5.3 Pemanfaatan Lahan Pertanian... 49

5.4 Tahapan Kerja Produksi dan Aktor-aktor yang Terlibat... 52

5.5 Memanfaatkan Peluang Produksi dari Sawah... 56

5.6 Pola Hubungan Produksi... 59

5.6.1 Hubungan Pemilik Sawah dengan Buruh Tani ... 60

(14)

Penggadai ... 63

5.6.3 Hubungan Pemilik Sawah, Penyewa/penggadai dengan Pembuat Bibit... 63

5.6.4 Hubungan Pemilik Sawah, Penyewa/penggadai dengan Tengkulak... 64

5.6.5 Hubungan Pemilik Sawah, Penyewa/penggadai dengan Pengelola Traktor dan Pemilik Bajak ... 64

5.6.6 Hubungan Pemilik Sawah dengan Penggarap... 65

5.6.7 Hubungan Antar Pemilik Tanah... 66

5.6.8 Hubungan Antar Buruh Tani... 66

5.6.9 Hubungan Antara Pemilik Tanah, Penggarap, Buruh . Dadakan, dan Pekerja Penggilingan... 67

5.7 Ikhtisar ... 67

BAB VI KONFLIK AGRARIA DI PEDESAAN ... 69

6.1 Relitas Ketimpangan di Desa Cibatok Satu ... 69

6.2 Latarbelakang Kehidupan Aktor ... 70

6.3 Petani sebagai Pilihan Hidup atau Sampingan... 75

6.4 Upah, Makan dan Kerja dalam Hubungan Antara ... Pemilik dan Buruh ... 80

6.5 Berstrategi Memilih dan Mencari Kerja untuk Upah dan Tenaga Kerja ... 85

(15)

6.6.1 Konflik Antara Pemilik Lahan dengan Buruh Tani ... 86

6.6.2 Konflik Antara Pemilik Lahan dengan Penggarap... 88

6.6.3 Konflik Antara Pemilik Lahan dengan Penggadai... 89

6.6.4 Konflik Antar Buruh Tani... 90

6.7 Analisis Ekonomi Rasional dalam konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian... 91

6.8 Ikhtisar ... 94

BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ... 95

7.1 Kesimpulan ... 95

7.2 Saran... 97

DAFTAR PUSTAKA ... 98

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Data Pembagian Tanah di Desa Cibatok Satu ... 31

Tabel 2. Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Cibatok Satu ... 34

Tabel 3. Pembagian Jumlah Penduduk Desa Cibatok Satu... 36

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar.1 Pola hubungan teknis-sosio agraria... 9

Gambar 2. Arah perubahan struktur agraria... 13

Gambar 3. Kerangka Pemikiran Kemunculan Konflik Pemanfaatan Lahan

Pertanian di Perdesaan ... 22

Gambar 4. Perbandingan Peruntukan Tanah Pertanian dan Non-Pertanian

pada Masing-Masing RW di Desa Cibatok Satu ... 32

Gambar 5. Pola Hubungan Antar Aktor di Pedesaan... 40

Gambar 6. Bagan Hubungan Antar Pelaku yang Terlibat dalam Hubungan

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Daftar Istilah... 100

Lampiran 2. Peta Lokasi Penelitian ... 101

Lampiran 3. Jadwal Penelitian ... 102

Lampiran 4. Kebutuhan Data Dalam Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data ... 103

Lampiran 5. Panduan Pertanyaan ... 105

Lampiran 6. Pedoma Pengamatan Berperanserta... 108

Lampiran 7. Foto... 109

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya kecenderungan bahwa kemerataan dalam struktur agraria akan membawa suatu komunitas menuju harmoni agraria dan ketimpangan dalam struktur agraria akan memungkinkan munculnya konflik agraria (Sitorus, 2004). Struktur agraria merupakan bentukan sosial dalam hubungan sosial terkait dengan distribusi akses terhadap tanah. Distribusi akses terhadap tanah memiliki dua kemungkinan, yaitu merata atau timpang. Merata apabila setiap orang bisa memiliki kesempatan yang sama untuk memiliki dan menguasai tanah, sedangkan timpang apabila kesempatan setiap orang untuk memiliki dan menguasai tanah tidak sama.

Kecenderungan kedua tampak jelas dalam hubungan masyarakat di perdesaan. Ketimpangan ini akan mempengaruhi dinamika hubungan antara masyarakat desa terhadap pemanfaatan lahan pertanian di perdesaan. Hal ini karena masyarakat desa selama ini sering diidentikkan dengan sektor pertanian. Salah satu fakta ketimpangan yang jelas terlihat, yaitu adanya perubahan struktur penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria. Perubahan struktur penguasaan dan pemilikan sumber-sumber agraria ini bisa dilihat dari hasil sensus pertanian 2003 menyebutkan adanya perubahan jumlah rumah tangga petani gurem4 yang meningkat sebesar 26,46% sejak tahun 19935.

4 Petani yang menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar baik milik sendiri maupun menyewa.

5 Jumlah rumah tangga petani gurem di Indonesia tahun 2003adalah 13.663.000, sementara petani

pengguna lahan sebanyak 24.176.000. Hasil ini merupakan peningkatan jumlah sebesar 2.859.000 rumah tangga dari 10.804.000 pada tahun 1993. Khusus untuk Pulau Jawa rumah tangga petani gurem mengalami peningkatan sebesar 1.922.000, dari 8.076.000 pada tahun 1993 menjadi 9.989.000 pada tahun 2003.

(20)

Apabila data perubahan struktur penguasaan dan pemilikan dalam sensus pertanian 2003 dianalisis berdasarkan kecenderungan tersebut, tentulah sangat potensial untuk menimbulkan konflik antar masyarakat desa yang terlibat dalam hubungan sosio-agraria. Konflik yang terjadi misalnya antara petani pemilik tanah luas dengan buruh tani yang sama-sama memanfaatkan tanah pertanian untuk kelangsungan hidupnya atau antara sesama buruh dalam akses untuk mendapatkan kesempatan bekerja pada pemilik tanah. Tetapi, kondisi ini tidak sebanding dengan kenyataan di lapangan bahwa kondisi pedesaan selama ini terlihat harmonis seakan-akan tidak terjadi sesuatu permasalahan apa pun. Selama ini konflik yang mencuat ke permukaan adalah konflik-konflik restoratif, yaitu konflik yang didasari adanya keinginan untuk mempertahankan hak-hak atas tanah, bukan karena ketimpangan distribusi akses terhadap tanah.

Wiradi (2000) mengatakan bahwa konflik agraria merupakan suatu gejala dalam situasi proses interaksi dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingan atas objek yang sama yaitu sumberdaya agraria itu sendiri. Sitorus (2002) mengatakan bahwa konflik agraria sebagai suatu gejala struktural yang berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subjek dalam hubungan agraria.

Tjondronegoro (1999) juga mengatakan bahwa konflik yang terjadi mencakup beberapa sudut pandang, yaitu sudut pandang ekonomi sebab tanah sebagai sumberdaya alam sangat penting, sudut pandang sosial mengingat adanya berbagai golongan masyarakat yang mempunyai hak dan kuasa yang berbeda-beda atas tanah, dan sudut pandang politik serta hukum yang menegakkan dan

(21)

mengatur hak dan kuasa tersebut. Selain itu, pada saat ini masalah tanah juga disebabkan oleh sudut pandang ekonomi yang semulanya hanya untuk produksi kini berubah menjadi objek spekulan/barang dagang yang memiliki nilai tinggi.

Perbedaan kepentingan antar aktor dan perubahan sudut pandang dalam hubungan agraria dilihat dari perilakunya sehari-hari. Perilaku antar aktor akan menciptakan suatu hubungan yang konfliktual. Adanya perbedaan kepentingan terhadap sumber-sumber agraria ini bisa menimbulkan kerjasama dan potensi konflik. Potensi konflik yang selama ini bisa diredam dan akhirnya tidak terjadi dalam bentuk yang terbuka.

Beranjak dari adanya gejala sosial yang dipaparkan di atas, maka penelitian ini hendak melakukan pengkajian bagaimana hubungan antara ketimpangan struktur penguasaan pemilikan sumber-sumber agraria di pedesaan dengan kemungkinan timbulnya keadaan harmonis dan konflik agraria dalam hubungan-hubungan sosial antar aktor di pedesaan, dan bagaimana potensi konflik selama ini tidak muncul ke permukaan sehingga tidak menimbulkan konflik terbuka.

1.2 Perumusan Masalah

Dinamika masyarakat di perdesaan sangat terkait dengan distribusi lahan pertanian. Hal ini disebabkan karena sebagian besar wilayah perdesaan masih dimanfaatkan untuk pertanian baik pertanian sawah maupun non sawah6. Sektor pertanian saat ini masih menjadi sumber penyerap tenaga kerja terbesar di

6 Luas sawah di Idonesia berdasarkan data BPN tahun 1999 dalam Husodo 2002 sebesar 7,8 juta

Ha terdiri dari 4,2 juta Ha (53,8 %) berupa sawah beririgasi teknis dan 3,6 juta hektar (46,2%) berupa sawah non irigasi.

(22)

Indonesia. Data Sakernas 2003 dalam Sadikin (2005) menyebutkan bahwa 46% (42.001.437 orang) tenaga kerja di Indonesia berada pada sektor pertanian.

Saat ini kondisi lahan pertanian dan masyarakat desa dan Indonesia mengalami gejala ketimpangan. Gejala ketimpangan (incompatibilities) menurut Wiradi (2000), yaitu ketimpangan dalam hal struktur pemilikan dan penguasaan tanah7, ketimpangan dalam hal peruntukan tanah, ketimpangan dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.

Timbulnya berbagai gejala ketimpangan ini berpengaruh pada banyaknya permasalahan agraria pada saat ini. Persoalan peruntukan tanah untuk Indonesia juga merupakan masalah yang krusial. Dewasa ini terdapat konversi lahan pertanian ke non-pertanian secara besar-besaran, terutama di Jawa.

Munculnya ketimpangan juga erat kaitannya dengan penerapan hukum positif dan hukum adat tentang tanah. Perbedaan konsepsi dan persepsi antara mereka yang menggunaan konsep-konsep hukum positif (formal/legal) dan mereka yang berada pada masyarakat adat, inilah penyebab ketimpangan.

Adanya gejala ketimpangan dalam struktur agraria ini bisa mengakibatkan ketimpangan pada bidang-bidang lain misalnya struktur sosial, ekonomi maupun politik. Selanjutnya, ketimpangan ini mengakibatkan permasalahan penyebaran pendapatan, kekayaan, kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik (Suhendar, 1997), yang keseluruhannya memiliki andil bagi munculnya konflik agraria.

7 Konsep “kepemilikan” berbeda dengan konsep “penguasaan” menurut Wiradi (2000).

“Kepemilikan” menunjuk pada penguasaan formal (petani adalah pemilik lahan tersebut dan bisa dibuktikan dengan sertifikat pemilikan tanah (SPPT)) sedangkan “penguasaan” menunjukkan suatu penguasaan efektif (petani hanya mempunyai hak menggarap lahan pertanian yang didapatkannya melalui sewa, gadai, sakap)

(23)

Pada lahan pertanian munculnya konflik banyak disebabkan ketimpangan ekonomi akibat perbedaan penguasaan tanah, dimana sumber konflik terletak pada perbedaan kepentingan dan perbedaan persepsi diantara mereka yang memiliki akses terhadap lahan pertanian tersebut. Perbedaan kepentingan ini dapat dilihat dari pola hubungan sosial antar masyarakat desa dalam hal ini petani sebagai pemanfaat lahan pertanian yang terlibat dalam penguasaan sumber-sumber agraria. Perbedaan persepsi menurut Sadikin (2005) misalnya adanya perbedaan pandangan terhadap sesuatu yang dianggap remeh, misalnya bagaimana cara penyajian makanan bagi para buruh tani, termasuk adanya modernisasi pertanian. Hal ini dirasa karena petani bukan lagi kelompok yang homogen, yang melihat tanah dan pertanian sebagai suatu hal yang sama maupun otonom yang tidak menerima pengaruh dari luar. Berdasarkan pemikiran tersebut maka perumusan masalah dalam penelitian dengan tema konflik agraria di pedesaan dapat dilihat dengan mengkaji:

1) Bagaimana ketimpangan berlangsung dan mempengaruhi pola hubungan antara aktor dalam pemanfaatan lahan pertanian?

2) Bagaimana implikasi pola hubungan tersebut terhadap sikap aktor dan potensi timbulnya konflik dalam pemanfaatan lahan pertanian di perdesaan?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian dengan tema konflik agraria perdesaan ini ingin menggambarkan pola hubungan antara aktor dalam pemanfaatan lahan pertanian. Pola hubungan ini terkait dengan terjadinya ketimpangan dalam hal pemilikan/penguasaan lahan pertanian. Aktor-aktor yang berhubungan memiliki

(24)

pemaknaan tertentu terhadap hubungan yang mereka lakukan. Hubungan aktor-aktor tersebut akan berimplikasi terhadap sikap yang diperlihatkan oleh aktor-aktor dan potensi timbulnya konflik di perdesaan.

1.4 Kegunaan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat secara akademis maupun praktis oleh berbagai kalangan, yaitu

1) Sebagai sarana untuk memperoleh pengetahuan dan pengalaman penelitian dalam kegiatan ilmiah.

2) Memberikan pemahaman yang lebih mengenai hubungan antara ketimpangan penguasaan tanah dengan kemungkinan timbulnya konflik maupun harmonis di perdesaan.

3) Secara praktis dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai gambaran umum desa dewasa ini, bahwa petani bukanlah kelompok yang homogen melainkan heterogen yang memiliki kepentingan-kepentingan tertentu. Pihak pemerintah sebagai pihak pengambilan kebijakan dalam membantu masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan agraria yang terjadi di perdesaan, serta penguatan petani sebagai pemanfaat/pengguna lahan-lahan pertanian.

(25)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Lingkup dan Pola Hubungan Agraria

Istilah ‘agraria’ dalam Tjondronegoro dan Wiradi (2004) berasal dari kata bahasa latin ‘ager’ artinya lapangan, pedusunan (lawan kata perkotaan), wilayah, tanah negara. Berdasarkan asal kata tersebut terlihat bahwa istilah agraria tidak hanya mencakup tanah atau pertanian saja melainkan apa saja yang terwadahi didalamnya, misalnya bukit dan pedusunan. Lingkup agraria menurut Sitorus (2004) dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu lingkup objek dan lingkup subjek agraria.

2.1.1.1 Objek dan Subjek Agraria

Lingkup objek agraria meliputi beragam sumber agraria sesuai Pasal 1 ayat 2,4,5,6 UUPA 1960, yaitu

1) Tanah, atau permukaaan bumi. Jenis sumber agraria ini adalah modal alami utama dalam kegiatan pertanian dan peternakan. Petani memerlukan tanah untuk lahan usahatani. Sementara peternak memerlukan tanah untuk padang rumput.

2) Perairan, sebagai modal alami utama dalam kegiatan perikanan; baik perikanan sungai maupun perikanan danau dan laut. Pada dasarnya perairan merupakan area penagkapan ikan (fishing ground) bagi komunitas nelayan. 3) Hutan, sebagai kesatuan flora dan fauna yang hidup dalam suatu wilayah

(kawasan) diluar kategori tanah pertanian. Jenis sumber agraria ini secara historis adalah modal alami uama dalam kegiatan ekonomi

(26)

komunitas-komunitas perhutanan, yang hidup dari pemanfaatan beragam hasil hutan menurut tata kearifan lokal.

4) Bahan tambang. Jenis sumber agraria ini meliputi ragam bahan mineral/tambang yang terkandung di dalam “tubuh bumi” (dibawah permukaan dan di bawah laut) seperti minyak, gas, bijih besi, timah, intan. 5) Udara. Jenis sumber agraria ini tidak saja merujuk pada “ruang diatas bumi

dan air” tetapi juga materi “udara” (CO2) itu sendiri. Arti penting materi “udara” sebagai sumber agraria baru semakin terasa belakangan ini, setelah polusi asap mesin atau kebakaran hutan mengganggu kenyamanan, keamanan, dan kesehatan manusia.

Lingkup subjek agraria menurut Sitorus (2004) meliputi tiga kategori sosial penguasa atau pemilik dan pemanfaat (pengguna) sumber-sumber agraria, yaitu komunitas, swasta (private sector), dan pemerintah (representasi negara). Masing-masing kelompok subjek kemudian dipilah dalam unsur yang saling terkait.

Komunitas mencakup unsur-unsur individu, keluarga dan kelompok. Pemerintah mencakup unsur pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan pemerintah desa. Perusahaan swasta mencakup unsur-unsur perusahaan kecil, perusahaan sedang, dan perusahaan besar. Secara khusus kelompok pemerintah juga mencakup badan usaha (perusahaan) milik pemerintah (pusat/daerah) yang merupakan salah satu wujud dari organisasi pemerintah.

Subjek agraria yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah pada tingkat komunitas sebagai pemanfaat lahan pertanian di perdesaan. Komunitas dalam tataran ini meliputi individu, rumahtangga dan kelompok petani. Sektor swasta

(27)

tidak dibahas dalam penelitian ini karena tidak relevan dengan kondisi di lapangan. Sementara pemerintah desa merupakan golongan netral yang tidak mempunyai kebijakan apapun berkaitan dengan pemanfaatan lahan pertanian.

2.1.1.2 Pola Hubungan Agraria

Keterkaitan objek dan subjek agraria melahirkan memiliki hubungan teknis agraris atau hubungan kerja dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu, yang artikulasinya berbeda antara satu dan lain subjek menurut orientasi kepentingan sosial ekonominya. Selain memiliki hubungan teknis juga ada hubungan sosial agraria yang berpangkal pada perbedaan-perbedaan akses (penguasaan/pemilikan/pemanfaatan) terhadap sumber-sumber agraria. Perbedaan antar subjek dalam hal hak penguasaan sumber agraria itu menghasilkan suatu tatanan sosial yang kemudian dikenal dengan struktur agraria (Sitorus, 2004).

Komunitas

Pemerintah Swasta

SSA

Keterangan :

Hubungan teknis agraria (kerja) Hubungan sosial agraria

Gambar.1 Pola hubungan teknis-sosio agraria

Sumber : Tulisan MT Felix Sitorus, 2004 dalam Kerangka dan Metode Kajian Agraria

(28)

2.1.1.2.1 Pola Hubungan Teknis

Pembahasan mengenai pola hubungan teknis ini sangat terkait dengan sistem penguasaan tanah. Sistem ini meliputi pemilikan dan penguasaan lahan. Di perdesaan penerapannya diatur dalam hukum positif dan hukum adat. Hukum positif merujuk pada UUPA No.5 1960, TAP MPR IX/2001, Kepres No.34/2003, RUU Sumber Daya Agraria, Peores No.36/2005, Pepres No.10/2006.

Berdasarkan hukum adat, dibagi menjadi hak tanah dan masyarakat hukum adat, serta hak-hak individu. Berdasarkan hukum adat tersebut, diatur suatu pola pemilikan lahan dalam Wiradi (1984) sebagai berikut :

1) Milik perorangan turun-temurun; merupakan suatu bentuk penguasaan tanah

dimana seseorang menduduki sebidang tanah secara kekal, dapat menyerahkannya kepada ahli warisnya baik melalui pemindahtanganan hak penguasaan tersebut sebelum meninggal, atas kemauannya, atau pemindahtanganan hak tersebut pada saat meninggalnya dan yang paling khas, dapat mengatur secara bebas dengan misalnya menjual, menyewakan, atau menggadaikan.

2) Milik komunal; merupakan bentuk penguasaan, dimana seseorang atau

keluarga memanfaatkan tanah tertentu hanya merupakan bagian dari tanah komunal desa, yaitu bahwa orang tersebut tidak diberi hak untuk menjualnya atau memindahtangankan tanah tersebut dan pemanfaatannya biasanya digilir secara berkala. Salah satu ciri khusus sawah “milik komunal” di Jawa adalah sistem kesamarataan formal dalam membagi bagian garapan kepada petani-petani yang memberikan layanan kerja. Akan tetapi, hal tersebut tidak berlaku secara umum.

(29)

3) Tanah bengkok untuk pamong desa; diperuntukkan bagi pejabat untuk dimanfaatkan secara pribadi dibagi dalam dua golongan, yaitu bagi para penguasa pribumi yang berasal dari tanah apanage dan para lurah.

Sementara itu pola penguasaan lahan di pedesaan antara lain berupa sewa, gadai dan sakap (bagi hasil) yang sifatnya sementara. Beberapa bentuk atau status penguasaan tanah tradisional dalam Wiradi (1984) antara lain :

1) Tanah yasan, yasa atau yoso yaitu tanah dimana hak seseorang atas tanah itu berasal dari kenyataan bahwa dia atau leluhurnyalah yang pertama-tama membuka atau mengerjakan tanah tersebut. Hak atas tanah ini memperoleh status legal dalam UUPA 1960 sebagai tanah milik.

2) Tanah norowito, gogolan, pekulen, playangan, kesikepan dan sejenisnya, adalah tanah pertanian milik bersama, dimana para warga desa dapat memperoleh bagian untuk digarap, baik secara bergilir maupun secara tetap dengan syarat-syarat tertentu. Untuk memperoleh hak garap, umumnya diperlukan syarat bahwa si calon itu harus statusnya menjadi tanah milik bagi penggarapnya yang terakhir.

3) Tanah titisara, bondo deso, kas desa adalah tanah milik desa yang biasanya disewakan, disakapkan dengan cara dilelang kepada siapa yang mau menggarapnya. Hasilnya dipergunakan sebagai anggaran rutin ataupun pemeliharan desa.

4) Tanah bengkok, yaitu tanah milik desa yang diperuntukkan bagi pejabat desa terutama lurah, yang hasilnya dianggap sebagai gaji selma menduduki jabatan itu.

(30)

Pola hubungan teknis ini tidak hanya dilihat dari pemilikan dan penguasaan tanah tetapi juga dilihat dari penggunaan tanah tersebut. Tanah di perdesaan dimanfaatkan untuk pertanian dan non-pertanian.

2.1.1.2.2 Pola Hubungan Sosial

Hubungan sosial agraria dilihat dari pola hubungan antara subjek-subjek agraria yaitu pemerintah, masyarakat, dan swasta. Dalam konteks makro, hubungan ketiga subjek agraria ini berkaitan dengan tipe struktur agraria yang diterapkan pada suatu negara. Adapun tipe-tipenya sebagai berikut (Wiradi, 2000):

1. Tipe Naturalis: sumber agraria dikuasai oleh komunitas lokal, misalnya komunitas adat atau secara kolektif.

2. Tipe Feodalis: sumber agraria dikuasai oleh minoritas “tuan tanah” yang biasanya juga merupakan “patron politik”.

3. Tipe Kapitalis: sumber-sumber agraria dikuasai oleh non-penggarap (perusahaan). Hubungan antara non-penggarap dengan anggota komunitas menjadi hubungan majikan dan buruh.

4. Tipe Sosialis: sumber agraria dikuasai oleh negara/kelompok pekerja. Hubungan antara pemerintah dan anggota komunitas menjadi hubungan ketua-anggota.

5. Tipe Populis/neo-populis: sumber agraria dikuasai oleh keluarga/rumah tanga pengguna. Hubungan antara penguasa/pemanfaat dikatakan berdaulat.

(31)

Pola hubungan sosial antara suatu negara berbeda-beda. Untuk konteks Indonesia sendiri mengalami perubahan. Adapun arah perubahan sebagai berikut8:

Kapitalis

Naturalis Feodalis Populis

Sosialis

Gambar 2. Arah perubahan struktur agraria

Arah perubahan ini dimulai dari awal penguasaan sumber-sumber agraria yaitu oleh suatu komunitas lokal secara kolektif. Penguasaan seperti ini berubah ketika adanya kolonial, VOC yang menguasai pemerintahan. Pada masa ini diberlakukannya tanam paksa, cuulturstelsel, agrarish wet. Setelah kemerdekaan, penguasa pun berubah dan berpihak pada petani. Kondisi seperti ini tidak berlangsung lama seiring dengan pergantian tampuk pemerintahan. Pemerintahan orde baru merubah tatanan populis ke kapitalis yang berorientasi kepada pembangunan fisik bukan pembangunan manusia. Era reformasi diharapkan adanya perubahan dan kembali kepada tipe populis meskipun dalam pelaksanaannya masih jauh dari populis.

Pola perubahan tersebut hanya bisa dilihat dalam tataran secara luas, sementara konteksnya di perdesaan juga ikut mengalami perubahan. Masyarakat desa yang sebagian besar memanfaat lahan pertanian kini pun berubah. Masyarakat desa tidak lagi homogen dan otonom. Mereka memiliki kepentingan yang bebeda terhadap lahan-lahan pertanian dan siap menerima masukan atau pengaruh dari luar.

(32)

2.1.1.2.3 Implikasi Pola Hubungan Agraria

Pola hubungan agraria baik teknis maupun sosial tidak bisa dipisahkan. Adanya hubungan sosial terkait dengan adanya hubungan teknis begitupun sebaliknya. Hubungan teknis terlihat dari bentuk pemanfaatan lahan berdasarkan hak penguasaan tertentu. Hubungan sosial berpangkal pada perbedaan-perbedaan akses (penguasaan/pemilikan/pemanfaatan) terhadap sumber-sumber agraria.

Sumber agraria yang dibahas dalam penelitian ini lebih kepada lahan-lahan pertanian. Bentuk penguasaan lahan pertanian, yaitu hak pemilikan dan penguasaan. Adanya pemilikan dan penguasaan itu dimanfaatkan oleh para subjek agraria di pedesaan yang kemudian saling berhubungan.

Hubungan-hubungan yang terjadi antara pemanfaat menghasilkan hubungan konfliktual. Artinya hubungan yang terjadi bisa berpotensi menimbulkan konflik maupun kerjasama. Hal ini didasari karena adanya perbedaan akses terhadap tanah dan hasilnya antar pemanfaat. Konflik terjadi karena adanya ketidakpuasan terhadap hubungan yang dilakukan.

2.1.2 Ekonomi Moral dan Ekonomi Politik Petani

Pembahasan tentang masyarakat desa tidak terlepas dari petani. Petani adalah salah satu subjek agraria yang memanfaatkan lahan pertanian. Banyak pengertian yang menjelaskan apa itu petani. Petani dalam Readfield (1984) dijelaskan memiliki kesamaan dalam hal pertaniannya sebagai suatu mata pencaharian dan suatu cara kehidupan bukan suatu kegiatan usaha untuk mencari keuntungan. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa petani-petani yang mengerjakan pertanian untuk penanaman modal kembali dan usaha, melihat tanahnya sebagai

(33)

modal dan komoditi, bukanlah petani akan tetapi pengusaha pertanian. Pembedaan petani ini juga disebutkan oleh Wolf dalam Bahari (2002). Wolf mengatakan konsep petani sebagai petani pedesaan atau petani tradisional (peasant) dan petani moderen atau pengusaha pertanian (farmer).

Ada tiga ciri utama petani yang melekat pada petani di perdesaan menurut pemikiran Eric R. Wolf dalam Bahari (2002) yaitu kepemilikan tanah secara de

facto, subordinasi legal, dan kekhususan kultural. Kepemilikan tanah secara de facto merujuk pada pengertian bahwa tanah bagi petani bukan hanya punya arti secara material-ekonomi melainkan lebih dari itu, memiliki arti sosial budaya. Luas lahan yang dimiliki petani merupakan simbol derajat sosial ekonomi seseorang di komunitas desanya. Petani yang tidak memiliki tanah adalah lapisan masyarakat yang paling rendah status sosialnya.

Subordinasi legal dilihat karena adanya penghisapan yang menjadi ciri sentral petani. Penghisapan ini dicirikan dengan adanya kewajiban pemindahan surplus produksi yang berlebihan kepada kelompok penguasa melalui upeti atau pajak. Pandangan tentang kekhususan kultural menekankan pada perkembangan nilai-nilai, persepsi dan kebudayaan petani terhadap lingkungan luarnya. Contohnya petani hidup dalam suatu komunitas yang tertutup dan terisolasi dari dunia luar. Hubungan pertanian keluarga memainkan peranan yang sangat besar, hubungan-hubungan ekonomi yang dibangun dilandasi nilai-nilai lokal yang berlaku, sehingga petani dikatakan sebagai masyarakat yang otonom9. Kondisi petani sekarang mengalami perubahan, petani tidak lagi otonom.

Wiradi (1984) menggolongkan petani menjadi :

9 Masyarakat yang otonom dalam Bahari (2002) dikatakan sebagai masyarakat yang berada pada

(34)

1) Petani-penggarap murni, yaitu petani yang hanya menggarap tanah miliknya sendiri.

2) Penyewa dan pengggarap murni, yaitu petani yang tidak memiliki tanah tetapi menguasai lahan garapan melalui sewa atau bagi hasil.

3) Pemilik-penyewa dan/atau pemilik-penyakap, yaitu petani yang disamping menggarap tanahnya sendiri juga menggarap tanah milik orang lain lewat persewaan atau bagi hasil.

4) Pemilik-bukan pengarap, yakni petani yang tanah miliknya disewakan atau disakap kepada orang lain (penyakap, penggarap dan buruh tani).

5) Petani tunakisma dan buruh tani yaitu petani yang benar-benar tidak memiliki lahan pertanian dan bukan penggarap.

Para petani sebagai pemafaat lahan-lahan pertanian saling berhubungan. Dinamika hubungan yang terjadi tidak pernah terlepas dari adanya prinsip ekonomi moral Scott (1983) dan ekonomi politik Popkin (1986). Menurut Scott (1989) petani itu tidak mau mengambil resiko karena mereka berada pada garis subsistensi. Mereka adalah petani gurem dengan luas lahan yang sangat kecil, yang hanya mampu menghidupi pada batas yang minim. Pendekatan ekonomi-moral menganggap hubungan petani didasarkan pada adanya institusi desa dan ikatan patron-klien yang menopang kebutuhan subsisten petani (“etika subsistensi”) dari komunitas pedesaan. Pendekatan ini banyak terjadi di dalam komunitas pedesaan tradisional (masyarakat pra-kapitalis). Para petani selalu berusaha menyediakan jaminan penghidupan melalui aturan-aturan “meminimalkan resiko” berdasarkan prinsip “utamakan keselamatan” (safety first).

(35)

Prinsip ekonomi politik Popkins (1986), mengatakan bahwa setiap petani sepenuhnya rasional. Petani akan rasional untuk berinvestasi baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang, baik dalam bentuk hewan ternak, tanah, atau benda-benda milik pribadi. Hal ini bisa dilakukan dengan menjual surplus-surplus yang pernah diperoleh. Hubungan-hubungan sosial dipandang memiliki akar kepentingan ekonomi, misalnya hubungan patron-klien sengaja dipelihara patron untuk menjaga kekuasaan dan kekayaannya. Anak-anak pun merupakan salah satu bentuk investasi, karena ia akan menjamin hari tua. Rasional dalam kacamata Popkin adalah tindakan untuk selalu dan terutama memperhatikan kesejahteraan dan keamanan diri dan keluarga.

Kedua prinsip ini memiliki perbedaan yang sangat jelas dalam memandang pola hubungan yang dilakukan oleh para petani. Ekonomi moral memandang bahwa hubungan yang dilakukan petani didasarkan atas beberapa prinsip moral yang umum (budaya), sedangkan ekonomi politik didasarkan oleh perhitungan apakah hubungan semacam itu dapat/akan menguntungkan diri dan keluarganya atau tidak (untung atau rugi). Ekonomi moral dan ekonom politik merupakan konstruksi tentang pilihan tindakan dan perilaku yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.

2.1.3 Konflik Agraria di Pedesaan

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, adanya pola antar pemanfaat lahan pertanian (petani) menimbulkan hubungan yang konfliktual. Hubungan ini didasari pada adanya perbedaan akses terhadap lahan-lahan pertanian dan hasilnya. Perbedaan akses ini menimbulkan ketimpangan agraria karena para

(36)

pemanfaat tersebut sama-sama menggantungkan hidupnya dari lahan-lahan pertanian. Ketimpangan agraria ini akan mengakibatkan permasalahan penyebaran pendapatan, kekayaan, kesempatan ekonomi, dan penguasaan politik (Suhendar, 1997). Hal terparah dari adanya ketimpangan ini yaitu munculnya konflik agraria.

Fisher et.al (1999) mengatakan bahwa konflik adalah hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, atau yang merasa memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Konflik sangat terkait dengan isu-isu kekuasaan, budaya, identitas, jender, hak.

Konflik terjadi karena adanya kebutuhan manusia yang berakar pada kebutuhan manusia dasar manusia-fisik, mental dan sosial yang tidak terpenuhi atau terhalangi. Konflik agraria terjadi akibat meningkatnya kebutuhan terhadap tanah sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia yang besar sedangkan luasan tanah tetap.

Wiradi (2000) mengatakan bahwa konflik agraria merupakan suatu gejala dalam situasi proses interaksi dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingan atas objek yang sama yaitu sumberdaya agraria itu sendiri. Sedangkan Sitorus (2002) mengatakan bahwa konflik agraria sebagai suatu gejala struktural yang berpangkal pada ketidakserasian atau benturan kepentingan antar subjek dalam hubungan agraria.

Sumber konflik agraria pada dasarnya terletak pada adanya sejumlah ketimpangan, ketidakselarasan atau meminjam istilah Cristodoulou diacu dalam Wiradi (2000) apa yang disebut incompatibilities yaitu 1. Ketimpangan dalam hal

(37)

struktur pemilikan dan penguasaan tanah 2. Ketimpangan dalam hal peruntukan tanah, 3. incompatibility dalam hal persepsi dan konsepsi mengenai agraria.

Adanya konflik di masyarakat dapat dilihat dari perilaku aktor-aktor yang terlibat dalam konflik tersebut. Beberapa perilaku yang mungkin muncul dan menyebabkan konflik menurut Hae (dalam Ilham, 2006) antara lain sebagai berikut:

1) Persepsi, kotak-kotakan. Ketika konflik mulai mencuat, setiap kelompok cenderung membatasi dari pada kelompoknya. Satu wilayah yang sebelumnya tak terpisahkan akhirnya dibelah sesuai dengan identitas warganya.

2) Stereotype. Memberi label terhadap orang dari kelompok lain dihadirkan dalam tuturan turun temurun. Tujuannya bersifat negatif, untuk merendahkan pihak lawan.

3) Demonisasi (penjelek-jelekan). Setelah muncul stereotype, muncul pula aksi demonisasi pada lawan. Aksi yang lazimnya sangat sistematik ini menghasilkan citra negatif yang sangat seram.

4) Ancaman. Akan muncul berbagai ancaman, fisik maupun lisan pada kelompok lawan. Medium yang digunakan bisa secara lisan dari mulut ke mulut sampai penggunaan selebaran bahkan lewat massa Koran, radio, televise.

5) Pemaksaan (koersi). Selalu ada pemaksaan terhadap anggota kelompok sendiri atau kelompok lain.

6) Mobilitas sumberdaya manusia. Selalu ada penggalangan massa yang cepat dan solid.

(38)

7) Citra cermin. Setiap pihak yang berkonflik selalu melihat dirinya sendiri. Ia akan selalu berkaca pada dirinya tanpa melihat sisi pandang orang lain atau lawannya.

8) Pengakuan citra diri.

Scott (1990) mengatakan bahwa konflik yang terjadi pada pemanfaat lahan pertanian karena adanya kekuasaan. Timbulnya perlawanan dikonsepsikan sebagai “transkip tersembunyi” yang tampil pada “transkip publik” karena adanya kecenderungan mensubordinasikan pihak tertentu. Perlawanan yang ditimbulkan oleh pihak-pihak yang disubordinasikan ini dalam bentuk yang tak tertulis, misalnya bentuk-bentuk humor, gossip, dan sinisme. Akar permasalahan terletak pada otoritas moral sebagai basis hubungan-hubungan sosial dan stabilitas sosial. Jika otoritas moral tidak lagi mampu menyediakan kepuasan pada individu maka potensi perlawanan akan timbul.

2.2 Kerangka Pemikiran

Struktur agraria merupakan pola distribusi tanah pertanian dan SDA lainnya di dalam suatu masyarakat. Struktur agraria bukan saja bagian dari sistem produksi, namun merupakan faktor mendasar dari organisasi sosial dan politik dari masyarakat pedesaan. Sihaloho (2004) mengatakan bahwa struktur agraria pada dasarnya menjelaskan bagaimana pola akses pihak-pihak tertentu dengan sumberdaya agraria.

Struktur agraria dibentuk dari adanya pola hubungan agraria oleh subjek agraria di pedesaan yaitu antar para petani sebagai pemanfaat lahan pertanian. Pola hubungan itu adalah pola hubungan teknis dan pola hubungan sosial.

(39)

Hubungan teknis agraris atau hubungan kerja dengan sumber-sumber agraria dalam bentuk kerja pemanfaatan berdasar hak penguasaan (land tenure) tertentu, yang artikulasinya berbeda antara satu dan lain subjek menurut orientasi kepentingan sosial ekonominya. Hubungan sosial agraria berpangkal pada perbedaan-perbedaan akses (penguasaan/pemilikan/pemanfaatan) terhadap sumber-sumber agraria.

Perbedaan akses dan perbedaan hak penguasaan ini merujuk pada timbulnya ketimpangan agraria di perdesaan. Ketimpangan ini menimbulkan adanya perbedaan kekuasaan antara satu pemanfaat dengan yang lainnya. Keadaan seperti ini akan merujuk terjadinya konflik antar pemanfaat lahan pertanian. Konflik agraria menurut Wiradi (2000) merupakan suatu gejala dalam situasi proses interaksi dua orang atau lebih atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingan atas objek yang sama yaitu sumberdaya agraria, dalam hal ini tanah pertanian.

Konflik yang ada tidak selalu mencuat ke permukaan. Umumnya, konflik yang terjadi antara pemanfaat lahan-lahan pertanian adalah konflik yang tersembunyi. Akar permasalahan dalam konflik ini terletak pada otoritas moral sebagai basis hubungan-hubungan sosial dan stabilitas sosial. Jika otoritas moral tidak lagi mampu menyediakan kepuasan pada pemanfaat lahan pertanian maka potensi konflik akan timbul.

Bentuk konflik yang tersembunyi ini berupa tindakan manipulatif (penjelek-jelekan, steriotipe) dan tindakan-tindakan tak tertulis (humor, sinisme) oleh aktor. Pilihan-pilihan tindakan yang diambil oleh para aktor terkait dengan adanya prinsip ekonomi rasional dalam diri para aktor

(40)

Prinsip individu/ ekonomi politik didasarkan pada pemikiran Popkin (dalam Sadikin, 2005) kehidupan petani didasarkan pada tindakan-tindakan yang rasional, perhitungan untung-rugi. Intinya terletak pada upaya memaksimalkan keuntungan. Adapun kerangka pemikiran dalam penelitian ini dapat dilihat pada bagan kerangka pemikiran dibawah ini:

Keterangan :

: Mempengaruhi

Hubungan teknis/penguasaan

Struktur Agraria (Akses terhadap tanah)

Realitas Konflik yang Bersumber pada Ekonomi Rasional Ketimpangan Agraria

Perbedaan kekuasaan

Hak Penguasaan Perbedaan akses

Hubungan sosio antar aktor

: Keterkaitan

Gambar 3. Bagan Kerangka Pemikiran Kemunculan Konflik Pemanfaatan Lahan Pertanian di Perdesaan

(41)

2.3 Hipotesis Pengarah

Hipotesis pengarah dalam penelitian ini yaitu :

1) Struktur agraria di pedesaan terbentuk karena adanya pola hubungan teknis agraria dan pola hubungan sosial agraria. Pola hubungan teknis ini didasarkan karena adanya perbedaan hak penguasaan tertentu terhadap lahan pertanian. Hak penguasaan ini bisa berbentuk kepemilikan formal maupun kepemilikan efektif. Aktor-aktor yang terlibat dalam pemanfaatan lahan pertanian adalah para pemilik lahan, buruh tani, penggarap/petani kecil.

2) Adanya perbedaan akses dan hak penguasaan dalam struktur agraria ini menciptakan kondisi ketimpangan agraria. Ketimpangan agraria ini bersumber dari perbedaan kepentingan antara aktor yang terlibat dalam pemanfaatan lahan pertanian. Keadaan yang timpang ini posisi tawar yang berbeda pada para pemanfaat yang akan berujung pada perbedaan kekuasaan.

3) Perbedaan kekuasaan yang ada pada masing-masing pemanfaat ini

menyebabkan terjdinya perlawanan oleh pihak yang tersubordinasi dalam hal ini adalah pihak yang memiliki posisi tawar yang rendah. Bentuk perlawanan yang terjadi berupa tindakan tak tertulis (sinisme, humor, gurauan). Perlawanan ini terjadi dalam hubungan keseharian antara para pemanfaat lahan pertanian. Hubungan keseharian para pemanfaat lahan pertanian dipengaruhi oleh prinsip individu (ekonomi rasional), dimana kehidupan para pemanfaat lahan pertanian didasarkan pada tindakan-tindakan yang rasional, perhitungan untung-rugi. Intinya terletak pada upaya memaksimalkan keuntungan. Kondisi inilah yang tidak menghasilkan konflik terbuka karena setiap aktor menyadari dan memiliki pola perilaku yang sama.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Strategi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena pendekatan ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan rinci tentang suatu peristiwa atau gejala sosial, serta mampu menggali berbagai realitas dan proses sosial maupun makna yang didasarkan pada pemahaman yang berkembang dari pemanfaat lahan pertanian sebagai subjek penelitian ini. Hal ini didasarkan pada adanya keinginan untuk mendapatkan kesamaan makna antara peneliti dan subjek penelitian (Guba dan Lincoln (1985) dalam Sitorus (1998)

Strategi yang dipilih dalam penelitian ini yaitu studi kasus. Hal ini karena studi kasus merupakan studi aras mikro (menyoroti satu atau beberapa kasus) dan studi kasus merupakan strategi penelitian yang bersifat multi metode (wawancara, pengamatan, analisis dokumen). Wawancara dilakukan untuk mengetahui informasi mengenai pola hubungan antar petani dan konflik yang sering terjadi. Wawancara dilakukan kepada para petani secara berulang-ulang. Proses wawancara tidak hanya dilakukan di rumah petani tetapi juga di tempat kerjanya . Pengamatan dilakukan untuk mengetahui kebenaran dari wawancara yang dilakukan kepada informan. Proses pengamatan dilakukan di sekitar tempat kerja petani dan tempat tinggal. Analisi dokumen diambil dari data monografi desa.

Metode studi kasus yang digunakan bersifat eksplanasi, dimana penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana adanya ketimpangan agraria sebagai

(43)

salah satu faktor penyebab timbulnya konflik agraria di perdesaan dan faktor penyebab lainnya yang diperoleh dari lapangan.

Strategi studi kasus ini diharapkan mampu menggali informasi mendalam mengenai konflik agraria sebagai suatu gejala yang banyak ditemukan di perdesaan pada saat ini. Selain itu, juga untuk menghindari terbatasnya pemahaman yang diikat oleh suatu teori tertentu (teori ekonomi moral dan ekonomi rasional) dan hanya berdasar pada penafsiran peneliti.

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dengan tema konflik agraria di pedesaan ini ingin melihat apakah ada hubungan antara gejala ketimpangan agraria terhadap potensi timbulnya konflik di masyarakat. Lokasi penelitian adalah desa yang sebagian besar tanahnya digunakan masih dimanfaatkan untuk wilayah pertanian karena subjek penelitian saya adalah para pemanfaat lahan pertanian baik yang memiliki hak pemilikan maupun hanya hak penguasaan saja, terdapat ketimpangan dalam hal akses terhadap lahan pertanian, desa yang sering menerima akses dari luar/ bukan desa tradisional.

Berdasarkan beberapa alasan tersebut diatas, maka Desa Cibatok Satu, Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor dirasa dapat dijadikan sebagai lokasi penelitian. Lokasi penelitian ini juga sudah dipertimbangkan sebelumnya karena peneliti sudah pernah melakukan penelitian sebelumnya dengan tema yang berbeda. Hubungan sosial dengan tineliti sudah dibangun sebelumnya. Dengan demikian peneliti bisa memiliki peluang besar untuk menemukan permasalahan yang dikaji.

(44)

Penelitian dilaksanakan pada bulan April-Mei 2008 kurun waktu penelitian yang dimaksud mencakup waktu semenjak peneliti intensif berada di lokasi penelitian, sehingga penjajakan tidak termasuk dalam kurun waktu tersebut. Penjajakan awal telah dilakukan pada bulan Maret 2008.

3.3 Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti menerapkan teknik triangulasi metode guna memperoleh kombinasi data yang akurat. Data kualitatif yang diperoleh dapat berupa data primer dan data sekuder. Data primer didapat melalui wawancara mendalam kepada informan yang diketahui melalui teknik bola salju (snowball) dan pengamatan berpartisipasi. Data deskriptif tersebut berupa kata-kata langsung atau tulisan dari responden dan informan. Pada awalnya pilihan terhadap informan dilakukan dengan cara sengaja (purposive), yaitu dengan mendatangi aparatur pemerintah mapun tokoh masyarakat dimana penelitian dilakukan, yang selanjutnya mengiring informan lain.

Responden merupakan pihak yang memberi keterangan mengenai diri dan keluarganya. Informan merupakan pihak yang memberi keterangan tentang pihak lain dan lingkungannya. Informan ini kemudian membantu saya dalam memilih responden yang valid atau yang mampu memberikan keterangan tambahan tentang topik kajian yaitu konflik agraria di perdesaan. Responden yang dipilih peneliti adalah masyarakat Desa Cibatok Satu yang secara formal memiliki lahan pertanian, masyarakat asli Desa Cibatok Satu yang menggarap lahan pertanian orang lain baik milik orang luar maupun milik masyarakat Desa Cibatok Satu (penggarap/buruh tani), masyarakat luar Desa Cibatok Satu yang

(45)

menyewa/menggarap/buruh tani di Desa Cibatok Satu, masyarakat Desa Cibatok yang menyewa/gadai lahan pertanian, masyarakat Desa Cibatok Satu yang memanfaatkan sumber irigasi dan yang pernah memanfaatkan, pemilik sumberdaya air untuk irigasi pertanian di Desa Cibatok Satu, aparat desa. Pengamatan berperanserta dilakukan oleh peneliti guna melihat, merasakan dan memaknai beragam peristiwa dan gejala sosial didalamnya sebagaimana subjek penelitian melihat, merasakan dan memaknainya sehingga memungkinkan pembentukan pengetahuan secara bersama. pengamatan berpartisipasi yang dilakukan peneliti terbatas hanya pada beberapa kegiatan keseharian yang dilakukan oleh responden untuk membentuk rapport yang baik.

Data sekunder merupakan dokumen atau data yang diperoleh dari laporan studi, dari kantor desa, dari data Kecamatan, serta dokumen lain seperti data BPS, buku/jurnal atau dari internet yang memuat teori atau hasil yang terkait dengan konflik agraria di pedesaan.

3.4 Teknik Analisis Data

Pada saat melakukan pengumpulan data peneliti juga melakukan analisis data. Data-data yang didapat kemudian direduksi dengan tujuan menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, mengeliminasi yang tidak perlu dan mengorganisasikan data sedemikian rupa sehingga didapat kesimpulan akhir. Reduksi ini mengandung makna peringkasan data, pengkodean, penelusuran tema, pembuatan gugus-gugus, pembuatan partisi dan penulisan memo. Pereduksian data yang mencakup pengkodean data dan penggugusan disesuaikan dengan keperluan penelitian. Penyusunan gugus ini pun masih terdapat kemungkinan

(46)

untuk menambah kolom maupun baris lagi guna menguji kesimpulan awal yang telah diambil dalam penyusuan usulan penelitian. Hal ini karena analisis data kualitatif merupakan analisis yang terus berlanjut, berulang dan terus-menerus (Sitorus, 1998).

Data yang telah direduksi akan disajikan dalam bentuk teks naratif maupun matriks yang mengulas mengenai konflik agraria di pedesaan dan faktor-faktor penyebabnya. Pada saat pemaparan hasil penelitian, penulis juga melakukan penyempurnaan dan bahkan revisi kerangka berfikir yang disesuaikan dengan keadaan lapangan. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian.

(47)

BAB IV

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Letak Administrasi dan Kondisi Geografis

Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Cibatok Satu. Desa ini merupakan salah satu desa yang terdapat di Kecamatan Cibungbulang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Peta wilayah dapat dilihat di lampiran 2. Batas wilayah Desa Cibatok 1 adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara berbatasan dengan jalan raya Cibungbulang 2. Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Cibatok Dua 3. Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Ciareuteun 4. Sebelah timur berbatasan dengan Sungai Cibungbulang

Desa Cibatok Satu memiliki 3 dusun yang kemudian terdapat dalam 7 Kampung. Dimana masing-masing dusun ini dikepalai oleh kepala dusun. Dusun 1 yang memiliki 4 RW yaitu RW1, RW 2, RW 7 dan RW 8. RW 1, RW 2, dan RW 8 termasuk dalam kampung Cibatok 1 dan RW 7 adalah Kampung Cisauk. Dusun 2 hanya memiliki 1 kampun yaitu Kampung Babakan Cibatok dimana didalamnya melingkupi RW 3 dan RW 4. Sisanya RW 5, RW 6 dan RW 9 merupakan bagian dari Dusun 3. Dusun tiga memiliki 4 kampung. Kampung Kalurahan Tongoh yaitu RW 5, Kampung Kalurahan Lebak terdiri dari RW 6 dan terakhir RW 9 termasuk dalam 2 kampung yaitu Kampung Cibojen dan Kampung Timbul.

Curah hujan di Desa Cibatok Satu dapat dikatakan cukup tinggi yaitu 236 Mm dengan jumlah bulan hujan sekitar 10 bulan. Suhu rata-rata harian di Desa Cibatok Satu adalah 26° C. Dahulu suhu di Desa Cibatok Satu ini cukup dingin

(48)

tetapi sekarang suhu berubah naik rata-rata 28-30º. Hal ini disebabkan banyaknya pohon-pohon yang sudah ditebang sehingga tidak adanya penyangga panas dan mulai banyaknya bangunan/pemukiman di sekitar Desa Cibatok Satu. Adanya curah hujan dan bulan hujan yang cukup tinggi ini menyebabkan Desa Cibatok Satu ini sangat cocok digunakan untuk lokasi pertanian. Selain curah hujan yang tinggi, warna tanah di Desa Cibatok Satu adalah hitam dengan tekstur lempung dan kedalaman 126 meter.

Irigasi di desa ini secara keselurahan mampu mengairi sawah-sawah meskipun ada bendungan yang tidak berfungsi di sini yaitu bendungan jeblongan. Beberapa mata air melewati desa ini yang sekaligus dimanfaatkan untuk pengairan dan kegiatan lainnya adalah Sungai Cibungbulang, Sungai Ciareuteun, Susukan Luhur, Susukan Nyamplung, Solokan Jemblongan, Solokan Ranggagading, Susukan Tilu dan Solokan Panggilingan.

4.2 Sistem Peruntukan Tanah di Desa Cibatok Satu

Tanah di Desa Cibatok Satu lebih banyak yang dimanfaatkan untuk areal pertanian dibandingkan dengan non-pertanian/pemukiman. Pemukiman masyarakat secara berkelompok yang dikenal dengan kampung. Setiap kampung tersebut dikelilingi oleh hamparan sawah maupun tegalan. Luas Desa Cibatok Satu menurut data potensi desa tahun 2004 (terbaru) adalah sekitar 1.704.170 m² dengan pembagian pada Tabel 1.

(49)

Tabel 1. Data Pembagian Tanah di Desa Cibatok Satu

No Pembagian Tanah Luas (m²) % Luas (%)

1 Sawah Irigasi ½ Teknis 1.278.020 74,99

2 Tanah Kering/ Pemukiman 412.800 24,22

3 Kas Desa 2.450 0,14

4 Lapangan 200 0,01

5 Perkantoran Pemerintah 2.000 0,18

6 Lainnya 8.700 0,51

Total 1.704.170 100

Sumber: Data Potensi Desa Cibatok Satu Tahun 2004

Dari data potensi desa diatas sebesar 74,99 persen tanah di Desa Cibatok Satu dimanfaatkan untuk sawah irigasi teknis. Peruntukan tanah untuk perumahan/ pemukiman sebesar 24,22 persen. Kemudian disusul untuk Tanah kas desa 0,14 persen, Lapangan 0,01 persen, perkantoran pemerintah 0,18 persen dan sisanya lain-lain seluas 0,51 persen.

Luasan tanah berdasarkan data potensi desa tahun 2004 diatas berbeda dengan data pembagian tanah tahun 1989 Desa Cibatok Satu. Data tahun 1989 tanah di Desa Cibatok Satu dibagi menjadi 78 persil (Lampiran 8) dengan jumlah total luas tanah adalah1.629.873 m². Dalam data tersebut terlihat jelas pembagian tanah berdasarkan pemiliknya pada tahun tersebut. Tapi sekarang pemiliknya sudah banyak yang berganti karena adanya proses jual beli maupun warisan. Dari kedua data tersebut yaitu data potensi desa tahun 2004 dan data pembagian tanah tahun 1989 terdapat selisisih luasan tanah di Desa Cibatok Satu yaitu seluas 74.297 m². Data-data kepemilikan tanah yang digunakan dalam penelitian ini lebih lanjut menggunakan data pembagian tanah tahun 1989. Data pembagian tanah Desa Cibatok Satu itu digunakan sebagai dasar pembayaran wajib pajak.

Desa Cibatok Satu merupakan salah satu desa yang sektor pertaniannya cukup bagus di Kecamatan Cibungbulang selain Desa Situ Udik. Sektor ini

(50)

menyerap tenaga kerja yang cukup besar di wilayah Cibatok Satu disamping sektor perdagangan yang juga cukup tinggi. Dimana perbandingan antara penyerapan tenaga kerja sektor pertanian dan perdagangan sama besar yaitu masing-masing sebesar 30 persen dari jumlah penduduk Desa Cibatok Satu.

Besarnya potensi di sektor pertanian dapat dilihat dari peruntukan tanah di Desa Cibatok Satu dimana tanah yang digunakan untuk sektor pertanian adalah 69,21 persen (1.128.109 m²) dan tanah untuk non-pertanian/pemukiman sebesar 30,78 persen (501764 m²). Perbandingan peruntukan tanah pertanian dan non pertanian pada masing-masing RW di Desa Cibatok Satu berbeda. Ada RW yang sama sekali tidak memiliki tanah pertanian dan ada pula yang tanah non-pertaniannya kecil. Pebandingan peruntukan tanah pertanian dan non-pertanian di Desa Cibatok Satu dapat dilihat di diagram di bawah ini:

Perbandingan Peruntukan Tanah Pertanian dan Non-Pertanian Pada Masing-Masing RW di Desa Cibatok 1

0 20 40 60 80 100 120 RW 1 RW 2 RW 3 RW 4 RW 5 RW 6 RW 7 RW 8 RW 9 Nama RW P er sen tase P er u n tu kan Ta n a h % Tanah Pertanian % Tanah Non-Pertanian

Sumber : Data Kepemilikan Lahan Desa Ciatok Satu, 1989

Gambar 4. Perbandingan Peruntukan Tanah Pertanian dan Non-Pertanian pada Masing-Masing RW di Desa Cibatok Satu

(51)

Pada gambar di atas dapat dilihat bahwa adanya perbedaan peruntukan tanah pertanian dan non-pertanian pada masing-masing RW. Peruntukan tanah pertanian tertinggi ada di RW 9 sebesar 91,35 persen (167.687 m²) dan non pertaniannya sebesar 8,64 persen (15.870 m²). Peruntukan tanah pertanian terendah ada di RW 8 dimana pada RW ini tidak memiliki tanah pertanian, seluruh tanahnya untuk non-pertanian/pemukiman. Urutan peruntukan tanah pertanian mulai dari tertinggi diikuti oleh RW 5, tanah pertaniannya sebesar 89,94 persen (293.987 m²) dan tanah non-pertaniannya 10 persen (32.863 m²). RW 6 memiliki tanah pertanian sebesar 88,28 persen (191.822 m²) dan tanah non-pertanian 11,71 persen (25.457 m²). Selanjutnya diikuti oleh RW 1 dengan peruntukan lahan pertaniannya sebesar 80.92 persen (211969 m²) dan tanah non-pertaniannya sebesar 19 persen (49.954 m²). RW 2 memiliki peruntukan tanah pertanian sebesar 70,95 persen (99.465 m²) dan tanah non-pertanian sebesar 29 persen (40.724 m²). RW 7 memiliki tanah pertanian sebesar 40,78 persen (71.266 m²) dan tanah non-pertanian sebesar 59,21 persen (103.464 m²). RW 4 memiliki tanah pertanian sebesar 36,84 persen (80.651 m²) dan tanah non-pertanian sebesar 63,15 persen (138.238 m²). RW 3 memiliki tanah pertanian sebesar 16,88 persen (11.262 m²) dan tanah non-pertanian sebesar 83,11 persen (55.452 m²).

4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Cibatok Satu

Mata pencaharian yang dominan di Desa Cibatok Satu adalah petani/buruh tani dan pedagang. Mereka terkadang memiliki pekerjaan rangkap misalnya kebanyakan petani itu bekerja sebagai pedagang baik pedagang besar maupun kecil. Para buruh tani juga terkadang merangkap sebagai petani tapi dengan luasan

(52)

tanah yang kecil. Mata pencaharian lain di Desa Cibatok Satu dan jumlah orang dapat dilihat dalam tabel dibawah ini:

Tabel 2. Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Cibatok Satu

No Jenis Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (Orang) Persen Jumlah

Penduduk (%) 1 Petani 1.753 41,94 2 Buruh Tani 656 15,69 3 Swasta 306 7,32 4 Pegawai Negeri 75 1,79 5 Pengrajin 127 3,04 6 Montir 5 0,12 7 Dokter 1 0,02 8 Peternak 1.257 30,07 Jumlah 4180 100

Sumber: Data Potensi Desa Cibatok Satu Tahun 2004

Data potensi desa tahun 2004 menunjukkan bahwa 41.94 persen penduduk Desa Cibatok Satu bermata pencaharian sebagai petani. Selain petani sektor pertanian juga menyerap tenaga buruh tani sebesar 15,69 persen. Sektor swasta sebesar 7,31 persen. Disini juga ada yang berprofesi sebagai pegawai negeri yaitu 1,79 persen pengrajin 3,04 persen, montir 0,12 persen dan dokter 0,02 persen.

Jumlah penduduk diatas banyak yang tidak konsisten dengan kenyataan di lapangan bahwa jumlah antara petani yang terlalu berbeda jauh dengan buruh tani. Di Desa Cibatok Satu tanah pertanian banyak yang tidak diusahakan sendiri oleh pemiliknya melainkan digarap oleh orang lain yang pada akhirnya berprofesi sebagai buruh tani. Selain itu juga, jumlah penduduk yang bekerja sebagai pedagang juga mempunyai jumlah yang besar di Desa Cibatok Satu. Jumlah mereka sekitar 30 persen dari jumlah penduduk. Selain itu, Desa Cibatok Satu tidak memiliki banyak lapangan pekerjaan dibidang peternakan. Hal ini berbeda dengan fakta yang ditulis di data potensi Desa Cibatok Satu tahun 2004.

(53)

4.4 Sistem Sosial Budaya Masyarakat Desa Cibatok Satu

Desa Cibatok Satu dilalui oleh jalan propinsi dan jalan kecamatan. Jalan yang melewati desa ini adalah jalan aspal yang dapat dilewati oleh kendaraan setiap musimnya. Jalan-jalan yang ada di dalam desa sendiri masih berupa jalan berbatu dan belum beraspal. Fasilitas pengangkutan untuk ke kota kabupaten maupun Kota Bogor cukup baik. Jarak dari Desa Cibatok Satu ke ibukota kabupaten yaitu sekitar 31 km dengan jarak tempuh 2 jam perjalan baik menggunakan kendaraan roda 4 maupun roda 2. Kendaraan umum untuk penumpang ataupun barang tersedia di desa ini, dengan batasan waktu dari pukul 06.00 WIB hingga 18.00 WIB. Setelah itu tidak ada kendaraan umum yang masuk ke Desa Cibatok Satu. Dengan adanya fasilitas pengangkutan maka mobilitas penduduk bisa dikatakan baik.

Jarak antara Desa Cibatok Satu dengan kantor kecamatan yaitu 2 km dengan jarak tempuh 10 menit dengan mengunakan kendaraan roda 2 maupun roda 4. Perjalanan ke kantor kecamatan melewati jalan yang beraspal, hal ini mempermudahkan masuknya informasi ke Desa Cibatok Satu sendiri.

Penduduk yang bekerja di luar sektor pertanian tidak hanya bekerja di Desa Cibatok Satu maupun desa sekitar saja tetapi banyak yang bekerja di Kota Bogor, Kabupaten Bogor dan Jakarta . Mereka bekerja sebagai pedagang di Pasar TU Semplak, Pasar Induk Kramat Jati, Pasar Ciawi dan lainnya. Mereka yang bekerja di luar desa tetap tinggal di desa ini karena mereka hanya melakukan komutasi10 pada siang hari. Hal ini dikarenakan transportasi yang sudah

memadai di Desa Cibatok Satu.

10 Komutasi adalah gerak penduduk harian dimana gerak berulang hampir setiap hari antara tempat

Gambar

Gambar 3.  Bagan Kerangka Pemikiran Kemunculan Konflik Pemanfaatan Lahan  Pertanian di Perdesaan
Tabel 1. Data Pembagian Tanah di Desa Cibatok Satu
Gambar 4.  Perbandingan Peruntukan Tanah Pertanian dan Non-Pertanian pada  Masing-Masing RW di Desa Cibatok Satu
Tabel 2. Jenis Mata Pencaharian Masyarakat Desa Cibatok Satu
+5

Referensi

Dokumen terkait

Pada gambar 9 hingga gambar 14 dapat dilihat perbandingan hasil keluaran respon mesin pada multi machine dengan kontrol LQR-GSO..

Untuk mengetahui nilai koefiesien pnnyerapan bunyi suatu material maka digunakan persamaan 2.2 pada tabel 4.1 berikut merupakan hasil penelitian nilai koefisien

Tujuan penulisan ini untuk mengetahui penerapan akad Murabahah pada pembiayaan KPR Syariah. Sifat – sifat dasar kepemilikan dari sistem ajaran Islam yang biasa dikenal dengan

Hasil analisis pada penelitian ini menghasilkan bahwa variabel umur tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian depresi postpartum pada ibu primipara dan

• Proposal disusun sesuai panduan, namun ada beberapa hal yang perlu dilengkapi: Rencana Target Capaian artikel ilmiah dimuat di Jurnal Internasional Terindeks

Pembentukan akar pada tanaman tidak lebih besar dari tajuk, dengan perbandingan akar yang cenderung lebih kecil daripada tajuk dapat memberikan pengaruh yang baik

Pelaksanaan Administrasi Keuangan dan Umum merupakan serangkaian kegiatan yang dilaksanakan Pabrik Gula Tasikmadu Karanganyar untuk mengolah data dan mengkoordinasi di

Skripsi ini berjudul “ Evaluasi Pelaksanaan Program Pensiun Iuran Pasti Dana Pensiun Lembaga Keuangan Bank Negara Indonesia (PPIP DPLK BNI) bagi Karyawan PT.. Perkebunan Nusantara