• Tidak ada hasil yang ditemukan

Petani sebagai Pilihan Hidup atau Sampingan

BAB VI KONFLIK AGRARIA DI PEDESAAN

6.3 Petani sebagai Pilihan Hidup atau Sampingan

Menjadi seorang petani bisa dikatakan sebagai sebuah pilihan hidup yang harus dijalani untuk kelangsungan hidup atau dijadikan sebagai pekerjaan sampingan. Umumnya petani pemilik tanah di Desa Cibatok Satu menjadi petani adalah sebuah pekerjaan sampingan. Pekerjaan utama adalah seorang pedagang di pasar. Disebut pekerjaan sampingan karena petani merupakan pekerjaan yang mereka lakukan setelah sebelumnya memiliki pekerjaan tetap.

Pak Ang misalnya dia adalah seorang depelover dan pedagang di Sentul. Tahun 2003, saat beliau pidah ke Desa Cibatok Satu itulah menjadi petani dengan menerima gadai beberapa Ha lahan pertanian di desa ini. Saat itulah beliau mulai mempekerjakan para buruh. Menurutnya para buruh itu merupakan orang yang tidak pernah mengeluh dan menerima apa saja , kokoh tidak nakal (KKN).

”Para petani itu tidak mau atau jarang mengeluh, mereka menerima apa saja yang kita suruh, kokoh, kuat sacara fisik, tidak nakal misalnya jaran melakukan kecurangan apapun seperti KKN, karena apanya yang mau di KKn di sawah, trus orangnya ga enakan ma majikan. Dan paling penting menjadi petani itu mulian”(Pak Ang)

Pak Bas berbeda dari Pak Ang, beliau memulai menjadi petani sejak tahun 1979. Awalnya beliau adalah seorang bandar tomat yang mempunyai lapak. Hatinya bergerak menjadi seorang petani karena jiwa dagangnya sendiri. Beliau memikirkan betapa keuntungan yang akan diperoleh apabila beliau menjadi seorang petani dan memasarkan langsung hasil pertanian yang didapatkan.

Pedagang menurut beliau tidak telalu mendapat keuntungan yang besar dibanding menjadi seorang petani yang mengetahui keadaan pasar. Saat itulah beliau memulai menjadi seorang petani, yang penting tekun dan mau mencoba hal baru maka keuntungan akan diperoleh. Hal paling penting menurut beliau adalah memprediksi tanaman yang akan ditanam sehingga tidak rugi. Beliau sudah mahir dalam memprediksi hal semacam ini karena latar belakang beliau sebagai pedagang sayur. Jadi tidak heran kalau banyak petani yang bertanya kepada beliau tentang tanaman apa yang sebaiknya ditanam.

”Petani itu kaya lho sebenarnya. Coba kalo jadi pedagang paling cuma ngambil untung dua ratus sampe liratus rupiah aja. Kalo petani mah banyak, apalagi kalo dia pintar nanem dan tau keadaan pasar berapa untung yang akan diperolah berapa ratus kali lipat akan diperolehnya. Salahnya orang-orang ga tekun ga mau coba yang baru, tapi coba sendiri bukan kata orang”(Pak Bas)

Berbeda dengan petani pemilik lahan luas, petani pemilik lahan sempit, penggarap dan buruh tani, menjadi petani bukan lagi sebagai pekerjaan samping melainkan pekerjaan utama mereka. Itupun belum tentu mampu mencukupi segala kebutuhan hidup para petani berlahan sempit maupun buruh tani.

Nek Awg seorang buruh di lahan milik Pak Bas. Beliau telah delapan tahun ikut bekerja dengan Pak Bas. Usia beliau saat ini adalah 76 tahun tetapi masih kuat untuk bekerja di sawah. Nek Awg sudah tidak punya tanggungan lagi sehingga upah yang didapatkan olehnya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Lain hal dengan Bu Yat seorang janda beranak 2 yang juga bekerja di lahan milik Pak Bas. Upah yang Rp 7.500,00 yang diterimanya per hari untuk memenuhi kebutuhan 3 orang jauh dari cukup. Makanya perlu kerja tambahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

Hart (dalam Suharso, 2002) mengatakan bahwa ukuran kecukupan seseorang mampu memenuhi kebutuhan sehari-harinnya adalah 300 kg. Berdasarkan hal itu dikatakan lagi setidaknya para petani miskin itu menguasai minimal 0,5 ha. Apabila mereka tidak memenuhi 0,5 ha pada tingkat subsisten maka mereka akan berusaha meningkatkan pendapatan untuk memenuhi kebutuhan minimum.

Data pemilikan tanah di Desa Cibatok Satu dimana rata-rata satu rumahtangga pertanian memiliki 0,25 lahan pertanian. Hal ini bisa dikatakan jauh dari cukup untuk bisa memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Banyak usaha yang dilakukan oleh para petani berlahan sempit maupun buruh tani untuk memenuhi kebutuhannya. Diantaranya adalah menggarap lahan pertanian milik orang lain. Berbagai usaha yang dilakukan oleh para petani untuk memenuhi kebutuhan hidupnya oleh Suharso (2002) dikatakan sebagai bentuk strategi survival. Lebih lanjut, strategi survival itu pada umumnya dikategorikan pada dua hal, yaitu aktivitas pada sektor pertanian dan aktivitas di luar sektor pertanian. Kebanyakan petani berlahan sempit di Desa Cibatok Satu ini tetap pada aktivitas pertanian juga. Mereka memiliki pekerjaan ganda yaitu bekerja di lahan sendiri dan bekerja di lahan milik orang lain dengan menyewakan tenaga yang dimiliki atau menjadi pembajak bagi yang memiliki kerbau.

Menurut Safri Mangkuprawira (dalam Suharso, 2002) strategi hidup masyarakat pedesaan berkaitan erat dengan sistem nilai yang hidup di masyarakat itu, apakah itu kekuatan lokal (kekerabatan) ataupun solidaritas sosial. Solidaritas sosial dengan ikatan kekeluargaan dan kekerabatan, serta ikatan adat cenderung ikut mendorong variasi bentuk strategi hidup. Hal ini dapat ditemui di Desa

Cibatok Satu, mereka cenderung menjadi buruh pada pemilik yang memiliki kedekatan sosial baik itu masih ada hubungan kelurga maupun karena jarak rumah yang berdekatan.

Salah satu pemilik lahan luas Pak Bas memperkerjakan orang untuk menjadi buruh di lahannya adalah orang yang tinggal tidak terlalu jauh dari rumahnya. Jumlah total tenaga kerjanya adalah 16 orang, dari 16 orang itu 9 orang adalah tetangga dekat rumah dan lainnya hanya beda RT saja. Begitupun para buruh tani mereka mencari pekerjaan juga pada pemilik lahan dekat dengan rumah. Pak Ang pemilik lahan luas juga memperkerjakan tenaga kerja yang tempat tinggalnya hanya berjarak 1 rumah dari rumahnya. Jadi asas kedekatan ini dijadikan alasan untuk mempekerjakan tenaga kerja pada lahan-lahan milik mereka. Meskipun ada juga para pemilik lahan luas yang menjadikan buruh dari luar desa untuk bekerja di lahan miliknya.

Para pemilik lahan luas yang menjadi petani sebagai pekerjaan sampingan memiliki pandangan-pandangan berbeda terhadap para buruh yang diperkerjakan seperti yang telah dituliskan diatas. Pandangan yang berbeda ini sangat mempengaruhi hubungan kerja antar mereka dengan tenaga kerjanya.

Pemilik tanah mempunyai kriteria tertentu dalam memperkerjakan para buruhnya. Pak Bas memperkerjakan buruh perempuan dan janda sebanyak 12 orang. Hal ini karena menurutnya para perempuan dan janda ini akan bekerja untuk memenuhi kehidupan keluarganya bukan untuk dirinya sendiri. Berbeda jika ia memperkerjakan para buruh laki-laki karena uang yang didapatkan belum tentu untuk memenuhi kebutuhan keluarga secara keseluruhan. Kadang kala uang yang diperoleh sebagian membeli rokok padahal upah yang didapatkan tidak

besar. Buruh laki-laki dipekerjakan oleh Pak Bas ini karena kekuatan fisiknya yang lebih besar dari perempuan. Lebih dari itu semua, memperkerjakan buruh perempuan lebih murah dibandingkan laki-laki, sehingga tidak memerlukan biaya yang tinggi untuk upah.

Pak Ang mempunyai kriteria berbeda dalam memperkerjakan buruh di lahan miliknya. Tenaga kerja tetapnya adalah empat orang laki-laki dan tidak ada batasan umur. Buruh perempuan dibutuhkan pada saat panen yang dibayar per hari. Alasan Pak Ang memperkerjakan buruh laki-laki karena mereka adalah kepala keluarga yang bertugas mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.

”Buruh tuh neng sebaiknya laki-laki kan dia kepala keluarga, wajib memenuhi kebutuhan keluarganya. Disini banyak laki-laki yang ga punya kerjaan. Kan kasian anak-anaknya mau dikasih makan apa. Kalo saya ga suka pake perempuan untuk buruh tetap. Karena menurut saya perempuan itu sensitif, perempuan bukan untuk disuruh tapi untuk dimanja. Kasian. Tapi kalo pas panen ada juga buruh perempuan yang datang dan saya bayar”(Pak Ang)

Dokumen terkait